Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Yang Lampau

"Nggak. Kamu jelek banget."

Aku tertawa. Di hadapanku ada gadis dengan kacamata dan kepang dua. Meliriknya saja sudah bikin mual, apalagi harus menjadi pasangan masa mudanya. Namun, harus ada yang mengapresiasi keberaniannya. Siapa saja, asal jangan aku.

Dia berbalik, samar-samar terdengar isakan. Labil. Anak cewek. Kebiasaan buruk menangis saat ada hal sepele. Kelas menjadi kosong melompong saat dia keluar. Namun, itu cuma sebentar sebab sobatku muncul beberapa saat kemudian.

"Nih, capek aku ngadepin mereka semua."

Sepucuk surat beramplopkan warna biru muda dibantingnya ke meja. Sekilas pandang sudah dapat ditebak kalau itu surat cinta. Apalagi kalau menengok tulisan "Untuk Zakir" lengkap dengan tanda hati di belakangnya. Aku muak dengan semua itu.

"Buang aja, kayak biasanya."

Hanan, sobatku, menoleh padaku. Kening berlipat macam baju jualan. Dia menegakan tulang belakang, menghadapku sepenuhnya.

"Tapi yang ini badannya bagus, eh! Lumayan."

Alis naik turun ditambah seringai usil. Yah, sudah bisa ditebak pikirannya tanpa bertapa untuk bisa membaca pikiran. Aku menghela napas pelan.

"Okelah, aku telepon Rini dulu."

"Mau ngapain?"

Tak kuhiraukan Hanan yang mencerocos di samping. Aku mengetik sebuah nama di kolom pencarian kontak telepon, kemudian mengetuk panggil, dan nada sambung yang tak nyambung terdengar.

"Halo, Rin. Kita putus, ya, aku 'dah bosen soalnya."

Kuketuk tanda merah, menyudahkan panggilan, tak mau memedulikan apa respons orang di seberang sana. Tak mau.

"Yuk, kek biasanya."

"Bolos?" tanya Hanan.

Aku mengangguk. Ah, ada satu ide laknat di kepalaku.

"Bawa yang baru ini, yang mau jadi cewekku ini, ikutan juga. Kita seneng-seneng bentar."

Kami beranjak dari kelas kosong itu. Namun, sesuatu membuat langkahku terhenti.

"Bu Andin! Dipanggil kepsek tadi!"

Wanita paruh baya itu menoleh padaku dan sobatku. Guru fisika itu perlu dijahili sedikit, suka bikin pusing aku, soalnya. Dia menatap dengan tatapan sangsi, lalu mengangguk lamat-lamat saat aku memasang tampang serius.

Jauh dari situ, kami tertawa.

"Kualat nanti." Hanan menelan tawanya.

***

"Sayang, kamu 'kan berduit nih ... pelembab bibirku abis."

Aku paham. Rara, pacar baruku, pasti minta dibelikan sesuatu. Aku mengangguk dan memberinya sejumlah uang, yang tentu saja uang jajanku. Tiba-tiba di tengah kesenanganku, Ibu menelepon.

"Apa, Bu? Gangguin orang lagi main aja." Aku sambar saja.

"Pulang, Nak."

Ada nada aneh yang tak terlalu ditangkap telingaku. Aku mengiyakan biar cepat. Pamitan kepada teman-teman dengan ogah-ogahan, aku melesat dengan motor merahku.

Sampai di rumah, aku sempat berpapasan dengan Ayah. Matanya menatapku dengan sorot marah. Namun, tak kuhiraukan dia dan beranjak ke kamar Ibu. Kulihat Ibu sedang menangis sambil menyusun bajunya. Jangan bilang kalau ....

Suara mobil Ayah terdengar menyala, kemudian mengecil. Dia minggat. Dia minggat waktu ibuku menangis. Jahanam.

"Jadi si bagong kawin lagi?!"

Setelah menjelaskan semuanya di antara isak, Ibu mengangguk. Jahanam. Manusia tua tidak tahu diuntung.

"Sekarang kita harus pergi, Nak."

"Si bagong ngusir kita?"

"Dia ayahmu, Zak."

Aku tak peduli. Bahkan kalau disuruh memilih, aku tak ingin dikeluarkan dari burung manusia yang tak ada tanggung jawabnya begitu. Dulu, aku pernah dititipkan di panti asuhan sebentar, cuma karena aku bertanya satu hal dan dianggap pengganggu.

"Yuk, kita keluar dari rumah kampret ini, Bu. Enggak sudi aku lama-lama."

Kubantu Ibu beberes. Kami hanya membawa satu koper baju. Barang lainnya tak tersentuh karena itu punya si bagong. Termasuk rumahnya. Koper itu asli dari tabungan ibuku, plus tabunganku hasil memalak adik kelas.

"Kita cuma punya duit makan seminggu, sama buat bayar kontrakan sebulan. Ibu udah hitung semuanya, Zak."

"Bu, aku enggak sekolah aja, ya. Aku udahan, biar ringanin keuangan kita."

"Nak, pendidikan itu penting, apalagi kamu sudah kelas tiga SMA, nanggung."

"Enggak penting buatku. Aku capek sekolah mulu. Yang penting kita masih bisa makan. Tabungan Ibu masih ada 'kan?"

"Selain buat yang ibu sebutin tadi, sudah abis. Tiba-tiba duit ibu hilang, Zak." Ibuku tertawa miris.

Mau tak mau, aku ikutan bersalah juga. Saat ini aku hendak kembali dan mengambil motor pemberian si bagong yang kutinggalkan, lalu menjualnya dan mengganti duit Ibu yang sudah kucolong.

***

Sudah dua bulan lebih kami mengontrak. Namun, badanku tak bisa beradaptasi dengan lingkungan kumuh. Tak bisa. Kasur jelek nan butut di pojok kamar masih sering membuat punggung gatal.

Ibu bekerja sebagai tukang cuci piring dari rumah ke rumah. Cuma itu yang dia bisa, soalnya. Memasak tak enak, mencuci baju terbiasa dengan mesin. Sejak kecil, Ibu memang selalu hidup enak, aku pun demikian. Tapi tiba-tiba saja nasib membanting kami dari yang kaya jadi yang miskin.

"Hidup memang seperti nasi goreng yang dibuat oleh orang yang nggak niat masak, Nak. Kadang asin, kadang hambar, kadang pula dia lupa matiin kompor sampai nasinya gosong dan pahit.

Tapi percaya deh, orang yang nggak neko-neko, bakal abisin makanan sekalipun itu enggak karuan rasanya. Toh, makan apa pun ujung-ujungnya kenyang juga, nanti pas buang air ikut kebuang juga."

Ibuku melantur, aku tak paham. Tak mau paham. Yang jelas, aku harus cari cara biar kami bisa bertahan hidup. Mencuri pun tak apa.

***

"Kenalin, ini Pak Asnan."

"Panggil aja Abah," ujar seorang laki-laki yang katanya kenalan ibuku.

"Ogah, kau bukan ayahku."

"Zak ... yang sopan sama orang tua."

Dilihat dari perawakannya, awalnya kukira dia tentara. Namun, setelah kurang kerjaan menyelidiki dan menguping gosip orang, aku tahu kalau kerjaannya hanya kuli bangunan. Ibu mengenalkan orang ini agar aku bisa bantu-bantu dia.

Aku sih ogah. Kemarin aku sempat mencopet ibu-ibu bibir dower yang lumayan berduit. Jadi, masih ada uang simpanan. Sekalian aku tak mau jadi kuli, enggak ada bagus-bagusnya.

Dan ... seberapa kuat aku menolak, seberapa ganas aku berontak, takdir tetaplah takdir. Aku tak bisa lari darinya.

Aku kena sial, yang kucopet selanjutnya ternyata istri preman yang kuasanya besar. Setelah kepergok, aku dihajar, diikat, dan hampir dilempar ke sungai kalau saja tak ada bapak-bapak yang tolong aku. Badanku bau pesing karena dikencingi anak buah preman. Namun, penolongku tak menghiraukan itu.

"Zakir?"

Eh? Pak Tua? Kuli bangunan itu membopongku dan membersihkan bajuku yang kotor dan mengenaskan. Dia paksa aku bercerita, dan aku manut saja. Helaan napas berat membuatku berdebar.

"Kumohon jangan bilang-bilang sama Ibuku."

"Okeh."

Eh, kenapa mudah sekali membujuk orang tua ini? Aku bahkan sudah siap kalau harus sujud dan jilat kakinya.

"Tapi kau ikut aku nguli."

Dan sehari kemudian setelah bekerja rodi mengangkat-angkat barang bangunan, tulang tanganku patah, pinggangku retak. Suatu kecelakaan adalah akibat kecerobohan. Bukannya membantu, aku malah semakin menyusahkan Ibu. Kami diusir dari kosan sebab biaya buat bayar itu tempat dialihfungsikan Ibu buat lunasi pengobatanku.

Akhirnya ... kami menggembel.

***

Ini bagian paling panjang. Aslinya ini masih sungguh amat sangat panjang banget sekali, tapi kupotong. Terpaksa. :')

Yah, aslinya update-an GGA itu tiga hari dua kali. Dua hari publish, seharinya libur dulu. Jadi, ya, gitu deh. Sekalian juga, gimana pandangan kalian tentang Zakir setelah membaca sedikit masa lalunya?

Oh, iya, jangan lupa jaga kesehatanmu dan tekan bintang di pojok kiri bawah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro