Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kedai Soonday

Kedai Soonday di Jalan Malang itu sejak pagi sesak oleh pengunjung. Khirani dengan cekatan mengangkat gelas-gelas kotor di atas meja lalu mengelap meja itu sampai bersih. Kakinya beralih ke meja berikutnya, melakukan hal yang sama. Setelah nampan di tangan penuh dengan gelas, ia masuk ke dapur, menyerahkan gelas kotor itu ke bagian pencuci.

"Caramel Coffe with cream di meja 19. Tolong yang meja 19, kasih dengan senyuman lebih manis, dia pelanggan spesial di sini. Mbak Celinda titip salam, 'semoga akhir pekannya menyenangkan'." Bagian counter menyerahkan dua nampan berisi pesanan para pelanggan.

Khirani meraih dua nampan itu di masing-masing tangannya.

"Ingat ya, meja 19 harus pake senyuman yang sangat, sangat, ramah dan manis. Jangan lupa salamnya. Mbak Celinda ngawasin langsung di kasir tuh," kata Anik sambil memberi isyarat dengan matanya kalau owner Kedai Soonday sedang berada di belakang meja kasir.

Khirani mengangguk sambil keluar dari belakang counter, berjalan hati-hati di tengah sesaknya pengunjung. Ia meletakan Mocachito Italiano dan Rainbow Cake di meja 17, kemudian berjalan dua langkah menuju meja 18 untuk meletakan Hot Latte dan kentang goreng.

Sebelum ia berjalan ke meja 19, matanya melirik ke arah counter, di sana Anik mengawasi. Anik mengingatkannya kembali untuk tersenyum lebar. Khirani juga sempat menoleh ke meja kasir, owner kedai ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Merepotkan saja, pikir Khirani.

Gadis itu tidak senyum selama hampir tiga tahun, rasanya tidak mudah untuk tersenyum kembali. Bibirnya terasa kaku, apalagi harus tersenyum lebar. Ah, Khirani mendesah begitu kakinya berjalan ke meja 19 yang terletak di sebelah jendela kaca.

Kaki Khirani mendadak berhenti setelah matanya tertumbuk pada pemuda berjaket jins yang saat itu juga menatapnya. Kedua mata mereka saling bertemu. Khirani tidak menyangka bisa bertemu dengannya di sini, di hari kedua ia bekerja. Sungguh, ia tidak mau melihat pemuda itu. Tidak di tempat kerjanya.

Hati dan pikirannya berdebat, antara melaksanakan kewajibannya dengan professional atau tidak. Ia melirik arah owner sebentar, Celinda mengisyaratkan agar Khirani segera menyajikan pesanan itu di meja 19. Sungguh, Khirani tak mau melempar senyuman dan bersikap ramah tamah kepada pemuda itu.

Ia tidak punya pilihan lain, akhirnya kakinya kembali melangkah menuju meja tersebut. Sistem tubuhnya berusaha keras untuk membuat satu tarikan lebar di bibir, tatapan ramah dan intonasi nada bicara yang lembut. Alasannya hanya satu, ia tidak mau kehilangan pekerjaan ini.

Khirani menarik napas panjang kemudian mengembuskan kencang bersamaan dengan perubahan wajahnya yang datar menjadi riang dan senyuman yang lebar serta tatapan yang ramah, "Selamat pagi, Kak. Ini Caramel Coffe with creamnya. Dapat salam dari owner kami, semoga akhir pekan Kakak menyenangkan." Khirani meletakkan pesanan itu di meja.

"Selamat menikmati," tutup Khirani sekuat tenaga untuk menatapnya dengan ramah dan manis sampai pesanan mendarat sempurna di meja.

Dada Khirani berdebar hebat, detik-detik itu yang terasa menegangkan. Setelah urusannya selesai, ia melempar senyuman kembali dan beranjak dari depan meja 19.

Ketika kakinya sampai di belakang counter, Khirani bernapas lega luar biasa. Lututnya terasa lemas, ia tidak menyangka bisa bersikap seperti itu dengan manusia paling menyakitinya. Gaharu Svarga.

Lebih tidak menyangka lagi, Garu hanya mematung menatapnya tanpa reaksi apa pun. Khirani sudah khawatir Garu akan bertindak aneh-aneh di tempat kerja barunya ini. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan seperti ia kehilangan pekerjaan serupa beberapa bulan yang lalu karena tingkah Garu. Pemuda itu pernah mengobrak-abrik tempatnya bekerja karena Khirani menghilang dua minggu.

"Lo kenapa?" Anik menghampirinya membawa nampan pesanan baru.

Khirani menggeleng, ia mencoba menetralkan degub jantungnya berusaha bersikap normal. "Gapapa, Kak. Pesanan meja berapa?" Ia langsung meraih nampan pesanan baru dari tangan Anik.

"Bener lo gapapa? Pucet gitu?"

"Nggak apa-apa."

"Ya udah, nih meja 23 black coffe without sugar sama donat kentang. Meja 24, Fanta float sama es krim vanilla mint," rinci Anik, "btw, lo keliatan cantik, ya, kalo senyum. Senyum terus dong!"

Khirani mengangguk menerima rincian pesanan, tetapi hatinya enggan untuk menerima saran yang Anik katakan. Bagi Khirani tidak ada gunanya tersenyum jika hidupnya begitu menyedihkan. Ia merasa tak pantas untuk tersenyum sedang adiknya koma di rumah sakit. Pujian dan saran dari Anik seperti angin lalu. Khirani kembali ke pekerjaannya, mengantarkan pesanan ke meja pelanggan.

Ia tahu mata serigala Garu sedang mengawasinya, ia tidak peduli dan tetap fokus. Khirani memilih memutar menghindari meja Garu yang sebenarnya lebih dekat dengan meja pesanan berikutnya. Ia khawatir Garu akan mengerjainya, seperti yang sudah-sudah.

"Fanta Float sama es krim vanilla mint, selam—," Khirani mendesah, muak. Melihat pemuda berkaca mata dengan satu novel di tangannya. Hari ini terasa begitu sial harus bertemu dengan manusia-manusia yang sangat merepotkan.

"Loh, Khi?" Bhanu meletakkan novelnya di meja, matanya membulat terkejut bertemu dengan Khirani secara kebetulan. "Kamu kerja di sini juga?"

"Selamat menikmati, Kak." Khirani tidak menggubris pertanyaan Bhanu. Ia langsung memutar kaki untuk beranjak.

"Kamu pulang jam berapa? Part time di sini?" tahu-tahu Bhanu berada di sampingnya, pemuda itu menyusul langkahnya berjalan menuju counter.

Khirani mencoba tidak mempedulikan Bhanu. Ia sempat melirik ke arah Garu, mata pemuda itu menatap sangat tajam ke arahnya. Fokus Khirani semakin tidak keruan, ia buru-buru mempercepat langkah. Namun, tak sengaja kaki kanannya menabrak kursi pelanggan yang mendadak mundur. Khirani jatuh terjerebab ke lantai, bunyi nampan kosongnya menarik perhatian.

"Astaga, Khi!" Bhanu segera berjongkok mencoba membantu Khirani.

"Maaf, ya, Mbak, saya nggak sengaja." Pelanggan yang memundurkan kursinya itu juga turut jongkok, meminta maaf.

Khirani memejam, merasakan betapa sialnya ia hari ini. Belum usai dengan rasa tidak nyaman karena ada Garu, ditambah lagi kehadiran Bhanu, tak berhenti di situ ia masih harus merasakan malu karena terjerebab ke lantai. Hari ini benar-benar kacau.

"Nggak apa-apa," kata Khirani dengan suara berkumur sembari membuka mata, ia segera bangkit tak menghiraukan uluran tangan Bhanu yang mencoba membantu. Khirani kembali berjalan menuju dapur setelah mengambil nampannya.

"Khi..." lirih Bhanu menatap punggung Khirani hilang di balik meja counter. Bhanu mendesah, kenapa sulit sekali untuk mendekati gadis itu? Bhanu sudah tidak mau memaksa Khirani untuk menjadi violinisnya nanti di pertunjukan. Pemuda itu kini hanya ingin berteman dengan Khirani. Itu saja.

Bhanu kembali berjalan ke meja meski ia masih khawatir dengan Khirani, ia juga merasa bersalah terhadap gadis itu. Tidak seharusnya ia menganggu pekerjaan Khirani seberapa pun rasa penasarannya. Bhanu mengacak-acak rambut, kesal. Tanpa ia sadari, ada sepasang mata serigala menatap ke arahnya dengan tajam.

***

Di atas meja panjang di depan teras gazebo rumahnya yang berada di rooftop itu, Bhanu terlentang berbantal satu lengan menengadah ke langit.

Bertebaran bintang menghiasi cakrawala malam. Tidak begitu indah karena polusi udara kota Jakarta menutupinya. Ia rindu bintang-bintang malam di atas gurun, aurora yang menakjubkan, detik-detik penuh rasa syukur menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan yang beberapa bulan yang lalu ia nikmati secara langsung.

"Khirani..." desisnya lirih.

Bhanu tak menyangka pertemuannya dengan gadis itu di kereta sebulan yang lalu membawanya pada suasana ini. Sesuana yang pernah ia rasakan lima tahun silam.

Suasana yang kadang kala membingungkan dan membuat Bhanu kehilangan akal. Benang kusut seolah membulat tak beraturan di benaknya. Ia ingin mengurangi benang kusut itu melalui ramuan kalimat, tetapi ia tak tahu harus memulai dari mana.

Di matanya, Khirani seperti kaktus di tengah gurun, meski tampak berduri dan nyaris tak berbunga. Ia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk bertahan di teriknya matahari di siang hari dan dinginnya angin di malam hari. Jauh lebih kuat dari yang Khirani sadari sendiri. Meski tubuhnya kecil, Khirani tidak ringkih.

Gadis itu tampak luar biasa di mata Bhanu. Ada daya tarik yang tak mampu dijabarkan dengan kalimat, tetapi daya itu kian menarik Bhanu kuat.

Seberapa pun gadis itu menutup rapat-rapat hatinya, Bhanu malah semakin ingin mengetuk pintu itu untuk membuka mata batin Khirani agar tak lagi menjalani hidupnya dengan satu warna. Bhanu ingin menunjukan betapa kerennya dunia setelah badai berlalu.

Pemuda itu kembali mendesah membayangkan mata bening Khirani yang selalu tampak datar dan sedikit tajam. Tak berselang lama, senyumannya terbit kala mengingat permainan biola Khirani yang sangat menakjubkan.

"Kalau aja dia itu nggak ngeyembunyiin bakat luar biasanya... dia nggak perlu kerja keras setiap hari," monolognya.

"Nafkahi aja, Mas, jadi dia nggak perlu kerja keras tiap hari," celetuk Binna yang baru saja sampai di anak tangga teratas. Gadis itu terkekeh sambil mendekat ke kakaknya yang mendesah berat.

Bhanu bangkit dari gazebo rotan, mengulurkan tangan untuk dicium oleh adiknya, "Dari mana, Dek?"

Binna mengecup punggung tangan Bhanu, kemudian duduk di sebelah kakaknya itu. "Habis bikin konten di rumah temen."

"Ngonten mulu, kuliah gimana?"

"Ck." Binna berdecak sambil melirik Bhanu, "Kuliah aman-aman aja, Mas. Aman terkendali. Kalau udah masuk musim ujian, aku juga break ngonten, kok. Sayang, tahu, kalau beasiswaku dicabut."

Bhanu tersenyum bangga pada adiknya itu, sekaligus merasa iri karena sang adik bisa menjalani mimpi dan pendidikannya secara bersamaan. Namun, ia juga merasa senang karena adik-adiknya tidak perlu mengorbankan pendidikan atau mimpi mereka, tidak seperti dirinya yang harus mengorbankan salah satunya.

"Baguslah." Bhanu mengangguk-angguk sambil mengedarkan pandangannya ke langit yang aksinya itu diikuti sang adik. Di atas teras gazebo, keduanya menengadah ke atas.

"Tadi siapa?"

"Hm? Tadi yang mana?" jawab Bhanu tanpa mengalihkan pandangannya ke atas.

"Ya, tadi..." Binna menoleh ke Bhanu, "siapa yang nggak perlu kerja keras setiap hari?"

Bhanu tersenyum, "Bukan siapa-siapa."

"Ck. Ayolah cerita..."

"Nggak mau, nanti kamu sebarin lagi di sosmed."

"Dih, sok ngartis," cibir Binna. "Aku juga nggak mau kali nyebarin hal pribadinya Mas Nu. Kasihan orang itu kalau sampai terekpos."

"Kasihan?" Bhanu menoleh ke adiknya.

"Hm, kasihan soalnya yang suka sama dia modelan kayak Mas Nu," seloroh Binna diikuti tawa di akhir kalimat.

"Suka?" selorohan Binna tidak masuk ke logikanya, melainkan masuk ke sela-sela pintu benaknya yang menyimpan benang kusut yang beberapa menit lalu menggulung tak beraturan, sedikit terurai karena ujungnya mulai ketemu saat Binna melontarkan kata 'suka'.

Tawa Binna perlahan menyurut, ia terkejut dengan respons kakaknya. Tak berselang lama, gadis itu tertawa kembali, kini lebih keras sampai memegangi perut karena menyadari kakaknya itu memang sedang galau masalah hati.

"Sorry, sorry..." Binna menetralkan tawanya, ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan relaks. "Mas lagi suka sama seseorang, ya?"

"Apaan sih, nggak." Bhanu membantah, belum sempat Binna menyanggah, mulut Bhanu kembali terbuka, "Bukan suka sih, tapi ..." Bhanu mencoba mencari kalimat yang pas dengan gambaran rasa yang terjadi di hatinya sekarang.

"Tapi selalu pengin tahu banyak tentangnya, pengin selalu berinteraksi dengannya. Juga, Mas Nu nggak mau dan nggak tahan ngeliat dia menderita dan susah. Gitu, nggak?"

Bhanu mencoba mencerna semua kalimat yang ditodongkan Binna kepadanya. Satu persatu kalimat Binna mencoba Bhanu cocokan dengan gambaran rasa yang terjadi di hatinya. Seperti kepingan puzzle, kalimat Binna cocok terangkai dan pas di puzzle hatinya. Bhanu mengangguk, mengiyakan.

"Hm, udah jelas itu!"

"Jelas apa?"

"Kalau Mas Nu suka sama dia!"

Bhanu tertawa, selama ini ia menganggap Khirani seperti adiknya. Tidak mungkin ia menyimpan perasaan lebih dari ia menyukai Binna adiknya sendiri. Jika benar ia memang menaruh perasaan suka pada Khirani, sudah pasti itu adalah perasaan yang sama ketika ia menyayangi Binna.

"Mas cuma ... ngerasa kasihan aja sama dia. Dia selalu menatap dunia dengan pandangan yang kosong. Dia tidak punya teman, tidak punya siapa-siapa selain adiknya yang sedang koma. Ya... sekadar itu saja, sih."

Binna meliriknya dengan tatapan curiga dan tak percaya dengan kalimat yang dilontarkan Bhanu barusan.

"Beneran..." Bhanu mencoba meyakinkan.

"Iya, iya, percaya, percaya." Binna mengangguk-angguk meyakinkan, tapi dengan senyuman yang membuat Bhanu tidak nyaman. Senyuman yang masih meninggalkan rasa curiga dan tak mempercayainya. "Eh, ngomong-ngomong tadi aku denger si kembar dapet guru les baru?"

"Hm, katanya... pernah sekolah di ... ituloh yang tiap tahun ngadain konser sama pameran seni."

"Musica Art School?"

"Hm."

"Wew, sepertinya si kembar bakal bisa wujudin mimpi mereka." Binna bangkit dari teras gazebo, "Semangat banting tulang, Mas! Dah, mau mandi dulu aku."

"Siap, semangat kuliah kamu! Jadi dokter, ya!" jawab Bhanu dengan senyuman sambil melihat Binna menuruni tangga.

Binna mengedipkan satu matanya sebelum tenggelam di antara anak tangga.

***

Khirani mendongak ketika mengenali sepatu seseorang berdiri di bawah lampu perempatan jalan menuju indekosnya. Asap mengepul menutupi siluet wajah orang itu. Khirani mendesah, ia kembali menundukan kepala sembari mengayunkan kaki, mencoba tidak mempedulikan kehadiran orang itu.

"Cowok tadi siapa?" suara bariton itu terdengar bersamaan dengan asap rokok mengurai di depan wajahnya, perlahan menampakan mata serigala yang menajam ke arah Khirani.

Khirani pura-pura tidak mendengar, ia terus berjalan melewati pemuda itu.

"Heh!" Garu mencengkeram lengan kanan Khirani, gadis itu mengerjap kaget hingga menjatuhkan keresek berisi mi instan. "Budeg lo, ya?"

Khirani mendongak, dengan tatapan datar ia mencengkeram tangan Garu lalu menempis tangan itu darinya. "Bukan urusanmu."

Khirani memungut keresek yang terjatuh, tiba-tiba kresek itu ditendang keras oleh Garu, mencelat jauh dari tangan Khirani. Tak berselang lama, tangan besar pemuda itu mencengkeram rahang mungil Khirani. Mata serigalanya berkilat-kilat, memancarkan api kemarahan yang membara.

"Jangan karena keluarga gue mutus pembayaran perawatan adik lo, lo bisa kurang ajar sama gue. Utang lo masih numpuk, Bajingan!"

Tak gentar, Khirani menatap tajam balik netra serigala milik Garu, "Lalu apa hubungannya dengan cowok tadi?"

Garu benci tatapan itu, tatapan seorang domba yang tak takut dengan pemasangnya. Tidak ada lagi titik kelemahan yang terpancar, tidak ada lagi tatapan yang membuat hati Garu puas melihatnya. Khirani seolah tawanan yang tengah melepaskan diri dari sarang. Dan Garu sangat membenci itu.

"Tadi siang aku sudah menemui ayahmu, aku akan membayar sisa utang rutin kepadanya langsung melalui transfer. Jadi, aku nggak ada urusan lagi sama kamu!"

Mata Garu mengerjap beberapa kali, wajahnya tampak terkejut dengan kalimat Khirani. Dadanya naik turun menyimpan kemarahan yang memuncak, cengkeram tangannya semakin kuat di rahang mungil Khirani yang kian memerah itu. Garu masih mencoba mencari tatapan yang ia inginkan dari mata Khirani, tetapi pemuda itu tak melihatnya.

Pak! Kemarahan Garu akhirnya meledak, ia melayangkan tamparan ke pipi kanan Khirani. Lalu ia mencengkeram kerah jaket Khirani, bersiap melayangkan tamparan lagi. Namun, Khirani menahan tangan Garu di udara.

"Kamu udah nggak berhak untuk ini lagi, Gaharu." Khirani menggeleng getir, "nggak ada lagi alasan buatku diam dan menerima siksaanmu lagi." Ia menepis tangan Garu kasar.

"Bajingan!" umpat Garu.

Dengan cepat Khirani mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, ia mengarahkan benda itu ke arah Garu. Seperkian detik sebelum pemuda itu menerjang, cairan di dalam benda itu meluncur tepat di wajah Garu. Kontan Garu memekik kesakitan sambil mengusap-usap matanya.

Buru-buru Khirani memungut keresek miliknya yang terlempar, lalu bergegas meninggalkan Garu yang berteriak kepanasan karena cairan merica dari semprotan milik Khirani.

Untuk pertama kali dalam tiga tahun, hatinya merasa lega sudah melakukan hal itu kepada Garu. Meski ia tahu risiko ke depan yang akan dihadapi, Khirani yakin bisa kembali melawannya.

Memang jalan keluar untuk melanjutkan pembayaran perawatan adiknya belum ketemu, tetapi Khirani yakin pasti ada jalan lain dan Garu bukanlah jalan satu-satunya.

*** 

Untuk teman-teman yang masih baca cerita ini, terima kasih banyaaak 🥺
Makin banyak partnya, makin seru. Aku jamin.
Untuk yang tetap setia, aku doakan semoga selalu dilancarkan segala urusan.
Aamiin.

Sampai jumpa hari Rabu 🤍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro