Page seventeen
°°°
All the best people are crazy, all the best people are
Archello Deres Integra, putra dari dua keluarga ternama dunia. Sejak usianya menginjak sembilan tahun, ia menjadi wakil pengganti saudara laki-lakinya untuk mengemban satu tugas. Menjadi pimpinan Qulivan, kelompok kriminal berbahaya yang disebut bayangan.
Khielnode Qulivan, saudara laki-laki Archello yang lebih muda tiga tahun darinya merupakan keturunan resmi nama Qulivan. Mengalir di dalam darah Khielnode, darah terkutuk dan kotor Qulivan. Namun, ada satu hal aneh atau harus dikatakan takdir? Bukan Khielnode, melainkan Archello yang mendengar suara kutukan itu. Suara yang hanya mampu didengar oleh pimpinan sejati Qulivan, suara makian penuh sumpah para korban bayangan.
Terlihat dia berjalan ... bukan, tapi berlari mengitari jalanan sepi penuh semak. Bergerak dengan gerakan lincah, tanpa celah tanpa memberikan kesempatan pada lawan. Senyum terpulas pada wajah, jangan tanya noda darah, sudah penuh mengotori jas yang ia pakai.
Digenggamnya sebilah pedang berukuran delapan puluh senti, dengan berat tidak lebih dari 650 gram. Berwarna hitam dengan gagang pelindung berbentuk lengkungan, membuat si pengguna lebih nyaman untuk menggerakkan benda mematikan tersebut.
Smallsword.
Archello belajar menggunakannya sejak menginjak sebelas, jari yang melepuh, goresan pada lengan hingga jari hampir hilang sudah umum bagi pemuda berdarah bangsawan ini.
Ha ha ha.
Ha ha ha.
Tubuhku gemetar, napasku tidak beraturan. Namun, tidak sanggup aku memejamkan mata. Tidak sanggup aku mengalihkan pandangan, beginilah keadaanku. Mau tak mau, suka tak suka menatapi pemandangan penuh darah yang Archello ciptakan.
Harus kusaksikan tepat di depan mataku, bagaimana Archello menusuk orang-orang yang berusaha mendekatinya. Harus kusaksikan bagaimana Archello tertawa ketika ujung pedangnya mengoyak menembus tenggorokan musuh.
Darah berhamburan keluar bersamaan dengan potongan tubuh, beberapa menit lalu kepala tanpa badan menggelinding ke arahku. Aku menahan teriakan, aku meredam ketakutan. Lidah kugigit kuat agar tidak berteriak, mungkin aku akan muntah nanti. Biar nanti.
"Pelanggan? Sudah bangun? Aku sedikit berolahraga, tubuhku kaku. Sepertinya jarang sekali aku gerakkan, pelanggan, setelah ini kita makan pagi ya," ucapnya lembut sementara tangannya menggorok leher pria asing yang berada di sampingku. Aku hanya diam, bahkan ketika darah pria asing ini mengenai wajahku.
Aku takut.
"Pelanggan, takut? Aku sudah bilang, aku tidak akan membunuh atau menyakiti. Aku bersungguh-sungguh," jelasnya dengan tersenyum manis. Tangan penuh darah itu kini meraih wajahku, mengusap perlahan meninggalkan bau anyir yang tidak akan aku lupakan sepanjang hidup.
"Sudah selesai semuanya, aku menyisakan dua orang untuk ditanyai. Mau makan dulu?" tanya Zeavan pelan. Berdiri tegak di belakang Chello sembari memungut pedang yang Chello pakai dan membersihkannya. Zeavan menatapku lurus, samar aku melihatnya tersenyum tipis.
Aku muntah.
°°°
"Saat kau tidur, di tengah perjalanan tiba-tiba ada yang menyerang. Sepertinya Archello sedang bosan, jadi dia turun tangan. Biasanya dia hanya akan menunggu di dalam mobil sampai kami menyelesaikan semuanya. Dan sepertinya kau tidur pulas sekali, kalau saja saat itu ada yang menusuk tubuhmu, kau tidak akan tahu," terang Zeavan mencoba menjelaskan padaku situasinya dengan tenang.
Kami sedang istirahat sekarang, duduk santai ditemani kopi dan roti lapis hangat di atas meja. Aku masih diam, rasa masam di mulutku masih kental. Aku muntah sampai setengah jam lamanya, diam lalu muntah, diam lalu muntah. Archello terlihat mengkhawatirkanku, iya, terlihat.
"Makanlah, kau butuh itu untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin kau terkejut, tapi kau harus terbiasa. Siap atau tidak, suka atau tidak, kau menggali makammu sendiri." Zeavan menyeruput pelan kopinya, aku menatapnya tidak setuju.
Aku menggali makamku sendiri? Maaf saja, aku tidak segila itu! Memangnya siapa yang sangka aku akan berada di sini? Memangnya selain bersama kalian aku bisa ke mana? Aku hanya bisa menggerutu dalam hati karena tidak bisa mengatakannya.
Napas kuembuskan berat, mata kupejamkan perlahan. Zeavan benar, aku harus terbiasa. Tidak bisa aku terus-menerus muntah saat Chello memutuskan untuk membunuh orang.
"Bagus, sepertinya kau sudah mulai tenang Nona lupa ingatan. Omong-omong, Chello ada di atas kafe, dia makan di sana sendirian. Kalau kau mau menemuinya aku bisa mengantarmu." Aku menggeleng secepat yang aku bisa, setidaknya aku ingin menikmati roti lapisku dengan santai dan khidmat.
"Tidak usah, aku tidak mau mengganggunya. Jadi ... sudah tahu siapa dalangnya?" tanyaku pelan, suaraku mulai normal. Rasa takut dan mual mulai merangkak meninggalkanku.
"Setelah makan akan diinterogasi, tapi bukankah kau harusnya tahu lebih dahulu?" tanya Zeavan menyadarkanku. Benar, Chello tidak akan membunuhku karena ia tahu aku punya kemampuan. Aku diam, kubiarkan Zeavan menunggu jawabanku.
Tanganku meraih roti lapis yang disediakan, menggigitnya perlahan dan memaksa otakku kembali berjalan. Ini adalah bagian cerita ketika Chello mencari putra mahkota Inggris yang hilang, sebagai hint di novelku aku membuat Chello dan Aire berseteru. Aku membuat Rusia dan bangsanya adalah musuh utama Inggris dan setiap bagian daerahnya.
Tugas utama Kosmik untuk saat ini sudah jelas yaitu merusak semua rencana Chello, Aire membenci Chello untuk sebuah alasan. Namun, karena sebuah alasan juga Aire tidak bisa menyerang Chello secara langsung.
Untuk mereka yang sudah mengenal Chello dengan baik, tidak mungkin hanya mengirim orang-orang kacangan untuk menghabisi Chello. Tidak lain, tujuannya hanya mengganggu dan mengulur waktu. Bukan menghabisi. Mau lemah seperti apa juga, jika terus-terusan mengganggu dan membuat perjalanan kami terhenti, bisa dipastikan pihak musuh yang juga mengincar putra mahkota bisa menemukan beliau lebih dulu.
Di novel memang sudah jelas aku membuat Rusia adalah alasan di balik kegagalan Chello. Jika dunia yang aku jalani sekarang sedikit berbeda dari apa yang aku tulis, setidaknya analisaku dalam masalah ini adalah benar.
Aku meraih telapak tangan Zeavan dan menuliskan sesuatu di atasnya.
Kosmik.
Aku menatap Zeavan, aku memilih menggunakan metode seperti ini sebagai komunikasi untuk sekarang.
Dinding punya telinga, jendela bisa menyampaikan. Kalimat yang aku tulis ketika menegaskan tokoh seorang informan--si penjual informasi.
Zeavan tidak terlihat terkejut, tentu saja. Zeavan pria yang cerdas, cepat menarik kesimpulan dan tangguh. Dia bukan pengguna pedang seperti Chello, tapi bukan berarti dia tidak bisa. Sejak dulu hingga saat ini, satu-satunya yang bersedia menjadi lawan tanding Chello ketika latihan hanya Zeavan saja.
Tangan besarnya kini menggenggam erat tanganku dan mengangguk. Bibirnya tersenyum sebelum kembali menempel pada ujung cangkir kopi. Dan aku kembali mengunyah roti untuk mengisi tenaga juga perutku yang kosong karena kejadian beberapa saat lalu.
°°°
"Letnan II Aire Detroit Flourite, satu minggu tanpa kabar. Kau pikir kau adalah murid sekolah? Atau kau sedang menunjukkan jika kau tidak lagi bisa bertanggung jawab atas pangkatmu?" Seorang pria berusia di atas empat puluh tahun tersebut bertanya dengan merendahkan suara, menatap tajam pria yang berdiri tegak di depannya. Pria dengan rambut segelap arang tersebut adalah pimpinan kelompok militer spesial Allegra--Loki Integra.
"Saya siap menerima hukuman, Pak." Lantang suara pemuda dengan rambut perak itu, tatapan matanya tidak menatap pada lawan bicara tapi sedikit juga tidak boleh tertunduk.
"Kepala dua, muka dua, fifth columnist. Segala ejekan yang aku dengar, segala ucapan yang aku dapat. Apa memang harus begitu, Aire? Apa memang harus aku dengarkan?" tanyanya tanpa meninggikan suara, tapi pemuda bernama Aire itu lebih dari pada paham jika ia sedang terancam.
"Saya siap menerima hukuman, Pak." Tidak ada jawaban lain yang bisa pemuda ini berikan, bukan tidak bisa tapi memang tidak ada.
"Safron. Chello saat ini sedang berada di Safron, dia lagi-lagi dapat tugas konyol dari kakeknya. Dan lebih konyol lagi karena aku tidak bisa melarang putraku sendiri untuk pergi, untuk ikut campur lebih jauh. Aire, kau akan terima hukumanmu setelah tugasmu menguntit Chello selesai. Sekarang pergilah."
Aire mengutuk. Ia lebih baik dipenjara atau bahkan digantung sekalian dibanding harus melakukan tugas ini. Ia harus menyatukan dua jalan yang berbelok menjadi satu agar kehidupan dan tugasnya berjalan lancar seperti biasa. Pemuda dengan bola mata perak itu memberi hormat sebelum berjalan keluar meninggalkan ruangan komandan utama ASIS.
Pemuda berpangkat Letnan II itu mengembuskan napasnya berat.
"Apa aku sudah berakhir? Yah, tidak ada lagi yang aku sesali. Toh jalan hidupku sudah tidak jelas."
Kalimat terakhir yang pemuda itu ucapkan pada dirinya juga pada seorang gadis di dalam sebuah potret lusuh yang selalu ia simpan.
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro