Rainbow After The Rain
Akan ada pelangi setelah hujan.
Khirani berulang kali membaca kalimat itu di tembok kosnya. Tulisan itu sudah ada sebelum ia menempati kos itu. Dulu sebelum bertemu dengan Bhanu, kalimat itu seperti kalimat omong kosong, seolah ditulis dengan bercanda. Menurut Khirani, hidup tidak sebercanda itu. Hidup terlalu menyebalkan untuk dikatakan bercanda.
Namun, semenjak hadirnya penulis novel yang makan bubur dengan tiga mangkok itu, kiranya kalimat di tembok tersebut memang bukan omong kosong belaka. Setelah hujan badai kehidupan suram Khirani selama tiga tahun ini, tiba-tiba muncul warna-warna pelangi di langitnya.
Iya, sejak hadirnya pria itu. Bhanu Brajasena.
"Nggak usah masuk kerja deh, Yang. Aku yang nanti izinin ke Bu Aminah," ujar Bhanu saat menjemput Khirani di depan gang kosnya.
"Biasanya cuma sebentar kok, nanti juga mendingan," jawab Khirani sambil memasak seatbeltnya, "Nanti aku beli obat pereda nyeri. Penerbit baru aja ngeluarin buku baru, kerjaan di gudang udah pasti numpuk banget. Kasihan yang lainnya."
"Ya, udah, habis ini kita mampir ke apotik, ya?" kata Bhanu sambil mengusap rambut Khirani.
Gadis itu mengangguk.
Tak lama Bhanu melajukan mobilnya menuju tempat kerja, sebelum itu mereka mampir ke apotik untuk membeli obat pereda nyeri haid Khirani. Sepanjang Khirani hanya diam, merasakan haidnya yang kali ini lebih nyeri dari biasanya. Ia bahkan sampai memeluk lutut, dan membengkung membelakangi Bhanu.
Melihat Khirani seperti, Bhanu tidak bisa apa-apa selain mengusap punggung gadis itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang kemudi. Wajah pria itu tampak khawatir, beberapa kali melirik Khirani dengan cemas.
Bhanu baru kali ini melihat perempuan haid sampai segitunya. Biasanya Bhanu melihat Binna saat haid, gadis itu akan makan makanan pedas, sama dengan si kembar kalau datang bulan mereka akan menguras kantong Bhanu untuk membelikannya banyak makanan.
"Yang, kamu beneran nggak apa-apa?"
Lama tidak ada jawaban dari Khirani.
"Yang?"
"Nggak apa-apa, Mas."
"Kamu udah sarapan belum? Kita sarapan dulu, ya, baru bisa minum obatnya."
Khirani tidak menjawab, gadis itu hanya mengangguk lemah.
Pada sebagian perempuan, memang nyeri yang dirasakan saat datang bulan berbeda-beda. Tergantung dari tipis tebalnya selaput keperawanan. Namun, Khirani yakin kalau haid kali ini lebih sakit dari biasanya. Mungkin karena faktor kelelahan, badan yang selama ini dipaksa untuk meroda siang dan malam, akhirya protes pada pemiliknya. Tak hanya nyeri pada perut dan punggung, tetapi seluruh badan Khirani turut merasa sakit.
Usai makan bubur dan minum obat, Khirani dan Bhanu masuk ke kantor. Bhanu masih ada project dengan Endro mengenai penerbitan bukunya dalam bahasa asing, jadi pemuda itu masih sering berkunjung ke kantor penerbit. Ia juga menyiapkan proyek merchandise dan juga beberapa kerja sama lainnya atas nama penerbit.
"Datengnya barengan mulu perasaan, jangan-jangan..." celetuk Sugik sambil menaik turunkan alisnya.
"Jangan-jangan apa sih, Mas," sahut Bhanu sambil tersenyum.
Sementara Khirani masuk ke gudang, tidak merespons candaan Sugik. Bhanu sempat melirik gadis itu masuk gudang, sorot matanya masih menggantung rasa khawatir. Datang bulan memang proses alami seorang perempuan, tetapi Bhanu merasa amat cemas.
"Mas Endro udah dateng, Mas?" tanya Bhanu pada Sugik.
"Belum kayaknya, palingan bentar lagi."
"Sudah sarapan belum sampeyan?"
"Belum, kenapa, Mas? Mau ditraktir sarapan?" tanya Sugik sambil tersenyum lebar.
Belum sempat Bhanu menjawabnya, suara keras terdengar dari arah gudang. Tak lama suara teriakan karyawan lain di gudang pun ikut terdengar.
"Khirani!"
Bhanu langsung beranjak dari tempatnya, masuk ke dalam gudang. Matanya terbeliak saat mendapati Khirani tersungkur di atas lantai, tertimpa buku-buku. Pria itu buru-buru mendekati, menyingkirkan buku yang menimpa Khirani.
"Khi? Khi?" panggil Bhanu sambil menepuk-nepuk Khirani. Karena tidak ada respons, Bhanu langsung mengangkat tubuh Khirani, "Mas Sugik, tolong bukain pintu mobil saya. Kuncinya ada di tas."
Bersamaan Bhanu membawa Khirani keluar dari gudang, Aminah turun dari lantai dua. "Loh, Khirani? Khirani kenapa?" Wanita itu buru-buru berlari, menyusul langkah Bhanu yang berjalan keluar dari pintu utama kantor untuk menuju mobilnya.
"Tiba-tiba tadi pingsan, Bu," jawab salah satu karyawan gudang yang menyaksikan Khirani pingsan dan tertimpa beberapa buku.
"Astagfirullah..." Aminah panik, wajahnya berubah cemas. "Saya ikut, Mas Bhanu. Sini, saya pangku kepalanya." Aminah langsung masuk ke dalam mobil setelah Sugik membuka pintu tengah.
Bhanu melajukan mobilnya kencang ke rumah sakit. Meski pikirannya tidak keruan karena mengkhawatirkan Khirani, pria itu tetap fokus mengemudi. Kekhawatirannya benar, ada suatu yang tak beres dengan kekasihnya itu. Melihatnya lemas, pucat dan pingsan, rasanya Bhanu ingin menyalahkan dirinya sendiri karena tidak lebih cepat membawa Khirani ke dokter. Jika ada apa-apa dengan Khirani, sungguh Bhanu adalah orang pertama yang akan menyesalinya.
***
Aroma rumah sakit masuk ke dalam indera penciumannya, rasa sakit di perut dan punggungnya sudah menghilang. Perlahan Khirani membuka matanya, lampu di langit ruangannya membuatnya silau, beberapa kali ia menutup kembali matanya.
"Sayang?"
Suara itu membuatnya kembali perlahan membuka mata. Bayangan Bhanu pertama kali ditangkap oleh manik Khirani. Senyuman pria itu akhirnya membawa Khirani dalam kesadaran setelah ditidurkan oleh obat antinyeri selama hampir tujuh jam.
"Udah bangun? Masih sakit, nggak?" tanya Bhanu dengan suara lembut.
Pria itu memegang erat tangan kanan Khirani, sementara tangan kiri gadis itu tertancap selang infus. Khirani didiagnosa disminorea, nyeri hebat pada masa mentruasi yang disebabkan karena kenaikan hormon prostagaldin. Banyak pula disebabkan karena faktor kelelahan, dokter menyarankan Khirani untuk beristirahat total selama beberapa hari ke depan. Gadis itu juga mengalami anemia serta kekurangan asupan nutrisi yang optimal.
Khirani menggeleng lemah.
"Mau makan, Sayang? Tadi ibu ke sini bawa makanan, Bu Aminah juga baru aja pulang."
Khirani hanya tersenyum tipis untuk menjawabnya. Bhanu membuka salah satu kotak makanan yang dibawakan oleh ibunya. Kemudian menyuapi Khirani pelan-pelan sampai beberapa suapan.
Ada jeda panjang seusai Bhanu meletakkan gelas yang baru saja diminum oleh Khirani. Pria itu sedang mempertimbangkan sesuatu setelah berpikir panjang sejak berjam-jam yang lalu. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini dengan Khirani, hanya saja Bhanu tidak mau lagi melihat Khirani seperti ini. Ada tekad kuat sudah bulat, entah bagaimana nanti reaksi gadis itu, Bhanu hanya ingin yang terbaik untuk orang yang disayang.
"Kamu sendiri udah makan, Mas Nu?" tanya Khirani memecah hening di antara mereka.
Bhanu tak langsung menjawab, pria itu lebih dulu membuang napas panjang kemudian menoleh ke Khirani dengan senyuman tipis, "Udah."
"Apa kata dokter?"
"Kamu kecapean."
"Soal perutku yang sakit? Nggak ada sesuatu yang terjadi, kan?"
Khirani menangkap bayangan mendung di sorot Bhanu, seolah ada sesuatu yang membuat pria itu khawatir. Seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikannya.
"Nggak ada, kok. Tadi aku lupa apa namanya, cuman kata dokter nggak perlu ada yang dikhawatirin sih. Kamu cukup istirahat sama minum obat teratur, insyaallah lekas pulih."
Nada bicara Bhanu pun tak seperti biasanya, seolah ada tekanan dalam dadanya. Ada satu kalimat yang ingin diutarakan, tetapi berhenti di pangkal tenggorokan. Khirani merasa ada sesuatu yang tengah menganggu Bhanu.
"Mas Nu?"
"Hm?" Bhanu mendongak menatap Khirani.
Khirani mencoba untuk setengah duduk, bersandar pada bed yang diatur untuk miring. Tangan kanannya meraih tangan Bhanu, kemudian mengusapnya pelan dengan ibu jarinya.
"Semua baik-baik aja, kan, Mas Nu?"
Bhanu membalas usapan tangan Khirani, kini giliran pria itu yang mengusap tangan Khirani, "Baik-baik aja, kok, Khi."
"Tapi kamu kayaknya... nggak kayak gitu."
Bhanu tersenyum, "Emangnya kayak gimana?"
"Nggak tahu, aku ngerasa ada yang kamu sembunyiin dari aku."
Bhanu kembali mengulas senyum, "Nggak ada, kok," ucapnya sambil menggeleng, kemudian menarik napas panjang sebentar, "Tapi, ada yang pengin aku omongin."
Khirani tersenyum, "Ngomong aja, mau ngomongin apa memangnya?"
Bhanu tak lekas menjawab, matanya menatap tangan yang sedang diusap lembut. Terpaku untuk beberapa detik. Ia tahu risiko untuk mengantakan ini sama besarnya dengan dampak yang akan ia tanggung. Namun, Bhanu sudah tak punya pilihan lain.
"Khi?" Bhanu mendongak, menatap Khirani dengan tatapan dalam.
"Iya?" jawab gadis itu dengan seulas senyuman.
Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga hampir satu menit berlalu Bhanu hanya menatap Khirani tanpa ada kalimat yang keluar dari bibirnya. Membuat Khirani mengerutkan kening, namun masih tetap mengembangkan senyum. Pasti pacarnya itu sedang ingin bercanda, Bhanu selalu punya cara untuk membuatnya terhibur.
"Apa sih, Mas? Serius amat."
"Khirani?"
"Hm?"
"Kamu tahu, kan, kalau aku sayang banget sama kamu?"
Meski masih mencoba mencerna kalimat Bhanu dan menerka ke mana arah pembicaraan mereka, Khirani mengangguk mengiyakan.
"Tapi kamu nggak tahu seberapa khawatirnya aku lihat kamu pingsan tadi pagi."
"Maaf," ucap Khirani karena merasa bersalah sudah membuat Bhanu khawatir.
Bhanu menghela napas panjang sejenak, mengalihkan pandangannya sebentar dari Khirani. Kemudian membulat tekad kembali untuk melanjutkan kalimatnya.
"Khi?"
"Hm?"
"Ayo menikah."
Senyuman di bibir Khirani perlahan mengendur. Tatapan dan ucapan Bhanu terlihat di matanya bukan sebuah candaan, tetapi sebuah keseriusan. Bhanu sedang melamarnya! Bukankah itu terdengar bagus? Atau terasa gila? Mereka baru menjalin hubungan satu minggu, secepat itu untuk memutuskan melangkah ke jenjang pernikahan? Pernikahan bukan sebuah lelucon, apakah pria itu sudah memikirkan dengan matang mengenai itu?
Perlahan Khirani melepaskan tangannya dari genggaman tangan Bhanu. Matanya jelas sekali terlihat terkejut, mengerjap beberapa kali untuk mencerna lamaran dadakan dari sang kekasih. Bukannya tak cinta, tetapi ini terlalu dini untuk menjenjang ke langkah itu. Khirani punya mimpi, Khirani belum sepenuhnya keluar dari lubang hitamnya, utangnya masih belum lunas, adiknya masih belum sadar. Jika Khirani menikah dengan Bhanu, gadis itu hanya merasa menjadi beban saja untuk Bhanu dan jelas Khirani tidak mau.
"Kenapa?" tanya Khirani, gadis itu menoleh ke Bhanu, "Kenapa tiba-tiba?"
"Aku nggak mau ngeliat kamu menderita lagi, Khi. Aku nggak mau kamu kayak tadi. Kamu nggak perlu lagi kerja keras sampai kamu kekurangan gizi, sampai kamu sakit. Aku yang bakalan nanggung hidup kamu, hidup adikmu, aku yang akan melunasi semua utang-utangmu."
Benar dugaan Khirani, Bhanu ingin menikahnya karena keadaan gadis itu yang menyedihkan. Detik ini Khirani merasa benci kepada Bhanu, ternyata tidak ada orang yang benar-benar memahaminya.
"Khi?"
"Aku nggak mau," sahut kontan Khirani.
"Khi, aku-"
"Dari awal kamu memang cuma kasihan, kan, sama aku?"
"Demi Tuhan, nggak, Khi. Aku beneran cinta sama kamu, karena itu aku nggak mau ngeliat kamu menderita lagi."
"Kamu tahu, kan, konsekuensinya kalau kamu kayak gini sama aku?"
Bhanu menundukkan kepalanya, pria itu mengambil jeda napas. Posisinya benar-benar serba salah. Ia tidak ingin melihat Khirani menderita, ia juga tidak ingin melepas Khirani karena ini.
"Kalau kamu beneran cinta sama aku, harusnya kamu ngerti, Mas Nu. Aku benci banget dikasihani. Benar memang hidupku menyedihkan, tapi aku benci dikasihani." Jeda isakan tangis, "Dan aku kecewa ... orang yang selama ini aku anggap paling mengerti aku, nyatanya nggak sama sekali. Sama aja sama orang lain, cuma kasihan sama aku."
Bhanu masih menundukkan kepalanya.
"Kalau kamu kayak gini terus sama aku, lebih baik kita putus aja," putus Khirani sembari memalingkan wajah.
Selama beberapa menit, tidak satu kata pun yang keluar dari Bhanu. Pria itu masih menundukkan kepalanya, sementara Khirani juga memalingkan wajahnya menghadap ke jendela kamar rumah sakit. Tanpa mendung di luar sana, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Perlahan terdengar Bhanu menarik dirinya dari kursi, berdiri sambil mengusap air matanya.
"Ya, udah, kamu istirahat, ya, Sayang. Aku mau keluar dulu," ucap Bhanu sambil membelai ujung kepala Khirani. "Telepon aja kalau butuh sesuatu."
Bhanu melangkah pergi, ia berjalan keluar kamar perawatan Khirani. Menutup pintu pelan-pelan kemudian melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan patah hati karena rasa cintanya pada sang kekasih hanya dianggap sebagai rasa kasihan, padahal Bhanu benar-benar serius ingin mengajaknya menikah bukan karena ingin menanggung semua beban Khirani, tetapi pria itu juga punya alasan lain.
Sepeninggal Bhanu, Khirani kembali menangis. Mengapa Bhanu seperti not asing yang sayang untuk dihilangkan? Sementara jika dibiarkan, nyanyiannya akan terdengar sumbang. Meski rasanya kecewa, tak bohong jika Khirani juga turut terluka karena menolak lamaran pria sebaik Bhanu.
***
Follow IG : dianafebi_
Jangan lupa vote dan komen, ya. Terima kasih.
With Love, Diana Febi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro