Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pilihan Terakhir

Lembar biaya di tangannya itu seperti monster yang akan menelan mentah-mentah tubuh Khirani. Jumlah angka nol yang harus segera ia bayar, pas seperti pisau, menancap tepat di jantungnya. Menekan dadanya, memangkas jalur oksigen yang masuk ke dalam paru-paru, dan melumpuhkan persendian. Di teras lobi rumah sakit, lutut Khirani terjatuh lemas.

Dari sekian puluh juta yang harus dilunasi, setidaknya ia harus membayar uang muka biaya operasi otak sebesar sepuluh juta. Saldo rekeningnya bahkan tidak bisa menolong barang setengah pun. Khirani memutar otak untuk bisa mendapatkan sepuluh juta hari ini juga. Ia tidak mungkin meminta gajian awal lagi kepada Aminah karena dua minggu yang lalu baru gajian. Ia juga tidak punya apa-apa untuk dijual, kecuali biolanya. Jika berhasil dijual, Khirani bisa mendapatkan setidaknya lima juta. Sisanya, ia bisa menggadaikan ponsel atau menjualnya.

Khirani menghela napas panjang, terbesit satu jalan pintas yang mungkin akan lebih menyulitkan ia kembali di masa depan. 

Serta merta, Khirani langsung beranjak dari tempatnya. Ia kemudian mengambil langkah panjang dan cepat keluar dari rumah sakit, menggunakan uang tersisanya untuk mencegat taksi menuju ke rumah pemuda yang sangat ia benci, Garu, sebagai pilihan terakhir untuk mendapatkan uang saat ini juga.

Khirani langsung menghadap ayah Garu, Pak Kim. Dengan terbata-bata dan penuh harapan, gadis itu menyampaikan tujuannya menemui renternir paruh baya itu.

 "Bukumu belum habis, Khirani," ucap Pak Kim dengan logat asli penduduk Busan. Dengan cerutu yang mengepulkan asap, Pak Kim tersenyum miring, "Kau mau berutang lagi? Garu ... sudah bilang, kan? Kalau kita sudah stop pembayaran rumah sakit adikmu."

Khirani mengangguk terbata-bata, "Kali ini aja, Pak Kim, ini yang terakhir."

Pak Kim tersenyum lebar sambil menyesap cerutu miliknya, "Gimana ya? Utangmu sudah terlalu banyak, bahkan kau belum membayar setengahnya. Sulit."

"Saya mohon, Pak Kim! Ini sangat mendesak sekali." Khirani menjatuhkan lutut. Ia berharap lebih bisa dikasih kesempatan kali ini, bulir-bulir air mata mencuat dari pelupuk, Khirani sudah putus asa sampai harus kembali ke jurang lintah darat keluarga Garu.

Wajah Pak Kim tampak menimbang-nimbang. Tak berselang lama sebelum keputusan ia jatuhkan, terdengar pintu depan terbuka. Muncul sosok tinggi jangkung yang membeliakkan mata kaget melihat gadis yang beberapa waktu lalu menyemprotnya dengan cairan merica berlutut di depan sang ayah.

"Bajingan lo! Berani-beraninya ke sini!" Garu sudah berniat melayangkan satu tamparan ke pipi Khirani, namun tatapan sang ayah menghentikannya. Dengan wajah bersungut-sungut, Garuberdiri di samping Pak Kim di depan Khirani yang berlutut menahan air mata.  "Kuputusan  saya ada di tangan anak saya." 

Pak Kim beranjak dari kursinya sambil menyesap cerutunya, ia meninggalkan Garu dan Khirani di ruangan itu.

"Pak, saya mohon, Pak! Kali ini saya, tolong, Pak!" Khirani menyeret lututnya untuk mengejar Pak Kim, tetapi dorongan kaki Garu menghempasnya ke belakang, Khirani nyaris terjungkal.

Khirani mengigit bibir, ia tahu jika keputusan di tangan Garu, ia sama sekali tidak punya kesempatan. Padahal satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang sebanyak itu adalah mereka. Detik ini, Khirani menyesali perbuatannya pada pemuda bengis di depannya itu beberapa waktu lalu. Khirani kesal pada dirinya harus kembali jatuh pada cengkeram Garu. Ia kesal pada takdir kenapa sekejam ini padanya. Padahal, ia baru saja lepas dari sarang serigala, kini ia malah yang berjalan masuk ke dalam sarangnya.

Garu menekuk lutut menyamai posisi Khirani yang terduduk menggigit bibirnya dengan cucuran air mata. Tangan besar pemuda itu mencengkeram kuat rahang Khirani, ia mencari sorot mata gadis itu. Tak berselang lama, Garu menyeringai. Pemuda itu menemukan kembali sorot lemah Khirani, sorot mata ketakutan, ketidakberdayaan, dan Garu sangat menyukai itu.

"Ngapain lo ke sini, Bajingan? Setelah apa yang udah lo lakuin ke gue waktu itu, hm?"

Khirani tak lantas menjawab, ia hanya menatap kesal ke sorot mata serigala milik Garu. Sorot yang memancarkan kebuasan yang sangat Khirani benci.

"Diandra membutuhkan operasi."

"Operasi?" beo Garu yang kemudian disusul tawanya meledak. Tawa yang mengerikan di telinga Khirani. "Sial amat sih hidup lo..." lanjutnya dengan tawa yang lebih keras.

"Tolong bantu aku, sekali ini aja."

Garu menyurutkan tawanya, kemudian berkata, "Bantu?"

Khirani mengangguk pelan masih dalam cengkeraman tangan besar Garu. Sedangkan Garu kembali meledakkan tawanya. Pemuda itu benar-benar menertawakan habis gadis di depannya ini, ia merasa sangat puas.

"Waktu itu lo nyemprot mata gue sampe gue nggak bisa lihat dengan normal selama seminggu. Dan lo, sekarang minta bantuan sama gue? Lo nggak punya rasa malu?"

"Aku nggak peduli." Langsung dijawab Khirani tanpa keraguan.

"Waah ..." Garu tertawa tidak percaya dengan jawaban spontan gadis itu, "bener-bener menarik."

"Please ..."

"Bujuk gue," ucap Garu sembari membuang rahang Khirani dari cengkeramannya.

"Bujuk?"

"Hm, cepet."

Khirani memutar otak untuk menemukan kalimat bujukan yang tepat. Mungkin peluangnya untuk mendapat kesempatan ini tipis, tetapi setidaknya ia harus berusaha maksimal untuk itu.

 Raut wajah Khirani tampak bingung, ia benar-benar tidak tahu bagaimana untuk membujuk Garu, lebih tepatnya ia tidak tahu kalimat yang pas untuk membujuk pemuda itu.

"Eee..." Khirani kembali berlutut di depan Garu. Ia menjatuhkan harga dirinya kembali untuk kesempatan ini. "Aku mohon, tolong bantu aku sekali ini saja. Aku akan melakukan apa pun untukmu. Aku janji."

"Apa pun?"

Khirani mengangguk. Ia sudah tidak peduli lagi dengan persetan dunia yang kejam ini. Dunia sudah membuatnya hancur dan Khirani memutuskan untuk benar-benar hancur. Lagipula, ia sudah tidak punya apa pun di dunia ini kecuali Diandra. Prioritasnya adalah sang adik dan ia tidak peduli lagi dengan dirinya sendiri. Kalau pun Garu menyuruhnya untuk menjual diri atau bunuh diri, Khirani sanggupi demi sang adik. Sehancur itu ia kini merasakan hidup.

"Lo mau ngelakuin apa pun? Nggak terkecuali?"

Perlahan Khirani mendongak mencari sorot mata Garu, ia ingin menunjukan keseriusannya dengan ucapan tadi. Ia rela melakukan apa pun, ia pasrah dengan dunia ini.

"Hm, apa pun."

"Apa--pun?" Garu mengulangnya dengan intonasi berat, memperjelas.

"Bahkan kalau kamu memintaku tidur denganmu, aku sanggup."

Pak! Satu tamparan melayang ke pipi kanan Khirani, gadis itu tersungkur ke lantai. Ia membulatkan mata terkejut dengan respons Garu. Rasa panas menjalar, tetapi Khirani harus bangkit dan langsung menggelayut di kaki kiri Garu, meratap penuh harap.

"Please, Ru, please, bantu aku kali ini aja. Please, aku mohooon..."

"Bajingan Anjing! Pergi lo dari sini!" Garu menghempaskan tangan Khirani dari kakinya.

"Garu, please... aku nggak tahu lagi harus gimana, aku mohon, bantu aku."

Garu berusaha meredam gejolak api yang meledak-ledak dalam dada karena kalimat bujukan Khirani. Karena alasan sesuatu, Garu sangat membenci seorang perempuan yang menyerahkan tubuhnya demi uang. 

Garu lebih memilih perempuan itu melakukan kriminal lain seperti mencopet, mencuri, melakukan pekerjaan berat atau sederhana mau mencium kakinya dan memohon dengan ratapan penuh air mata, dibanding perempuan itu menjual tubuhnya. Sekali perempuan masuk ke lingkar pelacuran, meski terpaksa, ia tidak akan bisa lepas dari lingkar itu selamanya, bahkan sampai ia mati dan terkubur.

Sebenarnya Garu hanya berharap Khirani mau bersujud kepadanya. Itu saja. Ia juga berniat membantu Khirani kali ini. Namun, kalimat bujukan Khirani salah besar, hal itu membuatnya meradang dan mengurungkan niat untuk membantu.

"Keluar lo dari rumah gue. Jangan harap gue mau ngebantu lo. Jalang!" Garu mendorong keras bahu Khirani, kembali menutup pintu hatinya rapat-rapat. Tidak ada jalan, tidak ada kesempatan dan tidak ada waktu untuk mengurusi perempuan hina yang mau menyerahkan tubuhnya demi uang, pikir Garu.

Khirani terisak mengakhiri perjuangannya kali ini. Ia sudah menjatuhkan harga dirinya sejatuh-jatuhnya bahkan harga diri kehormatannya pun sudah siap ia turunkan. Namun, keputusan menjatuhkan harga kehormatannya ternyata salah. Ia sungguh bingung dengan sikap pemuda keji itu. Khirani pikir, Garu akan memanfaatkan kesempatan itu. Tak pernah ia bayangkan, Garu akan marah dan menolaknya.

Khirani keluar dari halaman ruko keluarga Garu dengan langkah yang tertatih. Ia sudah tidak tahu harus melakukan apa untuk mendapatkan uang. Pilihan di tangannya hanya ada dua, membatalkan operasi atau menjual diri. Sungguh, keputusan yang sulit.

***

"Nanti kita hubungi lagi, ya, saya akan diskusi dengan tim dulu." ucap Bhanu mengakhiri rapat dengan calon violinisnya yang kesekian.

"Baik, terima kasih, Kak. Saya akan sangat senang sekali jika bisa bergabung di pertunjukan."

Bhanu hanya membalasnya dengan senyuman sampai orang itu keluar dari kedai. Sudah empat jam, Bhanu duduk di sini mewawancari lebih dari lima orang, dari teman kuliah adiknya, temannya waktu sekolah, dan orang-orang yang memang violinis pemula sampai yang pro. Semuanya, belum membuat hati Bhanu pas. 

Ada yang permainannya bagus, tetapi ia tidak sejalan dengan pendapat Bhanu. Ada yang sejalan dan dapat mengembangkan ide saat pertunjukan, tetapi permainannya kurang bagus. Ada juga dua-duanya baik, tetapi terlalu mengatur jalannya pertunjukan.

Bhanu mengela napas panjang sembari duduk kembali di kursinya. Ia melirik jam yang melingkar di tangan. Di samping memikirkan mencari violinis yang tepat, pikiran Bhanu juga bercabang mengkhawatirkan Khirani. Gadis itu belum kembali sejak tadi siang, kata Anik, tas Khirani masih di loker, Bhanu sempat menanyakan gadis itu kepada rekan kerjanya.

Mas Nu, kalo udah selesai, jemput aku di rumahnya Tera. Pesan Binna masuk ke ponsel Bhanu. Pesan itu menjadi alasan tubuh Bhanu untuk beranjak dari tempat ini setelah menandaskan tiga gelas minuman dan satu piring dessert. Perutnya terasa kembung, ditambah lagi pikirannya pusing karena belum juga menemukan violinis yang tepat. Beban benaknya semakin berat saat rasa khawatir kepada Khirani juga turut singgah di sana.

Bhanu memutuskan untuk membereskan laptop dan buku catatannya di meja lalu melangkah keluar kedai. 

Cakrawala tampak mengabu, mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Hawanya kian mendukung perasaan Bhanu yang kacau. Setelah nanti menjemput Binna, ia menginginkan sambal pedas buatan Nawang sambil menikmati lanjutan film yang ia tonton tadi malam. Ia benar-benar membutuhkan sesuatu untuk merefesh otaknya menjadi lebih segar.

Rush hitamnya berbunyi dua kali pertanda alarm pada mobil mati, sang pemilik perhalan mendekati. Belum sempat masuk, ujung netranya menangkap Khirani berjalan gontai dengan pandangan kosong ke arah kedai. Buru-buru Bhanu mengurungkan niat untuk masuk ke dalam mobil, ia berjalan mendekati gadis itu.

"Khi..."

Mendengar sapaan itu, Khirani menengadah dan seketika membulatkan mata. Pemuda di depannya itu baru beberapa menit ada di pikiran, tiba-tiba saja detik ini tampak nyata hadir di depannya.

"Kamu dari mana?"

Satu ide bagai angin sejuk di padang savana yang panas, Khirani mendapatkan satu harapan untuk tidak memilih pilihan yang sulit antara membatalkan operasi atau menjual diri. Meskipun pilihan ini akan membuatnya kian menyedihkan di depan pemuda yang selalu ia hindari dan sakiti itu, Khirani putuskan untuk tidak peduli lagi. Wajahnya yang datar serta pandangannya yang kosong, seketika berubah menjadi wajah dan tatapan penuh harapan.

"Aku menerima tawaranmu."

"Tawaran?"

Khirani mengangguk, "Tawaran menjadi violinis di pertunjukan."

Bhanu menggeleng dengan cepat, "Saya udah nggak maksa kamu, kok, Khi, saya tahu kamu benci sama semua hal yang berkaitan dengan pertunjukan."

"Aku beneran mau. Tapi, dengan beberapa syarat."

"Syarat?"

"Pertama, aku mau menjadi voilinismu tapi dengan bayaran yang mahal."

Bhanu bergeming sejenak. Otaknya meroda untuk menangkap tentang apa yang sebenarnya terjadi pada detik ini. Tentang Khirani yang tiba-tiba menyanggupi tawarannya meski tawaran itu sebenarnya sudah tidak berlaku karena Bhanu tidak mau memaksa Khirani masuk ke pertunjukan yang gadis itu benci. 

Namun, sorot mata Khirani, bibirnya yang bergetar, serta bekas air mata yang masih belum kering di pipi gadis itu, menyadarkan Bhanu satu hal, Khirani sedang membutuhkan bantuannya.

"Oke. Berapa?"

"Sepuluh juta."

"Sepuluh juta? Tapi budget kita-."

"Aku ingin kamu yang membayarku, bukan penerbit. Dan aku mau dibayar sekarang juga!"

Dugaan Bhanu tepat, Khirani sedang terhimpit urusan yang mendesak. Dari gelagatnya tadi siang yang tergesa-gesa keluar dari kedai sampai tak kunjung kembali ke kedai setelah berjam-jam. Bhanu pernah mendengar tentang adik Khirani yang dirawat di rumah sakit dan Bhanu yakin hal ini pasti berkaitan dengan itu.

"Oke. Saya sanggup."

Rintik hujan turun menyapa keduanya di depan kedai, mereka saling beradu tatap. Bhanu menjadi pilihan terakhir yang tak sempat Khirani duga menjadi bagian dari pilihan. Namun, gadis itu bersyukur jika Bhanu adalah orangnya, meski semua pilihan akan berdampak di hari-hari ke depan. Khirani tidak peduli, untuk saat ini, keselamatan Diandra yang paling penting.

*** 

Terima kasih sudah membaca cerita ini

Mohon maaf, untuk mulai minggu depan Gantari akan slow update

hanya update di hari SENIN dan JUMAT saja. 

Ini berkenaan dengan jadwal saya yang harus menyelesaikan Gantari versi novel terlebih dahulu.

Mohon pengertian dan dukungannya ya. 

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro