Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page forty

"Khielnode? Khielnode, bukankah kau mencari kakak? Kau tidak ingin bertemu kakak dan bicara? Khielnode ... kalau kau begini kakak bisa kesulitan. Kakak dengar, kau berusaha sangat keras agar kakak tidak kesakitan, agar kakak baik-baik saja. Khielnode, kakakmu ini sangat menyayangimu, sangat, sangat menyayangimu, baik kau ataupun Farelyn. Kakak tidak pernah membeda-bedakan kalian, kakak selalu menjaga dan melindungi kalian sebisa kakak. Khiel? Kau tidak percaya?"

Suara Archello menggema, terdengar beriringan dengan embusan angin dan suara bising hewan malam. Archello sudah berjalan cukup jauh ke dalam hutan, mengejar sosok adik laki-lakinya yang berlari seolah sedang diburu monster. Khielnode mengundangnya makan malam hari ini, di sebuah rumah yang tidak ada satu pun keluarganya tahu. Sebuah rumah kecil yang berada di dekat hutan dan aliran sungai kecil. Khielnode tahu kakaknya suka pemandangan alam terutama ketika malam hari, gelap, teman baik Archello yang selalu menutup kebusukan.

Archello datang sesuai rencana, Archello minum wine sesuai rencana, Archello biarkan Khielnode menghabisi orang-orang di sekitarnya sesuai rencana, Archello datang sendirian sesuai rencana, Archello memakai jas putih kesukaannya sesuai rencana, Archello tidak membawa satu pun senjata juga sesuai rencana. Sedikit yang Khielnode tahu, apa-apa yang Archello lakukan bukan sesuai rencananya, sedikit pun tidak.

"Seharusnya tidak begini, seharusnya tidak begini. Kenapa? Kenapa jadi begini? Semuanya sudah sesuai rencana ... semua sudah aku lakukan sesuai rencana. Semuanya, semuanya ... lalu kenapa? Kenapa seperti ini? Iblis itu ... iblis itu pasti berkhianat," bisik Khielnode yang beradu dengan napasnya. Pundaknya naik turun, debaran jantung tidak lagi terkontrol sejak tadi, bola matanya bergerak tidak pasti, ke seluruh arah bergulat dalam gelap. Khielnode tidak lagi tahu mana ranting mana rumput yang ia injak, Khielnode tidak lagi tahu apa itu pohon atau Archello yang berada di belakangnya. Pandangannya kembali mengedar, memastikan suara yang berusaha mengajaknya bicara itu berada jauh darinya. Ia kini berdiri di belakang sebuah pohon besar, cukup besar untuk menutupi tubuhnya. Pada bagian depan terlihat sebuah aliran sungai yang tidak begitu deras, mengalir perlahan dan tidak tahu menjuru ke mana. Khielnode memperhatikan jalur air di depannya, tidak cukup dalam pikirnya.

"Bukan aku, bukan aku yang harus mati lebih dulu. Bukan aku, tetapi kakak, tetapi Archello yang harus mati lebih dulu."

Khielnode melangkah maju, perlahan hingga tidak menimbulkan suara, debaran jantung masih terasa, karena rasa cemas dan lelah bergumul jadi satu. Ia sudah berlari lebih dari dua jam, dan Archello sudah mengejarnya lebih dari dua jam juga. Khielnode tak lagi sempat menyeka keringat apa lagi air mata, yang ia pikirkan hanya selamat.

"Ketemu."

Khielnode tersentak, rasa kejut dari sebuah suara pelan tepat di sampingnya cukup membuat Khiel kehilangan kekuatan. Ia terduduk, lututnya lemas dan pandangannya tertuju mati pada sosok di hadapan. Archello tersenyum, penampilan pemuda yang mengejarnya ini tampak rapi, jas putihnya belum kotor, wajahnya tidak terlihat lusuh atau berkeringat, hanya bagian celana yang terlihat bernoda karena lumpur dan tanah. Kedua mata Khielnode terbuka lebar, jelas melihat senyum manis Archello ketika menemukannya, jelas melihat sinar mata Archello yang tertuju pada wajah, pada tubuh, pada kedua tangannya.

Khielnode tak dapat mengatur napas, tak dapat juga memalingkan wajah, yang bisa dilakukan kini hanya mencoba berusaha menyeret tubuhnya dari rasa ngeri yang Chello berikan.

"Kak ... Archello," bisiknya. Archello tersenyum, lebar dan terlihat penuh rasa sabar. Kakinya melangkah mendekat ke arah Khielnode, Chello duduk di hadapan Khielnode sebelum memiringkan kepalanya sedikit.

"Khielnode? Kenapa lari? Aku tahu kau tidak bermaksud jahat, aku tahu kau sayang padaku seperti aku sayang padamu. Aku tahu kenapa kau tidak membiarkanku datang bersama orang lain, tidak juga mengundangku makan di Laurent, aku ... tahu. Aku tahu alasannya, karena kau sayang padaku, 'kan?" Tangan Chello meraih wajah Khielnode yang seperti tercetak, mengeras tak bisa diubah. Archello mengusap wajah kotor itu, beberapa kali sebelum membiarkan jemarinya turun menelusuri leher kurus Khielnode.

"Tidak butuh dua tangan, sungguh tidak butuh dua tangan untuk mematahkannya. Hanya satu tangan, lima jari ini cukup untuk membuatmu kesulitan bernapas."

"Aagh!"

Khielnode berteriak tepat di hadapan Archello, rasa takut menyadarkannya, ia menepis tangan Chello dan berlari terseok meninggalkan pemuda itu lagi. Suara teriakannya terdengar ke seluruh penjuru hutan, melengking membuat gaduh suasana yang tenang. Archello terkikik karena apa yang ia lihat, pemuda berambut gelap itu berdiri dan membenarkan posisinya. Beberapa kancingnya terlepas tanpa Chello sadar, penampilan berantakan bukan penampilan seorang Archello. Dengan tenang, tangannya mengancing kembali jas dan merapikan beberapa lipatan pada lengan pakaian. Ia melirik ke arah aliran sungai yang ada di sebelahnya, Archello menyeringai lebar.

"Khielnode? Hati-hati dengan langkahmu, kau bisa ... tergelincir lalu terjatuh ke sungai. Bagaimana kakak bisa menyelamatkanmu jika kau terjatuh? Sungainya memang tidak terlihat dalam, tampak tenang juga, tetapi Khielnode ... kau tidak berpikir untuk terjun ke dalamnya, 'kan?" Archello bicara pelan, tanpa peduli Khielnode masih mendengarnya atau tidak. Tanpa peduli Khielnode masih berada di dekatnya atau tidak.

"Khielnode, kenapa terus begini? Oh! Hide and seek? Kau ingin main itu dengan kakak? Haha, kita sudah dewasa Khiel, kenapa kau masih ingin main permainan yang kita lakukan saat anak-anak?"

Langkah Archello gontai, seperti sedang disengaja. Archello tidak pernah terburu dalam menangani targetnya, baik dalam bertanya ataupun menghabisi. Archello tipe pemuda yang akan sangat menikmati waktu dengan targetnya, ia tidak mudah bosan memandang ragam air muka yang orang lain berikan. Terutama ketika melihat raut ketakutan, air mata yang tidak dapat lagi mengalir dan suara tertekan hingga tidak terdengar membuatnya mengingat bagaimana ia dan Reki dulu. Bagaimana dirinya meringis dan menolak diperlakukan bagai benda mati, bagaimana dirinya harus tetap tersenyum ketika keluarga bertanya dan bicara jika semua baik-baik saja, bagaimana dirinya menahan agar tidak berteriak dan dikatai gila tiap kali suara-suara makian menghampiri telinga, bagaimana ia dan kehidupan lampaunya.

"Khielnode ... kau bilang aku rusak karena wanita? Khielnode, adik laki-lakiku yang aku sayangi ... aku rusak sejak aku berkata aku baik-baik saja! Hahahaha!" Tawa Archello meletus, menggantikan lengkingan teriakan Khielnode yang teredam nyanyian angin. Archello menatap sebuah ranting yang ia injak, memungutnya dan memperhatikan ujung ranting, cukup untuk menusuk kulit pikirnya. Archello tersenyum, tawanya sudah reda digantikan suara bernyanyi dan rintik hujan kecil yang seolah menyetujui.

"I hear thunder ... i hear thunder.
Hark don't you, hark don't you?"

Archello mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit gelap dengan rembulan yang dikuasai awan dan bayangan. Archello tersenyum, membiarkan tetes air dingin menghantam wajah.

"Pitter patter raindrops ... pitter patter raindrops.
I'm wet through, so are you ... " sambung Archello dengan sedikit tarian. Kaki dan pinggulnya bergoyang mengikuti irama dan musik di kepala.

"Pitter patter raindrops ... pitter patter raindrops, i'm wet through, so are you?" Archello terkekeh tangan kirinya masih memegangi ranting yang ia pungut, hujan sudah melumuri tubuhnya penuh, sudah basah keseluruhan. Archello menatap ke arah depan, pandangannya fokus sebelum ia berlari mengejar bau yang Khielnode tinggalkan di tengah hujan.

"Khielnode! Khielnode! Khielnode! Hahahaha!"

°°°

"Kita sampai?"

Aku menoleh ke arah jendela mobil, sebuah bangunan bersusun yang tidak begitu ramai tampak di seberang mata. Zeavan tidak menjawabku dengan suara, ia hanya menganggukkan kepala tanda ucapanku benar. Aku ikut mengangguk dan menatapi gerakannya, Zeavan turun dengan awas. Setelah memastikan sekitarnya aman dan kami tidak diikuti Zeavan memintaku untuk turun.

"Apa Grey ada di dalam? Kau yakin dia menunggu kita? Dia punya hubungan yang baik denganmu? Tidak seperti G?" tanyaku memastikan, aku sungguh tidak mau menonton ada yang berkelahi di jam begini. Zeavan menatapku sinis, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaan dan tidak ingin mendengar jawaban dari Zeavan. Kami melangkah masuk ke dalam bangunan tersebut, tidak banyak orang yang kami temui di pintu masuk. Yah, sudah seharusnya, sekarang hampir pukul dua pagi, kebanyakan dari mereka sedang istirahat atau berada di kamar pacar masing-masing. Aku mengikuti langkah Zeavan, rasa kantuk masih menyelimuti meski sudah berusaha untuk tetap berjaga. Kami naik lift dan menunggu beberapa saat sampai pintunya terbuka, mataku menangkap sebuah lorong dengan banyak sekali kamar bernomor pada bagian depannya.

"Hm." Aku tidak bersuara, hanya melangkah mengikuti Zeavan membiarkan sepatu dan lantai mengadakan konser musik tersendiri. Zeavan menghentikan langkahnya di depan satu pintu bernomor delapan kosong satu, pemuda bersurai hitam itu menarik napas sebelum mengetuk pintu dua kali.

Tok-
Tok-

Tidak terdengar jawaban dari arah dalam, Zeavan mulai mengerutkan kening karena merasa heran.

"Kau yakin dia ada di dalam?" tanyaku memastikan, aku ikut mengerutkan kening dan memandang Zeavan menunggu jawaban. Zeavan tidak menjawab, tangannya kembali mengetuk pintu sebelum telinga kami menangkap suara derap langkah yang menjauh.

"Aku akan kejar suara itu, kau masuk saja ke dalam, dobrak kalau tidak dibuka."

Zeavan menatapku sekilas sebelum bergegas mengejar sumber suara dan mulai menghilang dari pandangan, jantungku mulai berdegup kencang. Aku menarik napas dan berusaha membuka pintu tanpa mengetuk, tidak dikunci. Aku diam sebelum melangkah masuk, selintas ada bau tidak enak yang menghampiri sesaat setelah kakiku mulai masuk, seperti bau amis darah yang mengering. Aku memperhatikan sekitar dengan saksama. Kedua mataku membulat seolah akan keluar menangkap apa yang aku lihat, sesosok tubuh laki-laki dengan puluhan luka tusuk di bagian dada. Tergeletak di sebelah meja yang berimpitan dengan sofa besar yang juga terkena cipratan darah.
Kututup mulutku erat-erat agar tidak berteriak, aku berusaha tenang dan menunggu Zeavan kembali. Dalam diam aku berdoa, agar apa yang sudah merenggut nyawa pemuda ini tidak sama dengan yang Zeavan kejar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro