Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pamit

Kalau ada hal yang paling memalukan setelah menikah adalah detik ini. Khirani memegang hairdryer sambil menatap rambut cepak suaminya. Untuk apa ia mengambil benda ini kalau tidak ada rambut yang akan dikeringkan? Perempuan itu menghela napas panjang, berusaha untuk tetap tenang meski rasa malu menimbun dirinya dalam-dalam.

Sementara si rambut cepak yang saat ini duduk di tepi ranjang berusaha keras menahan ketawanya. Kalau tawa itu menyembur, sudah dipastikan istrinya akan membanting pintu dan kabur. Bhanu tidak mau melewatkan malam terakhir ini tidur sendirian lagi.

"Buat ngeringin ketekku, Yang."

Khirani mendengus, memutar kakinya berniat keluar dari kamar. Bhanu buru-buru mengejar dan menahan pintu agar tetap tertutup.

"Minggir..."

"Mau ke mana?"

"Minggir deh."

"Nggak mau."

Khirani berdecak kesal, menatap Bhanu dengan menyipit. Harusnya pria itu tadi melarangnya mengambil hairdryer, bukan malah iya-iya saja. Dengan begitu Khirani tidak menahan malu detik ini. Kentara kalau dirinya tidak fokus, bukan kepala Bhanu yang dilihatnya saat itu.

"Aku malu..." Khirani menyembunyikan wajahnya.

"Kenapa malu?"

Perempuan itu tidak menjawab, terlalu sulit menjelaskan penyebabnya malu. Lagi pula, bukankah sudah jelas alasannya, kan?

Bhanu meraih hairdyer itu dari tangan Khirani, "Nggak usah dibawa keluar."

"Malu banget."

"Bisa kamu pakai buat besok subuh," kata Bhanu dengan senyuman tersirat. Ia meletakkan benda itu di meja, menarik Khirani untuk duduk di tepi ranjang.

"Besok pengumumannya jam berapa?"

"Jam lima sore."

Bhanu menghela napas panjang, "Maaf, ya, aku nggak ada di sampingmu besok."

"Gapapa." Khirani menjawabnya dengan senyuman keikhlasan. Karena sudah menjadi risiko menjadi istri prajurit, ketidakhadiran suami di momen-momen penting itu adalah hal biasa. Jangan, kan, di momen menunggu pengumuman kelolosan, di momen melahirkan buah hati juga bisa jadi bertepatan dengan tugas membela negara.

"Tapi, doaku selalu ada buat kamu."

Khirani mengangguk memahami.

"Gimana, ya, biar aku tahu besok. Soalnya, selama dua Minggu dimulai hari besok aku nggak boleh pegang hape."

"Gapapa, Mas. Lebih baik kamu nggak tahu aja."

"Tapi, bakal kepikiran tahu sampai dua Minggu." Bhanu berpikir sejenak, tak lama kemudian, "Gampanglah, nanti aku cari cara."

Khirani menarik napas panjang, kemudian mengembuskan pelan sembari menatap Bhanu dengan raut sedih dan khawatir. Hidupnya sudah nyaris kembali sempurna. Punya keluarga sehangat keluarga Bu Nawang, adik-adik ipar yang manis, adik yang koma pun sudah kembali, dan juga punya suami yang cintanya tak main-main padanya. Khirani takut semua hal bahagia yang dimilikinya kini kembali direnggut sekejap seperti dahulu.

"Kembalilah dengan selamat, ya, Mas," ucapnya sembari mengusap pipi Bhanu.

Pria itu mengangguk, lalu mengecup bibir istrinya, "Jangan khawatir. Aku pernah berenang ratusan kilometer, aku bisa menahan napas lama dalam air. Air dan laut seperti teman bagiku. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun."

"Kamu bisa semudah itu bilang buat jangan khawatir. Tapi, nyatanya hatiku nggak bisa tenang."

Bhanu mengangguk memahami, "Maaf, ya."

"Setelah misimu selesai. Aku harap kamu jadi orang biasa lagi. Jadi, Bhanu Brajasena, bukan Jisaka Bhanu."

Bhanu tidak bisa mengatakan apa pun, karena rencana itu belum terpikirkan olehnya. Akankah nanti setelah misi selesai, ia akan resmi mengundurkan diri dari militer atau tetap menjadi prajurit aktif? Meski perjanjian awal dengan Pak Widipto, ia akan menjadi tentara yang dinas di markas, tidak berlayar.

Untuk menenangkan Khirani yang malam ini sedang kalut, Bhanu mengangguk mengiyakan.

"Janji?"

Meski berat mengatakan, Bhanu menjawab, "Janji."

Tanpa mengalihkan tatapan, Bhanu mengusap pipi Khirani. Sejurus kemudian Bhanu langsung mengganti rasa kalut Khirani menjadi rasa manis, mengganti rona sedih Khirani menjadi rona merah tersipu.

Tak sekaku sebelumnya, lebih tenang dan hati-hati. Bhanu tahu kalau hal ini akan membuat perasaannya semakin berat untuk pergi besok. Namun, Bhanu mau Khirani mengingat malam ini sebagai tabungan rindu yang akan dipecah nanti setelah Bhanu kembali.

Sejenak, ketakutan dan kekhawatiran lenyap begitu saja.

***

"Ibu, Bhanu berangkat." Pria itu mencium tangan sang ibu yang duduk di kursi, mengusap pula kedua kakinya sebagai bentuk meraih restu agar misinya berhasil dan pulang dengan selamat.

Sementara, pipi Bu Nawang sudah basah dengan air mata. Sekelibat traumanya kehilangan Kapten Arya menyergapnya sekian detik, ia memegang pundak Bhanu dengan kuat. Seolah tak rela anak lanang satu-satunya akan kembali ke pangkalan layar. Ditatapnya dengan nanar, dengan mata yang basah dengan bulir bening menyiratkan dalamnya ketidakrelaan putranya kembali kelautan yang telah menenggelamkan orang yang paling dicinta.

"Ikhlas, ya, Bu? Biar Bhanu aman dan selamat."

Ucapan putranya luruh menggilas perasaan tidak rela itu. Bagaimanapun juga restu dan doanya adalah senjata yang mampu menolong Bhanu di lautan. Putranya itu harus membawa senjata itu agar tetap aman dan selamat.

"Iya, Le. Restu Ibu sudah ikhlas Ibu berikan kepadamu. Pulang dengan selamat dan utuh, ya, Nak?" Bu Nawang memeluk Bhanu sangat erat, hanya sekian detik sebelum Bu Nawang melepaskannya dan membalikkan badan tak sanggup melihat putranya pergi. "Pergilah, Le."

"Titip istriku, ya, Bu."

Bu Nawang mengangguk, menahan sedu sedan tangisannya.

Bhanu menoleh ke adik kembar yang juga sudah menangis sejak tadi. "Sekolah yang bener, jangan susahin ibu sama kakak-kakakmu. Mas bolehin kalian mau masuk sekolah mana, tapi kalian harus tanggung jawab atas semua pilihan kalian, hm?"

Si kembar mengangguk bersamaan, kemudian memeluk kakaknya.

"Pulang dengan selamat, ya, Mas," ucap Noni.

"Iya."

"Nana tahu Mas pinter berenang, tapi jangan kayak ayah ya, Mas. Ayah juga pinter berenang, tapi ayah nggak bisa pulang ke daratan. Jangan, ya, Mas?"

Hanya mengangguk sembari mengecup kepala adik kembarnya secara bergantian. Si kembar melepaskan pelukan saat Bu Nawang berjalan masuk ke dalam kamar karena tidak bisa terlalu lama menahan tangisannya.

"Susul Ibu, ya. Mas berangkat dulu, doain Mas, dan titip jaga istri Mas."

"Iya, Mas," ucap si kembar seraya menyusul ibu masuk ke dalam kamar.

Meninggalkan Bhanu dan Khirani saja di ruang tamu, Binna ada kunjungan konsulen di rumah sakit dan tidak bisa ditinggal, ia berangkat pagi-pagi sekali. Sedihnya gadis itu luar biasa.

"Aku berangkat sekarang, ya?"

Khirani mengusap air matanya yang sudah mengalir semenjak Bhanu berpamit pada Bu Nawang. Perasaannya campur aduk, lebih besar rasa takut dan khawatir karena mereka akan terpisah selama berminggu-minggu. Seperti Bhanu yang turut membantu Khirani menggapai mimpinya, Khirani juga ingin turut mengantarkan Bhanu untuk meraih mimpinya, memenangkan misi dan mengungkap kebenaran sudah diupayakan bertahun-tahun oleh pria itu.

Kaki Khirani masih memaku di lantai ruang tamu, ia menatap kakinya yang tak ingin beranjak pergi dengan perasaan yang carut marut. Melihat itu Bhanu menariknya dalam pelukan, mengusap-usap punggung istrinya dengan tenang. Ada kesedihan yang bercampur dengan rasa bangga. Ada ketakutan yang tercampur dengan rasa bahagia melihat Bhanu kembali berjalan di atas mimpinya.

"Titip jaga ibu dan adik-adikku, ya? Aku pasti akan kembali pulang dengan selamat."

Khirani mengangguk, "Aku percaya kamu pasti pulang dengan selamat."

"Hm. Prajurit tak pernah ingkar janji."

Khirani melepas pelukan, ditatapnya Bhanu sepuas hati memandang. Bhanu meraih kepala Khirani, mengecup kening istrinya dengan lembut, kemudian kecupan itu turun ke bibir bertukar kesedihan akan rindu yang akan bersiap untuk bersarang di hati masing-masing.

"I love you, Mas. Apa pun nanti keputusan yang akan kamu ambil, tolong ingat aku. Kalau pun nanti misimu tidak menemui titik temu, pulanglah. Jangan pernah bertindak sendiri, jangan pernah berenang sendiri. Jangan coba-coba untuk menyelam sendirian."

"Iya, Sayang."

Bhanu kembali mengecup bibir Khirani, menggigitnya tipis ujung bibir itu seolah tak rela dilepas. Seperti hatinya yang tak rela untuk angkat senjata ke medan perang untuk mengungkap kebenaran. Namun, ini semua demi Kapten Arya yang sudah lama menjadi impian terbesar Bhanu. Ia tak melangkah sendiri, ia tak berenang dan menyelam sendirian, Bhanu pasti berhasil kali ini dan pulang membawa kehormatan ayahnya yang telah lama hanyut di lautan.

"Kamu juga, ya. Kalau memang nanti tidak lolos, nggak usah khawatir. Pakai uangku, Khi. Aku kerja buat siapa kalau bukan buat keluarga? Aku sanggup ngebiayai kamu dan adik-adikku sekolah. Bahkan, ngebiayai adikmu juga sanggup. Percayalah, uangku banyak, Khi."

Di tengah tangisannya, Khirani menyemburkan tawa kecil. Bukannya selama ini Khirani tidak percaya kalau Bhanu punya banyak uang. Namun, ia hanya tidak ingin membebankan mimpinya kepada orang lain. Meskipun itu kepada keluarganya sendiri.

"Rekeningku ada di laci paling bawah, di tas kecil. ATMku juga sudah kusimpan di sana, pinnya udah kuubah tanggal lahir kamu. Kamu bisa habisin berapa pun, uangku nggak akan habis."

Selain menyimpan uang di rekening, Bhanu juga menyimpannya dalam bentuk krypto dan saham. Pria itu amat hati-hati dan pintar mengelola uang, sehingga ia tak khawatir dengan kepergiannya kali ini karena sudah pasti keluarganya sudah tercukupi. Belum lagi dengan royalti buku-bukunya yang terlapor dua digit setiap bulannya.

"Jangan nyerah kalau hasilnya nggak baik. Masih ada aku, manfaatin aku semaumu..."

Kali ini Khirani mengangguk, bukan sepenuhnya setuju, tetapi hanya karena ingin Bhanu lebih tenang.

Sekali lagi direngkuh tubuh Khirani dalam pelukan. Sebelum akhirnya dilepas lalu benar-benar berpamit.

"Sampai jumpa dua bulan lagi."

"Hm," jawab Khirani dengan suara bergetar. "Hati-hati, ya, Mas. Aku pasti doain kamu. Ingat pesan-pesan ibu, ingat aku..."

"Iya, Sayang."

Terakhir kali, Bhanu mengecup kening Khirani sebelum akhirnya kakinya beranjak pergi keluar pintu. Menegakkan badan yang menempel seragam kebanggannya, berjalan meninggalkan teras dan halaman rumahnya. Sebuah mobil yang dikirim Pak Widipto sudah menunggu sejak tadi di depan rumah.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Bhanu menghadap ke rumah. Melihat Khirani yang berdiri menatap keberangkatannya di teras, muncul si kembar yang langsung dirangkul oleh Khirani. Ketiganya tersenyum ke arah Bhanu.

Pria itu menggerakkan tangan, hormat dengan senyuman. Sebelum akhirnya, ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah.

"Mas Nu pasti pulang, kan, Kak?"

"Pasti."

"Pasti pulang dengan selamat, kan, Kak?" imbuh Nana.

"Hm. Prajurit tidak pernah ingkar janji. Mas Nu pasti pulang dengan selamat," yakin Khirani sembari mengeratkan rangkulannya pada si kembar.

Setelah menenangkan Bu Nawang yang masih bersedih atas keberangkatan putranya ke pangkalan militer, Khirani kembali ke kamarnya. Menutup pintu dengan perlahan, sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

Air mata yang ditahan sejak tadi, perlahan muncul kepermukaan. Terasa hampa dan sepi, seolah separuh hatinya turut berangkat bersama sang kekasih.

Harum dan bayangan Bhanu masih tertinggal di sini, bagaimana mereka menghabiskan waktu semalam sembari bercerita banyak hal melekat dalam ingatan. Ia berjalan perlahan ke arah meja kerja Bhanu yang rapi, tempat di mana Bhanu merangkai ratusan ribu kata dalam novel-novelnya.

Khirani duduk di sana, menatap layar komputer yang mati. Di samping tumpukan catatan, ada sebingkai foto yang diambil saat mereka akan manggung bersama di pertunjukan novel Gantari. Tergambar wajah canggung Khirani yang menatap kamera dan tatapan tulus Bhanu yang menatap dirinya.

Khirani mencetak senyum di tengah matanya yang basah. Di samping kanan komputer ada satu lagi sebingkai foto. Foto formal saat mereka melakukan pengajuan pernikahan memakai seragam dinas TNI, sementara Khirani memakai baju biru Jalasenastri. Di foto itu Khirani tersenyum, tanpa raut canggung.

Perlahan Khirani berjalan ke arah ranjang, mengusap bantal Bhanu dan mencium aromanya yang tertinggal. Kemudian ia berbaring seolah Bhanu ada di hadapannya, mengusap-usap bekas Bhanu berbaring dengan berlinang air mata.

Terkenang obrolan semalam, sambil memandang langit-langit kamar  berpelukan.

"Kamu besok berangkat, terus kalau tiba-tiba aku hamil gimana?"

"Nggak akan."

Khirani menoleh, "Kok yakin banget?"

Bhanu mencetak senyum gemas, "Ya, soalnya..." ucapnya tergantung, melirik Khirani dengan kerutan kening, "Yang, di sekolah kamu nggak pernah ikut pelajaran biologi, ya?"

"Nggak. Kan, sekolahku musik."

"Oh... iya." Bhanu tertawa kecil, bingung bagaimana menjelaskan proses kehamilan. Tidak salah kalau Khirani tidak tahu karena dari kecil gadis itu hanya tahu tentang musik saja. Ia tumbuh menjadi gadis yang tidak neko-neko, tidak banyak paham dengan pergaulan bebas. Dalam hidupnya ia hanya berorientasi pada mimpi.

"Nggak akan, percaya deh. Aku nggak akan biarin kamu hamil dulu sebelum masa tugasku selesai. Aku nggak mau kamu hamil sebelum kamu meraih mimpimu. Aku udah menyaksikan perjuangan ibu hamil dan melahirkan tanpa ayah, aku nggak mau kamu mengalaminya." Bhanu mengeratkan pelukan.

Meski tidak sepenuhnya paham, Khirani tahu kalau Bhanu mengambil keputusan dengan banyak pertimbangan, yang di mana keputusan itu amat baik untuk Khirani di masa depan.

"Aku ingin lihat kamu punya konser sendiri di panggung yang megah dengan ribuan penonton, aku akan duduk paling depan  tepuk tangan dengan keras. Menyusulmu ke panggung dan memberimu buket rasa banggaku," kata Bhanu sembari meringsek dalam pelukan.

"Hm, aku juga," balas Khirani dengan senyuman, membayangkan pemandangan itu benar-benar terjadi di masa depan.

Kini ia meringkuk dalam sepi, mulai bersahabat dengan sesuatu yang disebut rindu.

"Kembalilah dengan selamat, Prajuritku..."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro