Manis Setelah Pahit
Jam di dinding menunjukan hampir pukul dua dini hari, Khirani masih menatap bayang sinar rembulan yang masuk melalui jendela kamarnya dengan sesekali menggigit bibir kala jantung gadis itu berdebar mengingat momen beberapa waktu lalu.
Semua kepahitan yang dia ecap selama tiga tahun terakhir ini terasa manis malam ini. Bhanu mampu menghangatkan hatinya yang membeku karena rentetan pilu yang menyapa.
"Kamu memang bukan yang pertama, tapi aku mau kamu jadi yang terakhir." Ucapan Bhanu kembali melekat dalam ingatan gadis itu.
"Masa laluku buruk, Mas Nu. Ayahku napi, ibuku nggak tahu di mana. Aku terlilit utang ratusan juta. Adikku koma di rumah sakit. Aku nggak pernah lulus sekolah."
Bhanu memejam sebentar, dugaannya benar. Khirani sempat menolaknya kemarin karena alasan itu. Bhanu sudah tahu semua cerita hidup Khirani, pria itu benar-benar tak masalah dengan masa lalu dan latar belakang Khirani. Cinta Bhanu murni karena ia menyayangi gadis itu.
Bhanu membuka matanya perlahan sembari tersenyum, kemudian pria itu menggeleng, "Aku nggak peduli."
"Kamu punya banyak penggemar, kalau mereka tahu kamu punya hubungan dengan perempuan yang bermasalah kayak aku. Aku takut berimbas ke karirmu. Aku nggak mau kalau sampai itu terjadi."
"Khi, aku nggak peduli," tegas Bhanu kembali, pria itu meletakkan dua tangannya di kedua pipi Khirani yang basah karena air mata. "Pembaca setiaku nggak akan peduli dengan kehidupan pribadiku, mereka hanya perlu mencintai karyaku bukan aku. Aku udah tekanin itu sejak awal debut jadi penulis."
Khirani memegang erat ujung jaket Bhanu, gadis itu merasa ini seperti kemustahilan yang menjadi nyata. Seperti mimpi yang berwujud dalam pandangan kasat mata. Jantungnya berdebar, hatinya menghangat kala ditatap penuh cinta oleh seorang pria setelah sekian lama dibabak belurkan juga oleh seorang pria.
"Khi, aku mau bantu kamu. Aku ingin bantu kamu wujudin mimpi kamu yang tertunda. Aku ingin kamu bersinar lagi. Aku yakin kamu bisa, aku bakal di sampingmu sampai kamu percaya diri dengan namamu sendiri. Hm?"
Tangis Khirani semakin terisak, lalu kembali tersedu saat Bhanu menariknya dalam pelukan. Semua pahit yang ditelan Khirani, kini mampu ditelan sebuah rasa manis dari perjuangan seorang pria bernama Bhanu. Pria itu tanpa putus asa berusaha merobohkan benteng kokoh Khirani, berusaha menarik Khirani dari konya hitam gelap dan dingin ke tempat yang berwarna dan lebih hangat.
"Kamu nggak sendiri sekarang, ya, Khi? Ada aku. Kamu nggak akan sendiri lagi. Kamu bisa andalkan aku dalam setiap masalahmu. Kamu punya aku."
Khirani semakin mengeratkan pelukannya, aroma parfum Bhanu seolah menghipnotisnya dalam kebahagiaan yang tak terbatas. Seperti menemukan rumah baru, Khirani merasa nyaman dan tenang dalam pelukan pria itu. Seolah kenangan pahit menguap dan melebur diganti menjadi kenangan yang manis.
Untuk pertama kali setelah tiga tahun dalam malam-malam yang dingin dan penuh dengan pilu, Khirani bisa menutup matanya dengan tersenyum. Ruang yang semula terasa pengap, kini terasa lapang. Oksigen yang dihirup seolah membawa partikel bahagia dalam dadanya.
Khirani merasa bahagia, Tuhan. Khirani merasa bersyukur pada detik ini. Terima kasih telah dihadirkan sosok Bhanu yang membuatnya perlahan mensyukuri sebuah hidup yang Kau beri untuknya.
ㄴㅇㅇㄱ
Kaki Khirani berhenti di tengah jalan saat melihat mobil terparkir di dekat gang rumahnya. Bhanu mengenakan kaos hitam dan celana jeans telor asin tengah bersandar di kap mobilnya sedang menelpon dengan seseorang.
Khirani menggigit bibirnya sejenak merasakan dadanya berdebar saat melihat pria yang resmi menjadikan dirinya kekasihnya tadi malam. Sambil mencengkeram tali tasnya, Khirani perlahan berjalan mendekat.
"Iya, lo atur sendiri sih, entar gue tinggal acc aja." Ujung mata Bhanu menangkap Khirani berjalan mendekat ke arahnya, "Lo kirim samplenya ke email gue, ya?" Bhanu membukakan pintu mobil untuk Khirani sembari tersenyum ke arah gadis itu.
Khirani tersenyum canggung sembari masuk ke dalam mobil Bhanu. Tak lama Bhanu turun menyusul masuk ke dalam mobil.
"Desainnya nggak jauh-jauh dari konsep novel sih, kalau sempet nanti gue mampir ke tempat lo. Udah dulu, ya, kita sambung nanti lagi, gue mau anterin cewek gue."
Khirani menggigit bibir sembari menahan napas saat mendengar kalimat terakhir Bhanu mengakuinya sebagai pacarnya kepada entah siapa itu di sambungan telepon.
"Kita sarapan dulu, ya?" ucap Bhanu sembari meletakkan ponselnya di holder di atas dashboard.
Khirani kembali menahan napas saat melihat wallpaper ponsel pria itu, foto Khirani memainkan biola. Sepertinya foto itu diambil Bhanu diam-diam saat mereka latihan beberapa waktu lalu.
"Dipakai seatbelt -nya, Sayang," kata Bhanu sembari menghidupkan mobilnya.
Belum selesai dengan debar karena wallpaper itu, Khirani kembali dilucuti debaran jantung karena panggilan sayang dari Bhanu. Sekali lagi Bhanu berbuat sesuatu yang membuatnya berdebar, Khirani yakin dadanya akan meledak.
"I—iya," jawabnya dengan salah tingkah. Khirani menarik seatbelt, kemudian membuang muka ke arah sampingnya, takut ketahuan sedang memerah pipinya.
"Mau sarapan bubur ayam?" tawar Bhanu sembari melajukan mobilnya ke jalanan.
"Boleh."
"Nanti habis dari kantor, kamu ikut aku, ya?"
Khirani menoleh, "Ke mana?"
"Ke suatu tempat. Agak jauh sih, tapi aku pengin banget bawa kamu ke sana."
Khirani tidak punya bayangan ke mana Bhanu akan membawanya, tetapi gadis itu percaya Bhanu tidak akan membawanya ke tempat yang aneh. Gadis itu pun mengiyakan ajakan Bhanu.
Bhanu memarkir mobilnya di depan kantor penerbit, kemudian mereka menyeberang jalan untuk sarapan bubur ayam di Mang Tampan.
"Mang, seperti biasa," pesan Bhanu ke Mang Tampan.
Mang Tampan sudah mau menyengir saat melihat Khirani menyusul Bhanu masuk ke dalam tenda gerobak. Melihat isyarat Bhanu, Mang Tampan hanya mengacungkan jempolnya. Beberapa bulan yang lalu Bhanu dicuekin habis-habisan oleh Khirani di tempat ini, sekarang tampak berbeda. Mang Tampan jadi ikut senang.
"Mau teh anget juga?" tawar Bhanu.
"Boleh."
"Mang, teh angetnya dua, ya."
"Siap, Mas!"
Khirani duduk canggung di hadapan Bhanu, gadis itu tak berani menatap balik Bhanu. Hanya sesekali melihat Bhanu saat pria itu menanyainya sesuatu.
Seperti biasa, cara makan Bhanu yang nyeleneh kembali menggelitik rasa penasaran Khirani.
"Kamu kenapa kalau makan bubur setiap komponennya dipisah?"
Bhanu tersenyum sembari melahap bubur tanpa perintilan buburnya, terpisah di mangkok yang lain. "Dulu waktu masih jadi tentara, kami pernah kehabisan pasokan makanan di tengah laut. Tinggal beras sama tangkapan ikan laut. Jadi, koki kapal membuat bubur ikan laut. Seminggu kita makan bubur ikan laut karena kehabisan minyak goreng buat goreng ikannya. Kamu bayangin, bubur dicampur dengan kukusan ikan, gimana rasanya?"
Khirani hanya menelan saliva mendengarnya, pasti enek sekali.
Bhanu mengangguk, "Karena nggak ada makanan lain, kita inisiatif buat makan buburnya dulu baru ikannya biar nggak enek. Jadi, kebiasaan deh sampai sekarang. Kalau buburnya dicampur, jadi ngerasa enek. Meskipun itu bubur ayam."
"Kalau kamu lihat aku makan bubur ayam dicampur gini kamu enek, nggak?"
"Nggak, selama yang makan itu kamu," jawab Bhanu sambil mengunyah buburnya, ia tersenyum menatap Khirani yang kembali terlihat salah tingkah.
"Yaaah, emang kudu percaya sama kalimat 'hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha'," celetuk Mang Tampan.
Bhanu tertawa kecil, "Usaha terus ya, Mang, siapa tahu gerobak ini bisa jadi restauran."
"Aamiin ya Allah, Gustiii aamiin banget ini mah," sahut Mang Tampan sambil mengusap wajahnya, mengamini kalimat Bhanu barusan.
Usai sarapan bubur ayam, Khirani dan Bhanu kembali ke kantor. Hari ini sebenarnya libur, cuma karena ada evaluasi dan membereskan perintilan merch yang tersisa agar besoknya bisa kembali ke aktivitas kerja seperti biasa.
"Sambutlah bintang kita tadi malam!!!" ujar Endro saat Bhanu dan Khirani baru saja menginjakkan kaki di pintu utama kantor.
Semua orang bertepuk tangan, termasuk Aminah yang baru saja turun dari lantai atas. "Khi, ikut saya ke ruangan, ya."
"Iya, Bu." Khirani melirik Bhanu sebentar sebelum melangkah ke arah tangga, dibalas senyuman dan anggukan kecil oleh pria itu.
"Eh, eh, apa ini?" celetuk Endro menangkap gerak-gerik Bhanu dan Khirani.
"Apa seh, Mas?" Bhanu merangkul pria itu, "Gimana? Ada kabar dari Pak Elmanik, nggak?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Eh, kita dapat email kerja sama dari penerbit Jepang, tahu."
"Oh, ya?"
"Ayo ke meja saya, kamu lihat sendiri." Endro mengajak Bhanu ke lantai atas untuk melihat email yang dimaksud.
Atas permintaan Khirani, untuk sementara mereka tidak ingin mempublikasi hubungan mereka secara terang-terangan. Bhanu amat memahami posisi Khirani, pria itu juga berpikir bahwa itu lebih baik. Biar mereka tahu dengan sendirinya tanpa Bhanu atau Khirani yang mengumumkan hubungan baru mereka.
ㄴㅇㅇㄱ
"Kita mau ke mana sih, Mas Nu?" tanya Khirani saat mereka baru saja melaju meninggalkan kantor pukul dua siang.
"Nggak mau bilang, biar surprise."
Khirani hanya menghela napas panjang sembari menatap jalanan di depan. Ia benar-benar tidak punya bayangan ke mana Bhanu mengajaknya pergi. Di benaknya sekarang, Khirani menginginkan tempat yang tenang untuk berpikir.
Aminah menawarkan beasiswa sekolah musik kepada Khirani, hal yang membuat gadis itu berpikir keras sejak keluar dari ruangan Aminah tadi pagi. Mungkin itu kesempatannya untuk meraih mimpi, tetapi bagaimana dengan Diandra? Khirani harus mencari banyak uang untuk mempertahankan adiknya itu. Apalagi semua utang di Keluarga Garu. Khirani pikir, ia tak punya waktu untuk mengejar mimpi di waktu sekarang.
"Kenapa?"
"Hm?" Khirani menoleh.
"Ada yang kamu pikirin?"
"Nggak ada." Khirani kembali menatap jalan di depan.
Sedetik kemudian ia dikejutkan dengan genggaman tangan Bhanu di tangan kanannya. Khirani menoleh dan mendapati Bhanu tersenyum.
"Kamu lupa apa kataku tadi malem?" kata Bhanu sambil sesekali menghadap kemudi, "Kamu bisa andalkan aku dalam setiap masalahmu. Kamu punya aku, Khi. Aku pengin kamu sharing apa pun, termasuk hal-hal remeh. Aku siap dan pasti bantu kamu."
Khirani bergeming. Ia hanya belum terbiasa berbagi keresahannya kepada orang lain setelah tiga tahun memendam semua hiruk pikuk benaknya sendiri.
"Iya, nanti aku bilang, Mas."
"Ada hubungannya sama Bu Aminah?"
Khirani mengangguk.
"Oke. Kamu bisa kasih tahu aku kalau kamu udah siap mau sharing ya, Sayang." Bhanu mengusap kecil ujung kepala Khirani sebelum kembali fokus sepenuhnya ke kemudi.
Khirani menatap Bhanu, gadis itu merasa beruntung bertemu dengan sosok pria ini. Bhanu tak gentar putus asa untuk mendekatinya meski beberapa kali Khirani cuek dan bersikap dingin padanya. Hal yang membuat Khirani yakin bahwa Bhanu benar-benar tulus menyayanginya.
Setelah perjalanan dua jam karena sedikit sesak jalanan di akhir pekan, akhirnya mereka sampai di suatu tempat.
"Ancol?"
Bhanu menggeleng.
"Terus?"
"Ayo deh, ikut." Bhanu keluar dari mobil, mengambil jaket di jok belakang.
Khirani menyusul keluar dari mobil dengan kerutan kening, sebenarnya ke mana Bhanu akan membawanya pergi?
"Ayo?" Bhanu mengulurkan tangan untuk meminta tangan Khirani.
"Nggak ah, nanti kalau ada yang ngenalin kamu gimana?"
Bhanu kembali ke mobil untuk mengambil sesuatu. Beruntung benda itu selalu tersedia di dalam mobilnya.
Bhanu memakai topi warna hitam, kemudian ia juga memakai masker penutup wajah berwarna senada. Ia juga memasangkan topi levis berwarna biru jeans kepada Khirani, juga memasangkan masker berwarna hitam.
"Mau pakai jaket sekarang?"
Khirani menggeleng, "Panas. Sebenarnya kita mau ke mana sih, Mas Nu?"
Bhanu tidak menjawab, pria itu hanya tersenyum sembari meraih tangan Khirani untuk digandengnya. Tak lama pria itu mengajaknya untuk berjalan.
Dalam genggaman tangan Bhanu, sampai detik ini Khirani tak menyangka. Ia benar-benar tidak sendiri lagi di dunia ini. Sepanjang jalan di balik maskernya, gadis itu tersenyum sembari menatap genggaman tangan kekasihnya itu.
ㄹㄹㄹ
Halo, welcome di Gantari ya.
Cerita ini lepas kontrak dengan penerbit, jadi insyaallah akan ditulis sampai tamat dan diterbitkan mandiri nantinya.
Terus dukung kisah Khirani dan Bhanu, ya.
Jangan lupa follow IG dianafebi_
Dan baca cerita saya yang lainnya 🤍
With Love, Diana Febi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro