Mendung Menggelayut di wajahnya
Kadang apa yang kita pikirkan tidak selamanya bisa dipahami oleh orang lain. Ya, pada dasarnya kita memang tidak bisa memaksakan isi kepala orang untuk sama dengan isi kepala kita. Seberapa pun Bhanu mencoba untuk menyampaikan niat baik dengan kalimat yang baik pun, tidak selalu bisa diterima oleh Khirani.
Bukan rasa kasihan yang mendorong Bhanu ingin mengajak Khirani menikah, tetapi karena rasa ingin melindungi gadis itu, ingin memberikan yang terbaik untuk gadis itu. Hanya saja, Khirani tidak melihatnya. Gadis itu masih terjebak pada bayangan hitam bentengnya sendiri, menganggap semua orang yang ingin berbuat baik kepadanya hanya karena rasa iba dan Khirani benci itu.
Malam ini, ruangan perawatan Khirani ramai dengan kehadiran orang-orang kantor. Dari sekian tawa dan obrolan, Khirani menangkap air muka Bhanu yang tidak selepas sebelumnya. Pria itu lebih banyak diam, duduk di sofa. Kadang hanya melamun, kadang juga sibuk dengan ponselnya.
Endro mengajaknya mengobrol, tetapi dijawab dengan seadanya. Seolah awan gelap menggantung tepat di atas kepala pria itu.
"Kenapa, Mas Bhanu?" tanya Endro menangkap air muka Bhanu yang tidak biasa.
"Nggak apa-apa, lagi capek aja, Mas." Bhanu meraih botol minuman, kemudian meneguknya sebentar.
"Ya, sudah, Mas Bhanu pulang saja. Udah dari pagi, kan, di sini? Nanti saya yang akan menginap," kata Aminah.
Khirani berharap ditemani Bhanu malam ini, tidak bohong jika ia merasa bersalah karena penolakan itu. Ia juga merasa bersalah karena sempat mengatakan kalimat yang buruk, yakni kata putus. Setidaknya meskipun tidak mengubah pendiriannya untuk tidak dinikahi Bhanu secepat itu, Khirani ingin hubungannya dengan Bhanu tetap baik-baik saja.
Bhanu berdiri, "Ya, sudah, saya pulang dulu, Bu."
Khirani melumat bibirnya, tak mau Bhanu pergi. Namun, ia juga tidak bisa apa-apa karena banyak orang di sini, Khirani tidak mau hubungannya dengan Bhanu diketahui orang-orang kantor. Gadis itu hanya diam menatap Bhanu, tatapannya seolah mengisyaratkan agar Bhanu tetap di sini.
"Khi, aku pulang dulu, ya? Besok aku ke sini lagi." Bhanu meraih tasnya, kemudian berpamit kepada semua orang.
Bahkan, pria itu sama sekali tidak mendekat ke Khirani, pergi begitu saja. Lagipula, apa yang Khirani harapkan di tengah banyak orang sekarang? Hatinya benar-benar tidak keruan, ia benar-benar mau Bhanu tetap di sini. Ada perasaan yang membuncah ingin menahan Bhanu tetap di sini.
Namun, pria itu benar-benar membuka pintu dan menghilang di balik sana. Rasanya jengkel, ingin menangis, tidak rela, tidak mau ditinggal Bhanu pada detik ini, tapi Khirani hanya bisa membisu.
Aminah menggelar sajadah di dekat sofa, melaksanakan salat isya yang tertunda. Orang kantor sudah pulang satu jam yang lalu, menyisakan Aminah dan Khirani saja di ruangan ini. Melihat punggung Aminah yang bermunajat pada Tuhannya, ingatan Khirani pulang pada masa-masa silam saat dirinya pertama kali bertemu dengan Aminah. Wanita itu menjadi karyawan baru di percetakan ayahnya. Tidak ada yang berubah dari Aminah sejak dulu, ia memang hamba yang taat. Dulu saat berkunjung ke kantor ayahnya, Khirani pasti melihat Aminah beribadah di balik bilik ruangannya. Sampai detik ini Khirani tidak memahami, mengapa wanita itu tak kunjung menikah meski usianya sudah hampir 40 tahun.
"Belum tidur, Khi?" tanya Aminah sesaat setelah melipat mukenah dan sajadahnya.
"Belum ngantuk, Bu."
Aminah meletakkan alat salatnya di sofa, kemudian berjalan mendekati Khirani, "Mau nyamil? Kamu disaranin buat makan yang banyak biar gizinya normal." Aminah duduk di kursi jaga, di samping bed perawatan Khirani, "Ibu benar-benar merasa bersalah karena kurang memperhatikanmu."
"Nggak perlu merasa bersalah, Bu. Memang sayanya yang kurang menjaga asupan makanan."
"Kamu nanti kalau udah masuk kerja, Ibu pindahin ke kantor atas, ya? Nggak usah packing lagi."
Khirani langsung menggeleng, gadis itu memang teguh dalam pendirian tak mau dikasihani siapa pun. "Saya tetap mau di bagian gudang, Bu. Saya akan menjaga kesehatan untuk ke depannya."
"Beneran?"
Khirani mantap mengangguk. Aminah sudah menduga itu, Khirani memang teguh dengan pendiriannya. Akan sangat sulit untuk mengubah apa yang dipegang erat oleh gadis itu. Aminah pun tak mau memaksa, karena semakin dipaksa Khirani semakin tidak suka, bisa jadi gadis itu akan mengundurkan diri dari kantor karena tidak nyaman.
Ada jeda sunyi beberapa menit, Aminah sibuk menata pakaian Khirani yang Aminah beli saat pulang tadi, juga menata makanan di dalam kulkas. Sementara Khirani menatap layar ponselnya, menatap kolom pesan nomer kontak Bhanu. Tidak ada pesan satu pun dari pria itu sejak beberapa jam yang lalu berpamit pulang. Khirani sudah mencoba mengirim pesan, namun gadis itu hanya hapus ketik beberapa kali dan pada akhirnya urung mengirim pesan.
"Khirani?"
Khirani menoleh ke Aminah, wanita itu sudah selesai menata pakaian dan makanan. Saat ini duduk di kursi samping bed perawatan Khirani.
"Ibu boleh tanya, nggak?"
Meski tidak suka ditanya-tanya dalam keadaan seperti ini, Khirani menghargai Aminah. Gadis itu mengangguk.
"Kamu... sama Bhanu... dekat, ya?"
Mata Khirani mengerjap kaget.
"Pacaran?"
Kini semakin gugup, bahkan tak berani menatap balik Aminah. Aminah tersenyum, menangkap jelas bahwa memang dugaannya selama ini benar. Khirani dan Bhanu menjalin hubungan lebih dari pertemanan.
"Tidak apa-apa, Bhanu pria yang baik. Ibu yakin dia bisa menjagamu dengan baik. Ibu juga suka sama anak itu, kalau saja ibu punya anak perempuan, Ibu akan mengajukan lamaran untuknya." Aminah kekehan kecil.
Sementara Khirani masih membisu, masih terkejut jika hubungannya dengan Bhanu diketahui oleh Aminah.
Perlahan Aminah meraih tangan Khirani, mengusapnya lembut sembari menatap penuh kasih sayang ke arah Khirani, "Khirani, Ibu senang kamu akhirnya bisa membuka hati. Ibu bahagia karena akhirnya kamu bisa keluar dari bentengmu. Ibu bahagia, Khi," ucap Aminah dengan berkaca-kaca.
"Untuk ke depannya, Ibu berharap banyak hal baik yang datang ke kamu. Ibu berharap kamu bisa lebih bahagia lagi. Hidup memang kadang menyesakkan, tetapi kalau kamu menjalaninya bersama orang yang sayang sama kamu, Ibu yakin sesak itu akan berkurang bahkan menghilang. Kalau suatu saat nanti Bhanu menawarkan hal baik ke kamu, Ibu berharap kamu mau menerimanya. Bhanu adalah pria yang baik, Ibu berani menjamin itu."
Aminah mengusap air matanya sebentar, kemudian tersenyum ke arah Khirani. Aminah benar-benar merasa bersyukur karena ada orang yang menyayangi Khirani selain dirinya. Aminah kerap khawatir jika gadis itu menyerah pada hidup dan memutuskan untuk mengakhirinya. Setiap malam dalam doanya, Aminah berharap Khirani mampu menemukan pelangi setelah badai dasyat menerpanya. Jawaban doa itu ternyata adalah Bhanu, penulis yang pernah menjadi tonggak utama penerbitnya hingga bisa sesukses sekarang. Aminah benar-benar merasa lega luar biasa.
"Khi, kalau Ibu boleh cerita, Ibu pernah menyia-nyiakan orang yang tulus pada Ibu, sampai detik ini Ibu menyesal karena itu. Ibu menebus rasa sesal itu dengan tidak menikah sampai sekarang. Ibu nggak mau itu terjadi sama kamu. Jangan pernah menyia-nyiakan orang yang tulus sama kamu. Kami menyayangimu bukan karena kami kasihan, tetapi kami memang benar-benar tulus menyayangimu. Hm?"
Khirani tidak tahu apakah Aminah mengetahui tentang lamaran Bhanu tadi siang, tetapi kalimat Aminah barusan membuatnya tersentil. Hanya karena perbuatan Garu, selama ini Khirani tidak bisa percaya orang lain, bahkan kepada Aminah yang sudah menganggapnya seperti putri kandungnya sendiri. Setelah mendengar kalimat itu, perlahan Khirani membuka pikirannya, sebegitu jahatkah dirinya menganggap orang yang tulus padanya seperti orang-orang yang pernah jahat kepadanya?
Dunia ini tidak selalu tentang timbal balik. Baik dan buruknya dunia selalu berjalan beriringan. Ada memang orang yang tulus tanpa kembalian. Khirani harus bisa lebih menerima itu lagi kini. Sebab, banyak orang di sekelilingnya yang memang benar-benar tulus sayang padanya.
***
Khirani menatap langit cerah dari balik jendela, Aminah sudah pergi tadi pagi ke kantor karena urusan mendesak. Gadis itu kini ditemani Binna yang sedang libur kuliah. Sambil mengupas apel, Binna bercerita mengenai keanehan kakaknya tadi malam.
"Masa dia berenang tengah malem? Nggak waras emang, sekarang kena flu dia tuh. Ibu ngomel aja dari pagi."
"Jadi, nggak bisa ke sini, ya?"
Binna memakan apel yang ia kupas, "Sepertinya. Tadi aku lihat masih tidur." Binna mengulurkan apel ke Khirani, "Ini, Kak. Aaa?"
Khirani melahap potongan apel itu, pikirannya berkelana mengkhawatirkan Bhanu. Sampai detik ini tidak ada pesan dari pria itu. Sepertinya Bhanu memang benar-benar kecewa padanya. Khirani membuang napas panjang karena sesak, menyesali kalimatnya pada Bhanu.
"Kapan boleh pulang, Kak?"
"Katanya sih, besok. Kalau hari ini nggak ada nyeri lagi, tekanan darahku udah kembali normal, besok boleh pulang."
"Syukurlah. Nanti sore si kembar mau ke sini, udah ngotot dari kemarin tuh berdua mau ke sini. Tapi sama ibu nggak boleh, takut ganggu istirahatnya Kak Khi."
"Sampein makasihku sama Bu Nawang, ya, Bin."
Sambil melahap apelnya, Binna mengangguk tersenyum.
Rentetan pesan di grub penerbit akhirnya memantik rasa penasaran Khirani, biasanya kalau bukan ada event di penerbit, Khirani enggan membuka obrolan grub yang berisi spam orang-orang kantor membicarakan banyak hal. Namun, entah mengapa saat ini Khirani penasaran untuk membuka obrolan grub, mereka sedang membicarakan apa sampai setiap detik pesan berentetan masuk.
Artikel baru saja dibagikan oleh Endro, dengan judul " Sastrawan Elmanik menilai karya Bhanu Brajasena berjudul Gantari tidak layak disebut mahakarya." Dalam isi artikel itu mengatakan "Pertunjukan adaptasi novel Gantari dinilai merusak kaidah sebuah karya sastra. Novel Gantari pun disebut bahwa tak layak untuk disebut mahakarya, alurnya klise dan terlalu pasaran. Mengangkat kisah asli seseorang dalam bentuk karyanya adalah penghinaan terhadap mendiang tokoh asli. Bhanu dituntut untuk menarik karya dari peredaran dan diminta kembali untuk belajar menulis dengan benar."
"Kenapa, Kak?" tanya Binna saat menangkap wajah syok Khirani menatap layar ponselnya.
"Bin, aku mau keluar dari rumah sakit." Khirani menyibak selimut, berniat turun dari ranjangnya.
Buru-buru Binna meletakkan pisau dan piring di meja, ia langsung mencegah Khirani untuk turun, "Kak, mau ke mana?"
Khirani terlilhat panik, yang ada di pikirannya saat ini adalah Bhanu. Khirani harus ada di samping Bhanu. Pria itu pasti merasa terguncang dengan kritikan pedas dari Sastrawan Elmanik, sastrawan itu adalah sastrawan paling disegani di dunia literasi. Juga yang paling dihormati dan panutan bagi Bhanu. Sudah pasti Bhanu patah hati mendapat kritikan pedas tersebut dari panutannya.
"Aku harus ketemu Mas Nu."
"Mas Nu?"
"Bin, aku harus ketemu Mas Nu," pinta Khirani dengan wajah yang terkabuti cemas.
"Mas Nu nggak apa-apa, Kak. Dia cuma flu, entar juga pasti sembuh."
"Nggak, bukan itu. Elmanik baru aja memuat kritikan buat Mas Nu. Bin, tolong, aku pengin ketemu Mas Nu. Dia pasti syok, dia pasti sedih banget."
Meski juga terkejut mendengar itu, Binna mencoba menenangkan Khirani. "Kak, Mas Nu itu udah kebal sama kritikan. Dia pasti baik-baik saja. Percaya deh sama aku, ini bukan pertama kalinya dia mendapat kritikan pedas, bahkan dia juga sering menerima hujatan. Dia bakalan baik-baik saja. Kak Khi yang tenang."
"Tapi, Bin-"
"Aku yang bakal ngecek Mas Nu, ya? Aku pulang sekarang, ngecek dia langsung. Nanti aku kabari Kakak. Kakak di sini aja yang tenang. Kakak fokus sama kesehatan Kakak. Ya, Kak?"
Rasa khawatir rasanya sudah diujung ubun-ubun, takut jika Bhanu terluka sendirian. Namun, rasa nyeri dalam perutnya mendadak terasa, akibat dari tekanan pikiran. Mau tidak mau, Khirani harus terlelap setelah pemberian antinyeri.
Samar-samar ia mendengar suara si kembar, terselangi suara Nawang dan juga Binna. Samar-samar juga ia mendengar Aminah. Khirani sempat membuka mata, tetapi karena pengaruh obatnya, Khirani kembali tertidur.
"Khi? Khirani?"
Khirani membuka mata, terlihat Aminah sedang membangunkannya.
"Ibu nggak bisa nginep malam ini karena ada urusan di kantor, Khirani ditemani Bhanu, ya?"
Mendengar nama itu, rasa kantuk Khirani perlahan buyar. "Mas Nu?"
"Iya, bentar lagi dia datang, masih di jalan. Kamu di sini sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Ibu ada pertemuan di kantor bentar lagi."
Khirani mengangguk.
"Ya udah, nanti kalau Bhanu belum dateng terus kamu butuh sesuatu, panggil suster aja, ya?"
Setelah mengatakan itu, Aminah buru-buru pergi. Karena kritikan itu lumayan berpengaruh ke penerbit, banyak kerja sama yang berniat mengundurkan diri dan kini Aminah sedang berjuang untuk menolong Bhanu dari pengaruh kritikan tersebut.
Sepergi Aminah, Khirani semakin gelisah. Ia meraih ponsel dan mengecek sosial media. Kritikan itu menempati trending dan dibicarakan banyak orang, banyak yang membela Bhanu juga tak sedikit yang membenarkan kritikan itu. Khirani semakin khawatir sampai rasanya sesak di dada, Khirani tahu benar perasaan saat semua orang membicarakan buruk tentangnya. Gadis itu menangis mengkhawatirkan Bhanu. Rasa sesal kemarin menyakiti Bhanu semakin mengaduk-aduk perasaan Khirani. Khirani merasa jahat sekali pada Bhanu pada detik ini.
Di tengah isakan tangisnya, suara knop pintu diputar dari luar terdengar. Tak lama Bhanu muncul dari sana dengan senyuman.
***
100 komen,langsung gas lanjut!
hubungan mereka semakin dalam, ya?
Berharap segera akad biar tidak ada dosa di antara kita. Hahaha.
Semangat Mas Nu!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro