Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Genderuwo Takut Sisir

Mungkin, langit sudah memasuki fase datang bulan. Selayaknya kaum hawa, ada fase di mana seseorang mengalami perubahan suasana hati secara cepat. Mulai marah-marah tak jelas macam kelinci yang ekornya kejepit, sampai ketawa-ketiwi macam pengidap penyakit otak-tertawa-rusak.

Lihat saja langit di atas. Tadi panas bagai bara api yang diolesi balsam, sekarang menjadi sejuk seperti senyum Asih.

Ngomong-ngomong soal janda itu, dia kasih tahu aku satu hal ampas yang bikin hati mengganjal.

***

"Mobil penangkar hewan liar?"

Asih mengangguk. Penangkaran hewan liar? Bukannya lebih bagusan kebun binatang? Memang di kebun binatang ada anjing?

"Dek, sini!"

Aku memanggil Anak Asem yang sedang bermain masak-masakan dengan Anak Asih. Si bocil menoleh kepadaku, berbisikan sejenak pada kawan barunya, kemudian ngibrit padaku. Anak Asih menyusul membawa mainannya.

"Pernah ke kebun binatang?" Anak Asem mengangguk.

"Di kebun binatang ada hewan apa aja?"

"Banyak lah, Om. Ada buaya, gajah, harimau, burung merak, ularㅡ"

"Stop! Ada anjing nggak?"

Si Anak Asem menggeleng. Aku melirik pada Asih, sementara janda itu malah mengangkat alis. Buntu eh?

"Diinget-inget, kali aja kau lupa nengok kandang anjing di kebun binatang." Aku mendesak sekali lagi.

"Enggak lah, Om! Ngapain orang di kebun binatang nyimpan anjing?"

Betul juga. Ngapain pula orang di kebun binatang nyimpan anjing? Aku menggaruk kepalaku.

"Mobil penangkaran hewan ...."

Asih menyodorkan kopi yang sisa setengah gelas. Aku mengangguk dan menenggaknya. Pahitnya semakin terasa karena minuman itu sudah dingin.

"Nambah lagi 'kan? Utangmu."

Spontan kusembur cairan pencegah tidur itu. Tak sengaja, kopi muncrat ke wajah Anak Asih. Anak Asih berteriak, melempar mainan berisi tanah. Tanah menghambur ke mana-mana, sedikit menelusup masuk ke mata si Anak Asem. Anak Asem kocar-kacir dan menjerit , "Air, air" sambil menggosok matanya. Dia lari ke dalam warung, memorak-porandakan jualan Asih.

Dan jadilah kami diusir dengan kondisi basah kuyup. Anak Asem mendapatkan apa yang dia mau.

***

"Kebun binatang? Kita ke tempat hewan-hewan?"

Aku bergumam sendiri. Meh, padahal sudah menyumpal mulut dengan satu roti, sedikit bakwan, dan segelas kopi. Apakah hobi melanturku bergeser dari pengisi kekosongan perut menjadi pengisi kekosongan hidup? Hmm ... macam yang iya-iya aja.

"Om, kayaknya mau hujan benaran."

Aku mendongak. Betul. Kubah biru yang tadinya cerah kini berselaput warna abu-abu. Ampas. Tujuan selanjutnya belum jelas, sekarang harus mencari persiapan buat meneduh. Kulangkahkan kaki ke arah jalan kecil yang kira-kira lebarnya setara dengan dua orang jangkung yang rebahan.

"Kita mandi hujan, Om?"

Aku menggeleng. Hujan pertama di bulan kemarau memang menggoda, tapi coba saja kalau berani mandi dengan air dari langit di saat itu. Kalau tak demam, kau keturunan dewa air.

"Kita 'dah basah, Om. Sekalian mandi hujan." Anak Asem menyengir.

Aku tetap menggeleng. Kufokuskan pandang mencari warung yang tutup agar bisa leluasa berteduh tanpa khawatir diusir. Kami menemukan satu di ujung simpang.

Ada kursi panjang yang sisinya lurus menatap jalan, yang kalau kau duduk di pinggirnya waktu hujan, kau akan kebasahan. Aku menarik tangan Anak Asem yang sejak tadi jalannya lalai. Saat kakiku dan kaki si Anak Asem menyentuh teras warung, langit pun beser.

Air macam jarum yang memiliki kekuatan membelah diri hingga ber ....

Siapa itu yang berani betul mengacaukan lanturanku? Ada sesosok makhluk yang tak teridentifikasi karena tirai air yang membiaskan wajahnya. Kepalanya berteduh di bawah benda kecil, hanya kepala yang tak basah. Badannya tentu sudah kuyup. Larinya memelan, kemudian dia menyibak tirai air, barulah sosok makhluk astral kelihatan.

"Zakir lagi, Zakir lagi. Dosa apa aku ketemu kamu orang terus-terusan?"

Setan Asma. Dia meniriskan gitarnya yang basah. Matanya melirik ke arah Anak Asem yang menggosok bahu. Dia ikut duduk. Aku di bagian paling tepi, Anak Asem di tengah, Setan Asma di dekat dinding.

"Jadi, gimana petulangan kamu-kamu?" tanyanya pada Anak Asem.

"Om habis dari mana? Mencari nafkah?"

Setan Asma tersenyum menanggapi Anak Asem yang bertanya balik.

"Oh, iya, dulu waktu hujan-hujan gini, aku seneng dengar lagu di audio aku." Anak Asem berceloteh.

"Om 'kan bawa gitar, kita nyanyi, yuk!"

"Jangan!" sergahku. Aku tak mau mendengar suara Setan Asma yang sumbang berkolaborasi dengan sengau dan juga tenggorokan serak. Dia pernah coba membaguskan suaranya sendiri, tapi bukannya bagus malah makin bosok. Dari mirip orang bengek jadi macam ular menelan linggis.

"Napa, sih, Zak?" Setan Asma menoleh pada Anak Asem. "Yuk, mau lagu apa?"

"Jangan kubilang!"

"Sirik aja kamu orang!"

"Om Gembel, Om Bengek, jangan kelahi. Nanti ada guntur."

Sesaat setelah Anak Asem menyelesaikan perkataannya, gemuruh merayap dari langit. Mula-mula kecil terdengar, hingga tiba-tiba kilat menyambar diselingi serangan tiba-tiba yang menggelegar.

Hening bertandang. Hanya suara langit yang asyik buang air mengisi sekitar. Hingga aku teringat akan satu hal.

"Oy, kau lebih sering keliling kota 'kan?"

Setan Asma. Pengamen yang katanya sudah terjun ke jalan bahkan sebelum bisa berdiri tegak. Dia paling pengalaman bernyanyi tak tahu malu di mana pun di sudut kota ini, sering bepergian karena memang kerjaannya demikian. Sering bepergian ke mana pun, ke setiap sudut kota ini.

"Emang kenapa?"

Tak sepertiku yang hanya beroperasi di tempat yang banyak sampah berserak nan sepi, tentunya Setan Asma lebih sering ke kawasan umum.

"Pernah ke kebun binatang?"

Hening lagi.

"Enggak, mereka nggak ngebolehin ngamen. Lagian, kebun binatang itu jauh! Di kota seberang!"

Jembatan tempatku ingin bunuh diri menghubungkan kotaku dan kota kecil yang paling dekat.

"Buset, mana cukup waktu buat nyisiri satu kota!" Aku tak yakin.

"Ya jelas lah, Zak! Selain buang waktu, buang tenaga juga."

Aku melirik Anak Asem yang sejak tadi menunduk. Pasti ini anak memikirkan sang Ibu yang sedang mendekam di ranjang rumah sakit.

"Kau hafal jalanan kota seberang?"

Setan Asma lagi-lagi menggeleng. Aku menjejal napas, lalu memuntahkannya.

"Bentar. Seingatku ... ada orang tua yang lebih sering keliling gak jelas sih. Lebih tua daripada bapak-bapak yang sering sama kamu orang."

Abah? Siapa yang lebih tua dari Abah?

"Pokoknya kalau nggak salah ... dia sering ke arah tempatmu pulang."

Hah? Kulayangkan tatapan bertanya pada Setan Asma. Dia pun mengangguk sekali.

"Orangnya gimana?"

"Kalau aku disuruh mendeskripsikan, dia orang mirip genderuwo yang takut sisiran."

***

Ekspresi author saat menulis yang menurutnya lucu, tapi kata pembaca nggak lucu:

Up selanjutnya lusa, insyaallah.

Selamat Idul Adha, kurbanin aja mantan kalian, gapapa kok. :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro