Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Patah Untuk Putih

Langit sudah mulai gelap, Khirani masih merebahkan kepalanya di bahu Bhanu merasakan matahari jingga yang perlahan tenggelam. Gadis itu memejam, menikmati detik demi detik waktu paling bahagia di sepanjang hidupnya. Angin pantai mendukung suasana tampak sempurna untuk disimpan dalam kotak ingatan gadis itu.

"Aku jadi ingat kalimat di novel Patah untuk Putih," ujar Khirani sembari menarik kepalanya dari bahu Bhanu lalu menoleh sambil senyuman.

"Kamu juga baca novel itu?"

Khirani mengangguk. Patah untuk Putih adalah novel ke-dua Bhanu, menceritakan perjuangan tokoh utama pria bernama Patah yang menderita penyakit mematikan, ia bertemu dengan Putih, tokoh utama wanita yang juga menderita penyakit yang sama.

Patah yang putus asa dengan penyakitnya bertemu dengan Putih yang tidak pernah menyerah dengan penyakitnya. Meski memiliki penyakit yang mematikan, Putih selalu menebar hal-hal positif kepada pasien yang senasib dengannya. Awalnya Patah cuek dengan usaha Putih yang ingin mengajaknya di Klub Bebas, sebuah klub di mana pasien dengan penyakit mematikan berusaha untuk menikmati hidup di sisa akhir hidupnya sebebas apa pun keinginan mereka.

Karena Patah cuek dan putus asa, Putih jadi tertantang untuk terus membuat Patah bergabung. Segala hal dilakukan gadis 17 tahun itu. Hingga akhirnya membuat Patah tertarik untuk bergabung dengan Klub Bebas. Tak hanya tertarik pada klubnya, tetapi Patah juga tertarik pada pendiri klub tersebut, tak lain adalah Putih.

Mereka pernah kabur keluar rumah sakit demi menikmati sunset di sebuah jembatan. Momen paling membahagiakan bagi Patah yang selama ini merasa hidupnya gelap karena penyakitnya, tetapi hadirnya Putih membuat Patah tak mau menyerah dan ingin hidup lebih panjang lagi.

Di atas jembatan menikmati matahari tenggelam bersama Putih, Patah berkata bahwa ia ingin waktu membeku pada detik itu. Pada detik di mana Patah memeluk Putih dan memberinya sebuah ciuman.

"Aku ingin waktu ini menjadi sebuah potret yang tak pernah beranjak dan tak pernah berubah. Aku ingin waktu membeku dan berakhir pada coretan ini. Aku ingin detik ini menjadi titik tanpa koma, menjadi petik tanpa tanda. Aku ingin menjadi abadi bersamamu seperti dalam lukisan yang tak lekang oleh waktu."

Bhanu tersenyum mendengar Khirani mengucap ulang kalimat yang pernah Bhanu tulis dalam novel Patah Untuk Putih. Ternyata benar, apa yang ditulis dalam novelnya, sebagian ia alami sendiri. Termasuk kalimat yang baru saja dituturkan oleh Khirani. Bhanu merasakan hal yang sama saat menulis kalimat itu pada detik ini. Suasana, perasaan dan tempatnya, semua terasa sama.

"Rasanya ..." Khirani menatap ke arah senja, "Aku juga ingin waktu ini membeku. Aku benar-benar merasa bahagia, Mas Nu. Rasanya, aku nggak pengin waktu cepat berlalu. Kalau misal Tuhan sedang menawar, apakah aku ingin berakhir dalam suasana ini, aku pasti langsung mengiyakan."

Bhanu meraih tangan Khirani, menjalin jemari untuk saling mengeratkan.

"Selama ini pasti nggak mudah, ya, Khi?"

Khirani tersenyum lalu mengangguk, "Aku pernah membenci dunia sampai rasanya aku mual setiap melihat lalu lalang orang di jalan, aku pernah membenci dunia sampai pernah saat malam menjelang dan menutup mata, aku berharap nggak pernah bangun lagi."

"Seperti Patah yang menemukan terang setelah bertemu Putih. Aku juga menemukan lampion yang mengarahkan jalanku untuk bertemu denganmu," ucap Khirani kembali sembari menoleh ke Bhanu, "Aku berterima kasih atas buku-buku yang sudah kamu tulis, Mas Nu. Selama masa dingin kehidupanku, aku dihangatkan oleh buku-buku yang kamu tulis."

Bhanu mengulas senyum, tetapi senyumnya seperti tertahan perasaan sedih yang merayapi hatinya. Ia tak bisa membayangkan betapa beratnya kehidupan Khirani sebelum ini sampai kematian pernah menjadi harapan.

"Seharusnya aku datang lebih cepat, ya, Khi."

Khirani nyaris tertawa, "Tapi belum tentu aku akan membuka hati secepat ini. Aku bahkan pernah membenci laki-laki. Ayah dan Garu, mereka adalah laki-laki yang menyakiti hati dan fisikku. Aku pernah berharap kiamat datang lebih cepat agar memusnahkan semua manusia di bumi ini, terutama para laki-laki," ucap Khirani sembari kembali menatap senja.

Bhanu mengusap tangan Khirani dengan lembut, merasa amat prihatin dengan luka dan kesakitan yang pernah Khirani alami.

"Kalau saja kamu nggak pernah datang dalam hidupku, mungkin selamanya aku akan membenci laki-laki. Mungkin aku akan menganggap semua laki-laki itu berengsek dan memusuhi mereka seumur hidupku."

"Khi?" Bhanu menarik dagu Khirani untuk menghadapnya, "Aku nggak mau terlalu banyak janji, tapi aku mau kamu tahu kalau aku bener-bener sayang sama kamu. Aku beneran tulus sama kamu, nggak peduli apa pun tentang kamu, aku cuma pengin kamu bahagia."

Khirani tersenyum kemudian perlahan mengangguk. Usaha Bhanu selama ini sudah memberi isyarat kepada Khirani bahwa pria itu memang benar-benar tulus padanya. Bahkan, sorot teduh Bhanu mampu berbicara mengenai cinta yang tersimpan di dalam hatinya.

"Tapi, aku mohon kamu jangan seperti Putih, ya, Mas Nu," ujar Khirani.

Bibir Bhanu mengulum senyum kemudian mengangguk perlahan, sembari menyelipkan anak rambut Khirani yang terurai menutupi wajah gadis itu karena tersepoi angin.

"Iya, Sayang."

Akhir cerita Patah Untuk Putih cukup menguras emosi dan air mata, di mana ternyata Putih adalah pasien dengan harapan hidup yang kecil, penyakitnya sudah sangat parah, bahkan operasi tak bisa menyelamatkannya lagi. Penunjang hidupnya hanya obat-obatan yang setiap Minggu bertambah jumlahnya.

Putih tahu hidupnya akan segera berakhir, karena itu ia ingin menjadi jembatan untuk pasien-pasien lain agar kembali bersemangat untuk mengejar kesempatan hidup lebih panjang lagi, sesuatu yang tak didapat oleh Putih. Orang melihatnya Putih adalah pasien dengan daya juang hidup yang tinggi, pada kenyataannya ia memilih menyerah dengan indah.

Di atas jembatan di bawah langit oranye, dalam pelukan hangat Patah, Putih tak sadarkan diri. Dengan keadaan dirinya yang kambuh, Patah berusaha keras membawa Putih kembali ke rumah sakit. Sejak saat itu, kisah mereka tak lagi sehangat sebelumnya. Hari-hari dilewati dengan rasa cemas dan tangis. Sampai akhirnya Putih mengembuskan napas terakhir setelah Patah mengabulkan permintaan terakhirnya, yakni Patah menjalani operasi.

Novel itu pernah meraih Book of The Year dan nama Bhanu semakin bersinar setelahnya.

"Ngomong-ngomong, Mas Nu."

"Iya, Khi?"

"Jala—jalasen—apa tadi?"

"Jalasenastri?"

Khirani mengangguk, "Itu apa?"

"Ah," ujar Bhanu kecil sambil tersenyum malu-malu, "Itu sebutan... buat istri TNI Angkatan Laut," jawabnya sambil menahan senyum mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Meski juga menahan senyum karena Bhanu menganggap dirinya sebagai calon istri, Khirani berpura-pura untuk biasa saja.

"Bu—bukannya kamu... udah logout, ya?" Khirani nyaris menyemburkan tawa.

"Hm?" Bhanu menoleh dengan ekspresi bingung, sebelum akhirnya ia paham dan tertawa, "Iya, huhuhu," ucapnya sambil menundukkan kepala, seolah-olah bersedih.

"Gapapa," ucap Khirani menepuk-nepuk punggung Bhanu, "Calon istri Penulis juga keren, kok."

Bhanu langsung mengangkat wajahnya, menatap Khirani dengan mata terkejut. Seperti mendengar pengakuan yang mengejutkan, Khirani hanya tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan.  Melihat Bhanu menatapnya seperti itu, Khirani mengerutkan kening, bingung. Adakah kalimatnya yang salah?

"Kenapa?"

Bhanu tersenyum lebar sambil  menggeleng, "Gapapa." Pria itu tiba-tiba berdiri, "Udah mau malem, kita pulang, ya? Keburu jam besuk habis."

"Ah, iya." Khirani turut berdiri, membersihkan bajunya dari pasir, ia lalu mengenakan sepatunya yang setengah basah.

Bhanu mengulurkan tangannya untuk digenggam Khirani, gadis itu menyambutnya dengan senyuman lalu mereka berjalan meninggalkan pantai.

Sebelum benar-benar pergi dari sana, Khirani sempat menoleh ke arah laut, tatapannya seolah mengucapkan sesuatu ke Kapten Arya.

"Kapten Arya, terima kasih sudah membesarkan pria sebaik Bhanu. Terima kasih sudah menjadi figur yang sempurna untuknya. Ia tumbuh menjadi pria yang keren, yang hebat menyayangi dan menjaga keluarganya. Meski ia tidak lagi menjadi penerusmu, ia telah berhasil menjadi seorang panglima bagi orang yang menyayanginya dan orang yang ia sayangi."

ㄴㅇㄱ

Sesuai dengan janji Khirani, ia mengajak Bhanu membesuk adiknya di rumah sakit. Pukul setengah delapan malam mereka sampai di sana, sebelumnya Khirani minta mampir ke toko bunga. Mungkin mawar yang beberapa hari yang lalu Khirani beri di atas nakas perawatan adiknya sudah layu.

Khirani nyaris menangis melihat sebuket mawar di tangannya, selama ini ia hanya mampu membelikan satu tangkai untuk menemani adiknya di kamar perawatan. Malam ini, Bhanu tak hanya membelikan sebuket bunga mawar, tetapi juga sebuket bunga matahari beserta vasnya.

"Dia dulu masuk sekolah khusus atlet, cabang renang," cerita Khirani sembari berjalan di lorong rumah sakit menuju kamar perawatan adiknya.

"Kamu setiap hari ke sini?"

Khirani menggeleng, "Kadang seminggu sekali, kadang sebulan dua kali, kadang juga dua bulan sekali. Apalagi kalau aku baru saja mengalami hal buruk, Diandra adalah rumah pertama yang ingin aku kunjungi."

Khirani berdiri di depan sebuah kamar, "Ini kamarnya."

Bhanu tersenyum sambil mengangguk.

Perlahan Khirani memutar knop pintu dan masuk ke dalam ruang dingin di mana selama ini Diandra dirawat. Bunyi alat monitor penunjang hidup Diandra langsung menyambut kedatangan mereka. Tampak seorang gadis memejam di atas ranjang, masker oksigen terpasang menutupi sebagian wajahnya.

"Hai, Di. Kakak datang lagi." Khirani berdiri di samping ranjang Diandra. Ia melirik setangkai bunga mawar yang layu di vas kecil di atas nakas samping ranjang perawatan Diandra. "Kali ini Kakak bawa sebuket, pasti kamu seneng, ya, kamarmu wangi?"

Khirani mengganti bunga yang layu dengan bunga yang baru, "Kakak juga bawa bunga matahari, bunga kesukaan kita, ya, Di?"

Bhanu memberikan bunga itu kepada Khirani untuk diletakkan di dekat jendela.

"Di rumah lama, kami punya kebun bunga matahari. Kami banyak menghabiskan waktu di sana kalau hari libur. Setiap panen bunga, sebagian kamu sumbangkan ke beberapa panti asuhan dan panti werdha. Setiap kamar di panti, kami selalu meletakkan bunga matahari di dekat jendela seperti ini."

"Cantik," puji Bhanu.

Khirani kembali mendekat ke ranjang Diandra. Kemudian duduk, ia meraih tangan adiknya sembari mengusapnya lembut, "Di, Kakak ke sini nggak sendiri. Kakak ke sini sama orang yang selama ini selalu bantu Kakak. Orang yang punya cara unik untuk membuat Kakak jatuh cinta padanya."

Khirani menoleh ke Bhanu, "Namanya Bhanu, dia... panglima laut, tapi udah pensiun."

Bhanu hampir menyemburkan tawanya.

"Novel Patah Untuk Putih yang udah bikin kamu nangis tiga hari, yang bikin mood kamu berantakan selama seminggu. Dia yang nulis, Di. Pacar Kakak. Bhanu Brajasena."

"Dia juga baca?"

Khirani mengangguk, "Aku tahu novelmu dari Diandra. Dari novel Patah Untuk Putih."

Bhanu tersenyum lebar, kemudian mendekat ke Diandra. "Hai, Dek. Salam kenal. Maaf kalau pernah bikin kamu nangis tiga hari gara-gara novel yang aku tulis. Kalau kamu sadar nanti, aku siap ganti rugi."

Khirani melumat bibirnya karena menahan senyum.

"Jadi, tolong cepat bangun, ya. Cepat kembali ke Kakakmu. Dia selama ini sudah cukup kesepian, tapi kamu jangan khawatir, sekarang udah ada aku. Aku yang akan menjaganya. Kalau kamu sadar, aku juga akan menjagamu. Aku akan menjaga kalian berdua."

Senyum Khirani yang mengembang di bibirnya perlahan menyurut. Gadis itu perlahan menoleh ke Bhanu dengan sorot mata rasa syukur yang tak mampu ia ucap dari bibir, hanya genangan air mata yang mewakili betapa terenyuhnya Khirani atas ketulusan yang Bhanu beri.

"Maaf kalau udah macari kakakmu, ya, Dek. Bukannya kami tidak prihatin dengan keadaanmu, tapi aku lebih takut kalau kakakmu tidak pernah membuka hatinya untuk siapa pun," ucap Bhanu dengan serius. Ia tahu alasan Khirani sempat menolaknya karena keadaan Diandra.

"Jangan pernah salahkan kakakmu. Salahkan aku saja nanti, ya. Aku benar-benar sayang sama dia, aku nggak mau dia terus-menerus menjalani hidup dengan kebencian. Aku mau dia menjalani hidup dengan penuh cinta dan aku yang akan memberikan cinta itu untuknya," ucap Bhanu sambil menatap Khirani yang juga menatapnya.

Khirani tidak bisa menahan air matanya lagi, sebulir mencelos ke pipi gadis itu. Ia mengusapnya sembari mengalihkan pandangan. Suasana di kamar yang dingin ini mendadak terasa hangat oleh kata-kata yang Bhanu ucap. Sepertinya memang benar, Bhanu adalah hadiah dari Tuhan atas kesabaran yang Khirani genggam dari kekejaman dunia kepadanya selama ini.

Bhanu menegakkan badannya, "Oke, itu aja perkenalan dariku. Kalau kamu bangun nanti, aku pastikan kamu dapat ganti ruginya, ya. Jadi, cepatlah bangun. Ah, ya, nanti aku juga mau tantang kamu lomba renang. Kalau aku menang, kamu jadi adik iparku, kalau aku kalah, aku jadi kakak iparmu. Oke, deal?"

Di tengah rasa terharunya, Khirani menoleh dengan  air muka protes. Bukankah itu sama saja?

"Bercanda." Bhanu menepuk-nepuk ringan ujung kepala Khirani, "Ya udah, aku tunggu di luar, ya. I'll give you time sama adikmu," ucapnya sambil mengecup ujung kepala yang baru saja ia tepuk.

Bhanu berjalan ke arah pintu dan keluar tak lama dari itu. Sementara Khirani masih membeku, jantungnya tidak siap dengan kecupan dadakan barusan.

"Kamu lihat, Dek? Dia memang kurang ajar udah bikin Kakak jatuh cinta. Nanti kamu salahkan saja dia, ya."

Di depan pintu Bhanu tidak bisa menahan senyum, mendengar kalimat pengakuan cinta Khirani secara tidak langsung. Pria itu tampak salah tingkah saking bahagianya.

ㄴㅇㄱ

Nantikan part selanjutnya.

With Love, Diana Febi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro