Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kidung Tersayang

Di atas kursi kursi taman belakang rumah Aminah, sembari menghadap ke tatanan bunga-bunga yang tersiram sinar senja sore, Khirani menggesek biolanya. Biola yang sudah rusak sudah kembali ke tangannya, meski banyak perbaikan di mana-mana tak membuat biola ini berubah, malah semakin terdengar bagus. Berkat Reiko yang gigih mencarikannya tempat reparasi biola yang paling bagus setelah mendengar biola milik Khirani itu adalah biola mahal.

Bow mengalun lembut dalam alunan instrumental lagu Sang Dewi. Lagu yang menceritakan tentang kehadiran seseorang yang mampu menjadi penyembuh, penolong serta tempat pulang di saat hati rapuh dan ingin menyerah pada dunia.

Angin menerpa selembut gesekan bow Khirani, turut menari dalam syahdu danau melodi yang diciptakan. Untuk menenangkan hati sang kekasih yang baru saja patah. Bhanu duduk di bangku, tersenyum menatap Khirani di tengah biasan sinar sore. Alunan melodi biola Khirani seolah menjadi penyembuh dari rasa patah hatinya.

Ingatan Bhanu terkilas balik dua hari yang lalu.

Sambil membawa tiga buku dengan judul asing, Bhanu menyusuri jalan setapak menuju ke pintu utama kediaman Elmanik. Rumahnya khas rumah seniman, selain berprofesi sebagai dosen tetap di Fakultas Ilmu dan Budaya di salah Universitas Swasta, Elmanik juga menekuni seni pahat. Berjejer patung-patung hasil pahatannya, baik yang masih mentah berupa polesan awal sampai mengkilap dengan plitur. Selain itu, terpajang banyak lukisan di tembok yang ia beli dari seniman Bali.

Pria yang tiga puluh tahun lebih tua dari Bhanu itu sedang duduk bersantai sambil membaca buku di halaman depan rumahnya. Melihat Bhanu datang, Elmanik urung untuk menyesap kopi.

Tidak ada kalimat panjang pertemuan mereka, tidak ada kalimat pertanyaan dari Bhanu mengapa sang senior yang menjadi idola itu terkesan menjatuhkan dalam terbitan artikelnya. Wajah Bhanu pun tidak menampakkan kemarahan, kekecewaan atau apa pun. Bhanu hanya tersenyum tipis sembari meletakkan tiga buku dengan judul asing itu di atas meja Elmanik.

"Apa ini?" tanya Elmanik setelah tahu buku apa yang diberikan Bhanu.

Bhanu menggeleng, "Mental saya sudah terlatih sejak menjalani pendidikan militer lima tahun yang lalu. Artikel Anda tidak berarti apa-apa, saya hanya menyayangkan sikap Anda yang terkesan tak ingin tersaingi dengan saya."

"Tersaingi?"

"Betul, sejujurnya karya saya tidak pantas berebut penghargaan book of the year dengan karya Anda. Bukan karena karya saya buruk seperti yang Anda tulis di artikel Anda, tetapi karena karya asli saya tidak pantas dibandingkan dengan karya saduran milik Anda," kata Bhanu sambil tersenyum tipis. "Saya sudah lama tahu tentang buku Kesedihan Berlayar di Matamu milik Anda adalah hasil dari saduran dari tiga novel luar negeri."

Wajah Elmanik yang penuh dengan garis keriput terlihat tenang, matanya melolong ke arah Bhanu yang berdiri dengan senyuman tipis.

"Saya tetap mengagumi Anda karena keuletan Anda dalam berseni, karena pengaruh luar biasa Anda dalam dunia kepenulisan. Saya yakin buku Kesedihan Berlayar di Matamu adalah novel hasil saduran Anda yang terakhir. Karena itu saya tetap diam dan tetap menghormati Anda. Sayangnya, Anda menganggap remeh saya. Saya pernah berenang dengan Hiu, paus seperti Anda mudah untuk saya karungi."

Bhanu memutar langkah, menutup kalimatnya tanpa mau memperpanjang, tanpa mau meminta penarikan artikel. Ia sudah menelan paus dengan kalimatnya, paus itu kini hanya tertegun, tenggelam dengan buku-buku jarinya yang mendingin.

Buku Kesedihan Berlayar di Matamu meledak di pasaran belasan tahun yang lalu, banyak orang yang tidak mengetahuinya sebab tiga novel luar negeri itu memang kurang memantik pasar di negaranya. Elmanik mengubah nama, setting, bahasa tanpa menyantumkan buku yang ia sadur, seolah mengklaim itu adalah karyanya. Sebuah aksi tak terpuji sebagai sastrawan. Jika fakta ini terungkap ke media, karir Elmanik selama belasan tahun sebagai sastrawan benar-benar akan hancur.

Bhanu tepuk tangan seusai Khirani mengakhiri permainannya.

"Kalau Bu Aminah tahu kamu bisa diusir." Khirani berjalan mendekat lalu duduk di sebelah Bhanu, mereka duduk di teras belakang.

Sepulang dari rumah Elmanik, Bhanu mendatangi rumah Aminah untuk menjenguk Khirani. Meminta Khirani untuk memainkan biolanya sebagai hiburan dari rasa patah hati pria itu.

"Permainan biolamu terlalu bagus buat orang yang baru keluar dari rumah sakit."

"Aku udah kangen sama biola ini," ucap Khirani sambil mengusap lembut biola kesayangannya.

Meski tak mengungkapkan, sorot dan senyum Bhanu yang dilihat Khirani sudah mengutarakan perasaan pria itu setelah menemui sang idola. Meski penasaran apa yang terjadi pada pertemuan itu, Khirani mencoba menahan diri untuk tidak bertanya. Ia menunggu Bhanu yang lebih dulu bercerita.

"Kamu nggak ke kantor, Mas Nu?"

Bhanu menghela napas panjang sambil mengalihkan pandangannya ke arah tatanan bunga-bunga yang menggantung di tembok tinggi milik Bu Aminah. "Bolos."

"Masih belum enak, ya, perasaannya?"

Bhanu menoleh, meralat ekspresinya, "Maaf."

Khirani mengulas senyum, "Mau ke pantai?"

Bhanu tidak bisa ke pantai karena Khirani sendirian di sini, masih pemulihan keluar dari rumah sakit. Khirani tahu, obat paling menenangkan bagi kekasihnya itu adalah pantai.

"Mau aku temani?"

Bhanu menggeleng, "Aku bisa dipecat Bu Aminah nanti."

"Emang ada, ya, penerbit yang mecat penulis bestseller?" Khirani meletakkan biolanya di atas meja, gadis itu melirik jam di tangan Bhanu, "Kalau berangkat sekarang, sebelum jam delapan kayaknya udah sampai di rumah. Sebelum Bu Aminah datang."

"Nggak, Yang, kamu baru aja sembuh, aku nggak mau bikin kamu sakit lagi."

"Emangnya kamu yang bikin aku sakit?" Khirani berdiri, "Aku bawa biola."

"Nggak, Yang. Nggak mau."

"Ayo..."

"Nggak."

"Ngambek, nih."

"Ngambek aja, daripada kamu sakit lagi."

"Ih!" Khirani kembali duduk, menatap Bhanu dengan kesal. Padahal gadis itu hanya ingin membuat perasaan Bhanu lebih baik. "Ya, udah, sana pulang aja, ah. Aku mau tidur aja." Khirani beranjak.

"Aku udah nggak apa-apa, Khi. Beneran," ucap Bhanu sembari menahan tangan Khirani. "Aku cuma pengen ngeliat kamu aja."

Khirani urung beranjak, gadis itu kembali duduk.

"Kita ngobrol aja, ya?" kata Bhanu sambil tersenyum. Menatap Khirani mengusir sorot sedu yang dari pagi menggantung di pelupuknya.

Khirani menghela napas panjang, kemudian tersenyum sembari mengangguk. "Mau tiduran di sini?" tawar gadis itu untuk Bhanu tiduran di pangkuannya.

"Boleh?"

"Boleh." Khirani membenarkan posisi senyamannya, kemudian meminta Bhanu untuk merebahkan kepalanya di pangkuan. "Sini."

"Aku boleh tidur sebentar nggak, Khi?" ucap Bhanu setelah kepalanya nyaman di pangkuan Khirani.

Pria itu tidak tidur setelah artikel itu mencuat di media, banyak hal yang dilakukan bersama penerbit untuk menyelamatkan naskah Gantari dan ancaman permintaan penarikan. Semalam pulang jam tiga pagi dari kantor, tak lantas tidur pria itu berangkat ke Bandung untuk menemui Elmanik setelah diskusi panjang dengan Aminah. Pulang dari Bandung, Bhanu hanya pulang sebentar ke rumahnya untuk mengganti baju dan menenangkan Binna yang menjadi sasaran warganet di media sosialnya soal kakaknya. Dari siang hingga petang ia rapat dengan beberapa brand, meyakinkan brand untuk tetap menjalin kerja sama dengannya.

Baru detik ini pria itu akhirnya memejam, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya sejenak dalam pangkuan dan usapan lembut yang tersayang.

"Mau aku nyanyiin sebuah lagu?"

Bhanu tersenyum, "Memangnya kamu bisa?"

"Waktu SMP, aku pernah menang kontes menyanyi."

Bhanu membuka kelopak matanya, menatap Khirani, "Oh, ya? Aku baru tahu."

"Ibuku penyanyi. Semua bakatku menurun darinya. Cuma karena aku terlalu menyukai musik klasik dan biola, jadi aku lebih fokus menjadi violinis."

Bhanu tersenyum, "Sepertinya aku nggak salah milih calon ibu untuk anak-anakku," ucapnya sembari kembali menutup mata.

Khirani menahan senyum sipu, "Kamu ingin aku nyanyi apa?"

"Apa pun. Aku pasti suka."

"Oke. Tapi, maaf kalau nggak sebagus bayanganmu. Aku udah lama nggak nyanyi."

Bhanu tersenyum, lalu mengangguk.

Di teras belakang rumah, ditemani dengan tatanan bunga-bunga yang tersirami cahaya sore. Sembari menepuk-nepuk kecil dada Bhanu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya digenggam erat oleh Bhanu, Khirani menarik napas panjang terlebih dahulu kemudian melantunkan sebuah lagu.

Apa yang kau inginkan
Dari senyumku, ya tuan?
Ohh

Gemar sekali kau lukiskan bintang untukku

Sungguh lihai tanganmu menata kembali hati
Yang hampir mati
'Kan ku letakkan hangat di tengah dekap kita
Jangan biarkan ku pulang
Ke rumah yang bukan engkau

Jika mampu ku menjelajahi langit
'Kan ku petik pelangi 'tuk warnai harimu
Jangan khawatir, masih ada aku
Jangan khawatir, masih ada aku

Jika dulu saat perasaannya tidak keruan, Bhanu akan berlari di tengah pasir panas pantai berlari sampai tubuhnya lelah. Atau saat tak punya kesempatan untuk pergi ke laut, Bhanu akan menenggalamkan diri di kolam, merasakan sunyi dalam air meredam perasaannya yang memanas.

Namun, kini hanya tepukan kecil dan alunan suara nyanyian Khirani mampu membuat perasaannya yang terombang-ambing menemukan jangkarnya. Membuat dunia yang berisik tertelan dengan suara alunan Khirani. Kantuknya berpulang, hangat nyaman dalam dekapan mengantarkan segala keresahan dan kekecewaannya menghilang.

Di balik pintu teras belakang, Aminah tersenyum. Mengurungkan niatnya untuk memberitahu kabar gembira, membiarkan penulisnya itu beristirahat setelah berjuang keras untuk menyelamatkan karyanya, menyelamatkan penerbit.

Elmanik menarik artikel dan meminta maaf atas kegabahannya dalam menilai karya Gantari milik Bhanu Brajasena. Menyusul kemudian, IKAPI menyatakan Novel Gantari masuk nominasi Book of The Year dalam event IKAPI Wards tahunan, penilaian ini tidak terpengaruh oleh siapa pun.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro