Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keputusan Yang Berat

Menjadi tertutup, pendiam, dingin, cuek serta lebih menyukai kesendirian bukan pilihan Khirani untuk menghadapi dunia. Ia pernah mencoba tetap menjadi dirinya sendiri setelah hari besar itu, namun orang-orang di sekitar menekan dirinya untuk menjadi bunga yang layu, lantas mekar kelopaknya tertutup.

Ia pernah menghadapi dunia yang sulit ini dengan senyuman, dengan prasangka yang baik, dengan pandangan yang lebih positif. Namun, lagi-lagi ia dihajar lingkungan yang memaksanya memilih untuk menjadi tertutup, tak terlihat dan tak mau ikut campur.

Sisi ektroversinya berubah menjadi introversi yang malah membuatnya kian jauh dari lingkup sosial pada umumnya. Ia jatuh dan tenggelam dalam dirinya yang dingin, tak mau mudah percaya orang lain, tak mau ikut campur dan dicampuri urusan pribadinya, sel-sel dalam dirinya menolak kehadiran energi dari orang asing, sekali pun itu adalah energi yang positif.

Namun, tadi malam, di dalam mobil bersama Bhanu. Untuk pertama kali dalam tiga tahun setelah ia terjebak dalam sisi kenyamanan yang menghancurkan, energi Bhanu menelusup dan melumpuhkan beberapa sel-sel negatif dalam diri Khirani. Melalui tatapan Bhanu, Khirani merasakan ada sesuatu yang mampu mengikis benteng pertahanannya.

"Pesanan meja 13, latte dingin dan kentang goreng. Meja 14, Mocachiato dingin dan Strawberry cake." Anik menyerahkan nampan berisi pesanan-pesanan pelanggan sabtu pagi ini.

"Siap, Mbak." Khirani meraih nampan tersebut, lalu melangkah gesit ke meja-meja.

Anik mengerutkan keningnya sejenak, ia merasakan atmosfer berbeda dari karyawan baru itu. Pertama kali Anik bertemu dengan Khirani di minggu lalu, ia menganggap Khirani sosok yang aneh dan tertutup, bahkan ia jarang bisa diajak bicara atau pun tersenyum. Menjawab sekenanya dan kadang sama sekali tidak menanggapi omongan Anik.

Namun, hari ini Anik merasa Khirani sedikit berbeda. Ia menjawab apa pun omongan Anik, meski itu sekadar menjawab pesanan yang Anik berikan.

Anik tersenyum sambil menatap Khirani yang lagi-lagi tertangkap memberi senyuman ke pelanggan. Anik merasa senang dengan perubahan itu, padahal minggu lalu ia merasa sial bekerja satu shift dengan Khirani yang seperti batu.

Kedai Soonday ramai seperti biasa, banyak pekerja kantoran yang melipir ke sana untuk sekadar ngopi dan ngobrol. Tak jarang juga anak kuliahan yang berkumpul bersama teman-temannya.

Pemandangan itu sejenak mengalihkan fokus Khirani, andai hari besar itu tak pernah terjadi, mungkin ia seperti para muda-mudi membahas perkembangan kehidupan kuliahan mereka. Membicarakan organisasi, nilai-nilai dari dosen, atau membicarakan senior kampus yang menarik perhatian.

Tertawa lepas, bercanda satu sama lain, berswafoto kemudian mempostingnya di sosial media, melakukan tren yang sedang membooming atau sekadar bertukar curahan hati tentang pujaan hati. Kehidupan yang kadang Khirani bayangkan jika ia bisa merasakan kehidupan itu.

"Khirani, tolong gantiin gue bentar, ya, gue kebelet nih." Anik mengalihkan fokus Khirani yang sedari tadi berdiri di depan konter sambil memperhatikan meja muda-mudi seumurannya.

"Eh, iya, Mbak." Khirani berjalan ke belakang meja pelayanan pesanan.

"Lo udah tahu, kan, pengoperasiaanya?"

Khirani menggeleng.

"Aduuh, mana kebelet banget nih gue," kata Anik sambil celingak-celinguk mencari karyawan yang lain, tetapi mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. "Si Fani ini ke mana sih, bukannya nemenin gue di sini, nggak muncul-muncul tuh anak." Anik putus asa, ia menarik tangan Khirani.

"Pencet menu, nanti keluar kategori menu. Minuman, makanan, dessert. Pencet minuman nanti keluar lagi beberapa minuman pilihan, pencet pesanan, misalnya es kopi, terus pencet tanda add kalo ada pesanan lain, back ke dessert atau makanan, lakukan kayak tadi. Habis tuh total, nanti langsung muncul jumlah nominal, terus..." wajah Anik memerah menahan sesuatu yang melilit di perutnya, "cetak! Dah, semoga lo ngerti, gue kebelet nggak tahan." Anik melesat menuju pintu belakang konter.

"Ce-cetaknya gimana, Mbak?" pertanyaan Khirani menguap begitu saja saat Anik sudah menghilang di balik pintu. Khirani mengigit bibir bawahnya merasa bingung dan takut jika salah, apalagi waktu sudah menunjukkan jam istirahat, sudah terbayang antrian panjang seperti biasanya.

"Tumben kamu yang di sini?"

Suara itu hampir saja membuat Khirani loncat karena kaget. Bhanu dan Binna berdiri di depan konter.

"Kenal, Mas Nu?" tanya Binna.

"Guru les si kembar." Bhanu tersenyum memperkenalkan Khirani tak langsung pada Binna.

"O! O!" Binna sudah mau membuka bibirnya untuk histeris, tetapi isyarat mata sang kakaknya membuatnya menelan kalimat yang ingin ia lontarkan, Binna hanya melumat bibirnya menahan senyum setelah memperkenalkan diri, "Hai, aku Binna, pasti udah pernah dengar tentangku dari si kembar, kan?"

Khirani tersenyum canggung sambil mengangguk, "Mau pesan apa?"

Bhanu yang menyadari senyuman Khirani itu sejenak terpaku, baru kali ini ia melihat senyuman Khirani. Bhanu tidak bisa menyembunyikan mata berbinarnya melihat pemandangan itu.

"Advocado Frappe, Vanilla cake, sama ... Tiramisu Chocomory. Mas Nu mau pesan apa?"

"Iced Latte aja."

"Oke, tambah Iced Latte, ya," kata Binna.

Khirani mengangguk sambil menatap layar menu.

"Mas, aku ke toilet bentar, ya." Binna melesat menuju kamar mandi kedai. Meninggalkan Bhanu berhadapan sendiri dengan Khirani.

Mendadak Khirani gugup, canggung dan kebingungan, apa yang diajarkan Anik barusan seketika buyar. Beberapa kali ia salah memencet menu. Menekan, menghapus, kembali lagi ke menu minuman, lupa menambahkan dessert, kembali lagi ke menu dessert. Tampak sekali ia kebingungan sedang antrian mulai merayap.

Bhanu menangkap wajah kebingungan Khirani, "Ada masalah, Khi?"

"Eee ..." Khirani menggeleng, mencoba untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Dalam benaknya, ada teriakan, 'Fokus Khirani, fokus!'. Namun, kejadian tadi malam tiba-tiba menelusup ke benaknya secara tiba-tiba, membuatnya semakin kehilangan fokus, ia sampai mencetak menu yang salah.

"Maaf, salah, tadi pesan apa aja, ya?"

Bhanu memahami gelagat Khirani, ia melangkah mendekat ke meja konter, melongokan wajahnya ke arah layar menu. "Minuman," tunjuk Bhanu ke layar. "Advocado Frappe," ia kembali menunjuk menu kolom advocado frappe. Khirani menurut arahan pemuda itu.

"Addition, iced latte. Back ke dessert, vanilla cake, tiramisu chocomory." Bhanu membantu Khirani untuk menemukan menu itu dengan cepat.

"Vanilla cake, tiramisu chocomory," beo Khirani sambil menekan kolom pesanan yang disebutkan.

"Kalau udah, tekan total."

"Total." Khirani menekan kolom total, kemudian layar berganti menjadi pembayaran. "Totalnya enam puluh empat lima ratus."

"Pake kartu, ya?" Bhanu mengeluarkan dompetnya.

"Kartu?" Tadi Anik tidak menjelaskan bagaimana pembayaran memakai kartu, jelas sekali wajah Khirani yang kembali merasa kebingungan.

Bhanu langsung menangkap raut wajah Khirani yang tidak tahu, "Cash aja." Bhanu mengembalikan kartu debitnya ke dompet, kemudian mencabut uang lima puluh ribu, sepuluh ribu, dua lembar dua ribu. Ia merogoh sakunya untuk mengambil recehan lima ratus. "Ini, pas ya?"

Khirani meraih uang itu dari tangan Bhanu, kemudian mencetak resi pembayaran. "Meja 17."

"Oke." Bhanu meraih bill itu kemudian berjalan menuju meja 17.

Khirani mengembuskan napas lega, perlahan pandangannya bergerak ke arah punggung Bhanu. Beberapa kali ia menyakiti perasaan pemuda itu, mengabaikan bantuannya, bahkan menganggap kehadirannya hanya angin lalu. Kini akhirnya Khirani menyadari satu hal, bahwa Bhanu memang pemuda yang tulus.

Antrian panjang mulai mengular, beruntung Fani yang biasa menemani Anik, datang juga. Khirani langsung kembali ke tugasnya, mengantarkan pesanan.

"Aku kayak pernah lihat dia deh, Mas," ujar Binna sambil memperhatikan Khirani yang membawa pesanan dari meja ke meja.

"Oh, ya? Kapan?"

"Mmm..." Binna mencoba mengingat-ingat, "wajahnya kayak familiar gitu. Ah, lupa, kapan ya? Tapi aku yakin pernah ketemu."

"Dia cantik, ya?"

Binna mengangguk, "Lumayan."

"Makanya kamu kayak pernah lihat, biasanya orang yang terpesona itu kayak ngerasa udah pernah ketemu, padahal mah nggak."

"Heeiii..." Binna mendorong bahu sang kakak dengan mata menyipit. Binna yakin ia pernah bertemu dengan Khirani, tetapi ingatannya samar-samar.

***

Bhanu, Binna dan teman kuliah Binna yang seorang violinis sedang rapat yang berlangsung serius. Bhanu menjelaskan konsep yang akan ditampilkan di pertunjukan dan ingin mendengar pendapat Nara, violinis tersebut. Setelah memberi beberapa masukan, ide dan pendapat, Bhanu merasa kurang cocok. Hati terdalam pemuda itu masih menginginkan Khirani yang akan menjadi violinisnya, tetapi waktu terlalu mepet sedangkan Bhanu sudah berjanji tidak akan memaksa gadis itu.

Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah balik konter kedai, Khirani membuka pintu konter dengan tergesa-gesa, kemudian ia berlari di antara pengunjung, kegaduhan terdengar saat Khirani tak sengaja menabrak seorang pengunjung yang antri. Bhanu sampai berdiri spontan ingin menolong, tetapi gadis itu dengan cepat bangkit, berlari menuju pintu.

Ada kemelut ketakutan di wajahnya, matanya juga berkaca-kaca, ia tampak tergesa-gesa seperti mengejar waktu dengan cepat.

"Kenapa dia, Mas?" tanya Binna yang juga memperhatikan.

Bhanu menggeleng, melihat Khirani seperti itu membuat hatinya diselimuti kekhawatiran. Bhanu sudah berancang-ancang mengejar, tetapi ia ragu karena berjanji akan berada di batasnya, seperti yang selama ini Khirani mau. Bhanu kembali mendaratkan tubuh di kursi.

"Nggak dikejar, Mas?" tanya Binna yang turut khawatir.

Bhanu menggeleng. Kemudian ia tersenyum tipis, "Yuk, lanjut," kata Bhanu mencoba untuk tidak ikut campur urusan Khirani lagi, ia kembali fokus ke dalam rapat. Namun, hatinya tak bisa berbohong jika ada kekhawatiran yang perlahan merayapi.

Sementara gadis yang dikhawatirkan itu tampak pontang-panting, dengan tergesa-gesa ia menyegat taksi yang melintas. Ia tahu uang di sakunya akan habis untuk naik taksi kali ini, tetapi ia tidak punya pilihan. Khirani harus segera tiba di rumah sakit.

Beberapa saat yang lalu, ponsel Khirani bergetar kebetulan saat ia beristirahat di belakang. Tiga panggilan tidak terjawab, semua panggilan dari nomer yang sama, nomer ruang perawatan Diandra. Mendengar perawat menyampaikan bahwa sang adik dalam keadaan mendesak, Khirani langsung bergegas bahkan tanpa pamit kepada rekannya. Ia sampai tak sempat mengganti seragam kedai. Yang di pikirannya saat itu, ia harus secepatnya sampai di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, ia berlari cepat ke lantai enam. Ada satu dokter dan beberapa perawat yang sudah menunggunya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, seketika bernapas lega ketika melihat Khirani dengan tersengal-sengal sampai di bangsal.

"Gimana adik saya, Dok?"

Dokter Kevin yang selama setahun ini yang menjadi dokter Diandra menurunkan bahu tegangnya, raut wajahnya yang sedih sudah sebisa mungkin untuk mempertahankan keprofessionalnya. Namun, melihat perjuangan Khirani selama ini terasa tak sanggup untuk mengatakan kemungkinan buruk yang sedang terjadi.

"Dia baik-baik aja, kan?"

Dokter Kevin mengangguk, "Untuk saat ini, dia baik-baik saja."

Rasa lega meraksasai hatinya saat mendengar itu, Khirani dapat mengambil napas sejenak setelah napasnya nyaris habis karena berlarian dalam keadaan panik beberapa waktu yang lalu.

"Tapi..." ujar Dokter Kevin menggantung, "kita tidak bisa menjamin Diandra akan bertahan tiga hari ke depan."

Baru saja bernapas lega, pernyataan Dokter Kevin kembali menyekat tenggorokannya, memangkas jalan oksigen yang masuk ke dalam paru-paru hingga sesak kembali terasa. Sekujur tubuh Khirani kaku, seperti disambar petir saat mendengar kalimat yang sangat ia takuti selama setahun ini.

"Salah satu kemungkinan terburuk yang kami takuti akhirnya benar terjadi. Tiga puluh menit yang lalu terjadi anuerisma lagi, di mana titik lemah pada dinding arteri di otak mengalami pembesaran dan pecah. Kami sudah memberi pertolongan melalui obat sementara ini, sebelum mendengar persetujuan pihak keluarga untuk melakukan tindakan operasi."

"Operasi? Lagi?"

Dokter Kevin mengangguk pelan.

"Kalau operasi lagi pasti selamat, kan? Adikku pasti selamat, kan, Dok?"

"Bisa, insyaallah, hanya saja..." Dokter Kevin tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kalimatnya, ini pasti berat untuk gadis di depannya itu.

"Hanya saja?"

"Risiko disfungsi pada organ sangat tinggi. Setelah operasi berhasil atau setelah pasien siuman, kemungkinan besar mengalami gangguan bicara, penglihatan, atau gangguan neurologis, seperti amnesia sebagian atau total."

Khirani kehilangan kata-kata, ada ledakan kekecewaan dalam hatinya. Hanya air mata yang mampu mewakili segala rasa yang mengepung hati dan pikirannya.

"Ini karena anuerisma yang ke-dua. Kalau tidak segera diambil tindakan pembedahan, kemungkinan terburuk lainnya bisa terjadi. Mati batang otak ... atau kematian," ucap Dokter Kevin dengan hati-hati.

Khirani menelangkupkan kedua tangannya di wajah, menyembunyikan ledakan tangisan yang menggeru-geru. Setelah segala perjuangannya yang banyak melalui hal-hal berat, ia harus menerima kenyataan ini. Jika sembuh, adiknya akan cacat, jika tidak dioperasi, ia akan kehilangan Diandra untuk selamanya. Pilihan ini benar-benar berat untuk Khirani, seperti dua mata pisau di tangan. Jika melakukan operasi, pisau itu akan melukai adiknya, jika tidak, pisau itu akan balik melukainya.

Terlebih lagi, ke mana ia harus mencari uang untuk operasi? Asuransi tidak akan mengcover seluruhnya karena penyakit berulang, Khirani juga tidak bisa memperbaruhi asuransi Diandra karena kondisi Diandra. 

Bahkan untuk mengajukan klaim saja tidak bisa sebab belum genap setahun operasi yang pertama. Asuransi dari pemerintah hanya mencover tiga bulan semenjak Diandra masuk ruang perawatan intensive. Khirani tidak punya apa-apa lagi. Ia tidak bisa apa-apa untuk keputusan ini.

Akankah ia akan menyerah untuk memperjuangkan Diandra? Setelah semua perjuangannya dilewati, setelah harga dirinya diinjak-injak oleh Garu, setelah dirinya siang malam bekerja keras membanting tulang, setelah utang yang menggunung yang entah kapan bisa dilunasi.

Khirani mengusap-usap air matanya, ia menengadah menatap Dokter Kevin. Dengan keyakinan penuh atas keputusan bulatnya, ia berkata, "Silakan dioperasi, Dok."

"Tapi, risikonya,"

"Saya tahu..." Khirani menahan tangis, "lebih baik daripada kehilangannya, kan? Saya sudah berjanji untuk selalu memperjuangkan Diandra sembuh kembali. Saya yakin dia akan siuman sebentar lagi. Jadi, saya memberi keputusan untuk setuju melakukan tindakan operasi."

Dokter Kevin membeku beberapa detik, keputusan ini juga berat untuknya. Namun, semua keputusan di tangan wali pasien, ia pun mengangguk, "Saya pasti melakukan yang terbaik, Khirani. Dengan cara apa pun saya harus bisa meminimalisir risikonya. Kamu bantu dengan doa, ya?"

Khirani menganguk-angguk, "Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Tolong selamatkan adik saya."

"Pasti."

*** 

Maaf telat banget.

Terima kasih sudah membaca

Sampai jumpa hari rabu, ya. 

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro