Rahasia Yang Tersembunyi
Taksi yang ditumpangi Khirani baru saja sampai di halaman rumah Bu Aminah, ia bertekad ingin membawa pergi Diandra dari rumah itu. Khirani memilih menanggung malu dan sungkan kepada keluarga Bu Nawang untuk membawa Diandra pindah ke sana. Daripada harus menitipkan adiknya pada orang yang selama ini membohongi dirinya.
Khirani berjalan menuju pintu, bersamaan dengan taksi Bu Aminah yang datang.
"Khirani?" panggil Bu Aminah, berusaha mengejar.
Khirani membuka pintu, adiknya yang sedang menonton TV di atas kursi rodanya itu menoleh, terkejut melihat Khirani datang dengan langkah gusar dan mata yang sembab.
"Kak, ada apa?"
"Khirani!" Bu Aminah menyusul masuk ke rumah, mengejar langkah Khirani. Ia memegang dua tangan perempuan itu, "Dengerin penjelasan saya dulu."
"Apa yang mau dijelasin?" lontar Khirani.
"Kak, ada apa?" Diandra yang tidak tahu apa-apa, terlihat panik dan bingung. Kakaknya itu berpamit mengunjungi ayah mereka, pulang dengan keadaan seperti itu.
Khirani melepas tangan Bu Aminah dari tangannya, kemudian berjalan ke arah kamar Diandra. Baju-baju yang baru ditata rapi di lemari itu kembali dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam tas besar.
"Khirani, jangan pergi." Bu Aminah berusaha untuk mencegah Khirani membereskan barang-barang adiknya. "Khirani, dengerin penjelasan saya."
Diandra menyusul dengan kursi rodanya masuk ke dalam kamar, menyaksikan Khirani yang menepis tangan Bu Aminah dari tasnya. Tergambar amarah yang meluap dari raut wajah kakaknya, Diandra semakin bingung dan panik.
"Memang benar ayahmu menikahi saya!" lontar Bu Aminah, "secara siri."
Khirani menatap Bu Aminah dengan mata membara kekecewaan yang dalam, sementara Diandra terlihat kaget, menutup bibirnya yang terbuka.
"Ibumu tahu. Ibumu tahu kalau saya menjadi istri siri ayah kalian."
Mata membara karena kekecewaan kini berganti dengan sorot terkejut dan bingung. Khirani sama sekali tidak tahu menahu dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sebagai anak, ia merasa buta dengan keluarganya sendiri.
"Saya dan ayahmu teman sekolah, kami menjalin hubungan selama hampir tujuh tahun sebelum akhirnya ayahmu dijodohkan dengan ibumu," jelas Bu Aminah dengan linangan air mata.
Mendengar itu, tas yang di tangan Khirani terjatuh ke lantai.
Ayah Khirani dan Bu Aminah bertemu saat sekolah, mereka sama-sama menyukai buku. Kepribadian Bu Aminah yang ceria berbanding terbalik dengan ayah Khirani yang terkesan dingin. Mereka sempat bermusuhan sampai akhirnya menjadi akrab setelah ditugaskan guru menjadi satu kelompok.
Ayah Khirani tumbuh dalam keluarga pembisnis, ia dikuliahkan ke luar negeri. Sementara Bu Aminah dari keluarga biasa saja. Menjalin hubungan jarak jauh selama lima tahun, Ayah Khirani berniat melamar Bu Aminah.
Namun, keluarga menentang dan Ayah Khirani dijodohkan dengan ibu Khirani. Banyak yang bilang itu adalah pernikahan bisnis. Sempat terpisah komunikasi dengan Bu Aminah, Ayah Khirani mencoba menjalani pernikahan dan lahir Khirani setelah dua tahun pernikahan.
Ayah Khirani mendirikan bisnis percetakan dan penerbitan buku, membuka lowongan besar-besaran. Bu Aminah tidak pernah tahu kalau percetakan itu milik Ayah Khirani, ia baru tahu setelah bekerja satu bulan di sana.
Keadaan yang mengimpit, Bu Aminah tidak bisa resign. Hari berlalu, bulan berlalu, hingga beberapa tahun kemudian. Ayah Khirani menyerah, ia tak bisa melupakan Bu Aminah dan merasa bersalah karena tidak mau memperjuangannya.
Ibu Khirani tahu cinta pertama suaminya adalah Bu Aminah. Ibu Khirani pernah marah dan membenci, tetapi ia akhirnya sadar kalau dirinyalah orang asing di hubungan mereka. Sempat temu muka dengan Bu Aminah, mengikhlaskan jika suaminya menikahi Bu Aminah.
Namun, Bu Aminah mengundurkan diri. Setahun kemudian ia mendirikan penerbitan sendiri, yakni Penerbit Cakrawala. Sempat mengalami krisis keuangan perusahaan, Ayah Khirani menolongnya. Pada saat itulah Bu Aminah luluh.
Ayah Khirani menikahi Bu Aminah secara siri dan diketahui oleh Ibu Khirani. Mereka menyembunyikan itu secara diam-diam, hidup dalam satu kepala rumah tangga tanpa seorang pun tahu selama bertahun-tahun.
Bu Aminah sempat menentang Ayah Khirani untuk terjun ke politik. Namun, Ibu Khirani mendukungnya, mereka sempat perang dingin karena itu. Hingga tak lama, skandal itu terjadi. Penangkapan Ayah Khirani.
Mendengar semua penjelasan itu, alasan-alasan kebaikan Bu Aminah terpecahkan. Bagaimana ia berusaha untuk mencari ke sana kemari Khirani dan adiknya seusai skandal, memberinya pekerjaan, memaklumi semua hal yang dilakukan Khirani. Memberinya tempat tinggal dan merawat Khirani.
Karena mereka keluarga. Meski bukan darah dagingnya, anak-anak dari pria yang dicintainya juga adalah anaknya.
"Kenapa nggak bilang selama ini?"
"Kalau kamu tahu dari dulu, apa kamu menerima saya?"
Bibir Khirani terbungkam. Jelas, itu tidak akan bisa diterima oleh Khirani sebagai anak. Bagaimana mampu menerima ibu lain dari pernikahan diam-diam ayahnya? Saat ini pun rasanya marah dan kecewa.
"Khirani, saya tulus sayang sama kamu, sama kalian. Meskipun kalian bukan anak yang lahir dari rahim saya, saya menyayangi kalian seperti anak kandung saya sendiri."
Khirani tak sepenuhnya bisa menyalahkan Bu Aminah yang menjadi istri kedua ayahnya. Bagaimanapun juga dari awal mereka sudah bersama, tidak bisa menyalahkan cinta yang harus terpisah karena perjodohan.
"Mbak Mayang sempat menemui saya waktu itu, dia menitipkan kalian pada saya. Dia akan segera kembali setelah mengumpulkan banyak bukti penjebakan ayah kalian."
"Bu Aminah tahu di mana ibu kami?"
Bu Aminah menggeleng, "Mbak Mayang nggak pernah bilang tepatnya di mana. Nomer yang menghubungi saya selalu berbeda-beda kode negara. Kata Mbak Mayang, dia sudah mencurigai satu orang yang sekarang dikejarnya."
Bu Aminah mengusap air matanya, "Meskipun mereka dijodohkan, Mbak Mayang benar-benar tulus mencintai Mas Romi. Setulus dia ikhlas suaminya menikah lagi, setulus dia ikhlas mencari cara untuk membebaskan Mas Romi dari tuduhan. Dia selalu mengatakan pada saya, kalau dia beruntung menikah dengan Mas Romi. Meskipun tidak cinta dari awal, Mas Romi selalu baik pada Mbak Mayang. Kini Mbak Mayang berupaya untuk menolong Mas Romi dari penjara sebagai rasa cinta dan rasa balasnya."
"Saya pernah meminta untuk membantunya, mencari bukti bersama. Tapi, Mbak Mayang menolak. Harus ada yang menjaga kalian, harus ada yang menguatkan Mas Romi di penjara," lanjut Bu Aminah. "Maafkan saya, saya benar-benar minta maaf."
Bu Aminah mendekat, meraih tangan Khirani, "Jangan pergi dari rumah saya. Tolong, jangan pergi, ya?" Kemudian ia menoleh ke Diandra, berjalan ke arah gadis itu dan memegang tangannya, "Saya mohon, tetaplah tinggal di sini."
Diandra mengusap air matanya, hatinya lebih lembut dibanding kakaknya yang tak mudah untuk luluh. Namun, bagaimanapun juga keputusan ada di tangan Khirani.
***
Kebaikan-kebaikan Bu Aminah selama ini menutupi keraguan Khirani untuk memaafkan wanita itu, meski status Bu Aminah sebagai istri kedua ayahnya belum sepenuhnya ia terima.
Ada dalam lubuk hatinya merasa marah dan kecewa teramat dalam. Namun, semua itu sudah keputusan orang tuanya. Khirani hanya marah dan kecewa karena merasa dibohongi. Itu saja.
Enam bulan lagi setelah menyelesaikan satu semester, setelah adiknya bisa berjalan kembali. Ia akan membawanya ikut ke Aussie. Tidak lagi bergantung pada Bu Aminah. Kebaikannya mungkin sudah cukup sampai di situ.
Khirani merasa kasihan pada ibunya yang kini entah di mana, bagaimana bisa menjalani hidup dengan berbagi suami. Khirani memang tidak mengerti bagaimana rasanya mencintai sebodoh itu. Itu sudah pilhan ibunya untuk merelakan suaminya menikahi cinta pertamanya.
"Saya tahu pasti kamu sulit menerimanya. Saya juga tidak memaksa kamu untuk memahami perasaan saya. Namun, satu hal yang harus kamu tahu, Khi. Rasa sayang saya tulus untuk kalian. Demi Allah, saya benar-benar menyayangi kalian seperti anak kandung saya sendiri."
Kalimat itu terus berputar-putar di benak Khirani dalam perjalanan pulang ke rumah Bu Nawang. Semua kebaikan Bu Aminah turut terekam ulang di ingatannya. Wanita itu pernah berulang kali ingin melunasi utang-utang Khirani dan membiayai pengobatan adiknya, tetapi Khirani selalu menolak.
Khirani merasa bodoh karena pada saat itu ia sama sekali tidak curiga dengan sikap baik Bu Aminah.
Wanita itu selalu membelanya, memaklumi kesalahannya di kantor, sering memberinya kelonggaran. Terlalu jahat jika semua kebaikan itu tertutup oleh satu kebohongan. Karena kebohongan itu pun diciptakan Bu Aminah untuk menjaga perasaan Khirani.
Ponselnya berdering, ada panggilan masuk ketika kakinya baru saja turun dari taksi.
"Kamu di mana?" tanya Bhanu dengan nada khawatir.
Belum sempat Khirani menjawab, mata mereka sudah bertemu. Bhanu mengenakan seragam dinas berdiri di depan pintu rumahnya, di belakangnya ada Bu Nawang yang beraut khawatir.
Bhanu lantas berlari ke arah Khirani yang berdiri di gerbang, memeluknya terlebih dahulu untuk menuntaskan dahaga rasa khawatir yang seolah mengeringkan hatinya sejak mendengar Khirani menangis tersedu-sedu. Juga menyapa rindu yang amat menyiksa sejak keberangkatannya ke pangakalan militer.
"Kamu dari mana?" ucapnya sambil mengusap-usap wajah Khirani.
Mata Khirani yang sembab semakin membuat Bhanu khawatir. Namun, ia tahu karakter perempuan itu. Tidak bisa langsung menjawab apa yang baru saja dialaminya.
"Rumah Bu Aminah." Khirani tersenyum tipis, matanya menjajaki setiap jengkal wajah yang dirindukannya itu. "Kamu pulang?"
"Hm. Tapi, nggak bisa lama. Aku cuma punya waktu satu jam."
Khirani mengangguk-angguk, "Maaf, udah buat kamu khawatir."
"Ayo masuk dulu." Bhanu meraih tangan Khirani, mengajaknya masuk ke rumah.
"Udah makan, Khi? Ibu masakin, ya?"
Bu Nawang sempat terkejut putranya tiba-tiba pulang padahal katanya baru bisa pulang dua bulan lagi. Mendengar cerita Bhanu, Bu Nawang semakin khawatir. Ia merasa bersalah karena beberapa terakhir ini tidak terlalu memperhatikan menantunya. Ia masih bersedih karena ditinggal Bhanu ke pangkalan militer.
"Sudah, Bu, makasih."
Bhanu memberi isyarat ibunya untuk tidak khawatir.
"Mau ke gazebo atas?" tawar Bhanu, diangguki kepala oleh Khirani.
Mereka duduk di gazebo atas, Bhanu membawakan segelas susu hangat karena cuacanya kebetulan sedang mendung. Lama mereka hanya duduk bersampingan tanpa bertukar kalimat, Bhanu memberi Khirani jeda. Kesiapan untuk bercerita.
"Aku dengar kamu lolos."
"Iya."
"Kapan berangkatnya?"
"Akhir bulan depan."
Bhanu menghela napas panjang, "Akhir bulan depan aku dipindah ke Surabaya."
Khirani menoleh dengan wajah terkejut, namun ia tidak mengatakan apa pun. Semua itu pasti sudah menjadi rencana dari misi Bhanu.
Khirani hanya menghela napas panjang. Sungguh tak mudah menjadi istri abdi negara.
"Kenapa? Ada apa, hm? Kenapa nangis tadi?" tanya Bhanu hati-hati, memegang tangan Khirani dengan lembut.
"Mas Nu?"
"Hm?"
Khirani menggeleng, tak siap untuk menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Tabir rahasia keluarganya. Khirani juga memikirkan hubungan Bhanu dan Bu Aminah, tak mudah di posisi Khirani.
"Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita sekarang. Kalau ngerasa kesulitan, sementara aku nggak ada, kamu bisa cerita sama keluargaku, ya? Mereka juga keluargamu."
Khirani mengangguk, "Maaf, sudah membuatmu khawatir. Aku baik-baik aja, kok. Tadi cuma lagi syok, tapi... tapi kamu nggak perlu khawatir, masalahnya sudah selesai. Nggak perlu ada yang dikhawatirin," ucap Khirani diakhir seulas senyum, sedikit kontradiksi dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Bener?"
"Iya."
"Beneran?" tanya Bhanu kembali memastikan.
"Iya, Mas," jawab Khirani dengan kemantapan.
Tak perlu lagi dipermasalahkan. Meski berat, Khirani harus dan mampu untuk menerima Bu Aminah sebagai ibu tirinya. Kebaikan-kebaikan Bu Aminah total menutup rasa kecewa yang sempat melubangi perasaan Khirani.
"Mau nganter aku ke markas?"
Khirani tersenyum, lalu mengangguk.
Menaiki bus umum, seperti mengulang masa di mana perasaan masih abu-abu. Di tempat yang sama, tapi di bus yang berbeda. Khirani duduk di samping Bhanu saat kedua kalinya mereka bertemu, saat Bhanu memberikan Novel Gantari pada Khirani.
Khirani memegang erat tangan Bhanu, merebahkan kepalanya pada pundak pria itu. Menghirup aroma tubuh Bhanu sepuas mungkin, karena bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir mereka sebelum terpisah jarak dan waktu.
"Nanti kamu nggak bisa nganter aku ke Bandara?"
"Nggak janji, Sayang. Maafin aku, ya?"
Khirani menatap gedung silih berganti dari balik jendela bus, meresapi kegaduhan hati dan pikirannya.
"Aku ada misi juga ke Australia akhir tahun. Mungkin kita bisa ketemu di sana."
"Bener?"
"Itu juga... nggak bisa janji."
Khirani menghela napas panjang, "Aku rindu kamu jadi Bhanu Brajasena."
Bhanu mengusap lengan Khirani, "Maaf, ya?"
Khirani menarik kepalanya dari pundak Bhanu, "Memangnya nggak ada kata selain kata maaf?"
"Kamu mungkin masih merasa kesepian sekarang, tapi aku yakin kalau sudah sekolah nanti bakal nggak kerasa jarak dan waktu kita. Setelah pelatihan aku juga bebas bawa hape, kok, Yang. Cuman, emang kalau di laut, aku tetep nggak bisa hubungi kamu."
Sudah kuputusan Khirani untuk menikah dengan Bhanu dan menghadapi risiko ini. Harusnya mengeluh karena jarak dan waktu adalah kekanak-kanakkan. Khirani sadar menikahi seorang abdi negara, di mana seluruh hidup dan pengabdiannya sepenuhnya pada kepentingan negara.
Khirani menyadari detik ini menyulitkan perasaan suaminya.
"Mampir dulu ke minimarket."
"Hah?" ujar Bhanu tiba-tiba Khirani mengubah alur pembicaran, "ngapain?"
"Beliin kamu sunscreen. Pakai kalau kamu mau latihan. Jadi, item banget sekarang."
Bhanu tertawa, "Kamu mau aku diketawain satu letting?"
Khirani menatap Bhanu dengan raut kesal, "Emangnya tentara nggak boleh pakai sunscreen? Sunscreen kan penting buat ngelindungin kulit dari sinar jahat matahari."
Bhanu mengangguk-angguk, "Iya, iya, ya udah, nanti aku beli. Rela diketawain satu letting, demi kamu." Pria itu tersenyum, hatinya kini lega meski perasaan bersalah tetap bersarang karena meninggalkan Khirani di titik awal perjuangannya meraih mimpi.
Sampai di Pangkalan Utama TNI AL di pinggiran Jakarta Utara, mereka akhirnya berpisah.
"Hubungi aku saat kamu bisa," ucap Khirani, tak inginn melepas tangan Bhanu yang akan masuk ke gerbang pangkalan.
"Pasti." Bhanu tak ingin melepas pandangannya dari wajah Khirani, "Jangan telat makan. Jangan banyak pikiran. Nanti kita pasti ketemu lagi."
"Pasti."
Khirani sudah menahan diri untuk tidak menangis, tetapi air matanya keluar dengan sendirinya.
"Jangan nangis," ucap Bhanu urung untuk melepas tangannya, ia mengusap air mata di pipi Khirani, "Selamat, ya, kamu hebat udah bisa sekolah lagi. Jangan khawatirin aku, aku pasti bisa jaga diri. Kamu fokus sekolah dan wujudin mimpi kita, hm?"
Khirani mengangguk, masih menahan tangisannya agar tak semakin terisak.
Bhanu mengecup kening Khirani, tak peduli banyak orang yang berlalu lalang di depan gerbang pangkalan.
"I love you, Khi."
"Aku juga, Mas."
"Aku pergi dulu, ya?"
"Iya."
"Kamu hati-hati pulangnya."
Berat hati melepas tangan yang selalu ingin digenggam. Saling mengucap salam perpisahan untuk waktu yang tidak bisa dipastikan kapan akan bersua dalam pelukan kembali.
Bhanu berjalan masuk ke gerbang pangkalan, melangkah menuju mimpi nyatanya memperjuangkan nama sang ayah yang detik ini masih dicap sebagai penyebab tenggelamnya kapal beberapa tahun silam dan menewaskan banyak prajurit. Menuntaskan keinginan mendiang untuk tetap teguh dalam diri pejuang sebagai seorang prajurit.
Sementara Khirani berjalan pulang untuk mempersiapkan diri meraih mimpi yang sejengkal lagi bisa digapainya. Menjadi seorang violinis dan musisi yang hebat. Membuktikan pada diri yang dulu terpuruk, mampu bangkit dan kembali menjadi seorang bintang.
Mereka saling melambai dengan senyum dan air mata rasa bangga di hati masing-masing.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro