Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rembulan Memeluk Matahari

Khirani mendengus sambil menatap layar ponselnya setelah panggilan dengan kontak bernama B.B itu berakhir. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba menelpon menanyakan lagi di mana, padahal tadi pagi mereka sempat bertemu di kantor sebelum Bhanu pergi ke acara.

 Benak Khirani sempat menebak alibi apa pria itu menelponnya, tak berselang lama Khirani menggeleng memutus benaknya mencari alibi Bhanu. Khirani kembali memasukan ponselnya ke dalam saku, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang Aminah.

Tak lama dari ketukan pintu darinya, Aminah berseru dari dalam menyuruh pengetuk pintu masuk. Perempuan yang baru saja selesai rapat daring itu membulatkan mata saat melihat Khirani yang masuk.

"Duduk, Khirani." Aminah menutup laptop, menumpukan tangan di atas meja bersiap mendengarkan apa yang ingin di sampaikan karyawan kesayangannya itu. "Ada apa?"

Khirani duduk hati-hati di kursi depan meja Aminah. Gerak-geriknya terasa antara canggung dan sungkan. Khirani menjatuhkan pandangan menatap tumpukan berkas di atas meja Aminah, tidak berani untuk menatap atasannya itu langsung.

"Mengenai tawaran Bu Aminah tempo hari ..." kata Khirani menggantung.

"Iya, Khirani, gimana?"

Khirani menarik napas panjang kemudian memberanikan diri untuk menatap Aminah, "Maaf, Bu, saya belum bisa."

Aminah tidak menyangka akan mendapatkan jawaban itu dari Khirani karena selama ini Aminah kira Khirani akan menerima tawarannya. Aminah berharap sekali, Khirani mau menerima pekerjaan itu. Di samping karena ingin membantu gadis itu, Aminah juga bisa memantau selalu kondisi Khirani di luar kantor.

Aminah tersenyum lembut, "Boleh tahu alasannya nggak, Khi?"

"Saya menerima pekerjaan lain, Bu. Maaf sekali lagi, Bu."

"Oh, ya? Kerja di mana?"

Khirani tak lantas menjawab, ia tidak mau memberitahukan soal dirinya menerima tawaran Bhanu untuk menjadi violinis di pertunjukan nanti. Ia tidak mau dibebani dengan ekspetasi orang-orang, terutama orang yang sudah lama mengenalnya, termasuk Aminah.

"Ada, Bu, masih berhubungan dengan biola."

"Gajinya gimana?"

"Lumayan besar. Sangat cukup untuk biaya hidup saya dan biaya perawatan Diandra."

Meski kecewa, Aminah tetap menghargai keputusan Khirani. Perempuan itu tersenyum sambil mengangguk memahami. "Oke, nggak apa-apa. Agak kecewa sih, tapi saya turut senang, kok, kamu punya pekerjaan yang masih berhubungan sama biola. Sesuai dengan harapan saya."

"Terima kasih pengertiannya, Bu, maafkan saya sekali lagi."

"Oh, nggak apa-apa, kok. Santai."

Khirani mengangguk, "Saya permisi dulu, Bu."

Khirani berdiri dan melangkah keluar ruangan Aminah setelah Aminah melempar senyum ke arahnya. Gadis itu mengembuskan napas lega luar biasa setelah menutup pintu dari luar.

 Seminggu ini, mencari cara yang baik untuk menolak tawaran Aminah itu cukup menganggunya. Beberapa kali Khirani maju mundur untuk menemui Aminah, ia merasa sungkan karena Aminah sudah baik sekali padanya. Khirani merasa tidak enak hati.

Belum terlalu lama rasa lega itu Khirani nikmati, sampai di pintu gudang hatinya kembali diserang oleh perasaan bingung ketika melihat Bhanu yang baru saja masuk dari pintu utama itu berlari ke arahnya. 

Tubuh jangkung pemuda itu menghambur, menelan tubuh Khirani dalam pelukan. Khirani yang tidak siap dengan serangan itu, terperanjat kaget dengan tegang. Wangi tubuh Bhanu merasuk memenuhi indra penciumannya. Pelukan erat tangan Bhanu yang melingkar di punggungnya terasa hangat, seketika menimbulkan getaran aneh yang berdesir di antara perut dan dada Khirani.

Berpuluh detik akhirnya, Khirani menyadari.

"Kamu ngapain?" tanyanya dengan nada tertahan. Pertanyaan itu langsung membuat Bhanu menyadari perbuatannya.

"O..." Bhanu langsung melepas pelukan, "O... eee..." Semua pembendarahan kata lenyap seketika, meninggalkan bibir Bhanu yang tak bisa berkata-kata. Hanya memperlihatkan isyarat tubuhnya yang sedang salah tingkah.

"Kamu udah—,"

"My fault! I'm sorry!" sela Bhanu memotong kalimat Khirani. Pemuda itu mengigit bibirnya, takut Khirani meledakan amarah. Bhanu sama sekali tidak membayangkan betapa bodohnya ia sampai memeluk Khirani tanpa persetujuan gadis itu.

Tatapan tajam Khirani menyipit ke arah Bhanu, semakin membuat Bhanu merutuki kebodohannya. Tak tahu mau berbuat apa, Bhanu memutuskan untuk menggaplok lengan kiri Khirani tidak keras sambil berkata, "Jangan lupa makan, kurusan tuh! Nggak punya lemak, ya?"

"Maksud kamu..." Khirani semakin menajamkan sorotan matanya.

"Biar kalau ada angin nggak ketiup ... wing!" Dua tangan Bhanu membentuk dua sayap-sayapan yang sangat aneh.

"Hah?" Khirani mengerutkan kening melihat tingkah Bhanu yang semakin aneh.

"Hehehe..." Bhanu benar-benar kehilangan alibi, pintu kotak inspirasi yang biasa mengeluarkan ide untuk menulis cerita, tertutup rapat. Bhanu kehilangan kunci untuk membuka kotak tersebut, alhasil ia berakhir tampak seperti manusia yang absurd, kehilangan dirinya yang keren. 

Yang bisa Bhanu lakukan kini hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia perlahan menundukan kepala lalu berkata, "Maaf," sambil mengusap-usap jempol tangan kanannya sendiri.

"Nggak jelas!" cibir Khirani sembari berlalu.

Bhanu mendongak lalu melongo di tempat, terkejut karena Khirani tidak semarah yang ia bayangkan. Bhanu membalikkan badan menatap punggung Khirani yang baru masuk ke pintu gudang. Senyuman Bhanu perlahan terukir, senyuman itu semakin mengembang tak bisa ditahan. Meski begitu, ia berjanji untuk ke depannya akan selalu mengingat untuk menahan diri. Ia tidak mau lagi melakukan sesuatu seperti tadi tanpa persetujuan gadis itu.

Masih dengan senyuman merekah, Bhanu membalikkan badan, sesekali ia melumat bibirnya sendiri karena desiran di dadanya tak jua mereda, ditambah lagi karena repons Khirani yang seperti itu, semakin menguatkan desiran. Bhanu memang merutuki kebodohannya, tetapi ia tidak bohong jika berterima kasih kepada kebodohan itu untuk saat ini, tidak untuk lain kali.

"Astaga!" Bhanu terkejut saat melihat Endro, Sugik dan Aminah berdiri di anak tangga teratas. Tergambar jelas terkejut di wajah mereka, tetapi juga turut merasa senang.

"Wing!" ledek Sugik menirukan aksi sayap aneh Bhanu.

"Bisa kali saya diajak terbang, Mas," imbuh Endro dengan senyuman lebar. Sedangkan Aminah hanya tersenyum, senyuman yang benar-benar menyiratkan rasa bersyukur.

Bhanu tersenyum sipu, menutup setengah wajahnya sambil berjalan ke arah mereka. Pemuda itu mau bicara empat mata dengan Aminah, ia juga meminta siapa pun yang menyaksikan kejadian tadi untuk pura-pura tidak pernah melihat. Bukan karena Bhanu malu, tetapi karena tidak mau membuat Khirani tidak nyaman.

***

"Nduk Khirani...." Nawang muncul dari dalam kamarnya, membawa satu paperbag bermerek Zara. Wajah Nawang terlihat berseri, itu semua karena nilai UTS si kembar naik pesat sejak Khirani menjadi guru les mereka.

"Iya, Bu Nawang?" Khirani berdiri dari lesehannya bersama si kembar di ruang tengah.

"Nih, bonus buat Khirani." Nawang menyodorkan paperbag itu kepada Khirani yang terlihat bingung. "Nilai si kembar naik pesat, yang biasanya UTS dapat enam puluhan, sekarang jadi delapan puluhan. Ibu seneng banget, mereka jadi punya masa depan."

"Buuu!" pekik si kembar tidak terima. Mereka merasa tidak bodoh selama ini, hanya tidak suka saja dengan mata pelajaran. Mereka lebih menyukai non-akademik.

"Kita nih sebenarnya pinter," kata Nana.

"Cuman males aja," sambung Noni.

"Kita emang nggak sepinter juara kelas, tapi kita nih berbakat yang nggak dipunyai si juara kelas, tul nggak, Non?" sahut Nana melakukan aksi pembelaan bersengkokol dengan kembarannya.

"Kak Khirani aja juara kelas plus berbakat. Harusnya kalian mencontohnya," sahut Binna yang baru pulang.

"Iya proses nih, oteweeee!" kata Noni yang diimbuhi anggukan kepala Nana.

"Tumben dah pulang jam segini, Nduk?" tanya Nawang sambil menyodorkan tangannya untuk disalim Binna.

"Nggak ada kelas, dosennya ada rapat. Tapi ada tugas sih, nanti balik ke kampus. Hai, Kak?" sapa Binna melempar senyum ke arah Khirani yang menatapnya canggung.

Pertemuan mereka beberapa waktu lalu yang singkat, terlebih lagi saat itu Khirani mendapat kabar keadaan Diandra yang kritis, Binna pasti melihat Khirani yang berlari meninggalkan kedai dengan panik, Khirani merasa canggung.

"Hai ..." balas Khirani dengan senyuman tipis.

"Eh, dicoba dulu, Nduk Khirani," ujar Nawang. "Itu baju pilihan Ibu sendiri, semoga suka, ya. Ukurannya Ibu samain sama ukuran Binna, Ibu lihat ukuran badan kalian hampir sama."

Khirani mengangguk. "Makasih, Bu Nawang."

"Coba di kamar Binna, Kak, yuk!" ajak Binna yang diikuti dengan anggukan kepala Khirani, gadis itu mengikuti langkah Binna menuju kamar yang bersebelahan persis dengan kamar Bhanu yang bertuliskan Bale Panglima.

"Maaf, ya, Kak, kalau berantakan. Maklum, mahasiswi kedokteran, hehe." Binna membukakan pintu kamarnya. Namun Khirani tak segera masuk, gadis itu menatap pintu kamar Bhanu.

"Mau masuk?"

"Oh, iya, maaf." Khirani tersadar, pandangannya langsung mengalih ke arah Binna yang tersenyum lebar.

"Bukan ke kamarku, tapi ke kamar Mas Nu."

"Hah?"

"Pengen tahu, kan, gimana kamarnya penulis best seller? Yuk, aku kasih tahu. Mumpung Panglima Ndoro Kanjeng belum pulang!"

Belum sempat Khirani mengatakan penolakan, Binna sudah menggandeng tangannya dan menarik Khirani masuk ke dalam kamar Bhanu.

Mata Khirani langsung melebar ketika melihat dinding kamar Bhanu dipenuhi dengan ilustrasi mentah dari berbagai tokoh fiksi atau sesuatu yang khas dalam novel-novelnya, tertempel begitu saja tak beraturan. Dari ilustrasi wajah tokoh-tokoh fisiknya, ilustrasi rumah berpilar tanaman rambat yang Khirani kenali di novel Rembulan Memeluk Matahari, ilustrasi lentera di novel Lentera Dalam Terang, ilustrasi si gadis buta di Hujan Menyapa Tangismu. 

Semua ilustrasi yang digambarkan Bhanu, Khirani mengenalinya. Termasuk ilustrasi violinis bergaun selutut sedang memainkan biola di tengah taman, yang Khirani yakini bahwa itu adalah ilustrasi dirinya.

"Selain bakat nulis, Mas Nu juga bakat ngegambar. Aku nggak tahu otaknya itu terbuat dari apa sampai sekreatif itu," ujar Binna sambil menjatuhkan bokongnya di atas kasur kotak-kotak hitam putih milik kakaknya.

Mata Khirani menyapu keseluruhan kamar Bhanu. Di sekitar layar Macbook tertempel berbagai catatan kecil. Tumpukan novel terjemahan menumpuk di sebelah kanan PC, sebelah kirinya tampak tumpukan jurnal-jurnal riset, satu printer, alas gelas, asbak, dan kotak kecil serbaguna.

 Ada satu laptop lagi dan satu tablet yang berdiri diatas holder. Jendelannya dibuka lebar, ada beberapa pot bunga di sana. Nakas di sebelah kasurnya hanya berisi holder ponsel, charger dan jam bekker. Dinding di atas kasurnya tertempel lukisan pemandangan laut malam.

"Nggak apa-apa, ya, masuk sini?"

"Santai, kalau dia ngamuk cukup pegang dua pipinya aja. Ngamuknya bakalan reda."

"Pegang pipi?"

Binna mengangguk, "Mau lihat foto pas jametnya, nggak?" sejurus kemudian Binna bangkit dari kasur, berjalan kearah lemari. Membuka laci paling bawah. "kalau Mas Nu tahu nih, bakalan jadi hulk dia. Tapi, ini rahasia kita, ya? Sekali-kali aku mau buka aibnya, hahaha." Binna mengeluarkan foto album dari dalam laci kemudian kembali duduk di atas kasur, menyilangkan kedua kaki. "Sini, Kak!"

Khirani ragu, ia menyadari ini sangat melewati batas privasi Bhanu. Ia sendiri bilang agar Bhanu menjaga jarak dan melarangnya melewati batas privasi gadis itu. Namun, malah kini yang terjadi adalah Khirani sendiri yang melewati batas.

"Nggak deh, nanti dia marah."

"Ck, santai. Kalau pegang pipi nggak mempan, harus dikecup pipinya."

"Kecup pipinya?"

Binna tertawa, "Bercanda... udah deh, sini, nggak apa-apa. Dia juga nggak bakalan pulang sore ini. Aku lagi berusaha mengakrabkan diri nih sama Kakak, hargai usahaku dong..." ucap Binna dengan raut wajah memelas.

"Tapi, kan, nggak harus buka aib Mas Nu, maksudku... Mas Bhanu, ck, kakakmu!"

Binna berusaha keras menahan tawanya yang ingin meledak karena Khirani keceplosan memanggil kakaknya dengan sebutan 'Mas'. Ia menggigit bibirnya dengan gemas.

"Tapi, penasaran, kan?" pancing Binna, belum sempat Khirani menjawab, Binna langsung menarik tangan Khirani untuk duduk di sampingnya, di atas kasur Bhanu.

Binna membuka foto album tersebut, memperlihatkan beberapa foto Bhanu saat kecil sampai SMA. Dari Bhanu yang giginya ompong sampai Bhanu yang berponi miring seperti Andika Kangen Band. Dari zamannya berpose dua jari sampai pose menggunakan kaca mata bolong dan bertopi miring. Kebanyakan momen foto diambil berlatar laut, di pegunungan, di alam bebas. Sampai akhirnya Binna membuka foto terakhir di album, foto itu terpisah dari foto yang lainnya, berada di paling belakang.

"Eh, masih di simpen?" ujar Binna yang terkejut kakaknya masih menyimpan satu foto itu.

"Ini kakakmu?"

Ekspresi wajah Binna langsung berubah, sorot matanya menjadi sedu. Tawa renyah yang sedari tadi keluar dari bibirnya, juga lenyap. Menyisakan gigitan bibir yang seolah sedang menahan suatu kepedihan. Binna mengangguk sambil tersenyum getir.

Khirani menatap foto Bhanu berseragam Kebesaraan Korps Pelaut TNI AL, berseragam putih dengan topi yang berwarna senada. Pangkat di dadanya menujukkan tingkatan seorang Letnan Dua. Kulitnya berwarna lebih gelap tapi terlihat lebih tegas, sorot matanya yang tajam khas gambaran kewibawaan seorang prajurit TNI. Tertera nama di bawah foto tersebut, Letda Jisaka Bhanu Anumerta Raja.

"Itu nama aslinya?"

Binna mengangguk.

Meski dalam benak Khirani terajut berbagai pertanyaan mengenai kisah hidup Bhanu yang ternyata adalah seorang mantan prajurit Angkatan Laut, melihat sorot mata Binna yang sedu serta air muka Binna yang berubah getir dengan senyuman tipisnya yang samar, membuat Khirani paham bahwa kisah di balik foto itu tidak begitu indah untuk dikenang.

"Mas Nu sangat menyukai laut. Dia juga sangat menyayangi Ayah. Laut dan Ayah menuntun langkahnya masuk ke barisan prajurit pelaut. Tapi ... tragedi karamnya kapal perang tujuh tahun yang lalu membuatnya hengkang dari militer, juga membuatnya kehilangan sosok yang disayanginya."

Khirani tidak tahu harus berkata apa, tetapi yang jelas hati dan benaknya langsung tertuju pada senyuman yang selalu ia lihat dari wajah Bhanu. Dalam ingatan sejauh ia mengenal pemuda resek yang kerap menganggunya itu, Khirani tidak pernah melihat luka di dalam sorot mata Bhanu. Pemuda itu pintar sekali menyembunyikan luka di hatinya.

"Aku tahu Kakak pasti penasaran ceritanya, kan? Tapi maaf, bukan otoritasku. Biar Mas Nu yang cerita langsung sama kamu, Kak," ucap Binna dengan senyuman, ada bendungan bening di tengah sorot matanya menatap Khirani.

"Aku mau coba baju ini, ya?" alih Khirani.

"Sure, aku tunggu di luar, ya."

Selama ini Khirani tidak pernah salah. Bhanu memang setipe dengan dirinya, hanya saja mereka berbeda dalam mengatasi luka. Khirani membiarkan luka yang ia dapat merayapi hatinya dan mengubah karakternya yang ceria menjadi dingin, membuatnya menarik diri dari lingkup sosial, membiarkan energi negatif terus menguasai diri dan perlahan menjadikannya Khirani yang baru. 

Berbeda dengan Bhanu, pemuda itu memilih berdamai dengan luka dan menjadikan luka itu sumber inspirasinya. Menjadikan luka itu bagian dari cerita hidupnya, mengubah energi negatif menjadi sesuatu yang luar biasa, yakni sebuah karya. Luka membersamai Bhanu menjadi versi yang lebih baik.

Seperti yang pernah Khirani baca dalam novel Bhanu yang berjudul Rembulan Memeluk Matahari, tokoh yang digambarkan sebagai Rembulan merupakan sosok yang disebutnya ayah di dunia nyata. Matahari adalah dirinya yang kadang terkalahkan oleh awan hitam dan badai, namun Rembulan selalu memeluk Matahari agar saat-saat badai datang, Matahari tetap bersinar untuk menembus awan-awan hitam tersebut. 

Meski tak pernah bertemu langsung dalam satu waktu, Rembulan selalu memeluk Matahari, menjaga agar selalu tetap bersinar terang di keadaan apa pun. Seperti sang ayah, meski mereka sudah berbeda alam, Bhanu meyakini sang ayah akan selalu memeluk dirinya dari surga. 

*** 

Mas Nu, peyuuuk cini cini...

Terima kasih sudah membaca cerita ini

Sampai jumpa hari Jumat, ya. 

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro