Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Matahari Yang Redup

Khirani berjalan membawa setangkai bunga mawar merah sambil mencangklong tas biola menuju ruang perawatan. Kakinya menyusuri tempat yang setahun terakhir ini selalu ia kunjungi. Setiap merasa sedih, setiap merasa kesepian, setiap merasa kerinduan, gadis itu mendatangi tempat ini. 

Kedua manik matanya menatap pintu perawatan dengan rasa sedih yang teramat dalam. Perasaan itu seperti awan mendung yang selalu mengikutinya sepanjang tahun ini, tentang rasa khawatir dan takut yang sepanjang waktu cukup menghantuinya. Perlahan ia masuk dan berjalan mendekati salah satu bed, ia membuang bunga yang layu di atas nakas dan menggantikannya dengan bunga yang baru.

Setelah itu Khirani duduk di kursi dekat bed perawatan, tangannya menjamah perlahan tangan seseorang yang putih pucat bergelang pasien bernama Diandra Btari. Mata gadis di atas bed itu terpejam, setengah wajah cantiknya tertutupi dengan masker oksigen. Kabel berwarna merah, biru dan kuning terpasang di dada di balik bajunya. Dadanya kembang-kempis, seperti tertidur pulas. Selang infus bercabang menancap di punggung tangan kirinya.

Setahun yang lalu, Khirani harus menerima sebuah takdir menyakitkan kala melihat adiknya terbujur penuh luka di tengah jalan. Diandra menjadi korban tabrak lari, padahal kehidupan mereka sudah mulai membaik, mereka sudah bisa tersenyum kembali setelah masa-masa berat setelah hari besar. Itu terjadi setelah satu tahun sejak Khirani memboyong adiknya keluar dari rumah sang paman.

Diandra adalah satu-satunya teman hidup Khirani saat semua orang menjauhinya, saat Maya menghilang bagai di telan bumi dan saat Romi mendekam di penjara. Sedikit berbeda dengan Khirani, Diandra berkepribadian tenang, lebih aktif dan tidak seambisius Khirani. Tidak sama dengan Khirani yang berbakat bermusik, Diandra lebih berbakat di bidang olahraga. Ia masuk ke sekolah khusus olahraga dan mengambil jurusan bola voli, ia sempat menjadi asisten pelatih untuk kejuaraan nasional.

 Namun, Diandra mengundurkan diri setelah ayahnya terlibat skandal. Ia juga mengubur cita-citanya sebagai atlet bola voli, sama seperti Khirani. Sebelum kecelakaan, Diandra bekerja sebagai cleaning servise di salah satu gedung olahraga.

Setelah skandal yang menerpa keluarganya, Diandra tampak lebih kuat dari Khirani. Ia bisa bersikap lebih dewasa dari sang kakak yang cenderung sangat terpukul. Ia selalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, setiap hari Diandra dengan kesabaran selalu memberi semangat untuk kakaknya yang sulit berdamai dengan keadaan.

Sikap dewasa Diandra mampu membuat Khirani tetap bertahan meskipun dunia tak lagi berpihak kepada mereka. Diandra selalu menampakkan senyuman manis di saat Khirani mengadu atas ketidakadilan nasib yang diterimanya. Diandra begitu berarti bagi Khirani begitu pula sebaliknya.

Nahas, tabrak lari yang dialami Diandra membuatnya koma tak sadarkan diri sampai detik ini. Inilah alasan Khirani bertahan, alasan Khirani tidak memilih membunuh dirinya sendiri meski hidup begitu pedih. Inilah alasan Khirani menerima dengan lapang hati saat Garu menyiksanya. Semua demi sang adik.

"Hei, Di. Apa kabar? Bosen, ya, aku kesini terus?" Khirani duduk di samping ranjang perawatan Diandra. Bunyi monitor yang bertalu-talu menjadi lagu duka yang paling menyayat hati setahun terakhir ini.

"Aku kangen kamu." Bendungan air mata tercetak di ambang mata Khirani.

"Maafin aku ya, karena aku tidak pernah bisa menjadi kakak yang baik buatmu. Maafin aku, Diandra ..."

Tangis gadis itu pecah. Ada rasa yang bergelora dalam dadanya menahan kepedihan yang tak kunjung usai. Takdir Tuhan terasa kejam dan teramat menyakitkan untuk hati serapuh Khirani harus dihujam dengan berbagai derita. Gadis itu benar-benar sendirian dalam konya hitam kehidupan yang gelap, tidak ada cahaya sedikit pun. Hanya ada air mata dan seribu kesakitan yang menemaninya.

Usianya yang masih muda harus dipukul takdir hingga menuntutnya untuk menjadi dewasa lebih cepat. Tuhan tidak pernah memberi aba-aba nasibnya yang semula sempurna menjadi sedemikian menderita. Hidup yang semula terasa mudah menjadi begitu keras dan sulit. Tangan mungilnya yang selalu lembut harus dipaksa menjadi kotor dan kasar.

Tuhan, tidakkah Kau lihat dia seperti matahari yang redup? Tidak terang, tak juga gelap. Hidupnya abu-abu, tidak ada warna lain, tidak ada tujuan lain.

***

[Lo bisa datang gantiin gue, kan? Nanti malam gue mau kencan.]

"Ok." Khirani hanya membalas pesan itu dengan satu kata. Meski padahal hari ini ia ingin istirahat setelah seminggu penuh bekerja keras tanpa henti demi membayar uang bulanan indekos, Khirani harus terus membanting tulang untuk mendapatkan uang lima juta dalam seminggu untuk setoran ke keluarga Garu.

Layar mesin penarikan tunai mandiri menunjukkan nomial Rp. 2.800.000,- sebagai informasi saldo tersisa dalam rekening. Khirani harus mendapatkan setidaknya tiga juta untuk membayar Garu. Padahal uang itu ingin ia gunakan untuk hal-hal lain yang lebih darurat. Telunjuk tangan kanannya menekan penarikan uang sebesar Rp. 300.000,- yang rencananya ia gunakan makan selama sebisa mungkin untuk dua minggu ke depan dan tiket kereta pulang pergi dari indekos ke beberapa tempat kerjanya.

Setelah memesan tiket kereta secara mandiri, ia berjalan mendekati peron dan berdiri menunggu keretanya datang. Di tengah-tengah kerumunan penumpang, hanya wajahnya yang terlihat pucat, pandangannya kosong menatap rel. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket. Tas biola hitam bertengger di punggung gadis itu menjadi satu-satunya teman mencari jejak nafkah.

Kereta yang ditunggu tiba dan perlahan berhenti. Setelah pintu terbuka, semua orang berjubel masuk, termasuk Khirani. Ia memutuskan berdiri di dekat pintu, bersandar pada tiang pembatas kursi duduk sembari membuang pandangan keluar jendela. Hari berat yang kesekian kalinya, menatap jendela kereta dengan pandangan menerawang. Benaknya merapal kalimat, sampai kapan semua ini akan berakhir?

"Hahaha, iya Alhamdulillah ini sudah nerima gaji. Iya, iya, ini bapak mau pulang. Tunggu ya, Nak, kita makan enak malam ini."

Suara pria di samping Khirani tiba-tiba mengalihkan perhatiannya, bola mata gadis itu jatuh pada tas hitam yang berada di bawah tiang pembatas kursi, tepat di sebelah siku tangan kirinya. Resleting tas itu sedikit terbuka, menampakkan amplop putih yang diyakini adalah uang gaji yang sedang dibicarakan bapak itu. Terbesit niat buruk untuk mengambilnya, keadaan kali ini benar-benar menghimpitnya.

Khirani yang dulu adalah Khirani yang takut membawa uang kelas, sampai ia pernah menangis karena selisih uang study tour yang dipegang tidak sama dengan catatan. Padahal ia sanggup saja mengganti dengan uangnya sendiri, tetapi ia memiliki moral yang tinggi sehingga menganggap tindakan mencuri adalah bentuk moral yang rendah. Seperti apa yang telah dilakukan oleh sang ayah. Namun, situasi yang dihadapi kini begitu berat seolah menenggelamkan rasa takutnya.

Ia membenci ayahnya yang korupsi, ia membenci tindakan pencuri. Namun, ia sangat membutuhkan uang itu, ia sangat terdesak. Pada detik ini menjadi detik yang kacau di benak Khirani. Batin dan pikirannya seperti sama-sama mengacungkan pedang, antara moral baik dan egonya yang akan terbunuh.

Sungguh, Khirani tak mau melakukan ini, ia tidak mau menjadi pencopet, pencuri, dan pekerjaan kriminal lainnya. Ia hanya ingin bertahan hidup untuk saudaranya yang terbujur lemah bak mayat hidup di rumah sakit. Ia hanya tak ingin membuat Garu murka dan memukulinya kembali. Khirani berharap Tuhan maklum dengan tindakannya kali ini. Khirani berjanji akan mengganti uang ini nanti. Khirani sungguh berjanji dalam hatinya.

Akhirnya kekuatan negatif itu mendorong tangannya untuk bergerak, bola mata Khirani menelisik keadaan sekitar, bergerak ke kanan kiri berusaha untuk terlihat tidak begitu mencurigakan. Perlahan ia mendekatkan tangannya dengan tas itu sembari terus memperhatikan situasi sekitar, juga sebagai pertanda bahwa pedang telah membunuh moral baiknya.

Kereta begitu padat, semua orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang tertidur, ada yang mengobrol, ada yang menggulir layar gawai, adapula yang sekadar berdiam diri melipat tangan. Sedangkan bapak paruh baya yang menjadi target Khirani masih asyik bertelepon dengan keluarganya, bapak itu terdengar gembira tidak sabar ingin segera sampai di rumah.

Perlahan tangan kiri Khirani menarik resleting tas bapak tersebut untuk membukanya lebih lebar supaya ia leluasa untuk mengambil amplop itu tanpa ketahuan. Detik-detik menegangkan itu menguras emosi jiwa dan batinnya, bulir-bulir keringat keluar di sudut kening Khirani, jantungnya pun berdegub kencang. Ia harus bisa melakukannya dengan cepat.

Tiba-tiba, ...

"Hei?" Seseorang menjatuhkan lengan di pundak Khirani, kontan gadis itu terperanjat kaget dan mengurungkan niat. "Bapak, tasnya buka tuh, hati-hati di sini banyak pencopet," ujar pemuda itu kepada bapak paruh baya tadi.

Mata Khirani membulat terkejut sembari menoleh ke pemuda yang merangkulnya. Jantung Khirani seolah berhenti mendadak, jangan sampai ia tertangkap basah dan dijebloskan ke penjara. Hidupnya akan benar-benar hancur, ia baru tersadar akan hal itu pada detik ini.

"Biasa aja atuh, Neng, kalau lihat saya. Kenapa? Saya cakep, ya? Banyak yang bilang begitu sih."

Khirani menepis tangan pemuda itu, tetapi pemuda yang berhidung mancung itu malah mencengkeram lengan Khirani sambil berbisik, "Ada polisi yang menyamar di arah jam sembilan."

Khirani semakin membeliakkan mata dan refleks menoleh ke arah yang disebutkan, dengan cepat pemuda itu langsung mencegah Khirani untuk menoleh, ia menahan pipi Khirani agar tetap berhadapan dengannya. Tanpa sengaja aksi itu mempertemukan pucuk hidung Khirani dengan hidung pemuda tersebut. Sekilas.

Khirani langsung mengambil jarak dan menatap kesal pemuda tersebut. Namun, pemuda itu buru-buru menarik pundak Khirani kembali dalam rangkulannya, "Maaf, tidak sengaja. Percayalah, kalau kamu mau aman tetaplah seperti ini."

Khirani berusaha melepaskan rangkulan tangan pemuda itu, tetapi pemuda itu enggan untuk melepasnya. "Saya bukan orang jahat, saya hanya ingin membantumu. Saya tidak tahu alasanmu mau mencopet, tapi saya yakin bukan alasan sepele," bisik pemuda itu di telinga kanan Khirani.

Sekujur tubuh Khirani mendadak membeku karena mendengar bisikan pemuda itu. Ia tidak menyangka bahwa aksinya akan diketahui orang lain dan orang lain itu malah membantunya. Khirani tidak mau percaya, ia malah berpikir pemuda di sampingnya ini sedang melakukan tindakan modus pelecehan yang baru. Benak gadis itu sudah merecanakan skenario untuk melepaskan diri. Namun, tak disangka, kericuhan terjadi dari arah depan.

"Copet!" pekik salah seorang penumpang. Tidak berselang lama, seseorang bertopi hitam berlari membelah kepadatan.

Pemuda di samping Khirani kontan langsung menarik tubuh Khirani untuk menghindar dan jatuh ke dekapannya. Orang yang dicurigai polisi menyamar itu tiba-tiba menjegal pria bertopi hitam, terjungkal ke lantai kereta, dengan tenang orang itu lantas membekuknya. Sementara, Khirani yang masih dalam dekapan pemuda tadi menahan napas menyaksikan kejadian itu. Akalnya kembali pulang, nuraninya kembali bersinggasana, ia kembali menjadi Khirani yang takut, Khirani yang tidak mau menodai tangannya dengan hal-hal kotor.

"Apa saya bilang? Nyaris, kan?" ucap pemuda itu setengah berbisik.

Khirani menarik tubuhnya dari dekapan pemuda itu, ia menelan air ludah menguatkan diri untuk tetap tenang. Perlahan matanya mengarah ke titik indera penglihatan pemuda itu. Bertanya-tanya dalam hati, siapa pemuda ini? Kenapa ia menolongnya?

Selama hampir tiga puluh menit mereka di posisi yang sama, masih saling berdekatan tanpa kata-kata. Stasiun demi stasiun terlewati, sampai akhirnya kereta berhenti di stasiun tujuan Khirani.

"Sampai jumpa," ujar pemuda itu dengan cetakan senyuman manis. Seolah ia tahu bahwa Khirani sudah sampai di stasiun tujuan.

Begitu pintu terbuka, Khirani turun dari kereta. Padahal tanda tanya besar masih menggantung, tentang siapa pemuda itu? Bagaimana ia tahu stasiun tujuan Khirani?

Sesampai Khirani di peron, ia menoleh ke arah pemuda itu untuk memastikan kembali untuk mengenali wajahnya. Pemuda itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Senyuman manisnya, sorot mata itu, wajahnya itu, belum pernah Khirani jumpai.

Bersamaan kereta meninggalkan peron, Khirani mengembuskan napas panjang, melega. Siapa pun pemuda itu, Khirani teramat berterima kasih.

Ia lalu berjalan ke kursi tunggu tak jauh dari posisinya, kemudian duduk dengan lemas. Khirani menyesali keputusannya yang buruk ingin mencopet. Hampir saja hidupnya hancur detik itu, hampir saja ia menambah kesuraman dan kesialan dalam hidupnya sendiri, jika seandainya pemuda itu tidak pura-pura mengenal. Gadis itu berjanji tidak akan pernah melakukan hal bodoh itu lagi. Ia benar-benar kapok.  

***

Sampai jumpa hari Rabu 🤍
Terima kasih untuk temen temen yg setia menunggu cerita saya 🌷

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro