10. Mampir di Warung Janda
Halo? Ada yang kangen Zakir? Kalau kangen aku? Eh.
Happy reading
***
"Nah! Dapat satu, nih. Ayo, cepet ikut ke kantor!"
Seseorang berbaju hijau mencengkeram lenganku. Aku menoleh ke belakangnya, ada tiga sampai lima orang yang berotot lainnya. Buset.
"Pak, saya bukan pengemis!" jeritku.
"Terus?"
"Youtuber."
Anak Asem muncul dari persembunyiannya. Dia memegang ponsel hasil pungut dan berakting seolah mengutak-atik barang itu. Petugas keamanan melirik ke arahku.
"Saya bukan pengemis. Kami lagi ambil gambar!" sungutku.
Petugas keamanan menoleh ke belakang, mendiskusikan sesuatu lewat gerakan bibir. Atau telepati, mungkin.
"Bener?" Petugas keamanan mengendurkan cengkeramannya.
"Tanya aja sama adekku." Aku menunjuk Anak Asem yang masih pura-pura mengotak-atik ponsel.
"Ayo, Bang. Lagi!"
"Oke, oke. Saya percaya. Ya sudah, kalian lanjutkan saja, kami mau menelusuri daerah ini. Jangan mengganggu ketertiban, ya." Akhirnya petugas itu melepasku.
Iya, kampret. Udah sana. Hus!
Para petugas keamanan segera minggat beserta kawanannya. Aku menghirup angin sebanyak mungkin, mengisi paru-paru agar tetap ada isinya. Lututku lemas sekali sekarang. Aku sempat kira bakal ditangkap dan berakhir jadi babu mereka.
Kulirik Anak Asem yang masih mengotak-atik ponsel itu. Tiba-tiba si bocah menoleh, mengajakku ke gang sempit nan gelap yang diapit dua toko yang sedang tutup. Kami pun menyeberang dengan santai.
"Dek, dari tadi ngapain sih?"
"Hapenya enggak dikunci, Om!"
Aku melirik barang pipih itu. Eh, makin canggih aja teknologi zaman sekarang. Aku kira diriku ini sudah cukup pintar dan modern daripada gembel-gembel lain di kompleks, ternyata aku ketinggalan jauh juga. Anak Asem membongkar ponsel tersebut, mengeluarkan kartu sim, lalu membuangnya.
"Dek, yang kau lakuin itu masuknya tindak krinimal loh!"
"Kriminal, Om," bacotnya.
"Ayo, Om. Kita nyari anjing aku lagi."
Setelah berkata demikian, Anak Asem berjalan lebih dulu. Aku menghirup bau kubangan nista. Harusnya sebelum menghela napas, aku liat tempat dulu. Kunyit. Aku bersin.
***
"Bu ... pernah liat .... HACHIM!"
"Ini, Mas."
Eh? Roti? Penjual biadab! Aku menghampiri Anak Asem yang duduk di pinggir jalan dengan dua roti di tangan.
"Penjual biadab, dia, Dek." Pelan-pelan kubuka bungkusnya.
"Aku datang baik-baik pengin nanyain perihal anjingmu itu." Aku melebarkan celah agar roti bisa keluar.
"Eh, dia malah kasih aku roti. Dikira aku pengemis? Sebenarnya, aku malas minta-minta, makanya aku lebih milih mulung daripadaㅡhm, enakㅡngemis. Ngemis itu koyok yong nggok mau usoho, Dek. Eh, stobeyi, aku huka." Aku menelan roti itu.
"Masih bagusan mulung 'kan sebab ada usaha? Nih, lihat. Dapat makanan enggak susah. Tinggal tadah. Pernah waktu itu ada pengemis yang badannya kekar, jalan tegak, lebih mirip kuli yang makmur lah. Eh, pas dia nemu target, jalannya berubah jadi bungkuk-bungkuk. Suara dibuat lemas. Apaan begitu? Cuma orang pemalas yang kerjanya minta-minta." Aku menggigit roti lagi.
Anak Asem mengangguk pelan sambil tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan. Ada simpang tiga, aku memilih belok daripada lurus. Kuhampiri bapak-bapak penjual gorengan.
"Pak, lihat .... HACHIM!"
"Ini, Mas."
Eh? Bakwan?
"Pak, ini aku enggak mau minta-minta! Ngapain sih dikasih segala?" Aku mencicip bakwan tadi, lumayan.
"Oh, maaf, Mas. Hehe."
"Haha hehe! Nih, Pak. Pernah nengok anjing inih?" Aku menyodorkan foto hewan menggonggong itu pada penjual gorengan tersebut. Bapak-bapak, kepala botak dengan rambut ubanan di sisi kiri, kanan, dan belakangnya. Nyukur di mana dia, ya?
"Enggak pernah lihat, Mas."
Aku mendengkus. Kuperhatikan sekeliling yang rasa-rasanya seperti sedang simulasi pemanggang raksasa. Satu-dua kendaraan yang ditumpangi orang tahan api melaju membelah jalan. Aku menilik Anak Asem yang mengusap peluh.
"Yaudah, makasih, Pak."
Jalanan kembali kami susuri. Anak Asem sibuk dengan ponsel, aku sibuk dengan hidung yang kegatalan. Kami terus bertanya pada siapa saja yang mataku dapati. Kakek-kakek ingusan, bocah badung yang kejar-kejaran, tante-tante yang memandikan burung. Meh, burung sungguhan, yang bisa terbang, mikirin apa kau?
Sampai kakiku melangkah ke tempat yang rasa-rasanya tak asing. Hmm ... kapan aku pernah ke tempat ini?
"Zakir!"
Hmm ... sepertinya aku mengenal suara itu.
"Utangmu, Gembel!"
Hmm ... apakah ini modus pemerasan terbaru?
"Utang!"
Jepitan laknat menyerang telinga kiriku. Bahkan radar bahayaku pun tak mampu mendeteksi serangan itu. Aku memekik, tertarik, kemudian terduduk sambil menggosok kuping yang rasanya mau lepas. Ibu-ibu, masih agak bagus sebab cuma punya anak satu. Lakinya entah ke mana, kurasa minggat karena istrinya sangar bagai kerasukan jin harimau.
***
Aku menelisik lendir hijau yang tergeletak iseng di lantai. Bukan! Bukan hingus itu yang kuamati sejak lima belas menit yang lalu. Tapi aku sedang mengamati dua ekor nyamuk yang sudah menjadi mayat, yang mati mengenaskan di hingusku.
Dua hewan kampret inilah yang bersemayam dan buat hidungku gatal dari tadi.
"Jadi, ini yang ke berapa, ya?"
Asih, seorang janda. Ya, betul! Dia janda tempatku sering menumpuk hutang. Memang tak baik, tapi itulah faktanya. Aku pengin meninggal melepaskan semua tanggung jawab.
"Entarlah, Sih. Aku seriusan belum ada duit inih."
Asih berdecak. Matanya menatap lurus pada Anak Asem yang berdiri mematung. Sadar akan pandangan itu, Anak Asem buru-buru memasang senyum terbaiknya.
"Anakmu itu?" tanya Asih.
"Matamu kelilipan kucing kah? Enggak ada mirip-miripnya begitu."
"Kenalin, Tante. Aku Faili." Anak Asem melebarkan senyum. Sudah mirip karakter hantu bibir sobek.
"Umurmuㅡ"
"Mak! Gulanya, teh, abis."
Sebuah suara menginterupsi. Anak Asih, jangan tanya aku siapa namanya, aku tak peduli. Anak Asih langsung berkenalan dengan Anak Asem, dan sedetik berikutnya mereka pun akrab.
Asih bertanya gerangan apa yang membawaku ke sini, kujawab saja, "Hewan." Asih bingung. Bisa kulihat tanda tanya besar bergumul di kepalanya, membentuk jarum, dan menusuk kepala janda itu sampai pecah, dan aku pun dibebaskan dari hutang.
Entah kenapa agak ngeri.
Setelah menjelaskan semuanya pada Asih dan menunjukkan foto anjingnya si Anak Asem, aku menyeruput kopi yang dibuatnya tadi.
"Utangmu 'dah berjuta-juta."
Aku tersedak bubuk kopi.
"Ya, nggak bisa begitu dong, Warik! Perasaan aku kalo mampir cuma mesan kopi."
"Tapi teh sering, dikit-dikit 'kan lama-lama jadi bukit, Munding!" sergah Asih.
"Jadi ...," lanjutnya, "aku enggak pernah lihat hewan yang begini lewat sini."
Aku menelan napas dan menunduk kecewa.
"Tapi ...."
Aku kembali mendongak, menatap lubang hidung si janda.
"Ada mobil penangkar hewan liar yang akhir-akhir ini sering lewat sini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro