Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Sop Hewan

"Apa?"

Aku melirik laki-laki pucat yang jangkung di belakang orang tua yang sedang berhadapan denganku. Laki-laki pengidap penyakit kutukan, bilangnya pada anaknya sendiri. Mataku kini beralih pada wajah di depanku yang keriput, badan kurus, juga rambut semrawut yang sungguh, aku berani bersumpah itu mirip genderuwo. Walau aku tak pernah nengok genderuwo asli.

"Ngapain bawa-bawa itu anak pembawa sial ke sini lagi?"

Laki-laki pucat semakin merapat pada bapaknya. Sudah besar, mungkin seumuranku, atau paling tidak di bawahku sedikit. Yang buat dia aneh adalah ... entahlah, bodat! Aku tak tahu nama penyakitnya apaan, yang jelas kulitnya pucat, matanya liar, panik waktu di tempat umum, manja, agak susah berjalan dengan benar, serta tak bisa membedakan uang seribuan dan sepuluh ribuan.

Mata laki-laki itu melirik pada Anak Asem, wajahnya bagai wanita yang sedang melihat ular kobra berdiri di dalam mesin cuci. Anak Asem juga merapat padaku. Tak heran si Pucat takut, takut dikasih air bersih lagi.

"Wahai Pak Gerandong, Anda lebih tua dari almarhum Abah, 'kan?"

Matanya menusuk tajam ke arah mataku. Aku sempat sangka dia bakalan tendang aku seperti dalam film-film eksyen yang sering kukoleksi semasa SMA dulu. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah, tatapan yang melunak. Dia mengangguk pelan.

"Terkonfirmasi." Setan Asma menjentik tangannya. Dia pun melanjutkan, "Apa kubilang?"

"Ter-kon-fir-ma-si."

"Bukan itu, kunyit! Lebih tua dari bapak-bapak yang sering sama kamu orang."

Aku mengangguk.

"Ada apa? Minta bantuan. Meh, kebaca udahan. Aku nggak mau nolong kalian."

Baik aku, Setan Asma, serta Anak Asem serempak melorotkan bahu. Sudah kuduga. Pelan-pelan kutarik napas panjang, mengembuskannya lewat mulut, dan secepat kilat menangkap tangan anaknya. Pak tua jelmaan singa kaget bukan kepalang, dia coba sleding aku, tapi tak kena dan berakhir kakinya menabrak batako.

Aku memiting tangan si Pucat. Mataku memberi isyarat pada Setan Asma agar mengamankan Anak Asem. Pak Tua gerandong angkat tangan, bilang kalau dia bakalan mendengarkan ocehanku. Kukendurkan pegangan dari si Pucat, tapi yang terjadi selanjutnya adalah leherku yang ditempeleng ibu-ibu. Istrinya.

"Diapain anakku tadi?" sembur si emak.

"Kit, Mak."

Si Pucat merengek, berlari mendatangi sang emak yang ada di belakangku. Aku celingukan sambil berbalik. Si emak mengambil ancang-ancang, hendak menamparku. Enteng. Aku menunduk, berharap lolos dari tamparan itu. Namun, yang selanjutnya terjadi adalah, sebuah panci menghantam tepat di ubun-ubunku.

Aku pingsan.

***

Yang pertama menyapa mataku adalah pantat ayam. Aku mengenyahkan hewan tak senonoh itu. Kuraba sekeliling yang agak gelap. Sudah malam kah?

"Nah, Zakir." Aku melirik ke sana ke mari, mencari asal suara iseng itu.

Seorang bapak-bapak bersurai singa keluar dari sebuah ruangan tak berpintu. Dia menyekapku?

"Santai. Temenmu sama anak sialan itu udah kuusir dari sini," terangnya.

"Eh, Pak. Jangan semena-mena. Emang kau siapa?"

"Aku yang gantiin si Asnan jadi kepala di sini."

Aku diam. Menimang sejenak, bagaimana caranya menyelesaikan semua ini dengan cepat. Sambil berpikir, kuamati rumah tetua gembel satu ini dengan ... yah, sangat membosankan. Bayangkan saja rumah yang habis dilanda angin topan. Mirip-mirip begitulah.

"Aku ada pertanyaan."

"Boleh, tanya ajalah," ujar Pak Tua sambil duduk dan menyeruput air keruh.

"Udah lama ngegembel 'kan?"

"Eh, apa maksud sama pertanyaanmu. Nggak sopan ituh. Ya jelaslah. Aku juga salah satu dari yang diriin kompleks gembel ini."

Bagus, menyerocos saja sementara minumanmu kukasih abu rokok.

"Pernah ke kebun binatang?" tanyaku sambil menggosok kedua telapak tangan.

"Pernah. Waktu ayahku ajak aku yang masih kecil, kami mulung di sana. Tapi kami diusir karena mengganggu ketertiban, padahal cuma ngambil sampah. Toh, juga sekalian bersih-bersih tempat itu, nggak usah bayar petugas kebersihan lagi padahal."

Si Pak Tua terus-terusan mengoceh. Aku menangkap anak cicak yang lewat bokongku. Kupuntir cicak itu sampai mampus.

"Kira-kira, kebun binatang nangkar hewan liar yang sering keliaran di kota juga?" tanyaku.

Si bapak menengadah. Aku mengambil kesempatan tersebut, menaruh mayat cicak ke dalam minuman nista yang sudah tak layak konsumsi di gelasnya.

"Iya. Tapi biasanya hewan-hewan yang sekiranya bahaya dan gede. Kayak buaya, singa, bla bla bla. Emang kenapa?"

"Ada anjing? Maksudku, anjing liar? Bukannya anjing liar di kota ini juga ditangkap mobil penangkar?"

"Ya nggak ada, Zak. Hewan begituan mobilnya beda lagi."

Beda lagi?

"Beda gimana?" tanyaku.

"Ya, beda. Yang lebih sering keliling itu mobil penangkar hewan peliharaan yang kabur. Paling dijadiin sop sama mereka."

Hampir saja aku tersedak ludahku sendiri. Jangan-jangan anjing si Anak Asem sudah masuk ke perut orang-orang yang beli di sana.

"Serius?"

Si Pak Tua mengangguk.

"Nah, seminggu yang lalu palingan, kalau nggak salah ingat, aku lewat situ tuh. Mobil penangkar hewan liar itu parkir di tempat sop hewan," terangnya.

Maksa amat.

"Gimana tempatnya? Kali ada sampah bagus di sana."

Ketahuilah, membodohi orang bodoh itu menyenangkan, Saudara-saudara.

"Dari sini jauh, deket gerbang pas mau keluar kota. Ada toko gambar kucing dan anjing, tulisannya 'pet shop' aku nggak tau arti pet itu apaan, hewan kali."

Sop hewan. Haruskah aku percaya? Sialan, aku menyesal sering membolos pelajaran bahasa inggris waktu masih sekolah dulu.

"Yaudah, Pak. Aku mau ke luar." Baru saja berdiri, aku ditahan.

"Nggak boleh. Nanti kamu kena sial karena dekat-dekat sama anak itu. Demi kebaikanmu juga, Zakir."

Aku melongo. Kampret. Bagaimana ini? Aha! Kugosok-gosok leher dengan telapak tangan sambil melirik gelas berisi air nista milik si bapak. Sadar, dia pura-pura menoleh ke lain, dan mengambil minumnya, ingin membuatku iri. Baru seteguk, gelasnya terlempar. Pasti kaget karena bangkai cicak.

Aku keluar pelan-pelan, tak menghiraukan batuk bapak-bapak itu yang semakin menjadi karena tak sengaja menghirup abu rokok.

***

"Dek. Aku tahu. Kita nggak perlu ke kebun binatang di kota seberang."

Anak Asem ternyata ada di gerbang kompleks gembel, sedang duduk bersama Setan Asma. Kuhampiri saja mereka karena ingin urusan ini cepat selesai dan aku bisa damai. Mana langit sudah mulai gelap.

"Eh, kenapa?" tanya Setan Asma.

"Dek, kau tau artinya shop itu apaan?" Tak kuhiraukan Setan Asma yang menyumpahiku.

"Toko, Om."

"Warik.* Aku kena tipu si tua bangka itu."
*monyet

"Emang kenapa, Om?" tanya si Anak Asem.

"Aku punya dugaan, anjingmu ada di kota ini, ditangkap mobil penangkar hewan, terus disetor ke toko itu!"

"Toko apaan sih, Zak?" Setan Asma menggaruk kepalanya.

"Toko hewan! Si tua bangka tadi kasih tau aku kalau minggu kemarin dia lihat mobil penangkar hewan yang mampir di sono. Kali itu mobil yang sama yang dimaksud sama si janda." Aku menjelaskan.

"Enggak paham, Zak. Mending aku pulang. Besok kalau perlu bantuan, kita ketemuan di tengah kota, di bundaran monyet."

Setan Asma berlalu.

Masa bodo dengan pengamen itu, yang penting, tujuan kami selanjutnya sudah jelas. Mengapa tak terpikirkan olehku. Andaikan hidupku adalah kisah fiksi, akan kukutuk jahanam yang merangkainya dan menjadikanku tokoh bodoh.

***

Keanya, besok agak ngaret deh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro