Page thirty eight
I bit the apple 'cuz I loved you
And why would you lie
And then I realized
You're just as naive as I am
You're so traumatized it makes me wanna cry
You dumb bitch
I loved you, I loved you, I loved you it's true
I wanted to be you and do what you do
I lived here
I loved here
I bought it it's true
I'm so embarrassed, I feel abused
- Rat_Penelope Scott
°°°
"Setiap manusia itu punya tiga sisi, sisi yang ia tunjukkan pada semua orang, sisi yang ia tunjukkan pada beberapa orang terdekat dan sisi yang tidak akan pernah ia tunjukkan pada siapa saja. Dan sisi yang tidak pernah ditunjukkan itu, yang tidak pernah tampak ke permukaan itu adalah sisi paling gelap manusia. Orang yang kau kenal sebagai orang paling baik di dunia sekalipun, tetap memiliki sisi ketiga yang aku bicarakan. Karena pada dasarnya selalu ada, pasti ada, setidaknya satu rahasia yang hanya ia dan penciptanya yang tahu. Tidakkah kau merasa manusia dan lautan itu sama? Kau mengira sudah tahu isinya, padahal kau buta, ada banyak misteri lautan yang belum terpecahkan, serumit itu. Begitu juga manusia, ketika kau mengira sudah mengupas semua kulitnya, dan ternyata kau temukan jika itu hanya kulit luar. Masih ada banyak lapisan lagi yang harus dikupas untuk dapatkan isi, kau pernah berpikir seperti itu?" tanya Chello dengan tersenyum tipis. Pemuda yang sejak tadi belum juga menyudahi makan siangnya meski sudah hampir satu jam itu menatap ke arah lawan bicaranya.
Cedric menatap pemuda dengan tampilan rapi di hadapannya, mengenakan jas berwarna putih dengan rambut tertata rapi. Di depan Chello terletak sebuah piring berisi steik daging dengan tingkat kematangan well done hingga tidak lagi menyisakan warna darah. Chello bilang, ia tidak mau lihat darah di makanannya, cukup di target saja.
"Kau bicara seolah kau bukan manusia, mengagumkan sekali. Atau ... kau sedang mengajakku membicarakan orang lain? Aku tidak tahu kau suka gosip Archello," jawab Cedric sebelum tertawa, punggungnya ia sandarkan agar lebih santai. Saat ini keduanya berada di Laurent, di lantai atas tempat kesukaan Chello. Cedric menatap ke arah langit senja yang mulai gelap, seolah-olah bayangan sedang melahap rakus matahari dan sinar-sinar hangatnya.
Chello terkekeh karena jawaban Cedric, pemuda yang baru saja keluar dari ruang perawatan khusus itu meletakkan garpu dan pisau yang sejak tadi digunakan. Kini matanya ikut menatap ke arah yang Cedric tatap.
"Kau suka pemandangannya? Bagus bukan? Karena itu aku suka sekali bagian atas Laurent, aku senang bisa selalu menikmati pemandangan yang bagus sembari makan. Kau tahu Cedric? Kata orang, iblis itu ada untuk mengajak manusia melakukan kesalahan dan menjebak jiwa-jiwa suci mereka untuk melakukan kejahatan. Namun, bukankah kebencian itu lahir ketika banyak orang berkumpul dan hidup bersama-sama? Para iblis hanya sekadar menuangkan minyak di atasnya, jika api maka akan membesar bahkan meledak, jika air maka akan terpisah sendiri. Manusia-manusia itu tidak sadar, jika mereka jauh lebih keji dari sosok iblis."
Chello tersenyum manis setelah berucap dengan nada pasti, pandangannya masih menatap ke arah langit yang terus ditelan gelap.
"Aku tersanjung. Pikiranmu ini bisa menimbulkan keributan, tetapi seperti katamu jika api maka akan terbakar. Hahaha. Apa kau sedang berusaha jadi minyak Chello?" tanya Cedric yang kini lebih tertarik menatap ke arah Archello. Chello masih tersenyum, balas menatap Cedric tanpa jawaban nyata.
"Aku sudah jadi api yang terbakar bahkan sudah meledak dan hampir melahap banyak hal, bagaimana mungkin aku berubah jadi minyak? Haha. Namun, saat ini, api-api kecilku sedang menjalar perlahan dengan samar dan menunggu waktu yang tepat untuk menelan api lainnya. Api yang aku punya sedikit rakus Cedric, ia tidak merasa cukup dengan hal yang ia telan sekarang, ia menginginkan lebih." Archello menyeringai sebelum akhirnya tertawa. Pemuda dengan rambut hitam dan menyukai musik klasik itu tengah menertawai santapan selanjutnya.
°°°
Fergio menatap ke luar jendela, sudah hampir satu jam ia memperhatikan sosok Archello duduk diam di bangku tanpa melakukan apa-apa.
Fergio mulai bosan dan merasa kesal dengan peran yang ia rasa kurang penting, pemuda yang akan menduduki posisi tinggi ini sempat berpikir untuk menghubungi Aire dan bermaksud mengubah rencana yang sudah mereka susun.
Fergio juga tidak mengerti apa yang Archello lakukan atau pikirkan, duduk diam dan menengadah ke langit tanpa bergerak satu inci pun dari tempatnya. Archello sungguh pria aneh yang tidak waras pikirnya.
"Apa yang ia lakukan sebenarnya? Hampir satu jam ia hanya duduk, apa benar harus diawasi seperti ini? Apa Aire sengaja melakukan ini agar aku tidak mengganggunya? Sebaiknya aku hubungi saja ... " gerutu Fergio terhenti ketika ia melihat sosok lain datang, pemuda berambut perak dengan wajah serius dan penuh amarah berjalan mendekati Chello. Di belakang Aire terlihat seorang gadis yang berpenampilan biasa saja, memakai kaus longgar dengan rambut pendek sebatas leher.
"Siapa gadis itu?" bisik Fergio pada dirinya sendiri. Fergio sedikit menurunkan tubuh, dan kembali menatap fokus dari lubang ventilasi yang ada di kamar tersebut. Fergio masih memperhatikan meski ia tidak bisa dengan jelas mendengar percakapan di antara ketiganya.
Fergio berusaha menajamkan pendengaran, ia matikan semua hal-hal yang bisa menimbulkan suara di dalam kamar sewanya termasuk jam dinding. Samar terdengar Aire yang membicarakan tentang kematian Yeina.
"Yeina? Kenapa Aire membicarakan kematian Yeina pada ... " gumam Fergio terhenti. Wajahnya tiba-tiba memucat dan kini pikirannya melayang jauh mengaitkan segala macam hal yang ia tahu. Di sela praduga dan kumpulan emosinya, Fergio melihat sosok Aire berlari meninggalkan Archello sendirian. Fergio menatap ke arah Chello yang sejak tadi berteriak dan menangis, dan sekilas terlihat Archello tersenyum.
"Pembunuh!" teriak Fergio dari balik kamarnya. Ia meraih senjata yang Aire tinggalkan untuknya sebelum berlari keluar dengan tergesa-gesa. Meski Aire membiarkan Archello begitu saja, tidak dengan dirinya, Fergio tahu jika Aire memiliki rasa pengampunan tinggi dan sifat lembut yang berusaha disembunyikan. Fergio paham jika Aire tidak akan mampu membunuh Archello meski Aire tahu jika Archello adalah pembunuh adik perempuannya.
Fergio berdiri tegak tidak jauh dari hadapan Chello dan gadis asing. Pemuda berdarah bangsawan itu bisa melihat wajah terkejut gadis yang berusaha membuat Archello tenang sejak tadi, Fergio tidak tahu siapa gadis itu tetapi sudah jelas dia berada di pihak Archello. Belum sempat Fergio menarik pelatuk, pemuda yang baru menginjak usia dua puluh itu mendengar suara Aire yang memanggil namanya dan suara Zeavan yang memanggil nama Archello. Selain suara teriakan, ia juga mendengar desingan peluru yang bukan berasal dari miliknya. Rasa dingin perlahan menjalar di sekujur tubuh, Fergio masih tegak dan masih bisa melihat darah merah yang mulai membasahi bagian dadanya.
Dirinya tertembak.
Fergio tidak lagi bisa merasakan angin yang berembus, juga suara yang berada di sekitarnya. Kedua kakinya terasa lemas dan tidak lagi sanggup menopang tubuh, dalam hitungan menit Fergio tersungkur ke tanah. Sekilas pandangan matanya tertuju pada sosok berambut biru dongker di balik jendela kamar yang bersebelahan dengannya, berdiri dengan memegangi senapan laras panjang dan memasang senyuman kecil. Fergio tertawa, ia begitu bodoh dan terburu-buru, ia sadar dirinya memang tidak pantas menggantikan peran ayahnya.
Pikirannya melayang, ingatan dan kenangan masa lalu mulai bermunculan di hadapan bercampur dengan sentuhan hangat Aire yang memeluknya. Fergio tidak pernah merasa sedamai ini, ia tidak pernah merasa takut pada kematian, yang ia takutkan kematiannya akan membuat Aire semakin terpuruk. Tidak ada yang bisa Fergio lakukan, hanya permintaan maaf yang tidak sempat disampaikan dan rasa luka mendalam bagi yang ia tinggalkan.
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro