Restu
"Ujian dimulai sebentar lagi. Harap matikan ponsel dan simpan di tas masing-masing."
Ujian paket C akan mengantarkan Khirani untuk mendapatkan beasiswa sekolah musik. Meski nanti tidak akan mudah jalannya, pencapaian Khirani untuk di tahap ini patut diapresiasi. Orang yang putus sekolah tidak sepenuhnya kehilangan mimpi, tidak pernah kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.
Kertas ujian dibagikan setelah kertas jawaban terisi oleh peserta ujian. Khirani mengedarkan pandangannya sejenak, ternyata bukan dirinya saja yang pernah kehilangan arah mimpi, tetapi banyak. Usianya beragam, ada yang seusia dengannya, ada pula yang sudah berumur dan beruban.
Itu membuktikan bahwa, mimpi tidak punya batas usia. Khirani tersenyum tipis, dalam hatinya meluas rasa lega. Pilihannya untuk kembali menggenggam mimpi, tidak pernah salah.
Sebelum mengerjakan soal, Khirani melirik jam, tepat lima belas menit lagi penyerahan dokumen Bhanu untuk kembali ke militeran akan segera diproses. Minggu yang tidak mudah bagi keluarga Bhanu, Nawang masih belum menerima keputusan Bhanu untuk kembali ke militer.
"Ujian dimulai, kerjakan dengan teliti dan jangan lupa berdoa. Selamat mengerjakan."
Khirani menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan. Setelah ujian selesai, Khirani akan pergi mengunjungi ayahnya di penjara untuk meminta restu menikah bulan depan, seminggu sebelum Bhanu resmi bergabung kembali ke pangkalan militer.
Ujian selesai setelah waktu dua jam berakhir. Khirani keluar dari ruangan dan melihat satu orang menunggunya di sana. Orang itu tersenyum lebar, berlari kecil ke arahnya.
"Kak Khiiii!" Binna meregangkan tangan, kemudian memeluk Khirani, "Gimana ujiannya?"
"Lancar, alhamdulillah. Kamu nggak dinas?"
Binna menggeleng, "Cuti hari ini."
"Sengaja cuti? Pasti Mas Nu, kan, yang nyuruh kamu ke sini?"
"Nggak!" protes Binna, "Ya, sih, dia juga minta aku ke sini. Tapi, aku ke sini karena aku ingin, bukan karena suruhan Mas Nu."
Khirani hanya tersenyum. Sejujurnya, Khirani masih merasa tidak enak karena ia tidak bisa memihak Nawang untuk mencegah Bhanu kembali ke militer. Padahal Nawang sudah sangat baik kepadanya selama ini. Namun, apa yang diberi Bhanu kepada Khirani jauh lebih besar.
Bhanu memberi Khirani kesempatan untuk bermimpi dan itu adalah sesuatu yang sangat besar untuk dirinya yang pernah nestapa di dalam benteng kegelapan.
"Ibu udah masakin makanan enak. Yuk, ikut pulang."
Kaki Khirani berhenti melangkah, "Bu Nawang?"
Binna turut berhenti melangkah, kemudian mengangguk, "Iyaaa, Bu Nawang Ayu Wulandari. Calon mertuamu... hihihi."
Khirani terdiam sebentar. Ingatannya kembali pada saat Nawang masih dirawat di rumah sakit karena darah tingginya kumat. Nawang dengan isak tangis meminta Khirani untuk membujuk Bhanu, membujuk agar putranya itu tidak bertekad untuk kembali ke militer. Nawang juga banyak menjelaskan bagaimana siksanya menjadi istri seorang pelaut.
Namun, genggaman tangan Bhanu saat itu menguatkan Khirani pada pendiriannya. Khirani berpikir kalau Nawang akan membencinya karena tidak mau membujuk Bhanu. Ternyata hal itu terpatahkan saat melihat bagaimana Nawang memperlakukannya hari ini.
"Putraku memang seperti ayahnya." Nawang tersenyum, matanya seolah mengilas balik lebih dari dua dekade lalu. "Mas Arya punya tekad kuat untuk bermimpi menjadi seorang Kapten. Seharusnya saya sebagai ibu tidak boleh mematahkan mimpi anaknya, kan?"
Khirani di posisi yang bingung. Nawang baik padanya, sementara Bhanu memberikan dunia baru padanya.
"Saya hanya tidak mau..." mata Nawang tergradasi bulir bening, ingatanya kembali saat Widipto ke rumah mereka lima tahun yang lalu memberitahu bahwa Kapten Arya gugur dalam tugas. "Kehilangan lagi."
Khirani meraih punggung tangan Nawang, "Maafin Khirani karena Khirani nggak bisa bujuk Mas Nu, Bu." Khirani merasa bersalah.
Nawang membalas genggaman tangan Khirani, wanita paruh baya itu menggeleng.
"Semoga apa yang saya alami, tidak pernah kamu alami juga." Nawang meraih pucuk kepala Khirani, "Saya restuin kamu menikah dengan putraku. Jadilah alasannya untuk selalu ingat jalan pulang ke rumah." Nawang memeluk Khirani.
Nawang tidak mau egois menjadi orang tua. Setelah mematahkan mimpi Bhanu lima tahun yang lalu, Nawang tidak ingin lagi merobohkan apa yang sudah putranya bangun mati-matian. Kehadiran Khirani dan rencana pernikahan mereka membuat Nawang ada setitik rasa lega, bahwa ada seseorang yang akan terus menguatkan Bhanu untuk selalu ingat jalan pulang ke rumah.
"Bhanu mana Bhanu?! Anak kurang ajar!" teriakan itu memecah keharuan Khirani, Nawang dan Binna di ruang tengah. Mereka secara nyaris bersamaan menoleh ke sumber suara.
Selain Nawang, ada yang paling mengamuk mendengar keputusan Bhanu kembali ke militer. Orang yang langsung terbang dari Istanbul ke Jakarta hanya ingin 'menghajar' keponakannya itu.
***
Alunan bow Khirani berhenti. Di gedung kesenian di mana seleksi beasiswa itu diadakan, Khirani menarik napas dengan tegang. Empat juri yang duduk tak jauh di depannya tengah berdiskusi. Air muka dari semua juri terlihat serius. Detik demi detik dilalui Khirani dengan berat, mengulang masa-masa paling menegangkan di masa silam.
Sambil memegang biolanya, Khirani memejam sejenak. Tercetak bayangan senyum Bhanu yang hadir di benak, disusul dengan bayangan senyum Binna, Si Kembar, Nawang, Aminah, Teyze, orang-orang yang mendukungnya. Detik yang tegang kini perlahan dilalui dengan tenang, dengan senyuman.
"Kamu ..." Salah satu juri membuka suara sesaat Khirani membuka mata. "Kamu pernah sekolah di Musica Art School, kan?"
Deg! Sedegub jantung Khirani seolah berhenti. Bibirnya mendadak kelu. Bagaimana jika ia gagal karena juri mengetahui masa lalunya? Khirani menelan saliva dengan susah, kemudian mengangguk pelan. Bagiamanapun juga, ia tidak bisa lari dari masa lalunya.
"Bukankah kamu sudah dinyatakan lolos beasiswa ke Vienna?"
"Oh, ya?" sahut juri satunya.
"Iya, dia diterima di MPUV. Saya datang waktu seleksi di Musica."
"Saya mohon..." sela Khirani, "terima atau tolak saya karena kemampuan saya, bukan karena... saya pernah diterima di MPUV atau pernah sekolah di Musica, terima kasih," ucapnya dengan keberanian.
Khirani tidak mau penilaian juri berpengaruh hanya karena ia pernah sekolah dan lolos seleksi sekolah paling bergengsi di dunia. Khirani mau diterima atau ditolak karena penampilannya hari ini, bukan karena hal lain.
Semua juri menatap Khirani beberapa detik, mereka saling pandang kemudian saling menganggukan kepala tak lama dari itu.
"Kami akan pertimbangkannya, silakan menunggu pengumuman resmi dari Yayasan. Terima kasih atas penampilannya hari ini Nona Gantari."
Khirani pikir memulai hari baru akan menenggelamkan masa lalu. Nyatanya, masa lalu itu terus mengikuti, jejaknya tak pernah hilang bagaimanapun caranya untuk menghapus. Khirani berharap apa yang pernah ibunya janjikan untuk mengungkap kebeneran ayahnya akan segera datang, agar jalan Khirani untuk memperbaiki masa lalu, nama keluarga dan masa depannya akan mudah.
Khirani keluar dari aula dengan perasaan berpasrah. Ia sudah berusaha maksimal, kini hasil ia serahkan kepada Tuhan. Jika gagal kali ini, Khirani masih punya kesempatan untuk mengajukan diri di lomba-lomba nasional, mungkin nama samara 'Arunika' yang pernah diberikan Bhanu akan menjadi pilihan terakhirnya.
"Hai, gimana hasilnya?"
Jika ujian lalu Binna yang datang menunggunya, kini Teyze yang datang. Bhanu sendiri sedang disibukkan dengan beberapa kerjaan sebelum resmi gabung dengan militer. Lalu lalang pria itu menghadiri rapat untuk menuntaskan kontrak brand, edit naskah terakhir di penerbit, serta mengurus dokumen pengajuan pernikahan ke adminitrasi kemiliteran.
"Baik, Ze." Senyum Khirani mengembang.
"Kamu emang cantik seperti yang diceritakan Bhanu, ya?"
Khirani hanya tertawa kecil, "Kemarin berhasil ketemu sama Mas Nu, Ze?"
Teyze menghela napas panjang, "Berandalan itu susah sekali ditemui, tahu aja kalau Teyze mau ngehajar dia. Tadi pagi udah Teyze cegat di depan pintu, cecunguk itu malah lompat pagar belakang." Teyze kembali menghela napas gusar.
Tadi pagi Bhanu sempat menemui Khirani untuk memberi dukungan, sekaligus menyerahkan beberapa dokumen yang harus dilengkapi Khirani. Dokumen N2 dan N4 sebagai syarat untuk sidang pengajuan. Di mana dokumen-dokumen itu berisi tentang latar belakang keluarga calon istri, termasuk persetujuan tertulis dari wali calon istri.
"Teyze sendiri, setuju atau tidak Mas Nu kembali jadi tentara?"
Sambil berjalan keluar dari gedung Yayasan di mana Khirani sedang memperjuangkan beasiswa, Teyze menggandeng tangan gadis itu seraya tersenyum, "Teyze lega."
"Lega?"
"Berarti dia sudah sembuh dari lukanya." Teyze menoleh ke Khirani, "Dia sudah berhasil keluar dari sangkar ketakutannya dengan laut, kapal, dari kematian ayahnya."
"Jadi Teyze setuju?"
Teyze tidak langsung menjawab, wanita itu terlebih dahulu mengulas senyum. Tergambar jelas bahwa apa yang ia nanti akhirnya datang, keponakan kesayangannya akhirnya bisa sembuh dari traumanya.
"Setuju atau nggaknya, Teyze nggak akan berpengaruh sama pilihan Bhanu. Lawong kamu aja juga nggak bisa mencegahnya pergi, kan?"
Khirani tertawa kecil, "Iya, Ze."
"Yang pasti Teyze akan selalu mendukung apa pun keputusan Bhanu." Teyze menoleh ke Khirani, "Keputusan buat nikahi kamu juga sangat Teyze dukung. Terima kasih sudah hadir di hidup Bhanu, terima kasih sudah menjadi alasannya untuk kembali ke rumah."
"Khirani yang berterima kasih, Ze. Mas Nu sudah membawa warna baru dalam hidup Khirani."
Teyze mengusap pipi kiri Khirani, "Teyze seneng pelabuhan terakhir kapalnya bersandar itu kamu."
Bentuk dari Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia-Nya. Dulu dunia seolah menenggelamkan Khirani dalam kesepian, seolah semua asing dan meninggalkannya. Namun, sejak satu manusia masuk ke dalam hidupnya, mampu menarik manusia-manusia lain untuk menghangatkan dunia Khirani yang mendingin.
Jika seseorang tidak memilih untuk membuka jalan hati dan pikirannya untuk mengubah cara pandang, ia tidak akan pernah bisa melihat arah bahagia datang dari mana saja.
Mata Teyze beralih ke arah belakang Khirani, berandalan yang sudah ia cari-cari akhirnya nongol juga di hadapannya dengan rambut cepak dan senyum lebar tanpa dosa.
"Wedus gimbal! Sini koen, Le!" -Kemari kamu! Pekik Teyze sembari berlari ke arah Bhanu.
"Sebentar, Ze, sebentar!" Bhanu menghindar, berlari ke belakang punggung Khirani untuk mencari perlindungan. "Bhanu buru-buru."
"Ndak peduli aku! Ponakan kurang ajar!" Teyze tetap mengejar Bhanu, membumbuhi dengan beberapa tabokan di punggung Bhanu.
Khirani tertawa saat bibi dan ponakan itu memutarinya seperti kucing dan tikus yang kejar-kejaran. Khirani tak membela Bhanu, pria itu memang pantas mendapat pukulan dari bibinya.
***
Karena ayah Khirani tidak bersedia untuk menerima kunjungan. Khirani mencari mantan pengacara ayah Khirani. Mereka bertemu di ruang penjengukan. Di sanalah Khirani mendapati kembali satu fakta.
"Pak Romi sudah memutuskan hubungan kekeluargaan dan melepas status wali atas nama anak-anaknya tiga tahun yang lalu," ucap pengacara ayah Khirani.
"Kenapa? Bukannya ayah selama ini dijebak? Bukan salah ayah."
Pengacara itu mendekat dan menatap prihatin kepada Khirani, "Pak Romi melakukan itu demi kalian. Agar kalian tidak dituntut karena utang perusahaan dan utang-utang lainnya. Juga membebaskan kalian dari label anak pembunuh, membebaskan putri-putrinya kelak bisa menikah dengan siapa pun tanpa terhalang status ayah kalian."
Di dalam ruang penjengukan, Khirani terpaku terdiam dengan air mata bisu yang mengalir. Selama ini Khirani tidak pernah tahu tentang itu. Pantas saja tidak ada debtcolector perusahaan yang mengejarnya.
"Pak Romi meminta kalian untuk menganggapnya sudah meninggal."
Tangis Khirani pecah.
"Saya tahu ayahmu dijebak dan ibumu sedang mengusahakan mengumpulkan segala bukti. Tapi, saksi terakhir sudah meninggal, tidak ada saksi yang bisa membenarkan kalau ayahmu tidak bersalah. Dia sudah menerima dan dia juga berharap kalian bisa melanjutkan hidup dengan semestinya."
Pengacara itu memberikan satu lembar penyerahan hak asus Khirani dan adiknya kepada paman Khirani. Ke sanalah Khirani harus meminta izin dan restu untuk menikah bulan depan. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Khirani berharap suatu saat nanti ada satu jalan untuk membebaskan ayahnya dari penjara jika memang benar ayahnya tidak bersalah.
Khirani keluar dari ruang penjengukan dan kembali menangis di pelukan Bhanu. Ternyata selama ini ia tidak menderita sendirian, baik ayah, ibu dan adiknya, sama-sama menderita. Sama-sama berjuang di jalannya masing-masing.
Salah satu harapan seorang putri adalah dinikahkan langsung oleh ayahnya sendiri. Harapan seorang putri ingin melihat pria yang akan menjadi suaminya menjabat tangan sang ayah di pelaminan.
Nyatanya, Khirani harus menerima kembali bahwa semua tak sesuai harapan.
Menganggap ayahnya sudah mati? Tidak akan pernah Khirani mau. Seburuk apa pun orang tua, seorang anak akan tetap ingin melihat mereka bahagia di masa tuanya.
"Siap, Sayang?"
Khirani menarik napas panjang, kemudian mengembuskan pelan menyiapkan diri. Di sampingnya Bhanu duduk memakai seragam dinas kemiliteran TNI AL, sementara Khirani mengenakan seragam Jalasenastri berwarna biru. Mereka duduk berdua menghadap kamera.
Khirani menarik sudut bibirnya, "Siap."
"Oke, lihat kamera. Satu... dua..."
Cekrek! Tercetak satu foto anggota TNI AL dengan calon istrinya, yang akan menjadi dokumen terakhir untuk melengkapi sidang pengajuan pernikahan.
***
yok, siapa yang mau datang ke acara nikahan KhiNu?
Siapin amplop yaaaa wkwkwk
See you next part 💞
With Love, Mamak Mertua KhiNu 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro