Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kantor Penerbit

"Mas, besok aku ikut ke kantor penerbitmu, ya?"

"Ngapain toh, Bin?" Nawang, ibu mereka menyahuti sambil menata baju Bhanu di lemari.

Binna tersenyum seperti menyembunyikan rencana besar. Bhanu yang membuka ransel berisi buku-bukunya itu menatapnya dengan senyuman seolah tahu rencana sang adik.

"Nggak usah ganggu kerjanya Masmu, Binna," tegur Nawang.

Bibir Binna mengerucut panjang dengan tatapan kecewa mendengar teguran sang ibu. Bhanu yang melihat itu langsung menyahuti, "Ada berapa orang?"

Air muka Binna yang kusut, kontan berubah menjadi cerah. Gigi-giginya terpampang jelas dengan mata yang berbinar. Tebakan Bhanu sepertinya benar, tentang rencana besar Binna menemaninya pergi ke kantor penerbit besok. "Nggak banyak, kok, Mas, cuma dua ..."

"Oh, oke," kata Bhanu bersamaan dengan Binna melengkapi kalimatnya, "puluh..."

"Edan?" kata itu sertamerta keluar dari bibir Bhanu, "Mas besok sibuk."

"Ayolah, Masss..." Binna menggelayut di lengan Bhanu, "lumayan buat beli paket make up-nya Tasya Farasya. Kalau Mas memang mendukung bakat adik, ya bantu dong, ah."

Selain bercita-cita menjadi dokter, Binna juga memiliki mimpi untuk menjadi beauty vlogger, bahkan ia sudah mempunyai kanal youtube dengan jumlah pelanggan melebihi sepuluh ribu. Meski sudah punya penghasilan dari kanalnya, ia masih membutuhkan modal untuk mengembangkan bakat merias, yakni seperangkat alat make-up. Ia tidak mau membebani Nawang untuk membelikan peralatan rias mahal itu dan jalan satu-satunya adalah mendapat modal lewat jalur kepopuleran sang kakak.

Sebagai penulis yang memiliki sisi kemisteriusan, Bhanu sangat sulit dijangkau pembacanya. Ia tak memiliki sosial media apa pun. Pembaca hanya bisa melihat Bhanu di peluncuran buku atau seminar-seminar kepenulisan. Oleh karena itu, Binna mengambil kesempatan kepada pembaca loyal yang mau membayar sejumlah uang agar bertemu, berfoto dan memiliki tanda tangan sang kakak. 

Dan ini bukanlah yang pertama, adiknya itu sudah memperalat Bhanu sejak lama. Dari yang hanya ucapan selamat ulang tahun kepada pembaca sampai hadir di acara pernikahan salah satu pembacanya, tentu saja keuntungan seratus persen milik sang adik. Meski terlihat misterius dan membatasi interaksi dengan pembaca, sebenarnya Bhanu tidak merasa terbebani, ia merasa senang melihat wajah-wajah yang mencintai karyanya. Hanya saja, Bhanu lebih ingin cintai karyanya daripada fisiknya.

"Dapat berapa kamu?"

Binna menyengir, "Satu orang lima puluh ribu, dengan treatment selfie, sign and hug."

"Peluk?"

"Eh, eh, apa iku peluk-peluk?" sahut Nawang.

"Binna 'ngejual' Bhanu lagi, Bu," kata Bhanu sambil menata catatannya di rak buku.

Sebelum Nawang mengeluarkan kata-kata mutiara, Binna langsung meloncat ke arah sang ibu dan menggelayut di lengannya. "Kali ini para senior Binna, Bu, dari fakultas kedokteran. Ya siapa tahu salah satunya bisa jadi jodoh Mas Bhanu. Ih, bayangin punya mantu dokter, Bu, keren, kan?" rayu gadis tujuh tahun lebih muda dari Bhanu itu

Wajah ibu yang mula mau memarahi Binna itu berubah ketika mendengar kata 'jodoh Mas Bhanu', rautnya kini sama-sama berbinar dengan Binna. "Ide bagus tuh, Le. Turutin aja adikmu."

Bhanu menatap kecut ke arah Binna, sambil melangkah keluar kamar Bhanu mencibir, "Dasar kucing yang licik."

"Maass!" pekik Binna tak terima disebut kucing oleh kakaknya.

***

Orang yang terlahir di keluarga berada, tidak menjamin masa depannya akan menikmati hak istimewa. Orang yang sejak kecil hidup dengan kemudahan, tidak tentu hidupnya akan selalu mudah. Orang yang memiliki kesempurnaan, tidak tentu akan selalu sempurna. Ada yang dianugerahi kemolekan fisik, tetapi nasibnya nahas. Ada yang dianugerahi kecerdasan, tetapi tak punya keberuntungan yang besar. Ada yang dianugerahi kekayaan, tetapi batinnya kerap menderita. Betapa adilnya Tuhan menciptakan manusia dengan segala otoritasnya yang Maha Tinggi.

Siapa yang akan menyangka seorang pengrajin kayu bisa menjadi orang nomer satu di Indonesia, siapa yang akan menyangka bahwa Lady Diana yang cantik jelita memiliki kisah yang memilukan bahkan sampai akhir hayatnya. Begitu pula Khirani, siapa yang akan menyangka bahwa idola belia itu akan menjadi seseorang yang terpinggirkan.

Dulu ia selalu duduk di depan, wajahnya riang tampak seperti porselen hidup yang mampu membuat siapa saja jatuh hati kepadanya. Jangankan siswa atau pun guru, bahkan tukang kebun dan satpam sekolah pun akan selalu menyapanya. Kehadirannya seperti putri kerajaan yang disayang banyak rakyat.

Namun, saat nasib buruk menyapa. Khirani duduk di bangku paling belakang, di dekat jendela kelas. Selalu tampak murung, kadang ia menenggelamkan wajah di antara lengan, kadang pula ia hanya duduk melamun menghadap keluar jendela kelas. Tidak ada teman yang mau mendekat, tidak ada seseorang yang mau tahu kabarnya hari itu, tidak ada siapa pun yang mau memperhatikan.

Sejak ayahnya resmi menjadi terdakwa pembunuhan dan korupsi, sikapnya berubah menjadi antisosial dan menjaga jarak dengan orang lain. Hal itu menjadikannya seperti siswa buangan. Tidak ada yang mau mengajaknya mengobrol, kecuali bendahara kelas menagih iuran dan ketua kelas memberinya tugas piket. Hanya ada satu siswa yang mau mendekati dan Khirani benci siswa itu, yakni Gaharu Svarga. Pemuda itu menjadi satu-satunya siswa yang berinteraksi dengan Khirani, tentu saja dengan sikap yang kasar dan kerap menggangu.

Setelah Khirani mengundurkan diri dari sekolah pun, Garu masih mengganggunya. Bahkan pemuda itu menjadi penagih utang yang seharusnya bukan tugasnya. Garu seperti magnet menyakitkan yang selalu menyiksa batin dan fisik Khirani.

Selain bekerja paruh waktu di beberapa tempat, Khirani juga bekerja di sebuah perusahaan penerbitan buku di bagian distribusi, kadang ia bekerja memindahkan buku-buku di gudang, kadang membungkus buku pesanan daring, kadang pula mengantar buku ke toko-toko terdekat. Ia juga tidak bisa menghindar dari titah para karyawan untuk membantunya melakukan pekerjaan lain seperti menyiapkan ruang rapat.

"Khirani, siapkan rapat sebentar lagi di lantai atas ya," ujar Aminah, pemimpin redaksi sekaligus direktur utama di Penerbit Cakrawala, yang menjadi satu-satunya orang paling ramah kepada Khirani di kantor ini.

Khirani yang baru saja menata buku-buku di gudang itu mengangguk, tanpa kata dan juga tanpa ekspresi apa pun. Ia bergegas mencuci tangan lalu menyiapkan perlengkapan rapat. Memasang proyektor dan laptop, membersihkan ruang rapat, dan juga menyiapkan minuman di meja.

"Selamat datang, Bhanu Brajasena! Penulis andalan kita, akhirnya balik juga dari pengembaraan."

Suara Endro, salah satu editor senior dan wakil pemimpin redaksi yang terkenal paling sadis saat mengedit naskah. Umurnya baru menginjak tiga puluh tahun, tetapi wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Tampak garis-garis keriput di sudut matanya, rambutnya yang keriting itu dibiarkan panjang sebahu, lebih lagi kumis tebal dan jenggotnya sangat mendukung wajahnya tampak seperti bapak-bapak, padahal istri saja belum punya. Meski sadis saat mengedit naskah, tetapi ia editor yang akrab dengan banyak penulis besar, termasuk Bhanu Brajasena.

Semua orang terdengar menyambut antusias pemuda itu, ada yang berlari dari ruang administrasi, dari lantai bawah, dari sudut mana pun dari kantor ini untuk menyambutnya. Mereka seperti tengah menyambut seorang aktor kenamaan.

Memang benar, Bhanu Brajasena layaknya aktor kenamaan di dunia literasi. Ia penulis muda yang pernah memenangkan berbagai penghargaan, novel-novelnya selalu memecahkan rekor penjualan, bestseller dan diadaptasi dalam medium audiovisual. Film 'Hujan Menyapa Tangismu' yang diadaptasi dari novelnya setahun yang lalu pun sukses besar. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Bhanu meraih kesuksesannya menjadi seorang penulis.

"Ayo, ayo, kita langsung saja ke ruangan." Mendengar itu, buru-buru Khirani mengangkat kantong plastik sampah dan berjalan keluar ruang rapat.

Mereka saling berpas-pasan di depan pintu ruang rapat. Ketika semua orang bersuka cita menyambut Bhanu, Khirani tampak biasa saja, bahkan ia enggan untuk melirik penulis yang setiap hari ia baca novelnya itu. Khirani sama sekali tidak tertarik dengan siapa pun.

***

Pukul empat sore tepat, Khirani bangun dari tempatnya membungkus semua pesanan buku. Semua pesanan yang dibungkus itu ditata rapi di dekat pintu gudang agar memudahkannya memindah ke mobil ekspedisi besok pagi. Bersamaan dengan itu terdengar langkah kaki dibarengi obrolan ringan di tangga, karyawan sedang bersiap untuk pulang.

"Hari Minggu kamu kemana, Dek?" tanya Sugik, salah satu rekan kerjanya di gudang.

"Kerja," jawab singkat Khirani sambil memasukan satu novel Bhanu Brajasena berjudul 'Rembulan Memeluk Matahari' ke dalam tasnya.

"Kamu nggak minta tanda tangannya? Mumpung penulisnya lagi di sini tuh," usul Sugik saat melihat aksi Khirani.

Bukannya menjawab, Khirani malah melenggang keluar gudang. Tentu saja dengan cibiran sinis Sugik yang mengomentari sikap apatis juniornya itu. Wajahnya yang manis, tetapi tak semanis sikapnya, semua karyawan di sini tidak habis pikir dengan sikap antisosial Khirani. Hanya Aminah saja yang memaklumi sikap Khirani tanpa mencibirnya seperti yang lain.

Bersamaan dengan dirinya keluar dari gudang, Bhanu dan beberapa karyawan lantai atas juga sampai di lantai bawah. Tanpa ada rasa sungkan, Khirani melangkah melewati mereka begitu saja. Seolah menganggap tak ada manusia lain di sana selain dirinya.

"Astaga, ini anak benar-benar! Kalau bukan karena Bu Aminah, udah dipecat sejak dulu," cibir Endro.

Bhanu hanya tersenyum tipis menanggapi omongan Endro. Mereka kembali berjalan menuju teras kantor. Bola mata Bhanu menangkap bayangan mungil gadis itu menyeberang jalan raya lalu duduk di kursi halte bus.

"Dia kerja di bagian mana?" tanya Bhanu penasaran.

"Khirani?" tanya balik Endro.

"Namanya Khirani?"

"Di bagian gudang, yang tukang bungkus buku-buku, nganter ke toko buku kadang, yang berhubungan dengan pendistribusian buku deh."

Bhanu kembali menganggukkan kepalanya, "Udah lama kerja di sini?"

"Setahunan kayaknya, itu aja karena dia anaknya yang punya Jaya Percetakan. Dulu kami jadi langganan cetak buku di sana. Tahu, kan? Yang bangkrut gara-gara yang punya kena skandal pembunuhan dan korupsi?"

Bhanu terlihat mengingat-ingat, beberapa detik kemudian, "Oh, iya. Buku-buku saya sebagian cetak di sana, kan?"

"Hm, betul. Nasibnya benar-benar buruk. Ibunya minggat, adiknya koma di rumah sakit, dia putus sekolah. Untung ketemu sama Bu Aminah, Bu Aminah dulu pernah kerja di Jaya Percetakan. Beliau yang ngajak dia kerja di sini."

Bhanu menoleh ke arah Khirani yang saat itu hanya duduk melamun dengan tatapan kosong sembari memasukan dua tangannya ke dalam saku jaket.

"Dia penggemar buku Anda loh, Mas Bhanu." Sugik datang dari arah belakang, "tiap ada keluaran buku baru, dia selalu meminta satu buku untuk dibawa pulang. Hari ini dia membawa buku 'Rembulan Memeluk Matahari.'"

"Oh, ya?" Bhanu tampak senang mendengar itu. Namun, ekspresi senang itu tidak bertahan lama, "Tapi, kok, tadi nggak nyapa saya, ya?"

"Ya, begitulah, dia itu ... antisosial banget. Nggak punya sopan santun, pokoknya attitude-nya nol. Tapi, dia lumayan pekerja keras sih," ujar Endro.

"Dia itu bukan antisosial, cuma menutup diri aja karena kasus ayahnya. Ya, maklum saja kalau sikapnya seperti itu. Kalian ini biasaan banget ngomong buruk tentang Khirani." Aminah datang dari belakang, yang juga bersiap untuk pulang.

Bukan hanya karena memiliki rasa empati yang tinggi, Aminah yang selalu memakai kerudung Rabbani itu memiliki alasan yang kuat untuk menolong Khirani dan mengajaknya bekerja di perusahaannya. Perempuan empat puluh tahun itu pernah ditolong oleh ayah Khirani saat usaha penerbitannya mengalami kolaps. Dari banyaknya orang yang tak mau mengulurkan tangan, hanya ayah Khirani yang mau membantu. Sejak mendengar kasus Romi yang menggegerkan, Aminah langsung mencari Khirani dan adiknya, butuh dua tahun lebih untuk mereka bertemu karena Khirani selalu pindah-pindah indekos setelah keluar dari rumah pamannya. Aminah merasa prihatin ketika bertemu Khirani yang saat itu dalam keadaan paling nadir, memeluk lutut dengan wajah pucat di lorong rumah sakit.

"Ya emang gitu faktanya," kata Endro.

"Sebentar, ya, Mas." Sejurus kemudian Bhanu mengambil langkah keluar teras kantor dan berjalan menyeberangi jalan.

"Loh, mau ke mana, Dek Bhanu?" tanya Endro bingung.

"Udah biarin aja, Mas Sugik tunggu bentar sampe Bhanu kembali, ya," arah Aminah sembari memandang punggung Bhanu, detik itu Aminah tersenyum.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro