H-Satu
"Dia udah pergi?"
"Iya, padahal udah Ibu paksa buat nunggu sarapan dulu, tapi kayaknya dia buru-buru," jawab Nawang sambil menata piring di meja makan.
Bhanu duduk di kursi meja makan, menghela napas panjang seolah mengeluarkan segala sesak di dalam dadanya.
"Dia nggak bilang?" tanya Nawang.
Bhanu menggeleng, "Dia bilang mau ke mana, Bu? Kantor masih belum buka."
"Hm?" Nawang mengerutkan kening, "tapi dia bilang mau ke kantor. Katanya kantor sibuk buat acara besok."
Padahal kantor sudah menyelesaikan semua persiapan sejak tiga hari yang lalu, Khirani memang sengaja menghindarinya. Bhanu kembali menghela napas panjang.
"Ngopo toh napasnya kayak gitu?" tanya Nawang.
"Nggak apa-apa, Bu. Bhanu cuma capek."
"Ck, nggak usah capek-capek, besok udah pertunjukan, jangan sampe sakit, bisa berantakan semuanya. Habis ini Ibu beliin madu, ya? Kamu harus jaga stamina." Nawang menata semua lauk di atas meja, kemudian berjalan menuju kamar si kembar, "Non, Nan, ayo sarapan!"
Pandangan Bhanu menerawang, benaknya memutar ingatan tentang tadi malam.
"Aku nggak punya waktu untuk menjalin hubungan seperti itu. Masalahku sudah terlalu banyak. Aku nggak mau menambah masalah lagi. Lagipula, aku tidak pantas kasmaran di atas penderitaan adikku yang koma di rumah sakit. Maaf, Mas Nu, aku nggak bisa."
Bhanu kembali menghela napas panjang, seolah tidak ada habisnya sesak di dalam dadanya mengingat penolakan Khirani.
"Aku pikir kamu punya rasa yang sama."
"Setelah aku pikir-pikir, aku salah mengartikan rasa yang aku miliki buatmu." Khirani menggeleng, "aku nggak punya rasa spesial, sedikit pun. Aku hanya menganggapmu sebagai teman, nggak lebih."
Bhanu tersenyum kecut, ia tak menyangka jika akhirnya ditolak oleh Khirani. Bhanu tidak sedang percaya diri, tidak juga salah mengartikan tatapan Khirani, Bhanu rasa Khirani punya alasan lain menolaknya.
Bhanu merasa kecewa pada dirinya sendiri karena tidak sabaran, seharusnya pernyataan komitmen itu ia lontarkan setelah pertunjukan, bukan setelah Khirani bertengkar hebat dengan pemuda yang dulu Khirani cintai.
"Goblok banget," rutuk Bhanu.
"Heh, heh, apa itu ngomong kasar depan makanan. Nggak boleh! Ndak ilok," sahut Nawang mendengar rutukan putranya. Ndak ilok—pamali.
"Ngapunten." Bhanu meminta maaf, "Bu, Bhanu pergi dulu, ya."
"Nggak sarapan?"
Bhanu berdiri dari kursinya, "Nyusul Khirani, nanti sarapan bareng."
"Tak bawain bakal kalau gitu, sek tunggu bentar." Nawang melesat menuju dapur untuk mengambil kotak bekal. Begitu siap, Nawang berpesan agar Bhanu beneran memastikan Khirani sarapan, mengingat tadi malam gadis itu hanya makan sedikit.
"Ajak dia ke sini lagi, ya, Le. Ibu masih takut dia sendirian. Ngeri Ibu denger ceritanya dari Reyko tadi malem."
"Nggeh, Bhanu pamit. Assalamualaikum." Bhanu mencium punggung tangan Nawang.
"Walaikumussalam."
Bhanu keluar dari rumahnya, ia sengaja tak membawa mobil karena mau naik bis dan kereta, barangkali bertemu Khirani di sana. Pemuda itu juga berulang kali menghubungi nomer Khirani tapi tak ada jawaban.
Bhanu mengakui ini salahnya, ajakan komitmen tadi malam adalah kesalahannya. Ia tak menyangka Khirani menolak, ia juga tak menyangka Khirani menghilang pagi ini, padahal besok adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Jangan sampai Khirani tidak datang dan pertunjukan berantakan.
Di dalam kereta sambil mengedarkan pandangan mencari sosok Khirani, Bhanu menghela napas berat.
"Kamu ngajak dia pacaran?"
"Iya, Ze."
Terdengar helaan napas panjang yang serupa di belahan Istanbul melalui sambungan telepon. Teyze tak lantas menjawab, bibinya itu terdengar kecewa.
"Aku... Cuma nggak mau kayak yang udah-udah. Aku bodoh, Ze. Beneran, cuma aku nggak mau terlambat kayak dulu."
"Iya, Teyze ngerti. Tapi ya... ck, kasusnya ini beda, Le." Jika Teyze sudah menyebut panggilan Bhanu dengan Le sama artinya dengan Teyze membenarkan kebodohan keponakannya itu.
"Iya, Ze, aku yang nggak sabaran."
"Yowis, sekarang kamu minta maaf sama dia. Jangan sampe dia bangun benteng lagi, mengisolasi dirinya sendiri dari orang lain, apalagi ke kamu."
"Masalahnya, aku nggak tahu dia di mana sekarang, Ze. Dia sengaja ngindarin aku. Aku udah nyari dia ke mana-mana, tapi nggak ketemu."
Teyze kembali menghela napas panjang, usaha yang selama ini Bhanu bangun unuk membuat Khirani terbuka, hancur dalam semalam. Teyze akui, Bhanu membuatnya kecewa.
Setelah keliling kota Jakarta, dari halte ke halte, dari stasiun ke stasiun, bahkan Bhanu mengunjungi bekas kantor ayah Khirani, ke taman, ke semua tempat yang Bhanu tahu pernah melihat Khirani di sana, tapi nihil. Gadis itu tak nampak jua, sampai sarapan dalam bekal yang dibawa Bhanu menjadi dingin. Khirani tak juga ketemu.
Bhanu memutuskan untuk ke kantor penerbit setelah mendapat panggilan dari Aminah, ada seseorang yang datang mencarinya.
***
"Nggak geladi bersih sekarang, Mas?" tanya Sugik, melihat Bhanu baru saja masuk di pintu utama.
"Rencananya nanti malam," jawab Bhanu, rencananya memang mereka akan melaksanakan geladi bersih nanti malam di panggung. "Saya pikir kantor sepi, Mas. Katanya semua persiapan udah selesai."
"Ya, tapi, kan pesanan buku lain harus tetap di antar toh," jawab Sugik yang sedang sibuk mengangkat satu dus berisi buku.
Mendengar itu, buru-buru Bhanu berlari ke arah gudang. Begitu sampai, pemuda itu bernapas lega saat melihat Khirani sedang sibuk membungkus novel. Rasanya ingin tertawa keras untuk menertawai kebodohannya lagi kali ini. Sama sekali tidak ada di pintasan benak Bhanu kalau hari ini Khirani tetap kerja membungkus novel.
Pandangan mereka sempat bertemu, hanya sekilas sebelum akhirnya Khirani kembali berjibaku dengan novel-novel lain.
"Oh, ya, Mas Bhanu. Ada yang nyari di atas, di kantornya Bu Aminah," kata Sugik memutus perhatian Bhanu ke arah Khirani.
"Siapa, Mas?"
"Ndak tahu, tapi katanya teman SMA-nya sampeyan," kata Sugik.
Tak mau menebak siapa, Bhanu bergegas menuju ruangan Aminah di lantai dua.
Khirani menoleh ke arah pintu gudang, pandangan gadis itu yang datar berubah menjadi sedu. Keputusannya menolak Bhanu tadi malam tidak sepenuhnya betul. Hati kecilnya mengelak, ia tidak menampik bahwa ia juga berdebar setiap kali dekat dengan Bhanu. Bahwa ia juga bahagia dengan ajakan Bhanu, hanya saja ia merasa tak pantas menerima ajakan itu.
Masa lalunya kelam, keluarganya berantakan, ayahnya seorang pembunuh, ibunya menghilang tidak jelas di mana keberadaannya sekarang. Belum lagi, ia terlilit utang dengan renternir yang jumlahnya tidak sedikit, tiga digit yang entah kapan akan lunas. Alasan lain juga karena Khirani merasa bukan saatnya bahagia di atas penderitaan sang adik yang sedang berjuang hidup di rumah sakit.
Khirani tidak punya waktu untuk menjalin hubungan. Ia sibuk mencari nafkah untuk dirinya, melunasi utang dan biaya perawatan rumah sakit adiknya. Ia tak mau menyakiti Bhanu dengan sikapnya yang mungkin suatu saat nanti membuat Bhanu jenuh.
"Khi, resinya habis, tolong kamu yang ambil, ya, di atas. Aku mau buat kopi dulu, ngantuk. Kamu mau juga, nggak?" kata temannya.
Khirani menggeleng, menyelesaikan satu bungkusan yang sedang ia pegang. Kemudian beranjak dari tempatnya. Khirani berjalan menuju tangga yang saat itu kebetulan Bhanu baru saja turun.
Khirani mengalihkan pandangannya dari tatapan Bhanu, gadis itu terus berjalan menaiki anak tangga.
"Mas Nu, tunggu!" seseorang dari ujung tangga memanggil Bhanu. Seorang perempuan berhijab anggun dengan gamis yang menjuntai ke bawah. Perempuan itu tersenyum lebar dengan mata berbinar.
Bhanu tidak menoleh, matanya masih terkunci pada Khirani yang melewatinya di anak tangga.
"Hai," sapa perempuan yang juga teman semasa Bhanu sekolah itu kepada Khirani sebentar saat mereka berpas-pasan, "Mas Nu, tungguin." Perempuan itu menyusul langkah Bhanu.
Khirani masuk ke ruang kantor utama, berjalan menuju Rima untuk meminta resi pengiriman yang baru. Tak bohong jika pikirannya terganggu dengan panggilan perempuan tadi kepada Bhanu. Biasanya orang-orang terdekat Bhanu saja yang memanggil Bhanu dengan sebutan 'Mas Nu'. Kemungkinan perempuan tadi bukan sekadar teman SMA Bhanu saja.
"Eh, tadi siapa yang nyari Mas Bhanu, sih?" tanya Elsa dengan tatapan haus gosip.
"Tadi aku denger-denger, kalau dia itu inspirasi karakter Tari di novel Gantari," kata Rima.
"Ih, yang bener?"
Khirani tak kunjung beranjak meski resi yang ia minta sudah di tangannya. Ia sengaja berada di sana untuk mendengarkan tentang siapa perempuan yang baru saja bersama Bhanu.
"Iya, aku katanya Mas Endro."
"Tahu dari mana tuh, Mas Endro?" tanya Elsa.
"Ya Mas Bhanu sendiri paling cerita. Kalau sebenarnya karakter Tari di novel Gantari itu terinspirasi dari teman SMA-nya, dia kuliah di Turki persis seperti yang ditulis di novel. Tadi, aku denger kalau cewek tadi barusan pulang dari Turki. Namanya, Shireen."
"Antari Shirina. Shireen, Shirin." Elsa mencocoklogi nama panjang Tari di novel Gantari dengan nama perempuan tadi.
"Eh, ya, kan, betul."
"Paling mantan pacarnya, nggak sih?" tebak Elsa, "nggak mungkin nggak spesial kalau sampai dijadiin tokoh utama di novelnya."
"Hm, aku juga ngerasanya gitu, kayaknya emang cewek tadi pernah ada hubungan sama Mas Bhanu," sahut Rima, tak berselang lama perhatian Rima beralih pada Khirani yang masih berdiri di depan kubikelnya, "Nunggu apa, Khi? Itu resi yang terakhir."
"Oh?" Khirani tersadar dari lamunannya, "iya." Gadis itu segera beranjak dari tempatnya.
Sambil menuruni anak tangga, pikiran Khirani bergelayut mencemaskan sesuatu yang seharusnya tak perlu ia cemaskan. Ada setitik penyesalan yang kian detik kian berubah menjadi penyesalan besar.
Kehadiran Shireen, entah mengapa membuat Khirani merasa keputusan menolak Bhanu tadi malam adalah salah besar.
***
20K Viewer saya mau bagi-bagi pulsa lagi, rajin yang komen nanti saya kirim pesan lewat DM yang menang, ya.
Satu bab lagi malam ini, ya.
Tolong yang biasa silent reader, cukup vote aja, nggak komen juga gapapa. Itu adalah tanda kalian menghargai tulisan ini, sebagai bentuk hadiah kerja keras saya. oke? Terima kasih sebelumnya, terima kasih buat yang rajin vote dan komen, borahae <3
With Love, Diana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro