Hari Pertunjukan
Orang pernah bilang, habiskan jatah gagalmu di usia muda, kelak kamu akan menikmati masa sukses lebih lama. Tidak apa-apa dengan kegagalan, karena terkadang kekuatan besar itu datang dari pahitnya kegagalan. Orang yang memanfaatkan kesempatan meski belum yakin dengan hasilnya adalah orang yang sudah siap untuk bangkit dan sukses.
Khirani tidak sedang bernasib jelek, tetapi sedang mengambil semua jatah gagalnya di dunia. Gagal menjadi violinis muda, gagal menjadi mahasiswi kampus musik ternama, gagal menjadi juara, gagal menjadi manusia sempurna. Ia telah meraup lebih dari separuh jatah kegagalannya.
Ia akan mencoba untuk berdamai dengan semua kegagalan itu, perlahan dan tak perlu terburu-buru, yang penting tidak jalan di tempat seperti Khirani yang beberapa bulan yang lalu, saat Bhanu belum hadir dalam hidupnya.
"Oh—my—God!" ujar Binna setelah baru saja memoles bibir Khirani.
"Kenapa?" tanya Khirani, takut jika ada yang kurang.
Binna terpantik, seperti bertemu dengan ingatannya yang pernah hilang, melihat Khirani yang sangat luar biasa cantik, ia persis seperti Khirani saat di masa jaya, aura berkelasnya menguar, bak putri bangsawan.
"Aku baru inget, Kakak dulu pernah ikut acara Miss School nggak? Sekitar empat tahun yang lalu."
Khirani mencoba mengingat sebentar, kemudian mengangguk saat tahu kontes mana yang dimaksud Binna. Sebuah kontes kecantikan dan bakat antar sekolah, Khirani pernah tampil menjadi peserta dan keluar sebagai juara pertama. Permainan biolanya paling ikonik di acara tersebut, membuat semua orang berdecak kagum, termasuk Binna.
Kecantikan dan kharisma Khirani di panggung membuat Binna terinspirasi, sejak itu Binna berkeinginan ingin menjadi seorang make up artis, ingin sekali memoles wajah Khirani dengan kuas make upnya.
Binna menangis haru, keinginan empat tahun silam itu terwujud. Gadis itu tersenyum sambil menangis dan memeluk Khirani.
"Kamu bakal jadi make up artis suatu saat nanti, yakinlah. Seyakin keinginanmu empat tahun silam, semua ada waktunya untuk terwujud," kata Khirani.
"Begitu juga dengan Kakak," balas Binna, "yakinlah Kakak bisa bersinar kembali."
Khirani tersenyum kemudian mengangguk kecil.
"Oke, step terakhir," kata Binna seraya mengambil slayer kain polos berwarna senada dengan dress yang dipakai Khirani.
Slayer itu dijahit khusus oleh Nawang, ada pengait telinga, ada bordiran bunga matahari di bagian bawah. Meski sederhana, sewaktu dipakai Khirani slayer itu tampak anggun, apalagi ketika Khirani membuka mata, mata beningnya yang sudah dipoles itu menjadi sorotan paling cantik.
Seseorang mengetuk pintu ruang rias.
"Dek, udah belum?"
"Udah dong!" kata Binna setelah membuka pintu. Pandangan Bhanu langsung tertuju pada Khirani yang masih menghadap cermin rias.
Pantulan bayangan Khirani di cermin mengerjapkan mata Bhanu beberapa saat. Ia berusaha untuk tidak terpanah pada kecantikan gadis itu, mencoba untuk sadar diri bahwa Khirani telah menolak cintanya.
"Bagus, kita mau mulai sebentar lagi. Suruh Khirani—"
Tiba-tiba Binna menarik tangan Bhanu untuk masuk ke dalam ruang rias, "Minta pendapat Mas Nu, ada yang kurang nggak?"
"Hah?" Bhanu terlihat terperanjat, ia sudah ingin kabur dari sini menghindari perasaannya semakin jatuh pada gadis yang telah menolaknya, tetapi sang adik malah menyeretnya mendekat.
Khirani berdiri dari kursinya, perlahan membalikkan badannya menghadap Bhanu dan Binna.
Khirani memilih dress pink flowers yang memiliki detail bunga dan aksen ruflles menyilang ke bahu kanan, panjang dress itu menjuntai sampai mata kakinya di antara detail bunga ada pernik glitter yang menyilau-nyilau saat terkena cahaya. Rambutnya di biarkan tergerai sempurna dengan kepang bando di tarik ke belakang, ditautkan dengan satu pita berwarna senada.
Bhanu tidak bisa menahan diri untuk tidak memandang Khirani, pemuda itu terpukau dengan penampilan Khirani, ia tak menampik bahwa ia sangat mengangguminya.
"Gimana, Kak?"
"Sempurna," ucap Bhanu setelah nyaris satu menit terpaku pada kecantikan Khirani. Di balik slayer penutup wajahnya, Khirani tersenyum tipis.
Laki-laki itu juga rapi dengan turtleneck berwarna hitam yang dilapisi coat berwarna krem dan celana denim, pakaian Bhanu lebih casual karena menyesuaikan narasi yang akan ia baca. Rambutnya ditata rapi dengan gaya dandy, aksen poni bagian depannya dibentuk menyamping. Ketampanan yang selama ini sembunyi di balik gayanya yang serabutan, akhirnya menguar.
"Kalau begitu, ayo foto." Binna mendorong Bhanu untuk mendekat ke Khirani, berdiri di samping gadis itu.
Ke dua insan itu mendadak kikuk, Binna melihat jelas ada jarak yang sedang mereka ciptakan.
"Deketan ah, kek musuhan aja."
"Ehem," deham Bhanu, ia mendekat dua langkah. Masih ada sela di antara mereka.
"Lebih dekeeet!" titah Binna sambil menenteng kameranya. Bhanu dan Khirani saling mendekat dengan canggung menuruti titah gadis itu.
"Okeee... satu... dua... cheese!"
Jepret! "Sekali lagi, Kak Khi buka slayernya biar kelihatan wajahnya. Aku jamin aman, kok, buat koleksi pribadi. Boleh?"
"Hm." Khirani mengangguk kecil, kemudian perlahan melepas slayer yang menutupi setengah wajahnya. Awalnya Bhanu tak mau melirik, tetapi ujung matanya menangkap bayangan wajah Khirani yang dipoles cantik.
Bhanu menoleh, pemuda itu langsung terpaku kagum dengan garis wajah Khirani yang seperti tampak sempurna di matanya.
"Cantik banget," ucap Bhanu lirih dan tidak sadar saking terkagumnya.
"Hm?" Khirani menoleh.
Jepret! Binna mengabadikan momen saat Khirani dan Bhanu saling menoleh dan bertatapan. "Dah, bagus nih! Yuk ke depan!" ajak Binna, tetapi dua orang di depannya itu masih saling tatap.
Binna menahan senyum, sejak awal Binna sudah merasa kalau ada sesuatu di antara mereka. Apalagi tadi malam Binna menyadari air muka Khirani yang tampak cemburu saat ia menceritakan kisah kakaknya dengan Shireen. Binna seratus persen yakin kalau Khirani juga menyukai kakaknya itu.
"Mas Nuuu!" panggil seseorang dari arah pintu, "ayo ke depan!" Shireen masuk ke ruang rias, memutus kontak mata antara Bhanu dan Khirani.
"Oh, iya, ayo..." Bhanu beranjak dari tempatnya meninggalkan Khirani. Pemuda itu keluar bersama Shireen.
"Cih, menganggu aja," cibir Binna, "ayo, Kak."
"Hm." Khirani menarik napas panjang meredam dadanya yang nyeri karena melihat Bhanu bersama Shireen. Ia harus fokus untuk pertunjukan sebentar lagi.
Sebelum memulai pertunjukan, semua berkumpul di belakang panggung. Semua staff kecuali yang bertugas di pintu masuk melakukan doa bersama. Pertunjukan yang sudah disiapkan berminggu-minggu semoga lancar tanpa kekurangan. Wajah semua orang tampak tegang, apalagi Aminah yang baru saja mendapat kabar bahwa semua undangan penting sudah hadir, ia semakin tegang luar biasa.
"Mari kita berdoa semoga acara sukses sampai akhir, berdoa mulai..." pimpin Aminah.
Semua orang menundukan kepala, merapal kalimat pengharapan kepada Sang Pencipta agar melancarkan acara ini. Satu menit berakhir, doa selesai. Semua diminta untuk tetap fokus selama jalannya acara, jika ada yang kurang haru segera lapor dan bertindak.
"Bismillah, sukses!" pimpin Aminah kembali yang disahuti dengan kata 'sukses' oleh semua orang. "Oke, kembali ke tempat masing-masing, acara lima menit lagi dibuka."
"Khirani, kamu siap?" tanya Aminah sebelum ia pergi untuk memberi sambutan di panggung.
Khirani bergeming sesaat, ia mencoba menelusuri perasaannya sendiri. Napasnya memburu sesaat, ada sesak yang perlahan merembet memenuhi dadanya, ada perasaan mual tiba-tiba muncul dalam perutnya.
Ingatan tentang hari besar tiga tahun silam mengejutkan hadir di benak Khirani saat ini. Rentetan penghinaan, perundungan, momen tangisan, pelecehan di panggung dan terakhir ingatan dirinya hengkang dari Musica Art School tergambar jelas dalam benaknya. Semua kenangan buruk itu silih berganti mengisi ruang ingatannya.
Tangan Khirani bergetar, napasnya terbata-bata, mendadak sekujur tubuhnya merinding dan rasa takut mulai merembet dan meraksasai.
"Khi?"
Khirani terpantik saat tangannya tersentuh oleh seseorang. Gadis itu menoleh dan mendapati tatapan sendu Bhanu menatapnya. Sabit senyum pemuda itu tergambar, secara ajaib meluruhkan segala rasa takut dalam dada Khirani.
"Kamu pasti bisa," ucap Bhanu lembut sambil mengusap punggung tangan gadis itu. "Kamu adalah Gantari, kamu pasti bersinar."
Khirani menarik napas panjang, kemudian mengembuskan pelan. Napasnya mulai teratur, degub jantungnya mulai melaju normal, ia mengangguk pelan sembari tersenyum.
"Aku siap, Bu Aminah," ucapnya, meski dengan masih bergetar.
Semua orang tampak melega, begitu juga dengan Aminah. Wanita itu mendekat dan memeluk Khirani, ia tak bisa menahan tangisnya, "Kamu pasti, Khi. Kamu sangat berbakat, kamu pasti bisa kembali ke panggung. Hm?"
Khirani mengangguk, ia kemudian menoleh ke Bhanu yang masih menggenggam erat tangannya, pemuda itu melepar senyum percaya bahwa Khirani mampu dan bisa menghadapi segala trauma buruknya di atas panggung dan kembali bersinar.
"Oke!" Aminah melepas pelukan dan menyeka air matanya, "ayo semua bersiap!"
Satu per satu meninggalkan belakang panggung, menyisakan Khirani, Bhanu dan Reyko saja.
"Aku di belakangmu, aku mendukungmu, apa pun yang terjadi nanti. Aku akan membantumu," ucap Reyko yang saat ini ia memakai tuxedo rapi sebagai pianis.
Khirani mengangguk, "Terima kasih, Rey."
"Aku percaya sama kamu, kamu pasti bisa," imbuh Bhanu.
"Hm, makasih... Mas Nu."
Setelah sambutan dari Aminah dan sambutan spesial dari sastrawan Elmanik Sastrowoyo, pembawa acara mulai memberi aba-aba bahwa acara inti akan segera dimulai. Riuh tidak sabar dari penonton yang memenuhi trimbun gedung teater tersebut terdengar menyeluruh. Semua sudah menantikannya.
Tirai panggung di tutup sementara. Khirani meraih biola dan bow-nya kemudian berjalan ke tempatnya menyusul Bhanu yang sudah duduk di kursinya dan Reyko yang sudah siap di depan piano.
Gedung terdengar senyap menantikan detik-detik acara storytelling dari Novel Gantari akan dimulai.
Bhanu menoleh ke arah Khirani, gadis itu tampak mencoba bersahabat dengan degup jantungnya yang melaju naik turun, ia mulai kembali terserang kepanikan. Berdiri di panggung setelah sekian lama di depan banyak penonton ternyata tidak mudah. Khirani memejam, mencoba menarik napasnya dengan tenang.
Kemudian ia mengangkat biolanya ke bahu kiri, tak bertahan lama, biola itu kembali diturunkan. Rasa panik kembali menyerangnya.
Bhanu berdiri dari kursinya, memberi aba-aba kepada time keeper untuk menunda sebentar. Pemuda itu berjalan ke arah Khirani yang saat itu berdiri di atas papan kecil di sisi kiri panggung.
"Khi?"
Napas Khirani kembali memburu, ia jelas kehilangan kendali dirinya. Bhanu membuka slayer penutup wajah Khirani, kemudian menyentuh dua pipi Khirani dengan tangannya. Mata Khirani terbuka dan menatap sedu netra Bhanu.
"Tenang..." ucap Bhanu, "kamu nggak sendirian, ada aku di sini." Bhanu mengusap lembut pipi gadis itu.
"Kamu nggak sendirian lagi, Khirani..." sendu Bhanu mengucap penuh dengan rasa tulus dari tatapannya.
Serangan panik Khirani mereda, usapan lembut tangan Bhanu menenangkan. Serta tatapan tulus pemuda itu juga membuat hatinya menghangat. Rasa takut perlaha sirna, melebur musnah menjadi rasa percaya diri yang mulai hadir.
Bhanu melepas sentuhan di pipi Khirani, pemuda itu kembali memasang slayer penutup wajah gadis itu.
"Ada Bu Aminah di depan kursi paling depan, beliau yang akan maju duluan membelamu jika sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Sementara aku ada di sini, membuka lebar tanganku untukmu berlindung. Hm?"
Khirani mengangguk.
"Kamu cantik, kamu berbakat, kamu harus percaya diri, oke?"
"Hm."
"Siap?"
Khirani menarik napas panjang sekali lagi kemudian mengangguk sambil berkata, "Siap."
"Bagus." Bhanu berjalan kembali ke kursinya, ia memberi aba-aba timekeeper untuk memulainya.
Khirani mengakat biola dan bownya ke bahu kiri, gadis itu memejam menunggu tirai dibuka dan opening dari piano Reyko.
Hari ini telah tiba, hari yang tak pernah Khirani bayangkan sebelumnya. Berdiri di atas panggung memakai dress, lampu menyoroti dirinya, dengan biola yang siap berdansa dengannya.
"Diandra, Kakak kembali ke panggung hari ini. Semoga hari ini kamu juga kembali ke Kakak. Setelah ini Kakak tidak akan pernah melarikan diri lagi, Kakak akan menghadapi kenyataan dan menerima takdir. Ayo kita melangkah bersama mewujudkan mimpi yang tertunda. Setelah ini Kakak tidak akan sembunyi lagi, Kakak akan menjadi Khirani yang dulu, yang amat kamu kagumi."
Tirai panggung perlahan di buka, sorakan dan tepuk tangan para penonton seperti deburan ombak menyambut. Khirani membuka mata, kilauan masa itu kembali di hadapannya dalam bentuk yang nyata, yakni panggung dan penonton.
***
Sampai Jumpa hari Senin wkwkwk
Terima kasih sudah membaca cerita ini, ya. Yang saya DM, tolong dibalas buat saya transfer pulsanya, insyaallah hari ini. Masih milih milih nih, berdoa semoga rejeki.
With Love, Diana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro