Miss Frozen
"Wah kebetulan nih," kata Bhanu saat melihat si kembar merapikan buku-buku mereka di meja untuk bersiap belajar di gazebo rooftop setelah makan malam sebentar lagi.
"Omo!" pekik Nana terkejut melihat kakaknya pulang lebih cepat dari biasanya, "tumben jam segini udah balik, Mas?"
"Wah, bawa apaan tuh?" Noni berdiri mendekati Bhanu, matanya tertuju pada satu kantong keresek yang berlogo sebuah toko roti terkenal kesukaan si kembar, "J-co?"
"Tadi cuma cek-cek lokasi acara doang sih, jadi cepet. Nih, buat kalian karena udah semangat belajar." Bhanu mengulurkan kantong keresek itu kepada Noni dan Noni menerimanya dengan suka cita seperti baru saja mendapatkan hadiah utama.
"Gamawooo, Mas Nu, saranghae!" pekik si kembar hampir bersamaan.
"Guru les kalian belum pulang?" tanya Bhanu melihat ada ransel hitam di kursi.
Noni mengangguk, "Belum, lagi di kamar mandi. Besok kita ada ulangan matematika, jadi lembur."
"Oke, semangat!"
Bhanu berjalan menuju dapur untuk menyapa ibunya, ia juga membawa oleh-oleh makanan kesukaan Nawang, gethuk dan onde-onde mini. Ia juga tidak lupa untuk membeli makanan kesukaan Binna, kebab turki.
"Ibu?"
Nawang yang sibuk dengan mengaduk sesuatu di panci menoleh, terkejut melihat putranya yang belakangan ini selalu pulang malam, belum jam tujuh sudah ada di rumah.
"Tumben, Le?"
"Lagi nggak ada kerjaan lagi. Nih, Bu, gethuk sama onde-onde." Bhanu menyalami tangan Nawang dan mencium punggung tangan kanan sang ibu.
"Taruh aja di meja, sana. Ibu mau ganti baju dulu, ya, bentar lagi makan malam." Nawang mematikan kompor, kemudian berjalan menuju kamarnya.
Bhanu mengambil piring, memindahkan gethuk dan onde-onde ke atas piring kemudian diletakkan di atas meja. Ia membuka kulkas untuk menaruh kebab Binna, adiknya itu mengirimi pesan bahwa akan pulang terlambat lagi malam ini. Setelah meletakan kebab di antara kotak makanan yang lain, Bhanu mengambil botol minuman kemudian meneguk airnya.
Bersamaan dengan itu, suara pintu kamar mandi yang tak jauh dari posisi kulkas terbuka, melihat siapa yang keluar dari kamar mandi tersebut membuat Bhanu kontan menyemburkan air di dalam mulutnya, terkejut.
Mereka sama-sama membulatkan mata.
"Ssaem, ayo makan donaaat!" Nana berlari dari ruang tengah.
"Ssaem?" tanya Bhanu tidak percaya sambil membersihkan bekas air di sekitar bibirnya, "Guru les?"
Nana mengangguk, "Ssaem, ini Mas Nu. Karyawan PT. Menghayal." Nana mengenalkan Bhanu kepada Khirani yang masih tenggelam di dalam rasa terkejutnya.
Selama ini ia berusaha keras untuk menghindari pemuda di depannya itu, tetapi nyatanya takdir menggiringnya mereka untuk selalu bertemu. Ketidakasingan foto di ruang tengah itu menemukan titiknya, foto pemuda dengan poni panjang yang bertubuh cungkring itu adalah Bhanu. Penampilan mereka jelas berbeda, tetapi sorot mata dan senyuman mereka sama, sangat tidak asing. Khirani meneguk ludahnya sendiri menerima kenyataan menyebalkan ini.
"Oh. Hai," kata Khirani menyapa seolah mereka baru pertama kali bertemu.
"Khi?" Bhanu tidak bisa menyembunyikan senyumannya, melihat Khirani ada di rumahnya.
"Omo, omo! Kalian sudah saling kenal?" pekik Nana menyadari.
"Daebak!" suara Noni menyusul di belakang Nana yang baru masuk dapur, "Miss Frozen itu Seonsseng-nim?" Noni tiba-tiba saja menangkap kesadaran tersebut.
Mereka berempat bergantian saling pandang, detik itu menjadi detik yang mengejutkan keempatnya. Bhanu terkejut karena melihat Khirani ada di dalam rumahnya yang ternyata selama ini adalah guru les adik-adiknya. Si kembar terkejut karena Miss Frozen yang selama ini diceritakan kakaknya adalah Khirani, guru les mereka. Begitu juga, Khirani yang lebih terkejut bahwa ia malah berada sangat dekat dengan kehidupan Bhanu, pemuda yang selama ini ia hindari.
***
Beberapa minggu yang lalu, Bhanu pernah menceritakan bahwa ia mengenal seorang gadis yang sangat dingin. Ia menyebutnya Miss Frozen. Gadis itu tak banyak bicara, tak bisa disentuh, dan juga tak bisa untuk diketuk hatinya, saking begitu dinginnya.
Lamban laun Bhanu mengenalnya, ternyata gadis itu memiliki sebuah kekuatan tersembunyi yang menakjubkan. Ia memiliki sihir yang mampu membuat Bhanu terjatuh dalam danau sihir yang gadis itu ciptakan. Sihir gadis itu membawa Bhanu menyelami perasaan abu-abu yang perlahan menemukan gradasi sebuah warna. Seperti karakter Elsa di Film Frozen, keduanya memiliki kemiripan. Memiliki sesuatu keajaiban.
Entah bagaimana Tuhan menulis takdir mereka, Tuan Penghayal dan Miss Frozen bisa bertemu di ruang dan waktu yang tak terduga. Jarak keduanya direkatkan oleh tali takdir yang tak bisa ditebak apa maksud dan tujuannya. Padahal, Tuan Penghayal sudah memutuskan untuk tidak terlalu mencampuri urusan Miss Frozen, tidak memaksa mengetuk pintu hatinya, Tuan Penghayal mau semua berjalan dengan mengalir tanpa selalu mengharapkan akhir yang bagus.
Denting sendok yang terdengar di atas meja makan begitu mencolok di antara pengapnya suasana canggung yang tercipta. Khirani tidak bisa menolak untuk tidak duduk di sebelah Bhanu, berseberangan dengan si kembar yang sedari tadi menahan senyum melihat pemandangan yang canggung antara kakak dan guru les mereka. Sedangkan sang ibu bersikap sewajarnya, meski dalam hatinya penuh dengan tanda tanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Nduk Khirani nanti pulangnya biar diantar sama Bhanu, ya?"
Bhanu hanya menatap sendoknya yang bercengkeram dengan oseng kangkung di atas piring. Ia menduga pasti akan mendengar penolakan gadis itu atas permintaan dari sang ibu. Bhanu juga tidak akan memaksa mengantarkan Khirani, mengingat bantuannya sejak pagi tadi di kantor selalu ditolak mentah-mentang olehnya.
"Tidak perlu repot-repot, Bu. Saya biasa pulang malam, halte di sini juga dekat, kok," jawab Khirani membenarkan dugaan Bhanu.
Bhanu tersenyum tipis sambil melahap sisa kangkung di piringnya.
"Eh, nggak apa-apa. Saya ini sebenarnya khawatir loh, Nduk. Apalagi kamu perempuan, sekarang lagi marak kasus pelecehan, ngeri dengernya."
"Jangan dipaksa, Bu, dia nggak suka dipaksa," sahut Bhanu sambil mengelap sekitar bibirnya dengan tissu, berencana beranjak pergi karena makan malamnya sudah selesai. Namun, tangan sang ibu menahan, ditambah lagi pelototan dari si kembar berhasil membuat dirinya duduk kembali.
"Saya bawa proteksi, kok, semprotan merica."
"Malam ini aja, deh, dianterin Bhanu, ya. Nanti selesai lesnya kan, jam sembilan malam. Katanya mau lembur, kan, besok si kembar ulangan."
"Kalau gitu, nginep aja, Ssaem!" sahut Noni.
"Betul, malam ini nginep aja! Bisa tidur di kamarnya Mbak Bin. Besok berangkat ke kantor bareng Mas Nu," imbuh Nana.
"Nah, gitu juga nggak apa-apa," kata Nawang.
Kontan Khirani melepaskan sendok di tangan untuk melambaikan kecil, menolak. Detik ini saja ia ingin cepat berlalu, rasanya tak sanggup jika harus bertahan semalam seatap dengan pemuda di sampingnya ini. Belum lagi, besok pagi masih harus berinteraksi di meja makan untuk sarapan, lalu berangkat bersama satu mobil dengan Bhanu. Membayangkan saja, Khirani merasa mual.
"Diantar aja nggak apa-apa," ucap Khirani terpaksa. Dibanding ia harus menginap, Khirani memilih diantar, setidaknya ia bisa turun di mana saja untuk menghindari terjebak terlalu lama di dalam mobil bersama Bhanu.
Bhanu menoleh ke arah Khirani, ia melihat jelas wajah terpaksa Khirani yang membuat pemuda itu tersenyum dalam hatinya sekaligus merasa tidak enak karena membuat Khirani tak nyaman.
Pukul sembilan lebih lima belas menit sambil menguap lebar Nana dan Noni mengakhiri pelajaran les mereka. Bhanu keluar dari kamarnya membawa jaket, berjalan ke arah ruang tengah untuk menunggu Khirani yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Setelah pamit kepada Nawang dan si kembar, Khirani mengikuti langkah Bhanu untuk menuju halaman depan garasi. Mobil Rush berwarna hitam perlahan keluar.
Dengan perasaan yang tidak keruan antara terpaksa, malu, sungkan dan tidak nyaman, Khirani menarik handle pintu mobil Bhanu, kemudian duduk di jok belakang. Ia sempat membeliakan mata, kaget, saat melihat sorot mata Bhanu yang tampak di spion depan.
"Jadi, saya sopir nih ceritanya?" sindir Bhanu.
Khirani menetralkan matanya sambil menutup pintu mobil, "Aku tidak nyaman duduk di depan. Bisa, nggak, langsung pergi aja?"
"Nggak." Bhanu menggeleng. Ia menoleh ke belakang, "Saya mau ngomong serius sama kamu. Duduk depan, gih!"
"Ngomong aja, di sini juga bisa."
"Khi, kamu bisa nggak sih, jangan semaunya sendiri?"
Secara ajaib kalimat itu mampu cepat dipahami benak Khirani. Tentang dirinya yang keras kepala, tentang dirinya yang tak tahu diri sudah ditolong tetapi berbuat seenaknya sendiri. Kesadaran itu menelusup ke titik inti benaknya. Perubahan wajah gadis itu sangat kentara, hingga akhirnya ia membuka kembali pintu mobil lalu pindah ke kursi depan.
Untuk sementara waktu, mereka hanya bergeming sembari mobil melaju keluar dari perumahan. Khirani tak menyangka bisa terjebak di sini bersama Bhanu. Ia sama sekali tak menyadari selama ini tentang Bhanu berusaha ia jauhi ternyata sangat dekat dengannya. Bahkan, ia mengenal baik keluarga pemuda itu.
"Rumah kamu di mana?"
"Anterin ke stasiun aja."
"Gila, ya? Ini sudah malem, Khi. Saya nggak mau."
"Pemaksa!" gerutu Khirani kesal.
"Kepala batu!" balas Bhanu.
"Turunin aja deh kalau mau ngajak ribut."
"Oke, saya turunin, kok, kalau udah sampai di rumahmu." Jeda tiga detik, Bhanu menoleh sebentar, "Jadi di mana rumahmu?"
Khirani menghela napas panjang, pemuda ini benar-benar pemaksa. "Gambir."
Bhanu mengangguk-angguk, "Jauh juga, ya, dari kantor. Kamu setiap hari pulang pergi naik kereta?"
"Kamu mau ngomong apa?" sela Khirani mengalihkan arah pembicaraan mereka, Khirani tak mau meladeni pertanyaan Bhanu yang menjurus ke hal-hal lebih privasi gadis itu. Khirani tidak mau Bhanu melewati batas lagi mencampuri urusannya.
Bhanu tak lantas menjawab, ia perlahan melambatkan laju roda mobilnya dan berhenti tepat sebelum garis penyeberangan di lampu merah. Ia menurunkan perseneling mobilnya, kemudian menoleh ke arah Khirani. Merasa ditatap, Khirani memfokuskan pandangannya ke arah depan mobil. Jalanan tampak sesak oleh mobil dan motor, lalu lalang orang bepergian di malam sabtu.
"Kamu boleh membenci saya, tapi jangan mengecewakan si kembar. Mereka sangat menyukaimu."
Khirani hanya bergeming, tetapi fokusnya mulai terusik. Sorot matanya masih mengarah ke depan tanpa ada niat menoleh ke arah lawan bicara.
"Anggap aja saya nggak ada," lanjut Bhanu, sejenak ia menghela napas panjang, "seperti biasanya kamu menganggap saya seperti itu."
Kalimat itu cukup menjadi alasan Khirani menarik leher untuk menoleh ke Bhanu. Kini bukan lagi fokusnya yang terusik, tetapi juga hatinya. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba saja menyergapi relung batinnya. Tentang kebaikan-kebaikan Bhanu yang tak pernah dianggap oleh Khirani, tentang kehadiran Bhanu seperti angin lalu, dan tentang Bhanu yang selalu menutupi hal paling buruk yang ada pada Khirani, yakni insiden gadis itu tertangkap basah mau mencopet di kereta.
Bhanu tersenyum tipis sambil menoleh ke sudut kotak yang menampilkan hitung mundur lampu merah, "Saya tahu kamu berniat berhenti jadi guru les si kembar, kan? Karena ada saya."
Semua kata tertelan begitu saja saat kebenaran itu terungkap dulu oleh Bhanu. Iya, Khirani sudah merencanakan akan berhenti menjadi guru les si kembar karena Bhanu. Khirani berencana kembali mengamen dan mencari pekerjaan baru meski tahu itu akan sulit ia dapatkan. Khirani mengalihkan sorot matanya menjauh dari arah Bhanu, gadis itu menoleh ke sisi sebaliknya, menatap keluar mobil melalui jendela samping sambil menelan ludahnya getir.
"Kalau kamu merasa buruk berhadapan dengan saya karena kejadian di kereta waktu itu..." kalimat Bhanu menggantung, ia sedikit terkejut saat sorot mata Khirani kembali mengarah kepadanya. Bhanu sudah menduga alasan kuat Khirani selalu menghindarinya karena sebab itu. "Saya sama sekali tidak memandangmu seperti itu, Khi."
"Lalu?"
"Pria yang paling berengsek adalah pria yang membuat wanita merasa buruk. Dan, saya nggak pernah punya maksud untuk membuatmu merasa buruk." Bhanu menatap dalam netra Khirani yang juga melamatnya, "inget, nggak, saya bilang apa waktu di kereta itu? Saya yakin kamu punya alasan buat melakukan hal itu, kan?"
Khirani hanya bergeming, tetapi ia mulai merasakan udara di dalam mobil ini perlahan terasa sesak, sesak oleh berbagai macam emosi yang merayapi hati.
"Khi, saya juga pernah hampir melakukan hal buruk. Saya manusia, kamu juga. Kejadian di kereta itu sudah lenyap di ingatan saya, tidak berpengaruh apa pun dengan pandangan saya terhadapmu detik ini, bahkan sampai nanti."
Bhanu melepas tangannya di kemudi, memutar setengah tubuhnya untuk menghadap Khirani, "Kamu pernah bilang kalau saya cuma kasihan sama kamu, itu nggak bener. Saya kagum sama bakatmu, saya hanya ingin berteman denganmu, nggak peduli apa latar belakangmu, masalah pribadimu, saya hanya ingin berteman, itu saja."
Bola mata Khirani bergerak-gerak secara bergantian menelusuri arti tatapan Bhanu kepadanya, mencari sebuah keyakinan bahwa apa yang dikatakan pemuda itu adalah tulus dan apa adanya.
Mereka bertukar pandang cukup lama, hingga bunyi klakson dari arah belakang memutus kontak mata mereka. Fokus Bhanu beralih ke jalanan, melajukan kembali roda mobilnya.
Sisa perjalanan, mereka habiskan dengan bergeming. Khirani sibuk menyelami perasaannya sambil menelaah kalimat-kalimat Bhanu. Sedang Bhanu hanya fokus menyetir dengan baik. Sampai akhirnya Khirani mengisyaratkan untuk menepi di gang perkampungannya.
"Rumahmu masih masuk?"
"Hm." Khirani membuka pintu, mencangklong tasnya kemudian kembali menutup pintu mobil sambil berkata terima kasih dengan nada berkumur.
Bhanu ikut turun dan berjalan mendekati Khirani yang sudah lebih dulu masuk ke gapura perkampungannya.
"Saya antar, ya?"
"Nggak usah. Aman, kok, banyak warga yang nongkrong di pos ronda sana." Khirani menunjuk dengan arah matanya ke persimpangan jalan beberapa meter di depan.
"Oke, saya pulang dulu, sampai jumpa besok di kantor."
"Hm," jawab Khirani sembari membalikan badan kembali berjalan. Tak lama dari itu, ia mendengar suara mobil Bhanu meninggalkan tempatnya, Khirani kembali menoleh. Ditatapnya mobil itu pergi, semakin jauh mobil itu melaju semakin dalam perasaan yang bergejolak di hati Khirani. Apakah sudah saatnya untuk membuka hati untuk orang lain?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro