Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Menutup Luka

Karena fokus sekolah, Khirani tidak begitu kesulitan menjalani LDR. Apalagi ketika Diandra menyusulnya, mereka banyak menghabiskan waktu mengeksplor Australia di hari libur.

Dari Pulau Kanguru, Taman Nasional Uluru, Pinacles dan menyelam di Great Barrier Reef. Dibanding menikmati hari libur di perkotaan, mereka lebih senang menjelajah alam. Hal itu juga baik untuk pemulihan total Diandra.

Tak selalu mulus juga, ada waktu terasa berat menjalani sekolah. Ada persaingan yang membuat Khirani kadang menarik diri dan sering mengalah karena takut terulang kembali saat dirinya sekolah di Musica Art School.

Ada waktu di mana ia benar-benar butuh Bhanu, tetapi sang adik selalu bisa menghiburnya. Kehidupan Khirani terasa membaik, kembali seperti sedia kala meski banyak hal-hal yang tak sama persis. Seolah runtuhnya hidupnya beberapa tahun silam hanyalah sebuah mimpi buruk belaka.

Ibunya pulang membawa banyak bukti tentang keterlibatan rekan-rekan ayah Khirani dalam penjebakan, beritanya heboh selama berpekan-pekan karena ayah Khirani yang divonis mati kembali duduk di persidangan untuk sidang ulang.

Semua bukti mengarah ke Drajat, Gubernur baru yang dulu menjadi atasan Pak Kim, ayah Garu. Ayah Garu menjadi eksekutor dan menjebak ayah Khirani seolah-olah menjadi tersangka. Rencana itu dipersiapkan matang dan terorganisir tidak dilakukan oleh satu orang, tetapi satu kelompok untuk menyingkirkan Ketua KPK yang akan maju dalam pemilihan Gubernur.

Pada saat sidang, Khirani dan Diandra pulang, menyaksikan ketok palu ayahnya dibebaskan dari segala tuduhan. Mereka berpelukan di ruang sidang, sujud syukur dan membawa sang ayah yang sudah mendekam empat tahun di penjara untuk pulang.

Tentu saja, pulang ke rumah Bu Aminah.

"Ibu, jangan pergi lagi," ucap Khirani sehari setelah sidang, ibunya bersiap untuk pergi lagi.

"Akan lebih baik Ibu pergi, Khi. Tugas ibu untuk membalas kebaikan ayahmu sudah selesai, waktunya ibu untuk melepas ayahmu bersama orang yang dicintainya. Jangan sedih, ibu tetap ibumu, nanti pasti pulang saat kamu memberi ibu cucu, ya?"

"Bu..."

"Terima kasih sudah bertahan, Khi. Maaf, ibu nggak ada di hari bahagiamu. Ibu akan berterima kasih nanti kepada suamimu karena sudah mencintai putri ibu seluar biasa itu."

Ibunya meninggalkan surat cerai yang sudah ditanda tangani untuk ayahnya, membiarkan ayahnya untuk kembali bersama dengan wanita yang dicintai tanpa ada status istri pertama dan kedua. Ayah Khirani kembali pada cinta pertamanya, dimiliki seutuhnya Bu Aminah, yang akhirnya dinikahi sah secara hukum beberapa bulan setelah keluar dari penjara.

Ada hal yang perlu Khirani telan sebagai obat meski pahit, kepergian ibunya ke dunianya yang baru membuat Khirani perlahan merasa lega dan menghargai keputusan sang ibu. Menjadi istri pertama sementara cinta habis untuk istri kedua pasti tidak akan mudah menjadi ibu Khirani. Pergi dan memulai lembaran baru adalah keputusan yang tepat.

"Ibu pantas untuk mendapatkan bahagianya sendiri dan juga orang yang tulus membalas cintanya," ucapnya saat mulai mengikhlaskan sang ibu dengan pilihannya.

Sekarang perempuan itu lebih banyak tersenyum, tertawa dan merasa bahagia.

Setahun telah terlewati, banyak hal telah dilalui. Khirani sering diajak kolaborasi di panggung orkestra, karirnya terus menanjak. Hingga akhirnya libur musim panas kali ini Khirani dan Diandra putuskan untuk pulang ke Indonesia lagi karena bersamaan dengan Sumpah Dokter Binna, berkumpul dengan keluarga adalah pilihan yang tepat.

Sementara Bhanu ikut satgas ke Lebanon, yang tugasnya berakhir bulan depan.

"Entar pulang sandar di beberapa negara, mau titip apa?"

"Nggak mau titip apa-apa, pengin kamu cepet pulang."

Bhanu tersenyum, "Sabar, ya, Yang. Aku pasti pulang."

"Harus."

"Aku kemarin lihat video kamu di youtubenya Binna. Kami makin cantik, nggak sabar pengin cepet pulang."

Khirani tertawa malu, "Gara-gara itu aku dapat undangan beberapa komunitas violin di sini."

"Layak sih, viral, kamu berbakat. Aku bangga banget sama kamu."

"Terima kasih. Oh, ya, aku reservasi buat staycation, ya?" Khirani membuka laptop, ia sudah memilih beberapa tempat untuk staycation sepulang Bhanu nanti. "Agak jauh, sih, tapi aku pengin banget ke sana bareng kamu."

"Ke mana? Ayo."

"Bromo. Di sana ada penginapan bagus, aku juga pengin main biola di padang savana. Mau, ya?"

"Maulah, ke mana aja kamu mau pergi, aku mau nemanin, Yang."

"Oke, kamu pulang tanggal..." Khirani melirik kalender yang salah satu tanggalnya dilingkari dengan spidol merah, "Tanggal 17 bulan depan, aku balik ke Aussie tanggal 31. Masih ada banyak waktu, mmm... gimana kalau hari biasa, biar nggak rame?"

"Kamu atur aja, Yang. Kalau bisa bikin list apa aja yang pengin kamu kunjungin, pengin kamu lakuin sepulang aku nanti. Aku kabulin semuanya."

Khirani tertawa, "Bener, ya? Soalnya banyak nih."

"Siapa takut." Tawa Bhanu juga terdengar, tawa itu perlahan mengendur berganti menjadi nada sedu. "I miss you, really miss you, Khi."

"Aku juga. Kangen banget sama kamu. Kamu harus pulang, ya? Harus."

"Iya, Sayang."

***

Hari-hari menunggu kepulangan Bhanu, Khirani habiskan dengan berbagai kegiatan. Selain diundang ke beberapa komunitas violin, Khirani juga berkunjung ke rumah sakit tempat Diandra pernah dirawat. Ia membuat pertunjukan violin di depan pasien-pasien pejuang kanker.

Khirani kerap mendatangi taman-taman untuk menghibur orang-orang di sana. Mengulang saat dirinya menjadi pengamen, kali ini tanpa masker penutup wajah, tanpa dress yang usang. Khirani tampil percaya diri di depan banyak orang.

"Kak, dapet undangan dari Musica." Diandra menunjukkan email dari sekolah yang pernah mengusir Khirani karena skandal sang ayah. "Mau diterima nggak?"

Khirani yang baru saja mencoret tanggal menuju tanggal kepulangan Bhanu itu menoleh, bergeming seperkian detik.

Musica pernah menjadi tempat paling ia banggakan, tetapi juga pernah menjadi tempat paling menyeramkan. Di sana luka yang ia dapat paling banyak, masih jelas dalam memorinya bagaimana perundungan dari budaya pengenyahan yang pernah dialami menghancurkan mental dan semangat hidupnya.

"Hm, terima aja, Di," jawab Khirani setelah mempertimbangkan sekian menit.

"Beneran?"

"Hm." Khirani kembali mengangguk.

Tidak ada alasan untuk menolak, justru Khirani perlu ke sana untuk menutup segala luka. Mengemas derita menjadi sebuah cerita yang akan dituturkan kelak pada junior-juniornya. Bahwa ia adalah korban budaya pengenyahan yang berhasil bangkit dan kembali berdiri di atas panggung.

Lagipula, Musica adalah tempat belajar adik-adik iparnya. Ia tak sepenuhnya bisa membenci tempat itu.

Ternyata undangan ke Musica bertepatan dengan hari kepulang Bhanu. Acaranya pagi dan kapal Bhanu diperkirakan bersandar siang. Khirani tetap mengiyakan untuk datang ke Musica dalam acara Dies Natalies sebagai tamu kehormatan dan akan tampil di atas panggung.

"Kita sambut, Khirani Gantari. Dipersilakan naik ke atas panggung."

Riuh tepuk tangan menyambut, terlebih pada baris tengah tribun. Nana dan Noni yang heboh tepuk tangan.

Ditemani Reyko sebagai pasangan duetnya, Khirani membawakan lagu Breathe dari Lee Hi di atas panggung yang pernah menjadi panggung neraka baginya. Memakai dress berwarna merah terang yang anggun, menggulung rambut hasil kreasi tangan Binna. Khirani tampil seperti layaknya bintang di atas panggung.

Lagu Breathe bermakna bahwa selelahnya kita berjuang pada satu hal, kita tidak boleh berhenti, kita boleh mengambil jeda napas. Tidak apa-apa datang dengan terlambat, tidak apa-apa untuk mengambil waktu sebentar untuk bernapas. Sebab, hidup tak selamanya berjalan dengan mudah, adakalanya perlu istirahat. Namun, jangan pernah untuk berhenti berjalan.

Khirani tenggelam dalam danau melodinya, setiap gesekan bow-nya menariknya pada ingatan-ingatan masa paling buruk, masa paling banyak menangis, masa di mana Khirani berpikir bahwa kematian lebih baik daripada hidup dalam sumur kegelapan.

Sepeti halnya memainkan violin, ada masa jeda untuk mengajak penonton berenang bersama dalam danau melodinya. Kepahitan yang pernah Khirani alami adalah jeda untuk dirinya bernapas.

Tidak ada kata terlambat, kegagalan adalah sesuatu yang paling dekat dengan pengalaman. Selama napas masih berembus, nyawa masih menggantung pada raga, kesempatan untuk berhasil bangkit dan meraih mimpi terbuka luas.

Tuhan menciptakan setiap masalah beserta solusinya, beserta hadiah untuk orang-orang yang sabar. Jika seorang hamba tak memutuskan untuk berpulang tanpa jemputan, ia akan mendapatkan hadiah itu. Hadiah yang akan datang di waktu yang tepat.

Gesekan bow terakhir menyihir seluruh penonton, sekian detik dalam keheningan sebelum riuh tepuk tangan menggema di aula besar Musica. Nana dan Noni bertepuk tangan paling keras, air mata mengalir di pipi mereka.

"Lima tahun yang lalu, saya pernah berdiri di sini sebagai murid pilihan untuk memeriahkan pesta tahunan Musica Art School. Saya membawakan piece dari composer legenda Paganini yang saya kagumi. Itu adalah pertunjukan terakhir saya sebelum turun dari panggung impian karena desakan budaya pengenyahan yang kental di sekolah ini.

Saya memahami sebagai seorang seniman, persaingan adalah tantangan yang serius. Namun, sebagai seorang murid... itu adalah penganiyaan. Penganiyaan secara mental, mereka berlomba untuk saling mengenyahkan demi sebuah figur yang ditempel di dinding penghargaan. Entah siapa yang memulai, tetapi sudah banyak korban budaya pengenyahan dari sekolah ini. Termasuk saya.

Saya harap budaya itu dihapuskan, dinding penghargaan dirobohkan, demi kesehatan mental bibit-bibit bangsa. Jangan lagi menciptakan seorang seniman yang berjiwa monster. Cukup saya dan teman baik saya, Gaharu Svarga yang menutup cerita budaya pengeyahan di Musica Art School."

Semua orang tampak terkejut dengan speech Khirani, tetapi ada juga yang merasa terharu dan terbantu dengan speech tersebut. Ketua Yayasan yang pernah menahan Khirani untuk pergi dari sekolah ini berdiri dari kursinya, ia yang mengundang Khirani ke sini setelah videonya viral.

"Persembahan terakhir dari saya, sebuah piece yang pernah saya bawakan terakhir kali di sekolah ini lima tahun yang lalu, sebagai bentuk penghormatan kepada diri saya di masa lalu, kepada orang-orang yang mendukung saya sejak dulu. Sebagai pintu penutup luka antara saya dan Musica Art School."

Mata Khirani mengarah pada wajah keriput Ketua Yayasan, tersenyum manis. Kemudian menoleh ke Reyko memberi tanda kesiapan memulai pertunjukan.

Khirani menempatkan bow di atas gesekan, kemudian memejamkan mata. Semua penonton tampak menantikan, perlahan bow digesek dan alunan dari piece No. 24 Caprice Niccolo Paganini mengalun.

Jika dulu Khirani menggila di atas panggung atas kekecewaan pengusirannya dari sekolah, kini danau melodi yang diciptakan Khirani lebih jernih, meski bergelombang penuh dengan emosi pembalasan luka di masa lalu.

Kolaborasi jemari Reyko tak hanya menciptakan danau, tetapi lautan melodi yang mampu menghanyutkan siapa pun yang mendengarkannya.

Dalam bayangan di kepala Khirani, ia dari masa kini tengah berlari mencari dirinya di masa lalu. Menyusuri sumur-sumur gelap untuk menemukan dirinya di masa lalu. Hingga akhirnya ia berhasil menemukan dirinya, Khirani yang penuh lebam dan air mata.

Pada saat gesekan bow terakhir, Khirani di masa kini berhasil memeluk Khirani di masa lalu. Menutup luka di tempat awalnya luka itu terbentuk dan ketika Khirani membuka mata, lautan bunga bersorak indah di depan mata.

"Terima kasih sudah bertahan, Khi," ucapnya dalam hati merayakan kemenangan atas perlawanan kepada dirinya sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro