Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pelukan Tenang

Melihat senyum Bhanu tidak serta merta membuat Khirani merasa lega, pasalnya sorot mata pria itu menunjukkan kontradiksi dari air muka yang coba ditunjukkan di hadapan Khirani. Bhanu mendekat, duduk di kursi samping ranjang perawatan Khirani. Pria itu mencabut tissu di meja, mengulurkan tissu itu kepada Khirani. 

Bhanu tidak bertanya mengapa Khirani menangis terisak, bahkan saat melihatnya masuk ke dalam ruangan, tangis Khirani semakin terisak. Karena Bhanu tahu gadis itu sedang mengkhawatirkannya mengenai berita yang sedang trending dan mungkin juga karena rasa bersalah gadis itu padanya.

Khirani meraih tissu itu, mengusapi dua mata dan pipinya. 

"Udah makan malam?" tanya Bhanu. 

Khirani mengangguk, "Kamu?"

Bhanu tak lantas menjawab, seingatnya memang terakhir makan tadi pagi sebelum berita itu keluar. Ah, itu bukan makan, tetapi hanya mencomot setengah roti dan tidak habis karena nafsunya mendadak hilang mengingat penolakan Khirani padanya. Makan roti itu pun dipaksa Nawang karena Bhanu harus minum obat. 

"Ada makanan nggak, ya?" Bhanu menoleh ke arah kulkas dan lemari penyimpanan. 

"Kamu belum makan?"

"Belum." Pria itu tersenyum lebar. 

"Tadi Bu Aminah beli bawa makanan lebih, coba lihat di lemari. Kayaknya memang sengaja beliin buat kamu."

Bhanu berdiri dari kursi, membuka lemari penyimpanan makanan. Ada sekotak makanan dari restauran cepat saji, Bhanu mengambilnya kemudian kembali duduk di kursi. 

"Aku makan, ya?"

Khirani mengangguk. 

"Kamu mau makan lagi?"

Khirani menggeleng. "Makan aja. Habisin."

Bhanu mencuci tangannya terlebih dahulu, kemudian duduk di sofa. Pria itu makan dengan tenang dan lahap, seolah tak ada kabar buruk yang sedang menerpanya. Sambil sesekali menatap Khirani dengan senyuman, pria itu melahap makanannya sampai habis.

Sementara Khirani semakin sedih dalam hatinya, Bhanu benar-benar terlihat tenang. Apakah perkataan Binna tadi siang benar? Bahwa Bhanu memang sudah kebal dengan kritikan. Namun, Khirani yakin tidak begitu, Khirani yakin Bhanu hanya berusaha untuk menutupi rasa sedihnya. Kritikan itu jelas ingin menjatuhkan Bhanu. Elmanik adalah panutan literasi baginya dan terasa aneh jika Bhanu hanya bersikap biasa-biasa saja. 

Usai makan dan membuang kotak bekas makanannya di tempat sampah, Bhanu kembali duduk di kursi ranjang Khirani. Mereka hanya saling diam, tidak ada kalimat yang bertukar, hanya saling menatap. Membisunya mereka mencoba menyelami perasaan masing-masing, ditemani roda troli perawat yang lalu lalang di lorong bangsal, ditemani pula angin malam  di luar jendela yang mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

"Mas Nu mau duduk sini?" tanya Khirani setelah beberapa lama.

Bhanu tersenyum, "Emangnya boleh?"

Khirani mengangguk.  

 "Aku masih flu."

"Nggak apa-apa?"

"Nanti kalau kamu ketularan gimana?"

"Ya, ... gapapa. Lagian aku masih istirahat seminggu ini, masih cuti."

Bhanu tak lantas berdiri, pria itu masih bergeming di tempatnya. Sejak kemarin pikirannya memang sedang penuh dengan tekanan, kritikan itu lebih dulu ia tahu sebelum diterbitkan menjadi artikel dan dibicarakan banyak orang. Elmanik yang pernah memujinya setelah pertunjukkan Gantari tiba-tiba menerbitkan artikel kritikan yang dinilai Bhanu bukan lagi sebuah kritikan, tetapi adalah upaya menjatuhkan. Entah apa yang membuat seniornya itu demikian, tidak bohong jika Bhanu merasa patah hati. 

"Sini..." Khirani memberikan tempat di sampingnya untuk Bhanu. 

Bhanu menarik napas panjang kemudian berdiri, pria itu naik ke ranjang Khirani. Duduk di berhadapan dengan gadis itu. 

Khirani tersenyum, begitu juga dengan Bhanu. Mereka saling berpegangan tangan, secara tidak langsung mencoba saling menguatkan. 

"Nggak pengin ngobrol sesuatu sama aku?"

"Ngobrol apa?"

Khirani mengendikkan bahunya. Ia tidak mau membahas masalah kritikan itu sebelum Bhanu sendiri yang mau cerita. Seperti apa yang pernah Bhanu lakukan dahulu, pria itu membiarkan Khirani mau cerita lebih dulu sebelum Bhanu bertanya. Karena tidak semua orang mau menceritakan masalahnya kepada orang terdekat sekali pun, banyak di antara kita hanya memendam dan mencoba menyelesaikan sendiri. Bukan bersikap egois, tetapi karena tidak ingin membuat orang-orang terdekatnya juga menanggung beban dari masalah yang sedang dihadapinya.  

Sejak kematian sang ayah, Bhanu memang sering memendam sendiri masalah yang ia hadapi. Pria itu dipaksa menjadi kepala keluarga di usianya yang masih muda dan fitrahnya seorang kepala keluarga adalah garis terdepan bagi keluarganya, sebagai tameng bagi keluarganya, terasa salah jika tameng itu malah terlihat rapuh.

"Nggak tanya kenapa aku tadi nangis?"

 Bhanu tersenyum, lalu menggeleng. 

"Kenapa?"

"Khi, aku minta boleh peluk? Aku nggak mau ngomong apa-apa, aku cuman pengin peluk."

Tidak ada jawaban dari Khirani, namun gadis itu perlahan memberi tempat untuk Bhanu duduk di sebelahnya. Kemudian ia tersenyum, mempersilakan Bhanu untuk berbaring di sebelahnya. 

Pelukan tenang itu didapatkan, bahu Bhanu membengkung dalam rengkuhan Khirani. Pria itu seperti anak ayam yang menemukan induknya, Bhanu mengistirahatkan segala pikiran dan perasaan yang kecamuk dalam peluk tenang Khirani. Untuk kedua kali setelah sang ayah pergi, Bhanu mampu membuka benteng rentannya kembali, membiarkan dirinya terlihat lemah dan rapuh di hadapan orang lain.  Di hadapan gadis yang ia cinta. 

"Aku pengin denger suara biolamu," ucap Bhanu. 

Kini mereka saling berbaring berhadapan, bertumpu tangan  masing-masing sebagai bantal. Tangan yang tertancap selang infus itu di atas pipi Bhanu, sesekali mengusap lembut dengan ibu jari. 

"Nggak mau denger suaraku?"

"Kamu bisa nyanyi?"

Khirani mengangguk, "Ibuku dulu penyanyi."

"Sempurna banget, apa sih yang kamu nggak bisa?"

"Banyak," katanya. Jeda beberapa detik, "Mas Nu?"

"Hm?"

"Mengenai tawaranmu..."

"Tawaran?"

"Maksudku... lamaran..."

Mata mengantuk Bhanu mendadak buyar, pria itu menatap Khirani tanpa berkedip. Perasaan tenangnya perlahan menjadi tegang, tak ingin menebak tetapi juga berharap. Melihat air muka Khirani yang juga sedang menatapnya saat ini, tak bohong jika degub jantung pria itu perlahan bergenderang. 

"Aku mau menikah sama kamu."

Bhanu tiba-tiba menggeleng. "Jangan menerimanya kalau jawaban itu kamu dapat dari rasa bersalah dan juga rasa khawatirmu karena masalah kritikan itu."

"Bukan," sahut Khirani langsung, "Bukan karena itu. Aku sudah membuat jawaban sebelum masalah kritikan itu."

"Kenapa? Kenapa bisa berubah pikiran?"

Khirani tak lantas menjawab, ia menyelami sorot mata Bhanu sembari mengusap-usap lembut ibu jarinya di pipi Bhanu, "Aku tahu kalau menikah bukan satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah, tapi aku percaya kalau apa pun masalah yang dihadapi akan lebih baik jika dilewati bersama. Ada yang bilang begitu."

"Siapa?"

"Orang yang pernah menyia-nyiakan seseorang di masa lalu kemudian menghukum diri dengan tidak menikah seumur hidupnya."

Degub jantung Bhanu semakin berdebar, selayak umumnya seorang pria yang menunggu lamarannya diterima resmi oleh sang kekasih. Jika bukan karena rasa bersalah dan rasa kasihan Khirani soal masalah kritikan itu, jadi memang jawaban itu benar-benar dari hati Khirani. Atas kemauan gadis itu sendiri. 

"Aku tidak tahu siapa itu, tapi aku ingin berterima kasih padanya."

Khirani tersenyum, "Nanti pasti aku sampaikan."

Jemari Bhanu menyentuh pipi Khirani, "Jadi lamaranku diterima?"

"Iya. Selamat."

Bhanu setengah tertawa. Pria itu membelai rambut Khirani, menyisingkan anak rambut ke belakang telinga. 

"Tapi ada syaratnya."

"Syarat?"

"Kita menikah setelah aku berhasil mendapatkan beasiswa sekolah musikku."

"Aku juga punya syarat."

Khirani kini yang setegah tertawa, "Apa?"

"Aku bantu kamu membiayai perawatan Diandra."

"Hm?"

"Aku juga mau kamu pindah kos dan tinggal di dekatku. Aku mau kamu berhentin ngamen di jalanan, aku mau kamu cuma fokus dapetin beasiswamu."

Khirani kini terdiam, tidak ada reaksi apa pun di wajahnya. Hanya menatap Bhanu saja, mendengarkan pria itu menyebut syarat yang selama ini Khirani tak ingin dicampuri urusannya oleh siapa pun. 

"Bukan karena aku kasihan sama kamu, tapi karena kamu calon istriku, Khi." Bhanu mengusap dagu Khirani dengan ibu jarinya, "Aku nggak mau lihat calon istriku susah. Kalau kamu mau pun, aku juga sanggup melunasi semua utangmu. Biar kamu benar-benar fokus dapetin beasiswa itu."

Khirani masih bergeming menatap Bhanu. 

"Kamu tahu apa mimpiku saat punya istri nanti? Aku ingin mengajaknya tinggal di Swiss. Aku ingin mengajaknya keliling dunia, aku bahkan ingin memberikan seluruh duniaku ."

Ibu jari Bhanu berhenti di permukaan bibir Khirani, pandangannya pun jatuh pada titik itu. "Dan aku mau itu kamu. Aku ingin memberikan duniaku kepadamu." Kelopak mata Bhanu mendongak menatap manik Khirani, "Kamu mau, kan, menerima duniaku, Khirani Gantari?"

Ruangan dingin itu perlahan menghangat, bahkan sejak beberapa detik yang lalu. Jarum jam menguasai suara di antara suara angin dari luar, juga suara deru napas keduanya. Khirani gentar menatap sorot Bhanu, napasnya tertahan berembus beberapa saat. Tamengnya akhirnya runtuh, egonya perlahan luruh, Khirani akhirnya menyerah pada keteguhan yang selama ini dipegang kuat. Gadis itu menatap Bhanu dengan sorot penyerahan diri bahwa ia benar-benar membutuhkan Bhanu,  bahwa sebenarnya ia juga lelah dengan semua masalah yang dihadapinya sendiri. 

"Hm. Aku mau... Jisaka Bhanu."

Ibu jari Bhanu perlahan menyingkir dari permukaan bibir Khirani, sentuhan itu diganti dengan usap lembut bibir Bhanu. Luruh semua ketakutan, kekhawatiran, keputusasaan dan rindu yang sempat menyesakkan rongga dada. Sulutan api itu menghangatkan, terhanyut dalam peluk tenang, seperti kumbang yang mengisap madu bunga. Seperti matahari sore yang berpulang pada rengkuhan malam.

***  

"Hachim!"

Aminah mengerutkan kening saat melihat Khirani bersin dari tadi. Perasaan kemarin saat Aminah meninggalkan Khirani, gadis itu baik-baik saja. 

"AC-nya kedinginan, ya, tadi malam?"

"Iya, Bu. Hachim!" 

"Ya, udah nanti sebelum pulang Ibu mintaiin resep obat flu, ya? Kayaknya kamu mau flu."

Sambil menunggu Bhanu yang sedang mengurus administrasi, Aminah membereskan barang-barang Khirani. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang hari ini, tapi masih harus menjalani masa istirahat untuk beberapa hari ke depan.  

"Khi?"

"Iya, Bu?" Khirani yang duduk di sofa itu menoleh. 

"Semalam Bhanu nggak ngomong apa-apa soal Elmanik?"

"Nggak, Bu. Saya juga nggak berani tanya."

Aminah menghela napas panjang, dari sorot matanya terlihat rasa kekhawatiran pada Bhanu. Semalam ia berjuang untuk mempertahankan sponsor dan beberapa kerja sama untuk naskah Gantari, bahkan ada lima Production House yang melamar naskah Gantari untuk jadi audiovisual. Empat dari lima PH itu menyatakan menarik pengajuan, menyisakan satu PH kelas menengah saja yang pembelian naskahnya pun tak sampai di angka 50 juta. Aminah dan Endro terus mengadakan negoisasi sampai melembur di kantor. 

"Kamu bisa nggak, ya, nanya? Bhanu mau buat statement apa gitu biar bisa jadi artikel balasan."

"Nanti saya coba, ya, Bu."

Aminah bernapas lega, "Makasih, ya, Khi. Pengaruh Elmanik benar-benar luar biasa, kami menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, selebihnya kami benar-benar pasrah."

"Nanti saya coba bantu, ya, Bu. Semoga Mas Nu mau bikin statement." 

"Iya, kalau kita diam aja gini malah kayak bunuh diri. Apalagi banyak media yang menggorengnya, jadi ke mana-mana. Naskah lama juga diungkit, naskah Perayaan Duka dinilai berpengaruh buruk buat kesehatan mental." Aminah mendesah panjang, benar-benar memusingkan karena kritikan dari satu orang. 

Sejujurnya Khirani tahu, semalam Bhanu mengigau menangis. Mungkin itu adalah refleksi dari batinnya yang sedang sedih dan terluka karena kritikan itu. Namun, Khirani tak mau menyimpulkan sendiri, ia ingin mendengarnya langsung dari Bhanu mengenai apa yang akan dilakukan Bhanu untuk menghadapi kritikan itu. 

Untuk sementara selama masa pemulihan, Khirani akan tinggal di rumah Aminah. Aminah pun terkejut Khirani lebih dulu meminta sebelum ditawari, tentu saja wanita itu senang bukan kepalang. Bahkan Aminah berpamit pulang dulu untuk mempersiapkan kamar yang akan ditempati Khirani. 

"Bu Aminah sayang banget ya, sama kamu, Yang," ujar Bhanu sambil mendorong kursi roda Khirani menuju parkiran. 

"Beliau memang orang baik dari dulu."

"Kayak nganggep kamu putrinya sendiri."

"Mas Nu?"

"Iya, Sayang?"

Ada jeda beberapa detik Khirani untuk memulai kalimatnya, "Maaf, ya, kalau aku lancang. Bu Aminah minta bantuanku soalnya."

Bhanu tersenyum miring sambil terus mendorong kursi roda Khirani, "Soal Elmanik?"

Khirani mendongak sebentar mencari sorot mata Bhanu. Ia ingin memastikan apakah ucapannya barusan membuat raut sedih di wajah kekasihnya.

"Nggak usah khawatir, semua akan baik-baik aja," ucap Bhanu. 

"Apa yang bakal kamu lakuin?"

"Nggak ada."

"Nggak ada? Kok, nggak ada? Katanya Bu Aminah, bukannya itu sama aja dengan bunuh diri? Banyak kerja sama yang berniat membatalkan, Mas. Kamu nggak khawatir?"

Terdengar helaan napas panjang Bhanu, pria itu melumat bibir sebentar kemudian menjawab, "Sepanjang karirku di kepenulisan, kritikan lebih dari itu sudah sering aku terima. Ah, bukan kritikan, tapi hujatan. Satu-satunya cara untuk menghadapi anjing yang menggongong dengan kita diam, kalau kita bereaksi anjing itu semakin menjadi.  Cuman kita diamnya juga udah pasti nyiapin batu di belakang punggung. Kamu nggak usah khawatir, pasti bakal ada waktunya aku melempar batu itu."

Bhanu menghentikan dorongan kursi roda Khirani, pria itu berjalan ke depan gadis itu, berjongkok memegang lutut Khirani. Pria itu tersenyum, "Bilang sama Bu Aminah, calon suamimu ini udah nyiapin batu."

Khirani bernapas dengan lega, meski tidak tahu batu seperti apa yang disiapkan Bhanu. Setidaknya rasa khawatir Khirani berkurang. 

"Ah, ya," ujar kecil Khirani, "Bu Aminah tahu kalau kita pacaran."

"Oh, ya?" Bhanu mengangguk-angguk, "Bagus tuh, jadi nanti aku bebas ngapel kamu di rumahnya."

"Ih!" Khirani memukul bahu Bhanu. 

Bhanu terkekeh sembari berdiri, kemudian kembali mendorong kursi roda Khirani untuk menuju tempat parkir. 

Batu yang disiapkan Bhanu ia temukan saat pelukan Khirani merengkuhnya. Batu untuk melawan Elmanik, batu untuk menyelamatkan karirnya juga untuk menyelamatkan nyawa penerbit. Pelukan tenang yang diberikan Khirani membuat Bhanu mampu berpikir jernih, sebab sebelum itu Bhanu seolah berenang di kolam yang keruh, sejujurnya ia tak tahu harus apa setelah mendapat kritikan sedemikian kejam dari sang panutan. 

"Sayang?"

"Hm?"

"Bu Aminah suka martabak telor apa martabak manis, ya?"

"Hm? Kenapa?"

"Amunisi buat ngapel kamu."

"Aish!" sergah Khirani kesal.

*** 


Nggak usah nyengir, ya? hahah

Sampai jumpa di part selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro