Gesekan Biola
"Lapar sampeyan, Mas?" tanya Sugik sejak mengamati piring Bhanu tandas tanpa tersisa dan kini pemuda 27 tahun itu menandaskan tiga pisang goreng yang disediakan di meja kantor.
"Memangnya cuma kerja yang ngandelin fisik yang menguras tenaga, kerja yang ngandelin otak juga nggak kalah capeknya, Mas," balas Bhanu sejurus kemudian menyeruput kopinya, "tapi seru."
"Dapet cuan lagi," timpal Sugik sambil menyengir.
"Cuan mah bonus." Keduanya terkikik.
Tak berselang lama sambil mencuci tangannya, Bhanu terlihat celingak-celinguk sembari bola matanya menjelajahi sudut kantor. Ada seseorang yang ia cari sejak kedatangannya satu jam lalu. Buku ke-13 miliknya akan segera terbit, banyak hal yang harus disiapkan karena Bhanu mempunyai jurus marketing sendiri dan perlu kerja sama antara penerbit dan penulis agar jurus itu berhasil.
"Mas Endro nggak kelihatan dari tadi, Mas, ke mana ya?"
"Oh, Mas Endro lagi kunjungan ke percetakan untuk persiapan bukunya sampeyan. Bu Aminah lagi rapat sama semua kepala toko buku online, kalau karyawan lainnya lagi pada sibuk di lantai tiga."
"Khirani juga?"
"Khirani?" kerutan kecil di dahi Sugik menggambarkan keheranan, tumben sekali Bhanu menanyakan karyawan yang baru ia kenal. Biasanya Bhanu tidak begitu peduli, kecuali sama karyawan yang berkaitan dengan peluncuran karyanya. "Izin keluar tadi, ndak tahu, kok, belum balik-balik."
Benda pipih berlayar itu bergetar menandakan ada pesan masuk. Bhanu membaca sekilas kemudian meraih jaketnya di kursi, "Mas Sugik, saya keluar sebentar, ya. Kalau Bu Aminah sudah datang, kabari saya."
Bhanu turun dari lantai dua setelah melihat acungan jempol dari Sugik. Sebelum keluar dari kantor, Bhanu memakai hoodie dan topi. Celana jins putih tulang tampak matching dengan hoodie hitam dan topi putihnya. Bhanu berjalan santai menyeberangi jalan raya dan melangkah menyusuri pertokoan. Seseorang yang kemarin lusa mengamuk karena permintaannya tidak turuti sekarang sedang menunggunya di restauran sudut taman, ia mengancam tidak mau pulang sebelum Bhanu datang.
Butuh lima belas menit akhirnya sampai di tempat tujuan. Bhanu menggaruk tengkuknya yang tak gatal saat melihat Binna melambai-lambai dari kejauhan dengan senyuman lebar, terlihat berjejer orang-orang di belakang sang adik.
Dari yang mengenakan seragam sekolah sampai ibu-ibu yang menggendong anaknya menanti Bhanu untuk berfoto dan mendapat tanda tangan darinya. Bhanu harus menerimanya dengan ikhlas, buah dari kesalahannya tidak menepati janji kepada sang adik untuk bertemu para seniornya beberapa hari yang lalu.
"Perhatian-perhatian! Dilarang mencubit, memeluk dan mencium Bhanu Brajasena tanpa izin. Dilarang minta nomer telepon dan alamat rumah. Kalian punya waktu satu menit untuk mengobrol dan berfoto sepuasnya. Satu lagi, harus tertib dan tidak mengundang keributan. Semua punya kesempatan, jadi harus bersabar sesuai urutan. Ini adalah jumpa fans jalur VIP terakhir sebelum peluncuran buku ke-13. Jadi, jangan lupa nanti post dan tag instagram @sabinna_brajasena sebagai bentuk dukungan ya!" cerocos Binna bak pemandu acara.
Semua penggemar Bhanu mengangguk paham, wajah-wajah mereka tampak tak sabar bertemu dengan sang idola. Terlebih lagi para remaja yang paling antusias.
"Yang bawa buku bajakan, minggir ya! Kita tidak akan menerima. Akan di-blacklist, tidak punya kesempatan jumpa fans jalur VIP selamanya!"
Pintar dan licik si kucing satu ini, batin Bhanu berucap sambil berjalan menghampiri penggemarnya. Setelah Bhanu menyapa dengan satu dua kata, Binna mengarahkan dengan tertib penggemar kakaknya untuk maju, mengobrol dan berfoto selama satu menit bersama Bhanu.
Dari penggemar yang histeris, menangis, gemetar dan gugup sampai penggemar ibu-ibu hamil yang hanya ingin dielus perutnya oleh Bhanu. Ibu hamil itu berharap suatu saat nanti calon anaknya bisa seperti Bhanu yang tak hanya pandai meramu kata tetapi juga tampan dan ramah.
Sepuluh menit adalah batas waktu yang diberikan Bhanu untuk melayani permintaan adiknya, selesai tidak selesai jumpa fans jalur VIP dihentikan. Sambil menghitung ratusan uang yang diterima, Binna menyengir.
"Ini yang terakhir ya, Dek. Mas nggak mau lagi. Kesannya kek Mas meres penggemar Mas. Kalau nggak ada mereka, Mas juga nggak bakal seterkenal sekarang."
Cengiran Binna beringsut pudar, maksud gadis itu bukanlah memeras penggemar, tetapi memberi akses termudah penggemar untuk bertemu dengan idolanya. Mereka yang mau dan Binna tidak memaksa, ya meski mematok harga, sih. "Iyaaaa..." ucapnya sambil berpikir keras mencari cara lain memanfatkan kakaknya untuk mendapatkan uang.
"Kalau butuh uang beli make up, bilang sama Mas. Mas beliin."
Mendengar itu wajah Binna kini benar-benar kusut, kakaknya itu belum juga paham tentang dirinya. Sejak mengerti betapa susahnya ibu dan Bhanu mencari uang, Binna berjanji tidak akan menyusahkan. Binna mati-matian belajar demi mendapatkan beasiswa kedokteran, biar ibu dan Bhanu tidak bersusah payah mencari uang untuknya kuliah. Binna mau seperti Bhanu yang berdiri sendiri dan mandiri tanpa privilege.
"Mas ini pengganti ayah, Dek. Sudah tugas Mas."
"Ini juga sudah pilihan Binna, Mas, ingin mandiri dan nggak nyusahin ibu dan Mas Nu. Dah, ah, lapar, yuk pesen, Mas." Binna mengalihkan pembicaraan.
"Mas udah makan."
"Ya udah, tungguin Binna sampai selesai makan." Binna mengangkat tangan kanannya untuk memanggil pelayan restauran.
"Lain kali kita adain acara resmi aja, di gedung. Treatment pembaca dengan baik, sediakan camilan, adain sesi foto di stand yang bagus, ngobrol santai. Itu jauh lebih baik, Dek."
Mulut Binna melongo lebar, terkejut mendengar kakaknya mengatakan hal seluar biasa itu. Setahu Binna, kakaknya itu selektif sekali menerima undangan seminar. Ia lebih senang menghabiskan waktu di depan layar laptop daripada menghadiri undangan meski dengan bayaran yang mahal. Mendengar kalimat yang barusan Bhanu lontarkan, Binna seperti mau pingsan. "Bener ya!? Angkat aku jadi managermu, Mas! Ayo kita bahagiakan para pembacamuuu!"
"Kalau IP-mu semester ini bagus, boleh."
"Deal!"
Piring makanan Binna sudah tandas, ponsel Bhanu bergetar pesan dari Sugik mengabarkan kalau Aminah sudah datang menandakan Bhanu harus pergi dari tempat itu. Setelah berpisah dengan adiknya, Bhanu mengeluarkan sebatang rokok dari saku, kemudian menyesapnya sepanjang perjalanan kembali ke kantor penerbit.
Sayup-sayup terdengar alunan biola dari arah taman, alunan itu begitu indah dan berhasil menarik perhatian Bhanu. Sekelebat suasana ketika dirinya bermalam di gurun sahara hadir terasa ketika mendengar alunan itu. Lalu ingatannya kembali ditarik ke bangunan Taj Mahal dan berakhir di gelapnya indekos pedesaan bagian Pakistan selatan.
Alunan itu seperti mengantarkan Bhanu pada dimensi-dimensi tak kasat mata yang ia ciptakan dalam benaknya ketika menulis cerita Gantari. Bhanu terpaku sekian detik, rokok yang dipegang itu jatuh bebas ke tanah. Kaki Bhanu bergerak seperti tersihir untuk mendekati sumber suara.
Di tengah kerumunan orang, berdiri seorang gadis dengan rambut tergerai panjang sepinggul dengan dress berwarna merah selutut. Rambutnya bergerak ke sana kemari tersibak angin, jemari kirinya menekan senar biola dengan lincah di pundak, sedang jemari tangan kanan mengantarkan gesekan-gesekan melodi yang indah. Bhanu membelah kerumunan saat mengenali sepatu Nike milik seseorang. Matanya membulat dan terpaku sangat lama kala rambut panjang violinis itu terurai menampakan sebagian wajahnya yang tertutupi dengan masker kain berwarna hitam.
Di tengah melodi instrumental violin dari lagu Aurora berjudul Runaway, violinis itu terhanyut dalam gesekan biolanya, wajahnya menunduk sembari menggerakan tubuhnya melambat mengiringi melodi dengan sesekali memejam. Balutan irama yang sendu dan ketotalitasanya mampu menyihir penonton dalam setiap napas gesekan biola. Tak terkecuali, Bhanu. Pemuda itu seperti dijatuhkan dalam dimensi lain yang diisi seribu kenangan yang menyesakan, pedihnya rindu dan malam yang dingin nan kesepian. Tepat seperti apa yang pernah ia tulis dalam naskah Gantari.
Dalam naskah Gantari, menceritakan pengembaraan seorang pemuda di tujuh negara mencari jejak-jejak belahan jiwanya. Dua tokoh tersebut terpisah karena sebab hal yang memaksakan sang tokoh utama bernama Tari pergi entah ke mana. Dalam buku diari yang ditemukan Ganta, tokoh utama laki-laki menuliskan bahwa Tari memiliki keinginan bisa pergi dari sini dan berkeliling tujuh negara sebelum usia tiga puluh tahun.
Atas petunjuk itu, Ganta mencari keberadaan Tari dari negara ke negara. Dalam setiap negara yang ia kunjungi, ia menemukan jejak Tari pernah datang ke tempat itu, simbol matahari yang digambar dari bulatan kecil dalam bulatan besar.
Tari berasal dari keluarga yang terpandang, digadang menjadi penerus perusahaan sang ayah karena Tari adalah anak tunggal. Sedangkan, Ganta dari keluarga yang biasa saja, pekerjaannya menjadi tour guide di Bali. Tahun baru 2011 menjadi pertemuan mereka di Pantai Ubud lalu berlanjut ke kisah mereka hingga akhir tahun 2013, mereka terpisah karena tak mendapat restu dari ke dua orang tua. Tari dijodohkan dengan pria asal Malaysia, sedangkan Ganta dijodohkan dengan gadis Bali anak pemilik galeri lukisan kerabat jauh ibunya.
Ganta akhirnya menikah dengan gadis pilihan orang tuanya, tepat saat Tari kabur dari rumah, satu hari menjelang pernikahannya dengan pria asal Malaysia. Mendengar Tari kabur, Ganta gelisah. Kegelisahan itu ditangkap oleh istrinya, Adisri, sebulan kemudian Adisri memutuskan pergi dari rumah Ganta meninggalkan surat cerai, meski Adisri juga mencintai Ganta, ia tidak mau menjadi bayang-bayang Tari. Adisri merelakan Ganta untuk menyusul Tari.
Ganta memulai perjalanannya setelah Adisri benar-benar merelakan Ganta. Dari situ, kisah perjalanan pengembaraannya mencari Tari dimulai. Berbekal uang tabungan yang sudah lama ia kumpulkan, Ganta menyusuri jejak Tari. Tidak mudah untuk menemukan Tari, banyak kepahitan, keletihan, cobaan yang Ganta jumpai. Dalam satu titik ia menemui keadaan paling putus asa, titik merelakan seperti apa yang teralunan dalam melodi biola yang kini Bhanu dengar. Perasaan saat menulis Ganta di titik menyerah kembali Bhanu rasakan.
Gesekan panjang busur biola menandakan lagu telah usai, para penonton yang terpukau bertepuk tangan riuh sembari satu persatu berjalan maju dan melempar uang recehan ke tas biola yang terbuka di depan kaki gadis itu. Violinis itu kembali menggesek senarnya sebagai ucapan terima kasih, intrumental violin dari lagu Shape of You dari Ed Shareen mengalun indah menutup pertunjukannya hari ini.
Satu persatu penonton membubarkan diri setelah melempar recehan, meninggalkan Bhanu berdiri di depan violinis seorang diri sampai alunan violin gadis itu benar-benar selesai. Perlahan violinis itu menurunkan biolanya dari pundak ketika matanya menangkap bayangan Bhanu. Sorot mata mereka bertemu pada satu titik temu yang saling mengunci.
Namun, tak berlangsung lama violinis itu buru-buru mengambil uang dari tas biolanya dan meletakkan dengan perlahan biolanya ke dalam tas. Lantas ia berdiri untuk segera beranjak dari tempat itu, ia tak mau pemuda yang kini masih menatapnya akan mendekat. Lagi pula, waktu sudah menunjukan batas pertunjukannya telah usai. Ia harus segera kembali ke suatu tempat.
"Khirani?"
Ayunan langkah violinis itu kontan terhenti setelah Bhanu menyebutkan sebuah nama. Gadis itu terdiam beberapa detik sampai akhirnya kembali melangkah meninggalkan Bhanu di tempat itu. Bhanu tak mau menebak lagi, ia seratus persen yakin bahwa violinis itu adalah Khirani. Gadis yang menarik perhatiannya sejak kembali dari pengembaraan. Sorot mata violinis itu, gantungan kunci yang ia kenali saat di kereta menggantung di tas biola violinis itu, lalu sepatu Nike usang yang berinisial huruf 'K'-nya. Bhanu tak akan salah menebak, ia memang orang yang Bhanu kenal.
Violinis itu adalah Khirani.
Sembari menatap punggung violinis itu yang kian menjauh, tercetak sabit senyum di wajah Bhanu. Jantungnya berdegub kencang, sebuah reaksi tanpa perintah terjadi ketika benak pemuda itu menciptakan sebuah ide yang luar biasa.
***
Visual Mas Nu : Mingyu SVT
Visual Khirani: Kim Hyun Soo
Kalian bebas mau membayangkan siapa, ya. Aku pakai visual mereka karena suka dan bisa memberi saya ide. Tentu saja, karena untuk bahan promosi di sosial media. Bagi yang mau tahu visual mereka bisa follow IG : alurdianafebi dan Tiktok blublulatte.
Yang bantuin promo di IG/Tiktok aku followback 🌻🤍
Terima kasih sudah membaca cerita ini, ya. Semoga hari kalian selalu baik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro