Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pasca Hari Besar

"Sidang kasus pembunuhan berencana ketua penyidik pemberantas korupsi telah berlangsung hari ini. Tersangka Anung Satryo, Kepala keuangan Daerah divonis dua puluh tahun penjara, Tio Akbar, sekrestaris keuangan daerah didakwa dua puluh tahun penjara, sementara otak di balik pembunuhan berencana tersebut, Romi Artanto, divonis hukuman penjara seumur hidup. Diketahui Romi Artanto adalah sahabat karib korban. Keduanya satu sekolah dan kuliah bersama di Manchester. Romi adalah orang terakhir yang ditemui di malam kematian korban. Romi bekerja di bagian kepala legislatif daerah dan mempunyai perusahaan percetakan buku di Jakarta Timur."

Khirani membeku di tempatnya. Layar proyektor besar yang ditayangkan di depan kelas itu tengah menampilkan berita terkini dari putusan sidang ayahnya. Semua teman kelas menatapnya, termasuk dari teman kelas lain yang turut melihat dari balik jendela.

"Malu-maluin Musica aja lo!"

"Aib sekolah!"

"Mencemarkan nama baik sekolah!"

Terdengar bisik-bisik para siswa yang terdengar jelas di telinga Khirani. Mereka bukan sedang berbisik, tetapi memang sengaja menyindir. Sudah hampir sebulan Khirani menguatkan diri untuk tetap hadir di sekolah, melanjutkan langkah mengejar mimpi, tetapi di sekolah ia mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari teman-teman. Cancel culture sedang berlangsung dan itu terjadi pada dirinya setelah petisi mengeluarkan Khirani dari sekolah, ditolak oleh Ketua Yayasan.

Ketua Yayasan menolak mengeluarkan siswa berbakat seperti Khirani, gadis itu sudah banyak menorehkan prestasi dan mengharumkan nama sekolah. Namun, Ketua Yayasan tidak bisa berbuat apa-apa saat budaya pengenyahan di Musica Art School sedang memanas. 

Berulang kali Ketua Yayasan memberi peringatan kepada siswa agar berhenti melakukan sarkasme kepada Khirani, semakin ditegur semakin panas dan itu sudah berlangsung satu bulan sejak hari penangkapan ayah Khirani.

"Kalau gue jadi lo ya, Khi, gue pasti ngundurin diri, sih," celetuk ketua kelas, "lo nggak kasihan sama temen-temen lo yang udah berusaha keras buat sekolah di sini? Lo nggak mikir, sekolahan kita bakalan di cap apa gara-gara kasus bapak lo?"

"Anak seorang pembunuh bersekolah di Musica Art School," sahut salah satu teman kelas itu.

Semua orang bereaksi ketakutan, sebagain merasa jijik dan kesal kepada Khirani. Di tatapan mereka seolah tidak ada rasa kasihan, seolah tidak ada rasa pengertian bahwa pembunuhan yang dilakukan ayah Khirani, tidak ada sangkutpautnya dengan Khirani. Mereka menatap Khirani persis seperti pembunuh yang sebenarnya.

"Kita itu takut sama lo, kalau bapaknya aja pembunuh, pasti anaknya juga punya darah pembunuh!"

Suara teriakan teman-temannya seolah mengepung indra pendengaran Khirani. Gadis itu seperti dilucuti di tengah kerumunan, dipermalukan habis-habisan dan tidak ada yang merasa iba sedikit pun. Khirani meremas roknya, menahan kesakitan yang seolah merajam, seperti tusukan pisau yang tertancap berkali-kali di luka yang sama.

Tiba-tiba tangannya yang mengepal meremas rok itu disentuh seseorang. Khirani melirik tangan orang itu yang berkulit putih, banyak gelang dari berwarna perak dan hitam melingkar di sana. Meski terkejut, Khirani merasa melega. Setidaknya ada seseorang yang masih ada hati untuk memihaknya.

Perlahan Khirani mendongak menatap seseorang itu, tak berselang lama satu cairan hitam menyemprot pas wajah di Khirani. Tinta hitam memenuhi wajah dan seragamnya. Seseorang tertawa puas berdiri di depan Khirani, seseorang yang tadi memegang tangannya, seseorang yang Khirani pikir berada di pihaknya. Ternyata Khirani salah.

"Eh, rekam, rekam!" celetuk salah satu dari mereka yang juga sedang menertawai Khirani.

"Mampus lo!"

"Lo pikir bakal ada yang di pihak lo? Nggak dulu, tsayyy! Hahahah!" kata salah satu siswi.

Khirani berdiri, menatap penyeprot tinta tadi dengan tajam. Mereka boleh mengejek, mereka boleh menghinanya, tetapi mereka tidak boleh menodai seragam kebanggaannya. Mereka boleh bermain verbal, tetapi Khirani tidak diam saja saat mereka bermain non-verbal.

"Apa? Lo nggak terima?" kata penyemprot tinta tadi, "ini wujud asli lo, Bajingan! Anak pembunuh!" lanjutnya.

Khirani mengusap tinta di wajahnya, kemudian melempar cairan tinta di tangannya itu kepada penyemprot tadi, pas mengenai kemeja seragamnya.

"Kalau aku anak pembunuh, kamu apa?! Anak Sundal?" ujar Khirani merasa geram dan muak dengan tingkah siswa itu.

"Bajingan!" umpatnya, siswa laki-laki itu langsung menjambak rambut Khirani, "Bangsat, Anjing!" ia menarik-narik rambut Khirani, lalu mendorong tubuh gadis itu jatuh ke lantai dengan keras.

Bukannya melerai, teman-teman satu kelasnya malah menyoraki. Suara mereka terdengar bergemuruh seperti menyaksikan pertandingan adu kekerasan.

Tidak hanya mendorong Khirani, siswa laki-laki itu juga mencengkeram kerah Khirani lalu menampar pipi gadis itu, menghantamkan tubuh Khirani ke meja, lalu kembali menamparnya. Sorokan penonton semakin terdengar heboh, mengundang siswa kelas lain. Semua menonton dengan urakan yang semakin memanas.

Miss Flora dan para guru datang tergopoh-gopoh, membelah kerumunan siswa saat kepala Khirani baru saja dihantamkan ke tembok oleh siswa laki-laki itu. Khirani lemas tak bergerak, ia kehilangan kesadaran. Sedangkan siswa laki-laki yang menyiksanya tadi masih terbakar emosi, melihat Khirani pingsan membuatnya semakin ingin melayangkan tendangan.

"Gaharu Svarga! Hentikan!" pekik Miss Flora menghentikan layangan kaki Garu yang nyaris menghantam tubuh Khirani.

***

Dies Natalies Musica Art School ke-30 menjadi momen penting untuk Khirani, sebab ia akan menampilkan pertunjukan solo yang sama-sama diikuti para siswa rekrutan. Salah satu tradisi sekolah, yang berhasil direkrut ke Universitas musik bergengsi harus menampilkan pertunjukan solo di acara Dies Natalies.

Di belakang panggung, tepatnya di ruang wardrobe, Khirani sudah bersiap dengan dress panjang berwarna hitam, ia juga sudah memoles wajahnya dengan make up, merapikan rambutnya secantik biasanya ia tampil. Ia hanya sendirian, tidak ada siswa lain yang membantu, ia melakukan persiapan penampilan itu sendiri.

Sejak dikeluarkannya Garu dari sekolah karena kasus penganiayaan, Khirani semakin dibenci teman-temannya. Ia benar-benar berjuang sendiri, ia mencoba menutup telinga meski semua temannya mencoba terus mengenyahkan dari sekolah. Selama pihak sekolah tidak mempersalahkan kasus ayahnya, Khirani ingin tetap melanjutkan sekolah hingga lulus dan pergi ke Vienna sesuai dengan mimpinya.

Satu tahun lagi, Khirani yakin ia pasti bisa melewatinya.

Gadis itu membuka tas, mengeluarkan tissue kemudian mengoreksi dandananya di cermin kamar mandi. Bersamaan dengan itu, matanya menangkap pantulan dari seseorang berdiri di belakangnya.

"Greta?" Khirani menoleh.

"Dengerin gue baik-baik, Khi," kata gadis berambut keriting itu.

"Ada apa, Gre?" tanya Khirani dengan senyuman.

Greta memandang Khirani dengan tatapan datar tetapi lurus menajam. Gadis yang biasanya tersenyum memperlihatkan dua gigi kelincinya itu kini tampak menakutkan di mata Khirani. Perlahan jantung Khirani berdebar, tetapi ia masih mencoba berpikiran positif. Greta adalah sahabatnya, ia tak mungkin seperti yang lain. Khirani dan Greta sudah bersama-sama sejak kecil, bahkan mereka mempunyai mimpi yang sama.

"Lo jangan deketin gue lagi."

"Gre--,"

"Gue takut sama lo, Khi."

"Greta..." panggil Khirani lirih.

"Gue harap lo bisa paham. Gue anak tunggal, gue harapan satu-satunya orang tua gue, gue punya mimpi besar, Khi. Gue nggak bisa jadi sahabat lo lagi."

Khirani mencoba tenang meski dadanya gemuruh ingin menjerit karena ternyata Greta sama saja dengan temannya yang lain. Khirani masih mencoba tersenyum.

"Aku bukan ayah, Gre," ucap Khirani menahan tangis, nyaris tidak ada suara yang keluar.

"Tapi di tubuh lo ngalir darah pembunuh, Khi. Masa depan gue masih panjang, gue nggak mau punya urusan sama anak pembunuh." Sejenak Greta menahan napas, "Sorry, Khi, gue harap lo ngerti posisi gue."

"Gre..."

Greta membalikkan badan, tidak menghiraukan panggilan Khirani. Dulu mereka pernah saling berjanji, apa pun yang terjadi akan dilewati bersama-sama. Namun, hari ini Greta mengingkari janji itu. 

Bahkan Greta mengingkari janji itu sejak di hari penangkapan ayah Khirani, gadis itu menghilang saat Khirani menangis meronta-ronta di depan sekolahan menyaksikan sang ayah diborgol paksa dan dibawa polisi. Greta menjadi dingin setelah hari itu, hanya diam menyaksikan Khirani dirundung teman-teman yang lain. Meski Greta tidak ikut merundung, tetapi gadis itu seperti mendukung budaya pengenyahan.

Khirani menarik napas panjang kemudian mengembuskan pelan mencoba menghalau air yang sudah siap terjun di pelupuk mata. Beberapa kali ia melakukan itu untuk menenangkan diri meski di dadanya menumpuk rasa kecewa dan nyaris penuh oleh kesedihan yang berentet. Khirani harus bisa tenang sebelum namanya dipanggil untuk tampil.

Trimbun yang penuh dengan suara sorai penonton setelah penampilan Greta, mendadak senyap saat Khirani masuk ke panggung. Penonton yang biasanya Khirani lihat seperti hamparan bunga-bunga, kini terlihat seperti hamparan duri-duri dengan tatapan penghakiman. Wajah-wajah mereka terlihat jengah dan muak. Pengiring yang duduk di depan piano berdiri, meninggalkan panggung.

Meski sulit, Khirani mencoba menguatkan diri. Ia melempar senyum ke arah penonton sembari perlahan mengangkat biolanya. Riuh urakan penonton untuk menyuruh Khirani turun terdengar, urakan itu semakin ramai, bagai ombak besar yang menakutkan di telinga Khirani. Gadis itu tetap berdiri, menggesek perlahan bow nya, ia mencoba untuk tidak peduli. Namun, hal mengejutkan terjadi beberapa detik setelah Khirani menggesek bow, seseorang dari bangku penonton melemparinya dengan gumpalan kertas, diikuti penonton lain.

Tidak menggentarkan Khirani, gadis itu tetap lanjut menggesek biolanya. Ia ingin membalas hinaan dan cacian mereka dengan kepiawaiannya menggesek biola, Khirani mampu menciptakan danau melodi yang dalam.

Sedang gadis itu hanya fokus menggesek bow, menyelam ke danau melodi sembari terpejam, pikirannya terpusat hanya pada notah-notah lagu yang terekam di benak. Perlahan rasa sedih dan amarahnya meluap, ia tumpahkan ke gesekan biola. Ia menggila di panggung. Alunan nada No. 24 in A Minor Caprices dari Niccolò Paganini menghentak di aula sekolah. Riuh urakan dan lemparan gumpalan kertas ke arah panggung mendadak berhenti. Penonton seperti tersihir dengan permainan Khirani.

Selama permainan semua orang tercengang dengan Khirani yang menggila di panggung. Mereka tidak lagi melihat Khirani yang hina, seolah melihat Khirani yang bersinar terang seperti pemain papan atas. Atmosfer aula mendadak pengap oleh notah-notah yang Khirani mainkan, notah itu berterbangan menjuru semua sudut.

Mulut siswa jurusan classic violin menganga, lagu Paganini 24 Caprices yang dimainkan Khirani termasuk lagu yang paling sulit dan sangat legendaris, hanya bisa dimainkan oleh musikus besar. Konon, lagu itu menceritakan dialog iblis tentang keberpihakan manusia.

Permainannya berjalan hampir lima menit, sampai akhirnya permainan ditutup dengan gesekan pendek yang menghentak. Masih dengan napas tersengal-sengal dan buliran keringat yang mengalir di kening, perlahan Khirani membuka mata.

Hening.

Semua mata membulat menatapnya, seperti tidak percaya dengan permainan yang baru saja usai. Mereka masih tenggelam dalam danau melodi Khirani, jiwa mereka terseret notah-notah gesekan biola gadis itu. Sedang sang pemain menyapu semua penonton, sedikit membusungkan dada karena mampu membalas hinaan dan cacian dengan bakat luar biasa yang ia miliki. Khirani merasa lega, tergambar jelas jalan untuk kakinya kembali melangkah meraih mimpi.

Ujung matanya menangkap Miss Flora berdiri dari kursi, mengangkat tangan untuk memberi tepukan. Namun, yang diterima Khirani bukan tepukan. Miss Flora urung bertepuk tangan ketika melihat air kecokelatan terguyur dari atas panggung pas mengenai Khirani.

Tubuh gadis itu penuh dengan air kecokelatan beraroma tanah dan telur busuk. Rasa terkejutnya belum usai, seseorang entah dari mana asalnya melempari Khirani dengan lumpur. Tubuh gadis itu benar-benar kotor, baju, rambut, bahkan biolanya penuh dengan lumpur.

Tubuhnya bergetar hebat, baru saja ia merasa lega dan lebih baik, tetapi apa yang ia terima sungguh sudah keterlaluan. Perlahan ia menengadah ke arah trimbun atas. Di sana, ia melihat sepasang mata serigala Gaharu Svarga menatapnya dengan seringaian senyum. Di samping pemuda itu berdiri Greta, sahabatnya.

Meski sudah keluar dari sekolah, Garu tetap menjadi iblis yang terus menerus membuat Khirani menderita. Menutup jalan Khirani untuk bangkit dan meraih mimpi seusai skandal sang ayah. Dampak dari perbuatan Garu di panggung tersebut, membuat Khirani kembali merasakan kepahitan. Ia sudah mencoba kuat, mencoba terus melangkah. Namun, di hari pertunjukan solo ulang tahun sekolah itu akhirnya menjadi hari terakhir Khirani menggesek bow di atas panggung. 

Hari itu juga, Khirani memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah impiannya, Musica Art School.

Tuhan seolah sedang sayang-sayangnya kepada Khirani, di hari itu juga ia melihat rumahnya kosong di sita bank, Maya pergi dan menghilang, semua itu terjadi di hari yang sama, dua bulan pasca hari besar.

Khirani dan adiknya pindah ke rumah adik ayahnya di Bandung. Satu bulan pertama masih baik-baik saja, dua bulan pertama bibinya mulai menyindir-nyindir Khirani dan adiknya yang seolah menjadi beban di rumah mereka. 

Paman yang dulu sangat membangga-banggakan Khirani berubah drastis ketika Khirani ditanya mengenai aset rahasia milik Romi yang berada di Surabaya, Khirani maupun Diandra menjawab tidak tahu menahu mengenai itu. Paman mereka kerap membentak dan tidak memberi uang sekolah untuk Diandra. Khirani dipaksa bekerja di rumah makan milik pamannya, tanpa dibayar.

Hingga akhirnya Khirani dan Diandra keluar dari rumah sang paman, kembali ke Jakarta dan menyewa indekos sempit dan kumuh di perkampungan. Mereka kerap pindah-pindah indekos karena lingkungan yang mereka tempati terasa tidak aman, dari lingkungan pelacuran sampai lingkuhan perjudian. Setiap hari Khirani dan Diandra dikepung rasa khawatir dan takut.

Sampai pada satu malam.

"Dari mana aja, Di?" tanya Khirani saat melihat Diandra baru saja masuk ke kamar kos mereka, sekitar pukul sepuluh malam.

Diandra melepas sepatu kemudian berjalan ke arah sang kakak, "Dari mana lagi sih, Kak, ya sekolah, dong. Sebentar lagi bakalan ada olimpiade renang," jawab Diandra dengan senyuman lebar.

Khirani tersenyum kecut, bibirnya bergetar menahan amarah dalam dadanya. Adiknya sudah berbohong.

"Ah, aku laper, yuk, kita makan nasi goreng di depan, Kak." Diandra menggantung tasnya di gantungan dinding, kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku celana olahraganya, "Tahu, nggak, Kak. Coach Yoseph ngasih aku uang jajan lagi. Kayaknya dia emang suka, deh, sama aku."

Diandra memperlihatkan amplop yang ia ambil dari sakunya, ada lima lembar uang seratusan Diandra perlihatkan dengan senyuman melebar ke arah sang kakak, "Bisa buat nambah bayar kosan, nggak, sih, Kak?" katanya dengan kikikan tawa.

Wajah Khirani tampak geram, menatap sang adik dengan tajam, tangannya terlihat mengepal keras menahan amarah yang meledak-ledak. Kenapa tidak ada orang yang jujur dalam hidupnya? Orang tuanya, teman-temannya, bahkan sang adik juga membohonginya. Kenapa Tuhan menggariskan takdir yang teramat hitam kepadanya?

"Kakak tadi siang ketemu Yoseph," ucap Khirani.

Air muka Diandra yang riang perlahan kendur, tetapi gadis itu masih tersenyum lebar meski jelas terlihat sangat kaku dan terpaksa, "Oh, ya?"

Bahu Khirani tampak naik-turun, Diandra menyadari itu. Mungkin, memang sudah waktunya kebohongan yang selama ini ia sembunyikan akhirnya terbongkar.

"Kenapa kamu keluar dari sekolah?" tanya Khirani dengan nada suara tertahan.

Diandra mengehela napas besar, raut wajahnya kini benar-benar tidak bisa menipu Khirani lagi. Raut wajah yang selama ini terlihat ceria, ternyata bohong. Diandra membohongi Khirani.

"Aku ingin membantu Kakak."

"Membantu Kakak dengan keluar dari sekolah?!" Khirani berdiri dari atas dipan, amarahnya tidak bisa ditahan lagi. "Kamu pikir itu membantu Kakak?"

"Aku nggak mau jadi beban Kakak. Nasib kita sama, aku nggak mau membuat Kakak tambah menderita."

"Kamu keluar dari sekolah itu justru nambah penderitaan Kakak, Diandra. Kamu mau jadi apa nggak sekolah, ha? Mau jadi seperti Kakak? Pengamen? Buruh cuci? Apa?"

"Iya, apanya yang salah sama kerjaan itu? Aku nggak ngejual diri, Kak. Aku nggak kerja aneh-aneh."

Khirani menarik napas panjang kemudian mengembuskan kasar, "Besok Kakak antar ke sekolahan kamu, kamu lanjutin sekolah."

"Nggak mau." Diandra menggeleng.

"Jangan mikirin biaya, Diandra! Kakak masih punya tabungan, Kakak bisa kerja keras!"

"Kakak bisa apa? Kemarin Kakak di usir dari rumah makan gara-gara mecahin piring terus, kakak selalu dipecat dari kerjaan Kakak karena Kakak nggak becus kerja!"

"Diandra!"

"Aku nggak mau balik ke sekolah. Aku mau kerja, persetan jadi atlet, persetan sama olimpiade!" Diandra membalikan badan, berniat melangkah keluar kamar kos.

"Di!" panggil Khirani, tetapi Diandra tidak menggubris, gadis itu keluar kamar kos dan berjalan di tengah rintik hujan. "Diandra, hujan! Kamu mau ke mana?"

Diandra keluar dari gang perkampungan, gadis itu menangis sepanjang langkah. Keputusannya mengubur mimpi menjadi atlet renang demi sang kakak. Diandra tidak mau membebankan semuanya kepada Khirani, biaya hidup, biaya sekolah, belum biaya pelatihan renang. Khirani sudah menderita, Diandra hanya tidak mau menambah derita sang kakak. Namun, apa yang dipilih gadis itu justru malah membuat Khirani marah.

"Diandra!" panggil Khirani.

Sebelum menyebrang jalan, Diandra sempat menoleh ke arah Khirani di pintu gang, "Maafin aku, Kak!"

Di tengah guyuran hujan, Khirani mencoba memahami posisi Diandra. Gadis itu mengangguk sambil mengayunkan tangan untuk menyuruh adiknya kembali pulang. "Oke, oke, kita bicara baik-baik. Pulang dulu, ya?"

Diandra menggeleng, air matanya mengalir bersama guyuran hujan.

"Kalau kamu mau pergi, makan dulu, Di. Kamu belum makan, kan, dari siang? Kakak tadi dapet nasi kotakan dari tetangga. Ayo, pulang dulu. Maafin Kakak udah marah-marah." Khirani berjalan mendekati adiknya.

Diandra kembali menggeleng, ia terlanjur kecewa dengan Khirani. Mungkin ia membutuhkan waktu sebentar. Diandra melangkah menyeberang jalan lalu berlari kencang ke arah jalan raya.

"Diandra!" Khirani menyusul menyeberang jalan. "Diandra, tunggu!"

Langkah Diandra begitu cepat, melewati rel kereta lalu menghilang di padatnya pedagang kaki lima. Khirani terus berlari menyusul langkah sang adik sambil beberapa kali mendongak karena kehilangan bayangan Diandra di antara guyuran hujan dan beberapa orang yang melintas di trotoar. Mereka terus kejar-kejaran sampai di pintu tol yang sepi.

BRAK! Tubuh Diandra tertabrak keras mobil pick up hitam, decitan ban terdengar membelah derasnya suara hujan. Diandra terpelanting bebas ke pembatas jalan lantas kepalanya membentur keras. Tubuh gadis itu tak bergerak sama sekali.

Khirani masih jauh dari pintu tol, tetapi ia mendegar decitan ban itu. Buru-buru ia berlari kencang ke arah sumber suara. Begitu sampai di tempat, sebuah mobil pick-up melaju kencang hampir menabraknya. Mata Khirani menyapu ke sana kemarimencari arah lari Diandra. Sampai akhirnya, mata gadis itu menangkap tubuh sang adik tertelungkup tepat di bawah pembatas jalan pintu masuk tol.

Kontan dada Khirani bergetar, matanya mengerjap beberapa kali memperjelas pandangan. Tak berselang lama lututnya terasa lemas saat mengenali jaket sang adik.

"DIANDRAAA!"

***

"Khi, Khi, Khirani!" Bhanu mengguncang tubuh Khirani, "Khirani, bangun!" Bhanu mencoba membangunkan gadis itu yang sesegukan dalam tidurnya.

Seperti ditarik paksa dari alam mimpi, kelopak mata Khirani terbuka seketika. Bulir-bulir membasahi sudut-sudut keningnya, napas Khirani memburu terbata-bata. Ingatan buruk itu kembali dalam wujud mimpi yang menyesakkan dada. Sejauh mana pun Khirani mencoba melupakannya, masa buruk itu selalu datang untuk menaruh garam di atas lukanya yang bahkan sampai detik ini belum jua kering.

Netra teduh Bhanu yang berkilat rasa khawatir padanya membuat Khirani akhirnya meluruhkan benteng yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, membunuh jarak yang selama ini terus membuatnya jauh dengan orang lain, Khirani membuka gerbang hidupnya selebar-lebarnya, menyerah pada luka yang tak kunjung sembuh dalam pelukan pemuda itu.

Bhanu mendekap Khirani, mengusap pucuk kepala gadis itu dengan lembut mencoba menenangkan tangisnya. Hati Khirani terasa menghangat, seolah ia telah menemukan rumah setelah selama ini tersesat di tengah badai. Khirani dibawa masuk ke dalam kehangatan yang damai dan tenang. Gadis itu merasa aman dalam pelukan Bhanu.

Tangisan Khirani membelah malam yang sunyi di ruang rapat yang gelap, terdengar pilu dan menyesakkan dada Bhanu. Ia pernah merasakan kepedihan itu ketika kehilangan sang ayah, hanu hanya bisa mengusap lembut rambut Khirani untuk menenangkan. Menunggu gadis itu menumpahkan segalanya. Bahnua merasalega jika akhirnya Khirani mau mengakui luka dalam hatinya.

"It's okay, it's okay, it's okay. Nangis aja sepuasnya. Aku tahu kamu udah lama nahan. It's okay, Khi."

Tangisan Khirani kian tersedu-sedu di dada Bhanu. Gadis itu seperti mencoba mengeluarkan duri besar dalam tenggorokannya, mengangkat kuat beban dalam pundaknya, mencoba mengalahkan semua rasa buruk yang selama ini menguasai hatinya.

Tangan Khirani memeluk tubuh Bhanu erat, detik itu juga Bhanu memejam sembari mendekap kepala Khirani melesak ke dadanya. Ikut merasakan kepedihan yang selama ini mendera gadis itu.

"It's okay, Khi...." bisik Bhanu di telinga kiri Khirani, "kamu nggak sendirian, ada aku di sini."

***

Jadi nggak heran, kan, kalau Khirani jadi dingin dan tertutup. Huhu, kasihan :(

Sampai jumpa hari Jumat, ya, yorobun. Terima kasih sudah membaca cerita ini. 

With Love, Diana 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro