Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tawaran

"Mengubah konsep peluncuran novel Gantari?" Aminah membulatkan mata sembari mengulang kalimat yang dilontarkan Bhanu di rapat dadakan hari ini. 

Bukan hal yang aneh dalam dunia kreativitas saat konsep pertama sudah setengah jalan, ada saja konsep baru yang muncul. Bahkan dalam pembuatan naskah, hal itu tak bisa dihindari ketika kotak inspirasi dalam benak penulis tiba-tiba terisi oleh ide lain yang tak kalah menakjubkan dari ide sebelumnya. Tinggal pintar-pintarnya penulis saja bagaimana menyiasati hal tersebut.

Sejak memutuskan tanda tangan kontrak naskah Bhanu yang pertama lima tahun silam, Aminah sudah mengantisipasi hal-hal yang mengejutkan dari sosok Bhanu. Dalam diamnya, otak Bhanu seperti menjelajah seperti elang terbang di angkasa menyusuri bumi. 'Buruan' yang berhasil ditangkap Bhanu selalu saja mengejutkan dan luar biasa.

"Saya mau peluncuran buku kali ini dengan konsep storytelling yang diiringi dengan musik, di gedung orkestra beneran. Ada storyteller, pianis dan ..." mata Bhanu mengarah ke sisi pojok kanan ruang rapat, ke tempat Khirani duduk dengan tatapan kosong, "violinis."

Semua orang yang hadir di ruangan itu bereaksi, ada yang melongo, membulatkan mata, ada pula yang langsung bertepuk tangan dengan mata berbinar, tak terkecuali Khirani. Gadis itu hanya mengarahkan pandangan matanya naik menatap pencetus ide, sekilas.

"Dari sekian penerbit, kayaknya konsep begitu nggak pernah ada, ya, nggak, Bu?" Endro bereaksi sesuai tebakan, ia yang paling antusias untuk hal-hal baru yang menarik hatinya.

"Kayak gimana itu, Mas Bhanu? Bisa dijabarkan lebih detail lagi?"

"Dalam benak saya menggambarkan sebuah pertunjukan storytelling yang diiringi dengan instrumental. Karena naskah Gantari ini mengambil latar tempat dari tujuh negara dengan aliran musik yang berbeda, akan terlihat lebih menarik. Audience akan kita ajak untuk merasakan feel penulis yang rasakan saat menulis di tempat-tempat tersebut. Pianis dan violinis yang akan mengantarkan mereka masuk ke dalam cerita," penjelas Bhanu.

"Tidak hanya itu, latar panggung juga bisa kita sesuaikan dengan isi cerita. Saya akan mengambil poin-poin penting di setiap latar tempat untuk disajikan dalam naskah storytelling," lanjutnya.

"Terdengar mewah, elegan dan berkelas," tutur salah satu karyawan.

Semua mencetak bayangan di benak masing-masing; panggung dengan sorot lampu bersinar, pianis menekan tuts, violinis menggesek bow, serta storyteller yang merangkai kalimat dengan suara yang mampu menghanyutkan para audience

Kemudian ditambah dengan latar belakang panggung yang silih berganti gambar, dari pemandangan gurun, bangunan Taj Mahal, penggunungan Swiss, Landmark di Kota Sofia, sungai romantis Venesia dan yang terakhir Selat Bosphorus di Istanbul sebagai tempat-tempat paling ikonik di dalam naskah Gantari.

Dari sekian cercahan senyuman, hanya Khirani yang mengembuskan napas panjang sembari melirik penulis yang mencetuskan ide tersebut.

Menarik garis waktu satu jam yang lalu, saat Bhanu terpukau dengan penampilan violinis di taman kota, ia merodakan mesin-mesin imajinator dalam benak yang membuatnya terbesit konsep peluncuran buku yang sangat berbeda dari peluncuran-peluncuran buku sebelumnya. 

Tak hanya menyuguhkan sebuah alur yang dapat dinikmati oleh telinga audience, konsep itu mungkin akan mampu membawa para audience untuk merasakan hanyut dalam alur. Ikut menjadi tokoh utama dalam novel dan ikut terjun dalam kotak imajinasi sang penulis.

"Tapi ... kayaknya kita butuh dana lebih, ya?" kepala divisi keuangan, Elsa. "Sewa gedung orkhestra, fee pianis, violinis sama artis storyteller. Kan, rencana awal kita mau pake satu selebgram buat penarik audience di acara launching."

"Saya punya teman pianis dan violinis, untuk storyteller-nya..." kalimat Bhanu menggantung, bola matanya menyapu para anggota rapat sejenak, kemudian melanjutkan kalimat, "saya sanggup."

"Beneran?" sontak Aminah dan karyawan lain melontarkan kata yang sama. Mereka kembali terkejut dengan perubahan drastis penulis yang terkenal tak begitu mau menunjukan diri di hadapan publik itu.

"Mas Bhanu sejak pulang dari mengembara banyak memberi kejutan, ya?" Aminah terkekeh.

"Wah, kalau gitu kita nggak perlu pake umpan menarik audience, Mas Bhanu jadi storyteller aja udah pasti narik ratusan audience. Kita optimis nih!" kata salah satu karyawan di bagian admin sosial media penerbit, Rara.

"Kakakku kerja di GKJ, betewe," kata Rima, salah satu karyawan di bagian pemasaran. "Aku bisa cari info sewa gedung di sana, ya barangkali bisa dapet diskon," lanjutnya dengan cengiran.

"Nah, boleh, tuh!" Endro kian semangat menyambut konsep baru ini.

Sekarang semua mata tertuju pada Aminah yang tengah merodakan sistem saraf otaknya untuk berpikir, menimbangkan konsep itu dengan seksama. 

 Bhanu mengusap-usap jempol tangan kanannya sendiri, itu adalah kebiasaannya saat menunggu keputusan yang ia harapkan akan memberi kabar baik. Endro dan para karyawan lain juga memasang raut wajah penuh harap agar Aminah memberi akses untuk membuka jalan pada ide tersebut.

Di tengah menunggu keputusan Aminah, Bhanu sempat melirik Khirani. Gadis itu terlihat tanpa ekspresi, tidak tertarik. Tatapannya kosong mengarah ke meja di depannya. Meski begitu, Bhanu berharap ia juga antusias menyambut ide tersebut karena berhubungan dengan sesuatu yang Khirani suka, yakni pertunjukan violin.

"Oke!" kata Aminah sambil tersenyum lebar, disambut pekikan hore oleh para karyawan, begitu pula dengan Bhanu, ia kontan menghentikan mengusap jempolnya sembari tersenyum lega.

***

"Belum pulang, Mas Bhanu?" tanya Sugik kala matanya melihat Bhanu masih berdiri di teras kantor. Waktu sudah menunjukan pukul empat sore lebih, sebagian karyawan sudah bersiap pulang, termasuk Sugik yang saat itu hendak meninggalkan kantor.

"Khirani udah pulang, Mas Sugik?" tanya Bhanu, belum sempat Sugik memberi jawaban atas petanyaan yang mengejutkan, Bhanu sudah melihat tubuh mungil Khirani melintas di hadapannya, pulang. "Duluan ya, Mas Sugik." Bhanu mengambil langkah menyusul Khirani, meninggalkan Sugik dengan mulut melongo dan raut wajah yang terheran-heran.

Langkah Khirani sudah setengah jalan menyeberang, disusul langkah Bhanu baru menengok kanan kiri dan berhasil menyamai langkah Khirani di ujung jalan seberang. Bhanu pikir, Khirani akan duduk di bangku halte, pemuda itu sudah percaya diri duduk di bangku besi itu. Namun, ternyata kaki Khirani tak berhenti, ia berjalan menyusuri trotoar.

"Eh?" Buru-buru Bhanu bangkit dari bangku halte dan kembali menyusul langkah Khirani.

Sore itu terlihat mendung kembali setelah pagi tadi diguyur hujan dan sinar mentari sempat menyapa sebentar di tengah hari. Genangan di trotoar belum sempenuhnya kering, sepertinya cakrawala akan menurunkan bala tentara airnya kembali beberapa saat lagi. Angin berembus kencang, alasan Khirani menyembunyikan kedua tangannya di saku hoodie hitamnya. Dari tiga langkah di belakang gadis itu, Bhanu memperhatikan dengan segaris senyuman.

Rambut panjang hitam legam yang Bhanu lihat tadi siang, kini dikuncir asal membentuk cepolan tak beraturan. Ransel hitam yang tergantung di punggung gadis itu pasti menyimpan dress merah selutut dengan pita kupu-kupu di ujung dada kanannya. Sepatu putih dengan inisial 'K' berwarna putih yang kusam. Dan ... biolanya di mana?

Baru saja bibirnya terbuka untuk melontarkan sebuah kata, tiba-tiba terurung saat mendadak langkah Khirani terhenti. Hampir saja tubuh jangkung Bhanu menabrak gadis mungil itu jika saja pemuda itu tak pandai untuk mengerem langkahnya.

Khirani membalikan badan, wajahnya tepat di depan dada bidang Bhanu. Jarak mereka cukup dekat sampai hidung Khirani bisa mencium aroma perpaduan blackpaper, rose dan mint yang menguar dari tubuh pemuda itu. Menyadari dirinya yang terlalu dekat, buru-buru Bhanu menarik langkah mundur dengan senyuman canggung.

"Hai..."

"Ada urusan apa ngikutin aku?" tanya Khirani tanpa basa-basi, ia sudah memperhatikan tingkah Bhanu sejak keluar dari teras kantor. Pemuda itu memang sengaja mengikuti dirinya.

"Gimana ide saya tadi? Bagus, nggak?"

Khirani tak menjawab, matanya menyusuri setiap jengkal wajah pemuda itu. Hidungnya bangir, alis yang tidak terlalu tebal, ada kantung mata yang menggantung, bibirnya merah muda tergradasi keunguan tipis karena kebiasaan merokoknya, kulitnya kuning cenderung sedikit kecokelatan, serta rambutnya yang dicukur rapi. 

Tidak sesuai apa yang ia tulis di novel-novelnya, Bhanu selalu menggambarkan tokoh utama pria dengan tipe melanesia, yang memiliki kulit kecokelatan dan rambut yang ikal.

Menyadari gadis itu sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan selidik, Bhanu mengusap-usap pipinya. Adakah sesuatu yang aneh di wajahnya sampai Khirani menatapnya sedemikian rupa?

"A-ada beleknya, ya?" Bhanu mengusap-usap kedua sudut matanya.

Khirani mengembuskan napas putus asa, kakinya melangkah kembali ke arah halte tanpa menjawab pertanyaan Bhanu. Pemuda itu mengekori Khirani dengan terus mencoba mengusap-usap wajah, terutama di sekitar matanya.

"Khirani!" Bhanu mencoba untuk tetap berinteraksi dengan Khirani meski tatapan gadis itu tak mengubrisnya, "jawab dong, gimana ide saya tadi? Semua itu berkat kamu, tahu," kata Bhanu dengan tetap menyeimbangi langkah Khirani bahkan saat menaiki bus, Bhanu terus membuntuti gadis itu.

Khirani merasa sial hari ini saat mendapati tidak ada kursi yang kosong. Terpaksa ia berdiri berpegangan handle grip busway dengan pemuda penganggu yang juga berdiri di belakangnya. Serasa déjà vu, posisi mereka pernah mereka alami saat di kereta. Sesaat setelah pucuk hidung mereka saling bertemu lalu saling diam selama setengah jam. Posisi ini benar-benar membuat Khirani tidak nyaman, terlebih lagi ketika mengingat Bhanulah yang memergokinya ingin mencopet.

Terdengar embusan napas yang keluar dari bibir Bhanu, jelas sekali mengenai pucuk kepala belakang Khirani. Gadis itu juga merasakannya.

"Eh, maaf, maaf, nggak sengaja niup-niup. Nggak niup, kok, cuma ... panas." Bhanu tersenyum canggung sambil menelan ludahnya susah.

Khirani tidak peduli, entah sengaja atau tidak. Menganggapnya tak ada adalah langkah yang tepat untuk memperjelas bahwa Khirani tak tertarik kepada Bhanu, lebih tepatnya tak tertarik dengan pertanyaan yang Bhanu lontarkan barusan.

Roda bus perlahan berputar menyusuri jalan raya. Sore ini begitu padat, mungkin akan terasa biasa bagi Khirani jika tidak ada manusia yang membuntutinya.

"Tadi siang di taman itu kamu, kan?" tanya Bhanu memecah keheningan setelah bisu beberapa menit di antara mereka.

Khirani bergeming. Bhanu sudah menduganya, tak mudah untuk mendekati gadis ini. Jangankan dirinya yang baru ketemu beberapa kali saja, rekan kerja yang berkutat selama setahun dengannya saja masih tidak bisa mengatasi dinginnya gadis itu.

"Khi ..."

Entah dari mana asalnya, mendengar cara Bhanu menyebut namanya itu cukup mengusik hati Khirani. Ia mendengus kesal. Bhanu penulis misterius yang ada di bayangan Khirani adalah pemuda yang cukup irit bicara, tidak serampangan dan tidak cukup menganggu. Ternyata, ia salah. Bhanu benar-benar pengusil.

"Gimana kalo kamu jadi—,"

"Bukan."

"Bukan?"

"Siapa pun yang kamu sebut tadi, itu bukan aku."

Bhanu terkekeh sebentar, "Saya mengenali sepatumu. Kay."

Khirani mengarahkan bola matanya ke bawah, ke sepatu Nike usang berinisial 'K'. Ia kembali menghela napas berat. Sejak Bhanu datang ke kantor, ia sudah menduga bahwa pemuda itu pasti akan merepotkannya. Andai saja mereka tidak bertemu di kereta, apakah Bhanu tidak seresek ini mencampuri urusannya?

"Kamu resek ya?"

"Hah?"

"Nggak sesuai sama tulisanmu."

"That is the fact! Tidak semua penulis sesuai dengan tulisannya. Tulisannya itu bentuk dari kegelisahan, pelarian diri atau bahkan keinginan penulis. Bukan, intepretasi dari penulis itu sendiri. Dan saya nggak sepede itu menulis tentang diri saya sendiri di novel."

Khirani tersenyum hambar, seolah menertawai dirinya sendiri karena menganggap tulisan Bhanu Brajasena cocok dengannya. Pernah berpikir bahwa ia dan Bhanu adalah dua tipe manusia yang sama. Ternyata, gadis itu salah. Salah besar.

"Gimana? Mau ya, jadi violinis di peluncuran novel Gantari?"

"Nggak tertarik."

"Jadi, bener, ya, tadi di taman itu kamu?"

Khirani termangu sejenak. Selain pandai meramu kalimat, Bhanu juga pandai menjebak lawan bicaranya. Bhanu adalah tipe manusia yang harus Khirani hindari sejauh mungkin.

"Tawaran ini harus kamu pertimbangkan dengan baik, bakatmu luar biasa."

"Bakat?" Khirani tersenyum kecut.

"Baru kali ini ada melodi yang membuat menarik ingatan saya pada diksi-diksi yang saya tulis, setiap feel yang saya rasakan saat merangkai diksi tersebut. Nggak bisa bayangin, bakal sekeren apa nanti. Saya tidak sabar!"

Imej Bhanu Brajasena yang selama ini Khirani pikir sebagai penulis yang antisipasi dengan pembacanya, luntur setelah mendengar betapa banyak omongnya penulis satu ini. Apakah sudah terlambat jika Khirani memutuskan mencoret Bhanu sebagai penulis favorit setelah hampir semua bukunya ia baca? Sepertinya, belum.

"Ngomong-ngomong, biolamu di mana? Nggak mungkin muat di tas ini, kan?"

"Bukan urusanmu."

"Besok ke taman lagi, nggak? Kamu—," kalimat Bhanu terpotong saat melihat Khirani berjalan ke depan bus membelah kerumunan penumpang.

Khirani berdiri di depan pintu bus, bersiap untuk turun. Bhanu masih saja membututinya, pria itu tampak kebingungan. Stasiun kota masih jauh untuk turun di halte ini.

Pintu bus terbuka begitu rodanya berhenti di depan halte. Kaki kiri Khirani turun dari bus diikuti kaki Bhanu di belakangnya. Mereka berjalan menyusuri trotoar di tengah gemericik gerimis.

"Tawaran ini cuma buat kamu, Khi. Saya pengennya kamu yang jadi violinisnya."

Setok sabar Khirani akhirnya habis, gadis itu menoleh dan menatap Bhanu dengan tatapan tidak suka. Sedikit tajam.

"Aku nggak kenal kamu. Sudah sepantasnya jika orang yang tidak saling mengenal tidak mengurusi hidup satu sama lain. Perhatikan batasmu! Tidak semua pembaca novel, suka sama penulisnya. Itu juga berlaku dengan novelmu," jeda beberapa detik, tatapan Khirani semakin menajam, "aku tidak suka kamu."

Terlihat jelas raut terkejut di wajah Bhanu. Kalimat Khirani cukup menamparnya. Lima tahun ia menjadi penulis, belum pernah mendengar kalimat itu. Selama ini Bhanu mengira, mereka yang menyukai bacaannya juga menyukai dirinya. Ia selalu bertemu dengan pembaca yang selalu melontarkan pujian, kekaguman kepadanya.

Tatapan tajam dan dalam sekian detik menjadi ultimatum Khirani untuk Bhanu agar pemuda itu mau menjaga jarak dengannya. Menjadi isyarat Khirani juga bahwa ia sama sekali tidak tertarik pada Bhanu, rencana Bhanu dan tawaran pertunjukan violin di acara peluncuran buku baru Bhanu.

Bhanu masih membeku di tempat, bahkan setelah Khirani menembus gerimis melangkah pergi meninggalkan dirinya. Baru kali ini ia bertemu dengan gadis seperti Khirani. Aura dingin yang terlihat pada wajah gadis itu memantik rasa penasaran Bhanu. 

Bahkan, fakta bahwa gadis itu memiliki bakat yang luar biasa semakin mendorong Bhanu untuk berusaha keras agar Khirani bisa berkontribusi dalam peluncuran novelnya. Tak berselang lama sambil menatap punggung Khirani yang kian menjauh, tercetak sabit senyum di wajah Bhanu.

"Spesial," ucapnya. 

***

Gini, nih, senyumnya Mas Nu yang terakhir 😸

Sampai jumpa hari Sabtu yorobuun 🌻
Terima kasih sudah membaca cerita ini 🤍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro