Keputusan
"Jadi selama ini kamu tidak pernah mengundurkan diri dari militer?"
Pertanyaan itu diucap Nawang setelah Widipto, sahabat almarhum ayah Bhanu datang menarik Bhanu kembali ke kemiliteran sesuai dengan janji Widipto setelah menjabat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut.
Lima tahun yang lalu Bhanu melayangkan surat pengunduran diri dari militer Angkatan laut setelah proses upacara tabur bunga ayahnya. Widipto yang saat itu masih menjadi Koordinator Staf Ahli KSAL. Widipto menyayangkan hal itu karena dia tahu masuk ke militer adalah mimpi Bhanu, menjadi seorang Kapten Arya adalah tujuan Bhanu.
Keluar dari mimpi hal yang berat bagi Bhanu, apalagi pria itu pernah berjanji kepada Kapten Arya bahwa ia akan berkarir setinggi-tingginya di Angkatan Laut mengalahkan Kapten Arya. Bhanu berjanji akan melarung ribuan kilometer laut untuk keamanan negaranya, untuk menjadi kebanggaan ayahnya.
"Saya akan memproses kamu menjadi Tentara Cyber. Kamu bisa tugas di luar markas. Kamu bisa menjalani profesi lain, kamu juga bisa menjaga keluargamu dari dekat. Sampai nanti saya menjadi KSAL, kamu saya akan tarik kembali untuk menjadi prajurit aktif di kemiliteran. Mungkin saat itu keluargamu sudah ikhlas dengan kepergiaan Kapten Arya, kamu bisa melarung lautan kembali untuk membersihkan nama ayahmu."
"Siap menerima tugas, Jendral!" ucap Bhanu kala itu dengan linangan air mata.
Mungkin orang akan melihat Bhanu sibuk mengetik sesuatu di komputernya untuk membuat novel, tetapi tidak pernah ada yang tahu jari jemarinya juga mengoperasikan keamanan cyber di territorial kelautan negaranya.
Hingga di tahun ke-4 ia menjadi Tentara Cyber, Bhanu menerima tugas kerja sama lintas negara pengendalian cyber crime territorial kelautan di enam negara. Ia dikirim bersama beberapa anggota ke negara Maroko, India, Swiss, Bulgaria, Venesia, dan Turki. Negara-negara yang tertulis di buku Gantari.
Tidak ada yang tahu bahwa status keprajuritannya belum benar-benar dicabut, hanya menjadi tentara dinas non-aktif. Setiap pagi di hari tertentu Bhanu pergi ke markas tentara cyber untuk melaporkan hal-hal yang darurat. Tidak ada yang tahu, baik ibunya, adik-adiknya, Teyze, siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Menjadi penulis yang sukses bukan tujuannya, itu hanyalah pengalihan identitas.
Plak! Tamparan Nawang untuk anak yang disayangnya mendarat bersamaan dengan linangan air mata kecewa. Merasa hancur hatinya selama ini Bhanu membohongi dirinya. Lebih hancur lagi jika luka kehilangan Kaptern Arya baru saja sembuh, kini luka itu kembali dibuka dengan kabar penarikan kembali Bhanu ke markas militer.
"Ibu!" Binna menghampiri sang ibu.
Sementara Bhanu berdiri menundukkan kepalanya. Ia selalu ingin memberitahukan ini sebelum Widipto datang. Namun, Bhanu selalu tak pernah siap untuk memberitahukan ibunya bahwa ia masih menjadi bagian dari kemiliteran.
"Kamu mau pergi seperti bapakmu? Mau bikin ibu dan adik-adikmu menderita seperti bapakmu meninggalkan kami?!" Nawang memukul-mukul dada Bhanu yang tertunduk. Trauma kepergian Kapten Arya sangat menyakiti Nawang hingga ia membenci laut, membenci tentara marinir, membenci kapal-kapal di laut meski hanya melihat gambarnya saja Nawang selalu tak sudi.
"Bilang kalau kamu menolak kembali ke militer! Bilang kalau kamu tidak mau kembali ke laut! Bilang, Jisaka Bhanu!"
Bhanu memejam sejenak kemudian mengangkat kepalanya menatap Nawang.
"Bhanu tetap pergi, Bu."
Tamparan kembali mendarat di pipi Bhanu, Nawang benar-benar mengamuk hingga tubuhnya melemah dan kehilangan kesadaran. Bhanu satu-satunya laki-laki di keluarga mereka, satu-satunya yang kini diandalkan dalam keluarga, Nawang tidak bisa membayangkan jika keluarganya kembali kehilangan dalam tugas, yang jasadnya tak pernah kembali, yang perginya tak pernah berpamit.
Dalam satu bulan masa tugasnya sebagai tentara cyber selesai, Bhanu harus mengurus banyak hal sebelum kembali ke pangkalan militer.
Bukan tentang mimpinya saja, tetapi tentang rahasia Kapten Arya yang belum terungkap. Rahasia tentang beberapa petinggi TNI AL yang kompak mengirim Kapten Arya dalam tugas berbahaya beberapa tahun silam, rahasia tentang kematian Kapten Arya yang disalahkan atas tenggelamnya KRI dan menewaskan puluhan prajurit. Kejanggalan-kejanggalan itu harus Bhanu ungkap.
Meski Bhanu tahu bahwa keputusan ini akan membuat keluarganya berat, Bhanu tetap akan berangkat.
"Kamu sedikit pun nggak ngerasa bersalah sama ibu?" tanya Binna.
Mereka duduk di kursi tunggu ruang perawatan. Nawang dibawa ke rumah sakit setelah tidak sadarkan diri.
Bhanu sedari tadi hanya menunduk sambil menautkan jemarinya menatap keramik lantai rumah sakit, perasaan bersalah itu ada. Namun, tekad Bhanu sudah bulat untuk menerima surat pemanggilan itu. Bhanu ingat bagaimana media mencemooh sang ayah, warganet menyumpahi sang ayah atas tenggelamnya kapal yang mendiang pimpin. Meski namanya bersih di media, tetap saja kejanggalan itu menarik kuat Bhanu untuk kembali ke pangkalan militer.
"Kamu udah tahu dari kapan?"
Binna menghela napas panjang, ditatapnya pintu ruang perawatan yang kini di dalamnya terbaring sang ibu ditemani dua adik kembarnya.
"Aku pernah minjam laptopmu dan kamu lupa logout portal 'side job'-mu," kata Binna dengan nada sarkas, "Ya... sekitar dua tahun yang lalu, sebelum Mas Nu pergi ke beberapa negara."
"Kenapa nggak ngomong?"
"Buat apa?" Binna menoleh ke Bhanu.
"Kenapa?"
Binna terdiam sejenak, kini pandangan gadis itu menerawang kembali ke pintu perawatan sang ibu, "Itu mimpimu. Semua orang berhak mengejar mimpinya."
"Ini bukan soal mimpi aja."
"Tapi soal ayah juga, kan?"
Bhanu menoleh dengan tatapan terkejut, "Kamu juga tahu itu?"
"Novel Rembulan Memeluk Matahari yang kasih tahu aku. Di sana jelas sekali kamu nulis bagaimana belenggunya kamu ingin mencari tahu semua kejanggalan kematian ayah. Meskipun menjadi penulis hanya pengalihanmu, tapi kamu nggak pernah bohong soal tulisanmu, Mas. Semua tulisanmu jujur."
Ada rasa bersalah dan juga lega menatap sang adik tertua pada detik ini. Bhanu pikir orang kedua yang akan ngamuk karena keputusannya adalah Binna. Ternyata Binna jauh lebih dewasa dan menerima dari yang Bhanu pikir.
Binna menoleh dengan senyuman tipis. "Nggak usah khawatir soal ibu, Binna bisa bantu tenangin. Tapi, kalau soal yang satu ini, itu urusanmu, Mas. Good luck!" kata Binna sambil mengode ke arah pintu masuk bangsal. Gadis itu berdiri dari kursi tunggu dan masuk ke ruang perawatan Nawang.
Bhanu menoleh ke arah yang ditunjuk Binna dengan matanya, terlihat Khirani berlari menuju ke arah mereka. Dia adalah orang yang nyaris membuatnya goyah dan ingin mundur dari rencananya kembali ke militer. Dia yang mungkin akan membuat keputusan ini sangat berat diambil.
***
Di kursi taman rumah sakit, di bawah langit Jakarta yang pekat. Duduk berdua Bhanu dan Khirani dengan sekat jarak yang terlihat jelas.
"Seharusnya kamu nggak ke sini sekarang, nggak apa-apa, Yang. Kamu, kan, harus belajar buat persiapan ujian." Bhanu memecah keheningan, "Kamu tahu dari mana kalau ibu masuk rumah sakit?"
"Nana."
Bhanu tersenyum rikuh, terlihat jelas ia menyembunyikan kekhawatiran akan respons Khirani mengenai perintah penarikan kembali Bhanu ke pangkalan militer.
Mencintai Khirani adalah kesalahan yang sengaja Bhanu buat. Mungkin jika itu bukan Khirani yang memiliki konya hitam dalam hidupnya, mungkin Bhanu akan dengan mudah melupakan. Namun, cinta Bhanu terlanjur dalam, terlanjur pula masuk ke dalam kehidupan Khirani yang rumit.
Ketika nanti Bhanu sudah menjelaskan duduk pekaranya alasan mengapa sang ibu tidak sadarkan diri, Bhanu siap menerima semua keputusan yang Khirani pilih. Meskipun itu perpisahan. Yang Bhanu khawatirkan hanya satu hal, hubungan ini membuat trauma gadis itu. Bhanu tidak ingin Khirani kembali menarik diri.
"Aku juga tahu dari Nana kalau kamu menerima perintah buat kembali ke militer."
Bhanu terkejut dan spontan menoleh ke Khirani.
"Karena itu Bu Nawang sampai pingsan, kan?" Khirani turut menoleh.
Detik ini dada Bhanu seperti terhimpit ketakutan jika Khirani mengucap kekecewaan dan meminta hubungan mereka berakhir. Jika diminta jujur, Bhanu ingin memohon dan bersimpuh di hadapan Khirani meminta gadis itu untuk menunggunya sampai tugas itu selesai.
"Bu Nawang nggak mau kamu pergi?"
Masih dengan menatap dua bola mata Khirani, Bhanu mengangguk.
"Kamu tetep pergi?"
Tak langsung menjawab, Bhanu menarik pandangannya dari mata Khirani ke paving taman. Sejak pertama kali menerima tugas, Bhanu sudah mantap untuk melanjutkan misinya kembali ke militer. Tidak ada jawaban yang terucap, tetapi bagaimana sikap Bhanu terlihat mampu menjawabnya. Pria itu tetap akan pergi.
"Kapan?"
"Dua bulan lagi."
"Kamu nggak cuma ninggalin keluargamu, tapi kamu juga bakal ninggalin ribuan penggemar bukumu." Jeda beberapa detik, "Kamu juga bakal ninggalin aku."
Bhanu bergeming. Ada banyak ribuan diksi yang pernah ia ciptakan, tetapi untuk kali ini semua diksi itu sekejap menghilang. Pilihan pergi terasa sulit digenggam, di satu sisi ia sudah sejauh ini. Banyak bukti yang sudah berhasil ia kumpulkan selama lima tahun. Terasa ironis jika berhenti di garis start.
"Kalau aku yang minta kamu jangan pergi, kamu tetep pergi?"
Bhanu menoleh, tercetak gradasi kebingungan di matanya. Kalimat yang ia takutkan terucap akhirnya dari bibir Khirani.
"Misiku cuma dua tahun berlayar, setelah itu Pak Widipto menugaskanku di bagian darat."
"Dua tahun bagimu sebentar, tapi bagi kami yang menunggumu itu sangat lama."
"Aku musti gimana, Khi? Aku sudah janji, aku harus pergi. Tapi, di sisi lain, aku berat ninggalin kalian, ninggalin kamu."
Setelah kalimat itu tercipta kembali keheningan yang diisi dengan hiruk pikuk rumah sakit. Lalu lalang orang tidak mencairkan suasana yang menegang di antara mereka. Seperti sepasang kekasih yang sedang mempertimbangkan untuk putus atau terus.
"Kamu jahat banget, ya, Mas."
Terdengar isakan kecil setelah kalimat itu diucap oleh Khirani.
"Kamu yang narik aku buat keluar dari bentengku, kamu yang udah buat aku nyaman dengan dunia yang kamu beri, kamu yang buat aku memilih mencintai dan menciptakan harapan yang baru. Tapi, sekarang kamu mau pergi ninggalin aku?"
"Maaf..."
"Seharusnya kamu nggak usah buat aku punya mimpi dan harapan, Mas, kalau akhirnya kamu tinggalin kayak gini."
"Aku yang salah."
"Memang." Khirani mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
"Dari awal aku nggak punya rencana buat menjalin hubungan, tapi aku bertemu kamu. Aku memang sengaja mencintai kamu. Meskipun nggak masuk rencana, aku nggak nyesel udah ketemu kamu dan mencintai kamu."
"Egois."
"Maaf..."
"Cuma itu yang bisa kamu bilang?"
Bhanu menundukkan kepala, ia tahu hanya kalimat itu yang bisa ia katakan. Bukan hanya kepada Khirani, tetapi kepada ibu, adik-adiknya dan semua penggemarnya. Buku yang ia tulis sekarang, yang kurang beberapa halaman saja tamat itu menyimpan kalimat pamit untuk semua yang membaca bukunya nanti. Kalimat cinta yang jujur, kalimat penyesalannya, semua terangkai secara tidak langsung di buku itu.
"Aku menerima apa pun keputusanmu, Khi, karena maaf aku akan tetap kembali ke militer," ucap Bhanu berpasrah.
Angin berembus kencang mengisi detik-detik waktu yang krusial bagi hubungan mereka. Kepergian dan kehilangan ternyata sudah menjadi bagian dari hidup Khirani. Kepergian ayahnya yang mendekam di penjara, ibunya yang entah di mana, serta kehilangan senyum adiknya yang kini terbaring koma.
Rasanya muak dengan alur Tuhan yang selalu menghubungkan Khirani dengan dua kata tersebut. Seolah kutukan yang menempel dalam tubuhnya. Khirani benar-benar muak.
"Apa pun?"
Bhanu mengangguk.
"Kalau begitu..." Khirani mengusap air mata di pipinya sejenak kemudian berdiri.
Dalam diam dan kepalanya yang tertunduk, Bhanu menyiapkan hati mendengar apa pun keputusan Khirani. Ia sudah berlatih untuk malam ini, beberapa kali meski bayangan itu akan buyar karena tak sanggup mendengar Khirani memutuskan hubungan mereka.
"Nikahi aku."
Bhanu spontan mengangkat kepala, membulat matanya menatap Khirani dengan terkejut.
"Kamu udah janji, Mas Nu."
Bhanu berdiri masih dengan air muka kaget dengan keputusan Khirani.
"Setelah aku dapat beasiswa, kamu udah janji mau nikahi aku. Aku tagih janjimu sekarang."
"Khi..."
"Kalau kamu pergi tanpa nikahi aku dulu, jangan harap saat kamu pulang aku bakal nunggu kamu."
Khirani menatap Bhanu dengan mantap bahwa keputusan yang baru saja gadis itu ambil benar-benar serius, "Kamu bilang kamu mau sama-sama berjuang. Toh, kalau aku dapat beasiswa aku juga bakal pergi dari sini. Aku akan sekolah di luar negeri. Sama saja, kita sama-sama terpisah oleh jarak."
"Aku tentara Angkatan Laut. Aku akan berlayar di lautan, tidak ada koneksi untuk tetap berhubungan."
"Kalau kapalmu bersandar, kamu masih bisa, kan, menghubungiku?"
Bhanu masih terpaku tidak percaya dengan keputusan yang Khirani pilih.
"Kamu nggak takut aku tinggalin seperti ayah ninggalin ibuku?"
"Entah kamu di darat atau di laut, takdir kematian tetap sudah tertulis. Jangan, kan, di laut, di darat pun aku juga takut kehilangan kamu karena kematian. Sama aja, Mas. Aku akan tetap takut kehilangan kamu di manapun kamu berada."
Bhanu mendekat, memegang tangan Khirani, "Khi, kamu yakin sama keputusan ini?"
Bhanu ragu kalau Khirani memilih keputusan ini dengan tergesa karena sebab Khirani sempat menolak dan marah ketika Bhanu mengajaknya menikah. Namun, saat itu Khirani menolak karena tidak mau menjadi beban Bhanu. Saat ini Khirani tidak punya tanggungan, tidak punya utang sama sekali. Tidak ada kata 'beban' yang menjadi alasan Khirani untuk tetap menolak.
Gadis itu sudah bebas sekarang.
Khirani mengerutkan keningnya, "Kamu nggak mau nikahi aku?"
"Bukan gitu."
"Mau nikahi aku apa nggak?"
Bhanu terdiam menatap Khirani. Bukan soal dirinya yang tidak siap, tetapi Bhanu hanya mengkhawatirkan Khirani. Menjadi seorang istri prajurit yang bertugas di laut bukan suatu hal yang mudah. Khirani akan banyak menghabiskan waktu dengan kesepian. Bhanu merasa tidak tega.
Sementara Khirani sudah yakin dengan keputusannya, bahkan keyakinannya untuk menikah dengan Bhanu sudah ada sebelum mendengar kabar perintah penarikan Bhanu kembali ke pangkalan militer. Bhanu pria yang bisa diandalkan, orang yang mampu membuat Khirani keluar dari bentengnya, yang membuat hidup Khirani berwarna.
Menunggu dengan status sebagai istri lebih menenangkan daripada harus menunggu dengan status tanpa ikatan. Setidaknya Khirani sudah punya kewajiban untuk tetap menunggu Bhanu. Khirani punya alasan untuk terus berjuang meraih mimpinya selagi menunggu Bhanu yang sama-sama berjuang meraih tujuan dan mimpinya.
Pria itu perlahan mendekat dan memeluk Khirani, "Iya, ayo, kita menikah, Sayang."
Khirani membalas pelukan Bhanu dan pecahlah tangisannya yang sudah ia tahan sejak tadi.
***
Note : Tentara Cyber di Indonesia masih dalam tahap perencanaan pembentukan.
See you next part 🤍
With Love, Diana Febi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro