Page nine
°°°
Tidak sadar aku beranjak dari dudukku dan menggebrak meja, meski pelan tetap saja menimbulkan atensi dari seluruh isi dalam kafe.
Aku hanya menatap fokus pada Zeavan, berharap ia mengerti apa yang aku katakan saat ini. Zeavan mengerutkan keningnya penuh rasa bertanya.
"Kau melihat sesuatu? Kau ingin membicarakannya di dalam mobil?" Nada suaranya tenang namun aku tahu ia sudah berikan isyarat pada bayangan yang menyebar di sekitar kami untuk siaga. Aku menggeleng kebingungan, tidak tahu harus bagaimana. Apa aku terlalu cepat memberitahukan ini pada Zeavan? Bibir bawah kugigit, rasa cemas bercampur tidak mengerti tergambar jelas di wajahku.
"Jika kita keluar dari kafe, mereka akan curiga. Dan kau tidak akan tahu pasti siapa dalang di balik kasus ini," bisikku pelan agar tidak terdengar sekitar. Zeavan menepuk pundakku perlahan, membuatku kembali duduk bersamaan dengan dirinya.
"Baiklah, tapi coba jelaskan, apa maksudmu dengan kafe ini akan meledak? Semua mata sudah tertuju pada kita, jika target ada di sini, dia juga sudah pasti merasa awas karena teriakanmu tadi."
Aku menepuk kening kuat, merasa kesal dan bodoh atas hal yang aku lakukan barusan. Kenapa juga aku berteriak seperti orang gila?
"Bagaimanapun kelanjutannya, kita sepertinya tidak akan temukan dalang di balik kasus ini. Lebih baik kita bergegas pulang, aku akan laporkan hal ini pada Chello," jelas Zeavan masih dengan wajah tenangnya. Aku diam tidak segera menjawab, setengah merasa bersalah, setengah merasa kesal.
"Sudah, tidak ada gunanya merasa bodoh di saat seperti ini. Aku maklum, setidaknya aku tahu ini jebakan. Tidak buruk untuk takaran orang biasa sepertimu, dan lagi aku percaya sekarang dengan kemampuanmu. Karena tadinya, jika kau gagal menunjukkan kemampuanmu, salah satu bayangan sudah siap menembakmu." Zeavan tersenyum, mengangkat sebelah tangannya ke udara dan memutarnya setengah lingkaran. Kode yang mengartikan "target batal", atau dalam arti lainnya target yang dibawa tidak jadi dibunuh.
Aku menelan ludah, samar kepalaku mengangguk dan mengikuti Zeavan melangkah keluar tanpa mencicipi kopi yang terpesan. Kepala kutundukkan, menatap lurus pada sepatu kets berwarna merah yang kupakai. Ugh, kenapa harus warna merah, kenapa harus mengingatkanku pada warna darah? Aku mual, terutama membayangkan aku yang tertembak tanpa aba-aba, tanpa sempat mengucapkan apa pun.
Zeavan melangkah lebih dulu dariku tanpa sadar, bahkan ia sudah berada di seberang jalan. Aku bisa melihatnya tengah berbincang dengan G tidak jauh dari pintu kafe. Jarak parkiran dan pintu kafe ini cukup jauh, mungkin karena bagian depan kafe tidak begitu luas. Jadi pemilik memanfaatkan lahan kosong bagian seberang kafe untuk dijadikan tempat parkir tambahan.
Tiba-tiba saja lututku lemas dan kakiku berhenti melangkah, apa lari saja?
Belum sempat aku tenggelam dalam pikiranku aku sudah dikagetkan dengan teriakan Zeavan dari jauh. Tidak sampai sepuluh detik dari suara teriakan tiba-tiba saja aku mendengar suara ledakan besar dari arah belakang dan membuat tubuhku terpental jauh seperti didorong kuat oleh sesuatu hingga terguling di jalanan. Tidak ada hal lain yang aku rasakan selain sakit, sakit menyebar di sekujur tubuhku. Sekuat apa pun aku ingin sadar dan bergerak, nihil, aku tidak mampu. Dengan menyesal aku harus kehilangan kesadaran.
°°°
"Kau yakin dia?"
"Iya, aku yakin. Aku jelas sekali mendengar dia berteriak, bahwa kafe itu akan meledak dan Qulivan akan menyalahkan Rusia. Aku tidak tuli."
"Baiklah, cukupkan saja ocehanmu itu. Sekarang tinggal menunggu waktu kapan gadis ini sadar."
Samar, tapi aku bisa mendengar percakapan dua orang pria di dekatku, mungkin karena efek ledakan kemarin. Tubuhku masih sakit dan kepalaku pusing, aku masih bisa merasakan tangan dan kakiku, tandanya anggota tubuhku lengkap meski sudah jelas aku merasa sakit di sekujur tubuh.
Aku tidak tahu siapa mereka dan ada di mana aku sekarang, otakku belum bisa bekerja sempurna, yang aku tahu, pura-pura tidak sadar adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan agar tetap bisa berpikir.
"Aku tahu kau sudah bangun," bisik laki-laki yang berada tepat di sebelahku. Aku tersentak dan spontan membuka mata karena rasa terkejut yang tidak bisa aku kendalikan. Tadinya aku pikir hanya ada dua orang di sini, salah, ada tiga orang dan satunya sudah memerhatikanku sejak aku bangun. Aku menatap seorang pria dengan helai rambut berwarna perak panjang hingga menyentuh pundak dan memiliki warna mata yang senada.
Warna mata yang benar-benar terlihat penuh pesona. Siapa? Kepalaku sakit, tapi seingatku tidak ada pria dengan warna rambut perak di dalam novel yang kutulis selain Aire Detroit Flourite - pria cerdas yang bekerja di bawah dua atap alias memiliki dua pimpinan yang bertolak belakang, pria yang harusnya menghabisi Chello di halaman terakhir buku. Aku menahan napas.
"Sudah bangun? Wah, target memang tidak bisa lepas dari Aire ya," ucap seorang Pria dengan rambut klimis berwarna dongker yang tadinya berdiri cukup jauh dariku. Pria itu tertawa singkat sembari menggulung lengan kemeja hitam yang ia pakai dan berjalan ke arahku.
"Jangan takut, kami tidak berniat melukaimu. Kami hanya ingin tanya beberapa hal, tapi, kami juga berharap kau bisa bekerja sama. Namaku Cedric, pria di sampingmu Aire, dan pria di belakangku Grey. Lalu, siapa namamu?" tanya Cedric dengan senyum ramahnya sementara Aire masih sibuk memerhatikanku dan pria bernama Grey masih berdiri pada posisinya. Aku menarik napas halus, aku harus tenang dan tidak boleh bertindak mencurigakan, tapi terlalu tenang juga bisa terlihat aneh.
Aire adalah pria sensitif mirip Zeavan dan Chello yang mudah mencurigai seseorang, sementara dua orang lainnya hanya sider yang harusnya tidak bertahan lama sampai pertengahan buku.
"Di mana? Siapa? Ledakan ... tadi?" tanyaku dengan nada sedikit tertahan dan kalimat yang berantakan. Aku belum bisa bicara dengan baik, jelas saja, efek ledakan itu besar sekali. Aku beruntung aku masih hidup dan hanya dapat luka-luka di beberapa bagian tubuh, seperti kaki, tangan dan pelipis sebelah kiri.
Keduanya saling bertatapan, Cedric tersenyum. "Hm? Oh, sebelum melanjutkan pertanyaan. Apa kau baik-baik saja? Tubuhmu masih sakit? Kau sudah tidur selama tujuh hari dan selama tujuh hari itu juga kami merawatmu," jelas Cedric dengan anggukkan kepala ringannya. Aku terbelalak. Tujuh hari!?
Tujuh hari dan mereka tidak mencariku. Kalau dipikir tentu saja mereka tidak akan mencariku, mereka tidak akan pertaruhkan apa-apa hanya untuk seseorang yang asing. Tapi, Zeavan biasanya tidak mudah melepaskan orang yang menyita perhatiannya.
"Tubuhku ... masih sakit. Apa ... aku akan dibunuh?" tanyaku pada Cedric lagi, Aire membuatku tidak nyaman dan bukan pilihan bagus untuk ditanyai, sementara Grey terlalu jauh. Cedric menggeleng, aku mengembuskan napas lega.
"Tidak, kami tidak akan membunuhmu jika kau bisa membuktikan, kalau kau bukan salah satu dari Qulivan. Namamu?"
Sesaat aku lupa jika mereka adalah kelompok yang dibentuk Rusia untuk memberantas kriminal tingkat atas, terutama mereka yang dianggap melewati batas. Tapi bagaimana aku bisa bersama Rusia? Apa prediksiku salah tadi? Apa memang Rusia yang merencanakan peledakan itu?
Nama.
Aku harus pikirkan nama dulu, aku katakan saja nama asliku? Tidak.
"Noir. Bukan ... anggota Qulivan. Aku terlalu ... mudah mati," jelasku susah payah, sepertinya masih butuh perawatan lebih untuk pulih. Aku menatap Cedric lurus, lalu menatap sekilas Aire yang masih betah dengan diamnya. Tiba-tiba saja nama itu terlintas di kepalaku, nama merek parfum yang aku beli bulan lalu.
"Kau benar, kau terlalu mudah mati untuk jadi anggota Qulivan. Apa kau kekasihnya Zeavan?"
Hampir saja aku tertawa karena pertanyaan konyol Cedric, sayang aku terlalu lemas untuk itu. Kalau saja Zeavan dengar ini, dia pasti sudah menembak Cedric dengan sumpah serapah. Haha.
"Bukan, aku ... bukan kekasih," jawabku sembari menarik napas, "Atasannya juga bukan, aku pelanggan mereka. Sering menyewa ... bayangan untuk kujadikan tameng." Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku hanya terpikirkan hal ini. Lagi pula aku tidak sepenuhnya bohong dan mengarang, Qulivan memang menyewakan bayangan untuk mereka yang kaya raya. Bohongnya, aku tidak kaya raya dan tidak mampu membayar salah satu dari mereka. Tapi jika kukumpulkan semua tabunganku, setidaknya aku bisa sewa satu.
"Pelanggan? Lalu apa hubungannya pelanggan dengan kata-kata yang kau ucapkan pada Zeavan?" tanya Aire mengambil alih, ia sepertinya tidak tahan dengan pertanyaan Cedric yang lambat. Aku menatap pria di hadapanku lekat-lekat, rasanya tidak tahan untuk tidak memuji. Astaga! Tampan sekali!
"Kata-kata ... apa? Ugh, kepalaku sakit dan telingaku berdengung. Aku ... masih butuh istirahat, kalian ... siapa?"
Aire menautkan alisnya, wajah masih belum ia jauhkan dariku. "Kepolisian, kami dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus peledakan ini. Jadi, mau tidak mau kau harus menjawab semua pertanyaan yang kami ajukan."
Kepolisian kepalamu. Kalau kau mau bohong, buatlah cerita yang lebih masuk akal. Anggota polisi mana yang melakukan tanya jawab pada saksi di ruangan yang bahkan mirip dengan kamar pasien bekas rumah sakit jiwa ini? Tembok batu, lantai keramik yang pecah, tempat tidur rongsok dan dua kursi besi tanpa busa. Jendela pun hanya terali besi yang ditutup kain transparan putih. Wajar saja kelompok ini tidak pernah berhasil menangkap satu pun anggota Qulivan, yang mereka andalkan hanya Aire. Namun, sepertinya Cedric ini juga cukup pintar, tapi kenapa aku tidak begitu ingat dengan dua tokoh ini?
"Tubuhnya sudah membaik, tapi aku akan tetap panggil dokter untuk memastikan. Kalian bisa memindahkannya ke depan. Dan aku akan laporan dulu sebelum lanjut menanyainya," jelas Aire pada Cedric sebelum beranjak dari sana dan berjalan meninggalkan ruangan. Cedric menatapku dengan senyum anehnya, lalu menoleh ke arah Grey yang sejak tadi tidak bereaksi atau bergerak.
"Grey, bisa kau bawa Noir? Aku masih ingin di sini."
Grey mengangguk dan berjalan mendekat. "Ayo," ajaknya dengan suara berat. Aku tidak tahu jika aku menuliskan tokoh sampingan dengan suara seksi seperti ini.
Aku tidak menjawab dan hanya membiarkan Grey menggendongku dengan kedua tangannya mengingat salah satu kakiku yang terbalut perban, berjalan meninggalkan Cedric sendirian dalam ruangan.
°°°
"Ayo ... bzzt ... "
Klik-
Suara yang seperti rekaman itu dimatikan, laki-laki yang mendengarkan sejak tadi hanya tersenyum sembari memperhatikan potongan jari yang berjejer di atas meja.
"Nona pelanggan ya? Tidakkah kita harus selamatkan nona pelanggan? Qulivan selalu menjaga semua customernya," ucapnya jelas dengan senyuman lebar. Zeavan diam menunggu saat yang tepat untuk menjawab atasannya tersebut.
"Bagaimana sekarang?" tanya si lelaki, Zeavan mengangguk sebagai respon.
"Akan kusiapkan semuanya."
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro