Lup Dub
Menatap Khirani sejengkal lebih dekat dari biasanya, membuat Bhanu seperti kehilangan fungsi saraf tubuh. Dianormalkan dengan sentuhan lembut dari telapak tangan gadis itu di pipinya. Arus perasaannya semakin kencang, segala ketidakyakinan yang membuatnya bimbang beberapa hari yang lalu akhirnya bermuara pada satu rasa.
Semua terlihat jelas, dari jantungnya yang berdebar, dari tubuhnya yang menegang, dari bibirnya yang kehilangan pembendarahaan kata. Semua terlihat jelas jika ia telah jatuh cinta pada gadis pemilik manik cokelat itu.
Ada suatu dorongan yang menguat dalam hatinya, kala pandangannya tertumbuk pada ranum merah bibir Khirani yang mungil. Udara memburu terbata-bata, pengap dengan segala arus perasaan. Bhanu mencoba bertahan dan menunggu Khirani yang mengakhiri sentuhan. Namun, semakin lama Bhanu tahan, semakin kuat dorongan yang ia rasakan.
"Sudah lebih baik?" tanya Khirani.
"Hm?" Bhanu mengerjap mata, mengangkat alisnya, bingung.
"Kata Binna kalau kamu marah, dengan seperti ini," menelangkupkan kedua telapak tangan ke pipi Bhanu, "bisa membuat amarahmu mereda."
Bhanu berdecih sambil tersenyum, ia menarik lembut tangan Khirani dari kedua pipinya, "Tapi, saya, kan, nggak lagi marah, Khi."
"Marah dan sedih adalah dua perasaan yang berbeda tipis. Kesedihan bisa juga hadir karena amarah. Dan amarah bisa hadir karena kesedihan. Ibarat air, kedua perasaan itu dari sumber yang sama. Dari hati yang terluka."
Bhanu tersenyum sambil mengangguk-angguk setuju, "Tapi sebenarnya nggak gitu sih biar amarah saya reda."
"Dikecup pipinya?" kata Khirani bebarengan Bhanu mengucap kata, "dibeliin seblak---apa, Khi?"
"Hah?" Khirani terkejut jawabannya berbeda dengan Bhanu.
"Kamu tadi ngomong apa?"
"Kopinya enak," ucap Khirani sembari berlalu, ia malu setengah mati. Khirani buru-buru berjalan ke arah pintu meninggalkan Bhanu.
"Khi! tapi, kan..." Bhanu menunjuk sesuatu di dekatnya, "kopinya belum diminum." Bhanu mengigit bibirnya sendiri, menahan senyum.
Khirani keluar dari rooftop sambil beberapa kali memukul bibirnya sendiri karena perkataannya yang konyol. Ini semua gara-gara Binna yang memberi informasi palsu dan sialnya Khirani percaya informasi itu. Ah, rasanya ingin menghilang saja, batinnya.
***
"Yoook, pulaaaang! Besok jangan lupa dateng lebih pagi! H-3 road to show," seru Aminah sambil menutup pintu ruangannya, bersiap untuk pulang.
"Alhamdulillah!" seru ruang administrasi disusul seruan dari ruang rapat yang baru saja menyelesaikan bingkisan doorprize.
Satu persatu mereka mematikan lampu meja, lampu ruangan, kemudian menggamit tas turun ke lantai dasar. Wajah-wajah mereka tampak lelah setelah menggembur pekerjaan menyiapkan pertunjukan hampir non-stop seminggu terakhir ini. Terlebih lagi wajah Aminah yang terlihat jelas lelahnya, selain harus bisa menyiapkan pertunjukan yang sempurna, Aminah juga dibebankan tamu tak diundang yang kesempatan ini tidak akan pernah datang dua kali, kehadiran sastrawan Elmanik Sastrowoyo, seorang kritikus karya yang terkenal jeli mengkritik sebuah karya.
Kehadiran Elmanik juga membuahkan sebuah keuntungan, karena peluang untuk masuk ajang penghargaan bergengsi buku dan penerbit tingkat asia yang diadakan dua tahun sekali itu menjadi lebih besar. Penerbit Cakrawala sudah menantikan itu sejak bertahun-tahun. Jika menjadi nominasi ajang tersebut, Penerbit Cakrawala bisa merambah pasar internasional, buku-buku terbitannya dapat diterjemahkan dalam banyak bahasa dan diedarkan ke negara-negara lain. Memikirkan itu, rasanya Aminah tak bisa tidur tenang sejak tahu bahwa Elmanik akan hadir.
"Bhanu udah pulang belum, ya?" tanya Aminah ke Endro sembari mereka menuruni tangga. Di belakang ada Khirani yang juga baru saja keluar dari ruang rapat.
"Udah kayaknya, dari tadi saya nggak lihat, kayaknya udah deh," jawab Endro, "tadi sih bilangnya mau keluar, tasnya juga udah nggak ada di ruangan."
"Oh, gitu." Aminah terlihat cemas.
"Kenapa, Bu?" tanya Endro menangkap kecemasan yang tergambar di wajah Aminah.
"Masalah pemain biolanya, dia pernah bilang nggak, Mas Endro?"
Khirani menelan air ludah di belakang mereka saat mendengar itu. Ia memang tidak memberitahu siapa pun di kantor tentang kontribusinya di pertunjukan.
"Oh, pemain biola. Katanya udah deal, mereka juga udah latihan, kok, besok gladi resik, kan?"
"Mas Endro tahu siapa pemain biolanya?" susul tanya Elsa yang juga penasaran.
Endro menggeleng, "Bhanu nggak ngasih tahu namanya sih, tapi dia bilang kita nggak perlu khawatir."
"Saya sih percaya aja sama Bhanu, tapi, ya, gimana, ya, kalau nggak mantau langsung siapanya, jadi khawatir juga," kata Aminah.
"Udah tenang aja, Bu, Bhanu itu bukan anak kemarin sore. Dia juga udah tahu kalau bakalan ada Elmanik. Dia pasti memberikan yang terbaik buat karyanya."
Kalimat Endro cukup mengurangi rasa khawatir Aminah, tetapi tetap saja ia tidak bisa setenang Endro. Lauching bukunya dihadiri langsung oleh sastrawan yang sangat berpengaruh itu adalah mimpinya, menjadi nominasi di ajang penghargaan itu juga mimpinya, dan melihat kontribusi penerbit yang dibangunnya dari kecil hingga sebesar ini di pasar buku dunia adalah mimpi terbesarnya. Wajar jika ia tidak bisa setenang biasanya.
Bukannya tidak peduli dengan air muka kekhawatiran Aminah, hanya saja Khirani tidak mau semakin terbebani. Untuk sanggup tampil memenuhi permintaan Bhanu saja, Khirani ditekan keadaan yang memaksanya menyanggupi. Jika bukan karena Diandra, sampai kapan pun ia tidak akan mau menginjakkan kaki di atas panggung kembali. Khirani terus bergeming bahkan sampai mereka sampai di pintu utama kantor.
"Wawan tadi langsung pulang, ya, habis nganter buku ke Matraman? Mas Sugik, tolong keluarin mobil saya, ya?" kata Aminah. Sugik yang baru saja mengunci gudang itu langsung mengangguk dan buru-buru berlari ke arah Aminah yang sudah mengulurkan kunci mobil.
Tiba-tiba Khirani teringat sesuatu saat merogoh saku hoodie-nya, ponselnya tidak ada di situ. Seingat Khirani, ia terakhir mengeluarkan ponsel saat membingkis doorprize di ruang rapat. Buru-buru Khirani langsung memutar langkah dan berlari ke lantai atas. Ia masuk ke ruang rapat dan terkejut di sana ada Bhanu.
"Khi?" Bhanu tersenyum sambil menata catatannya di tas ranselnya, "saya pikir kamu udah pulang. Saya mau bareng naik kereta."
Khirani menelan rasa malunya karena perkataan konyol beberapa menit yang lalu, ia melangkah menuju meja tempatnya membingkis doorprize tadi, merogoh laci terakhir ia mengingat mengeluarkan ponselnya. Tanpa mempedulikan Bhanu yang berdiri di depan pintu.
"Nggak ada." Khirani berdiri pindah ke laci meja yang lain.
"Nyari apa, Khi?" Bhanu mendekati Khirani. Namun, Khirani tidak menjawabnya, gadis itu sibuk merogoh laci ke laci. Semua laci ia rogoh, meja depan sampai meja belakang. Ia berdiri sejenak, mencoba mengingat-ingat kembali.
"Nyari apa sih?"
"Hape." Khirani berjalan melewati Bhanu, berjalan menuju pintu, kemudian mendadak berhenti, nyaris Bhanu menabraknya dari belakang. "Tolong miscallin," pinta Khirani dengan wajah datar. Ia berusaha keras untuk terlihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa beberapa menit yang membuatnya malu.
"Oh, nyari hape. Oke, bentar." Bhanu merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel kemudian mengetik di nama ponsel Khirani di daftar kontak.
Ujung mata Khirani tidak sengaja melihat layar Bhanu memanggil kontak dengan nama 'Miss Frozen yang paling....', bukan nama dirinya. Pandangan Khirani menyipit, "Kamu namain kontakku apa?"
"Hah?" Bhanu merasa tertangkap basah, bibirnya membentuk cengiran yang lebar. "Bukan siapa-siapa."
"Coba lihat!"
Bhanu menggeleng, "Nggak boleh, privasi."
"Tapi itu nomerku, aku berhak tahu."
"Tapi ini ponselku," balas Bhanu sambil menempelkan benda pipih itu ke daun telinga kanannya.
"Coba sini aku lihat!" eyel Khirani karena merasa tidak terima nomer ponselnya dinamakan yang aneh-aneh. Gadis itu mencoba menggapai ponsel Bhanu untuk direbut.
"Nggak boleh," kata Bhanu sambil menjauhkan tangan Khirani dari ponselnya. Pria itu mundur beberapa langkah keluar dari ruang rapat. "Coba lihat kontak saya di kamu dulu."
Khirani mengerutkan keningnya, "Ya namamulah, memangnya kamu berharap aku nulis nama kontakmu siapa?" balas Khirani seraya mendekat ke Bhanu yang berdiri di dekat tangga.
"Kecewa saya,"kata Bhanu sambil tersenyum kecut, "berdering nih."
"Lihat dulu!" paksa Khirani meraih ponsel di telinga Bhanu.
Nahas, kaki Khirani terselip di anak tangga. Nyaris jika Bhanu tidak bergerak dengan cepat, mungkin tubuh Khirani sudah terjungkal di tangga. Tangan Bhanu menahan punggung gadis itu yang sudah condong ke bawah. Air muka Bhanu berubah menjadi tegang, tidak ada raut wajah jahil seperti terlihat beberapa detik yang lalu, pria itu menatap manik mata Khirani yang melebar karena terkejut.
Bukan hanya karena terkejut akan jatuh, tetapi terkejut jarak matanya dengan mata Bhanu begitu dekat, terlebih lagi merasakan tangan Bhanu yang melingkar erat di punggung dan pinggangnya.
Pyar! Terdengar bunyi sesuatu jatuh dengan keras di lantai bawah. Bhanu langsung menarik punggung Khirani untuk berdiri tegak. Pria itu masih belum melepaskan lingkaran tangannya di pinggang Khirani, napasnya masih terengah-engah karena kaget. Sedangkan gadis di depannya itu tampak mati kutu, bergulat dengan rasa yang sama-sama terkejutnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bhanu sembari melepas tangannya dari pinggang Khirani.
Khirani tidak berani menatap wajah Bhanu, gadis itu menggeleng pelan. Ia sibuk menetralkan degub jantungnya yang tidak terkontrol. Sesuatu yang hangat jelas merayap di pipinya, jangan sampai Bhanu melihat pipinya yang berubah merona.
Bhanu mengembuskan napas melega, "Lain kali jangan bercanda di dekat tangga, kalau jatuh nanti gimana?" kata Bhanu dengan nada tegas, terdengar seolah bukan nada Bhanu seperti biasanya. Ada amarah yang terselimuti rasa khawatir di dalam hati. Ajaibnya, Khirani langsung mengangguk pelan.
Bhanu mendongak ke bawah, ke arah ponselnya terdengar jatuh. "Untung hape saya jatuh, bukan kamu," ucap Bhanu sambil menimpuk kepala Khirani tidak keras seraya menuruni tangga untuk melihat keadaan ponselnya.
Timpukan tidak keras tangan Bhanu di kepalanya menambah laju degub jantung Khirani nyaris seperti pacuan kuda. Lup dub, lup dub, lup dub, terasa keras menggedor dada. Jika bukan karena mengingat sesuatu tentang ponsel, mungkin Khirani masih membeku di tempat. Ia segera menyusul langkah Bhanu menuruni anak tangga.
Bhanu memungut ponselnya di lantai. Ada retakan nyaris setengah layar dalam keadaan mati. Pria itu mencoba menghidupkannya, tetapi ponselnya benar-benar mati total.
"Yah, mati."
"Ya, maaf," ujar Khirani.
"Bukan salahmu sih, salah saya yang lebih sayang kamu daripada hape saya," ucap Bhanu tanpa menyadari bahwa kalimat yang baru saja keluar dari bibirnya adalah sebuah pengakuan.
Wajah Khirani terentak kaget dengan ucapan Bhanu. Jantungnya kembali berdetak seperti pacuan kuda, malah kini jauh lebih kencang. Pipinya terasa tebal karena hawa panas yang menjalar cepat. Terlihat jelas wajah Khirani seperti kepiting rebus, memerah merona. Sedangkan Bhanu menyadari kalimatnya beberapa detik kemudian, ia langsung menggigit bibirnya sendiri. Keceplosan.
Kini keduanya sama-sama berdiri dengan jantung yang berdebar, sesuatu tak kasat mata seolah mengikat tubuh mereka menjadi tak berkutik karena atmosfer rasa canggung yang menguasai. Di tengah situasi itu tiba-tiba lampu kantor mendadak gelap. Seseorang mematikan sakelar dari luar.
"Waduh! Mas Sugik!" pekik Bhanu mencoba memanggil Sugik yang biasanya mematikan sakelar lampu utama kantor setelah semua karyawan pulang. Dalam keadaan gelap gulita, Bhanu mencoba melangkah menuju pintu utama kantor.
"Auwh!" pekik Khirani saat kaki Bhanu tidak sengaja menginjaknya.
"Maaf, maaf, nggak sengaja." Bhanu kembali melangkah.
"Aaa!" Khirani kembali memekik saat kepala Bhanu terpentok kepalanya, "lihat-lihat, dong!"
"Gelaaap, gimana mau lihat?" Beberapa detik kemudian, "Aduuh!" kini giliran Bhanu yang memekik saat kakinya terinjak kaki Khirani.
"Ya maaf, gelap!"
"Udah, udah, kamu diem aja di sini, saya yang ke pintu. Keburu Mas Sugik pergi."
"Nggak mau, takut."
"Takut gelap?"
"Hm."
"Oh, gini aja, mana tanganmu?"
"Ini."
"Ini mana?"
"Ya ini!"
Bhanu mencoba meraba-raba keberadaan tangan Khirani. Namun, tangannya salah sasaran, malah jatuh ke salah satu bagian tubuh Khirani.
"Ih, kamu ngapain!?" pekik Khirani sambil menepis tangan Bhanu di dadanya. "Jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan ya!"
"Nggak sengaja, nggak sengaja, gelap sumpah! Maaf, maaf, maaf..." Bhanu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dalam kegelapan, pria itu menggigit bibir, merutuki dirinya sendiri. Sialnya, jantungnya berdegub tidak terkontrol. Bhanu bergeming beberapa detik mencoba menetralkan jantungnya. Itu kesalahan fatal, Bhanu, sial.
Tangan Khirani tiba-tiba mencengkeram jaket Bhanu, "Cepet, ayo!"
"I--i--ya, ayo," jawab Bhanu dengan napas terbata-bata. Ia menelan ludah sekuat-kuatnya sebelum melangkah ke arah pintu untuk memanggil Sugik. Khirani di belakang mengikuti sambil mencengkeram jaket Bhanu.
Bhanu menjulurkan tangannya ke depan, mencoba menemukan pintu utama. Setelah beberapa melangkah, akhirnya tangannya bisa menggapai daun pintu.
"Mas Sugik!" panggil Bhanu sambil menggedor-gedor dan mencoba memutar knop pintu. "Mas Sugik! Masih ada orang ini di dalam!"
Bhanu terus menggedor pintu sekeras mungkin, "Mas Sugik!"
Khirani turut menggedor pintu, "Toloooong!"
"Kok tolong?" protes Bhanu.
"Ya, tolonglah. Terus apa?"
"Saya nggak ngapa-ngapain kamu, ya, kok, tolong?"
"Lah emang kamu mau ngapain aku!?"
"Ya nggak ngapain-ngapainlah!" suara Bhanu meninggi, mereka malah berdebat hanya karena Khirani menyeru minta tolong yang disalahartikan oleh Bhanu.
"Loh, kok, bentak?"
"Oh, nggak, kok..." Bhanu langsung menurunkan nada suaranya.
"Posisinya kita lagi kejebak di sini, kalau bukan minta tolong, terus apa? Minta sumbangan?" omel Khirani, "aneh!"
Bhanu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, hari ini benar-benar merasa tidak berguna, membuat Khirani marah lagi dan lagi. Pikirannya tidak bisa fokus sejak pernyataan cinta yang tak sengaja keceplosan beberapa menit yang lalu. Benak Bhanu benar-benar sedang dikuasai segala macam perasaan yang tidak terkontrol. Apalagi berada berdua saja dengan Khirani di kantor dalam keadaan gelap. Bhanu mencoba mengingatkan diri bahwa jangan sampai ia berbuat konyol yang dapat membuat Khirani marah, seperti tadi.
"Mas Sugik! Tolooong! Siapa pun tolooong!" teriak Khirani terus mencoba membuka knop pintu sambil menggedor-gedor.
"Kayaknya udah pergi, deh," ujar Bhanu.
"Terus gimana?"
"Ya, gimana lagi, kita nginep di sini."
"Hah? Nggak mau, takut ah!"
"Nggak apa-apa, kan, ada saya."
"Malah ada kamu itu, aku takut."
"Astaga, Khirani, saya nggak bakal ngapa-ngapain. Sumpah, deh, saya berani sumpah. Hape, hapemu di mana?"
"Sebelum lampunya mati aja aku nyari belum ketemu, apalagi gelap-gelapan gini," balas Khirani, gadis itu mulai panik. Tiba-tiba ingatan tentang ponselnya kembali, terakhir ia meletakkan ponselnya di loker. Sebelum berniat pulang tadi, ia masuk ke kamar mandi. "O! Aku baru inget!"
Bhanu tertawa, "Ketularan si kembar, ya? O! Si kembar kalau kaget gitu, hehe. O!"
Terdengar Khirani menarik udara dari sela bibirnya, memberi isyarat bahwa ia sedang tidak mau bercanda atau membahas apa pun di situasi seperti ini.
"Oke, maaf. Di mana?"
"Di gudang, loker. Aku baru inget naruh di loker sebelum pulang."
"Gudang ya? Emm...." Bhanu mencoba mengira-ngira jarak pintu utama dengan pintu gudang, "di ... sebelah kanan."
"Empat belas langkah dari pintu utama," sahut Khirani.
"Wuih, kok, hapal?"
"Udah, ayo!" Khirani mendorong lengan Bhanu.
Mereka berjalan merayap dalam kegelapan sambil menghitung langkah dari pintu utama menuju pintu gudang yang berada di sebelah kanan. Setelah ketemu, Khirani meraba-raba pot di sebelah pintu tersebut. Sugik biasanya meletakkan kunci pintu gudang di hijang berada tepat di atas pot bunga Alocasia.
"Nyari apa?"
"Kunci. Biasanya ditaruh di sini."
"Ada?"
"Bentar, ini masih nyari." Khirani masih mencoba meraba-raba letak gantungan, hingga akhirnya hijang besi selebar 50centimeter itu berhasil ditemukan. Khirani meraba-raba ke segala sudut hijang, tetapi benda kecil dengan gantungan merchandise ganci itu tidak ketemu. "Kok, nggak ada? Jangan-jangan dibawa Mas Sugik."
"Beneran nggak ada?"
"Nggak ada."
"Ya, gimana lagi, dah, telepon kantor juga pasti mati, hapeku juga mati. Terpaksa kita nginep di sini."
"Hah?"
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bisa terjebak berdua dengan Bhanu di kantor dalam keadaan gelap. Sebenarnya Khirani percaya kepada pemuda itu, Bhanu tak mungkin berbuat sesuatu kepadanya, hanya saja Khirani merasa tak percaya pada diri sendiri tentang detak jantung dan desiran yang muncul ketika berada di dekat pemuda itu. Khirani tidak mau mengetahui jelas bahwa memang ada sesuatu yang terjadi pada dirinya, sesuatu yang spesial untuk pemuda di depannya itu.
***
Sampai jumpa hari Jumat, yorobuun!
Benar-benar mereka gemesin puol.
Terima kasih membaca cerita saya.
With, Love. Diana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro