Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Galak-Galak Menggemaskan

Suara jalan raya yang kian malam kian terdengar sepi menambah suasana di depan gudang itu tampak canggung. Khirani duduk memeluk lutut di depan pintu gudang, sedangkan Bhanu duduk di sebelahnya, terhalang pot bunga Alocasia. 

Satu jam mereka lalui dengan bergeming, sibuk dengan denging nyamuk yang mencoba menggigit. Khirani memang sudah terbiasa dengan denging nyamuk, berbeda dengan Bhanu yang sibuk menepuk sana-sini, sampai tak sengaja mendorong pot bunga.

"Bisa diem, nggak, sih?" protes Khirani saat tubuhnya terdorong pot yang digeser tidak sengaja oleh Bhanu.

"Saya sih bisa, nyamuk nih yang nggak bisa diem," balas Bhanu sambil 'plak' menampar pipinya sendiri. "Ah, panas lagi, sialan!"

Khirani menoleh ke arah Bhanu dengan melongo, baru kali ini selama hampir dua bulan mendengar Bhanu mengumpat. "Eh, kalau ngomong?"

"Kenapa?"

"Kalau Bu Nawang denger, kamu bisa disuruh ngomong kromo inggil sebulan."

Bhanu tertawa, tawanya terdengar menggema di ruang kantor yang mulai senyap, "Untung Bu Nawang nggak di sini."

"Tapi aku bisa ngadu."

"Ih, cepu!"

"Ih. pedofil!"

"Kok, pedofil?"

"Ya kamu pikir aja."

Terdengar Bhanu menarik napas panjang, menahan kekesalannya dipanggil demikian oleh gadis itu. Hanya gara-gara tidak sengaja menyentuh buah dada Khirani di tengah kegelapan, Bhanu sudah dicap pedofil.

"Saya nggak pedofil, ya," ujar Bhanu sambil sibuk menepuk tangannya yang digigit nyamuk, "jarak umur kita nggak beda jauh. Kamu juga bukan anak kecil."

"Tukang grepe!"

"Astaga, Khi, kalau ngomong! Lagian, apanya yang mau di grepe, coba?"

"Bilang apa barusan?!"

Bhanu menepuk bibirnya sendiri karena lagi-lagi tak bisa mengontrol keceplosan kalimat yang membuat gadis sensitif itu marah. Tiba-tiba tubuh Bhanu didorong keras dengan pot.

"Khi!"

"Nggak mau deket-deket!"

Bhanu melongo sejenak, keterkejutannya itu tak berlangsung lama saat menyadari sesuatu. Dalam kegelapan pemuda itu tersenyum. Benar kata Teyze, perempuan kalau sudah galak-galak menggemaskan itu artinya ia sudah mulai meleburkan batas jarak di antara mereka. Terutama Khirani yang semula dingin dan nyaris tak tersentuh, kini berubah menjadi galak-galak menggemaskan, mengomel tanpa sungkan, bahkan memberi interaksi tanpa dipancing.

"Okay, fine."

Gubrak! Sesuatu terdengar terjatuh di dalam gudang. Khirani kontan loncat dari tempatnya duduk, meraba-raba keberadaan Bhanu sambil memekik ketakutan, "Aaaaa! Takut! Takut!"

"Hei, hei, aku di sini." Bhanu mengapai tangan Khirani.

"Takut, tadi itu apaan?" Nada suara Khirani tampak benar-benar ketakutan.

Bhanu menyentuh dua pundak Khirani, "Nggak apa-apa, mungkin itu tikus atau kucing."

"Aku nggak mau di sini, aku takut beneran." Suara Khirani bergetar, seperti ingin menangis.

"Oke, oke, kita ke lantai atas, ya? Ke ruang rapat, gimana?"

"Hm." Khirani mengangguk.

"Oke, oke, mmm..." Bhanu memikirkan cara yang aman untuk naik ke lantai atas, "oh, gini, kamu pegang tanganku, ya? Kita jalan pelan-pelan."

"Hm."

Tangan Bhanu meraba lengan Khirani kemudian turun sampai ke telapak tangan gadis itu, setelah menyentuh jemari Khirani, Bhanu memegang erat dan menyatukan jemarinya. Perlahan Bhanu melangkah menuju anak tangga, merayap perlahan naik ke atas sambil terus memegang erat tangan Khirani agar tidak terlepas.

"Pelan-pelan, hati-hati..." ucapnya berulang kali sampai akhirnya mereka berhasil sampai di lantai dua. Pintu ruang rapat masih terbuka, dari dalam sana masih terlihat sinar dari lampu jalan. Dengan mudah mereka masuk dan duduk kursi depan.

"Oke, lebih baik di sini, nggak gelap banget kayak di bawah," kata Bhanu sambil memperhatikan sekitar.

Sedangkan Khirani diam seribu bahasa, menatap tangannya yang masih digenggam erat oleh Bhanu. Mereka sudah tidak berjalan di kegelapan, tidak juga berbuat apa-apa, mereka sudah duduk aman, tetapi Bhanu masih memegang erat tangan Khirani.

Perlahan Khirani dirayapi perasaan yang tak bisa ditolak olehnya, tentang sesuatu yang disimpan dalam hati untuk pemuda di sampingnya itu. Tentang desiran lembut yang menggelitik diagfragmanya, tentang degub jantung yang kian cepat saat di dekat pemuda itu, tentang saraf-saraf tubuhnya yang seolah tak berfungsi seperti saat ini, terdiam bisu melihat pemuda itu menggenggam tangannya erat. 

Ucapan Bhanu beberapa waktu lalu kian menambah Khirani dikuasai perasaan yang campur aduk. Khirani tak bisa menolak lagi akan fakta bahwa ia telah jatuh cinta pada Bhanu Brajasena.

"Oh, maaf." Bhanu baru menyadari saat melihat bayangan mata Khirani menatap tangannya yang masih menggenggam tangan gadis itu. Buru-buru Bhanu melepaskannya.

Pandangan Khirani masih terpaku, menatap tangannya di atas meja yang baru saja terpisah lepas dengan tangan Bhanu. Pikirannya masih mencoba menyangkal, tetapi lepasnya tangan Bhanu dari tangannya semakin menjadi tanda, ia mau digenggam tangannya oleh Bhanu, lebih lama lagi.

Bhanu juga merasakan kecanggungan itu, beberapa kali pemuda itu menarik napas panjang kemudian mengembuskan pelan melalui sela-sela bibirnya. Udara dalam ruang rapat terasa pengap oleh berbagai perasaan emosi yang mencuat dalam diri, terasa meledak tetapi terus tertahan oleh akal. Tidak berselang lama Bhanu menggeleng pelan, mengusir pikiran-pikiran tidak masuk akal yang mencoba menyusupi benaknya. Ia berjanji tidak akan melewati batas lagi.

"Hujan, Khi," ucap Bhanu saat melihat rintik hujan berubah menjadi hujan melalui jendela.

Khirani melepas diri dari keterpakuannya lalu megikuti arah pandang Bhanu, ke luar jendela menatap hujan mulai deras. Sebuah kebisingan yang semakin mendukung suasana menjadi lebih canggung lagi. Diam-diam keduanya mencoba mereda desiran yang terjadi dalam dada masing-masing.

"Hujan itu..."

"Satu persen air, 99% kenangan," sambung Khirani.

Bhanu menoleh, melengkungkan senyum sebentar ke arah Khirani, kemudian kembali menoleh ke arah luar jendela, "Salah."

"Salah?"

"Hujan itu selimut kesedihan paling dingin," ucap Bhanu, jeda tiga detik, "hari di mana aku akhirnya bisa menangis setelah kepergian ayah. Teyze mengajakku ke laut. Aku pikir Teyze jahat dan tega karena mengajakku ke laut lagi setelah kepergian ayah. Di sana, Teyze menyuruhku untuk berlari sepanjang pantai. Hari itu hujan deras, aku berlari. Terus berlari di tengah hujan, sambil menangis. Entah kenapa, semakin aku berlari jauh, semakin tangisanku meledak, semakin plong rasa di dada. Deburan ombak dan hujan menyelimuti kesedihanku, aku jauh merasa lebih baik."

"Kamu nggak benci laut?"

Bhanu menggeleng, "Awalnya memang aku pikir aku akan membenci laut, tetapi nyatanya laut malah membuatku tenang, membuatku dekat dengan ayah, dengan kenangan ayah. Aku merasa seperti dipeluk ayah saat berada di laut."

"Aku membenci panggung."

Meski sudah tahu sebabnya, Bhanu tetap bertanya, "Kenapa?"

"Aku punya kenangan buruk dengan panggung. Aku merasa panggung seperti pentas penyiksaan."

"Tapi kamu pernah, kan, jatuh cinta sama panggung?"

"Hm." Khirani mengangguk, "saking cintanya, aku pernah mempertaruhkan segalanya untuk berdiri di panggung."

"Karena kamu tidak mencintai panggung seperti kamu mencintai biolamu. Bukankah keduanya satu paket? Panggung dan biola," ujar Bhanu, pemuda itu menoleh ke Khirani, menopangkan ke dua siku di atas meja, "kamu inget, nggak, aku pernah melihat pertunjukanmu di atas gedung bekas kantor ayahmu?"

Khirani tidak merespons, tetapi dari sorot matanya mengatakan bahwa ia mengingat itu.

"Kamu sebenarnya tidak membenci panggung, Khi. Kamu hanya membenci momen."

"Momen?"

Bhanu menggangguk, "Kamu sampai saat ini masih berdiri di panggung; di atas gedung bekas kantor ayahmu, di tengah taman, di pinggir jalan. Panggung tidak pernah meninggalkanmu. Selagi biola masih ada di bahumu, panggungmu masih berdiri. Kamu hanya membenci momen buruk yang terjadi di atas panggung. Dan itu bukan salah panggung, bukan salah biolamu, bukan salahmu. Itu adalah prosesmu bertumbuh, proses dewasamu di atas panggung."

Manik Khirani perlahan mengarah pada sorot mata Bhanu, ia lagi-lagi tersadarkan oleh kalimat pemuda itu. Tiga tahun ini sejak hari besar yang lalu, Khirani selalu menyalahkan takdir, menyalahkan nasib yang terus terhantam badai tak henti-henti. Menyalahkan orang tuanya, menyalahkan panggung, menyalahkan semua yang terjadi padanya. Tanpa Khirani sadari bahwa semua itu adalah prosesnya bertumbuh, proses menjadi diri yang lebih baik dan lebih tangguh.

Tuhan bukannya membenci, tetapi Tuhan telah memilih dirinya untuk menjadi manusia kesayangan-Nya, melalui beribu kesakitan yang melewati batas kesabaran. Jika tidak bisa besar di dunia, manusia pilihan Tuhan akan menjadi besar di surga-Nya. Dari sekian manusia yang menjadi wakil Tuhan di dunia, tidak lahir dan hidup dalam kemudahan. Mereka diterpa segala kesusahan, fitnah, keletihan, dan kesakitan. Ya, itu adalah proses menjadi manusia istimewa bagi Tuhan.

Pikiran buruk tentang pertunjukan tiga hari lagi perlahan melenyap. Sangkaan Khirani tentang panggung yang mengerikan melebur, tiba-tiba rasa percaya dirinya merayap perlahan hadir di dalam hati kecilnya. Rasa percaya diri yang Khirani anggap telah mati tiga tahun silam.

"Apa arti mimpi buatmu, Khi?"

"Omong kosong." Khirani memutus arah pandangnya dari Bhanu, kembali menatap hujan di luar jendela.

"Omong kosong karena terlihat seakan mustahil digapai?"

Khirani menoleh samping kanannya, tepat Bhanu duduk,

"Bener, ya?" Bhanu menghadap sepenuhnya ke arah Khirani. "Gini, ada cara jitu untuk mewujudkan mimpi dengan mudah."

"Nggak tertarik mendengarnya," bohong gadis itu, ia hanya tidak tahan berhadapan langsung dengan Bhanu sedakat itu. Khirani memilih kembali menatap hujan.

"Buatlah mimpi-mimpi kecil. Seperti makan mi instan panas di pinggir danau yang dingin, menonton Netflix di akhir pekan atau jalan-jalan di pantai main ombak," kata Bhanu, jeda sebentar, "terdengar sederhana, ya?"

Khirani menoleh ke Bhanu, kini dengan tatapan yang seolah sedang menyambut kalimat 'kesadaran' dari bibir Bhanu. Khirani berharap begitu.

"Nggak ada kitab yang menuliskan bahwa mimpi hanya untuk hal-hal yang besar aja, kan? Kita bisa belajar meraih mimpi-mimpi sederhana itu sampai akhirnya kita benar-benar tahu arah jalan menuju mimpi yang lebih besar."

Benar kata Aminah, kalau Bhanu memang manusia ajaib yang penuh kejutan. Lagi, lagi, Khirani disadarkan sesuatu dari kalimat yang dilontarkan pemuda itu.

"Coba deh, Khi. Aku yakin kamu bisa."

Benak Khirani meroda, menggerakan semua sistem hatinya yang telah lama mati. Pintu hati yang terkunci itu akhirnya menemukan kunci, menemukan sebuah alasan untuk kembali bangkit dan menata masa depan. Kasus ayahnya, utang dan kondisi Diandra perlahan tidak tampak lagi sebagai penghalang hidupnya untuk bisa kembali menjadi Khirani yang dulu.

"Kenapa sekarang jadi aku-kamu?" Khirani mengalihkan.

"Hah?" Bhanu baru menyadari sesuatu, "Iya, iya... nggak sadar." Bhanu terkekeh, canggung.

"Aku mau tanya deh, sama kamu."

"Hm? Iya, Khi?"

"Kenapa waktu di kereta itu kamu nolongin aku? Padahal kita nggak saling kenal."

Sorot mata Bhanu perlahan menjadi sendu, raut wajahnya menunjukan bahwa mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan alasannya. Bahwa di kereta itu bukanlah pertemuan pertama mereka.

"Meski sudah punya mobil, aku tuh suka naik angkutan umum. Bukan karena lebih hemat, tapi kejadian di sekitar yang aku jumpai di tempat-tempat umum itu terkadang memberiku inspirasi," kata Bhanu mulai menjawab, "sekitar satu tahun yang lalu, sebelum aku berangkat ke mengembara, lebih tepatnya mau perilisan film Hujan Menyapa Tangismu, aku naik kereta setiap hari dari kantor ke rumah. Sambil terus mengamati keadaan sekitar untuk mencari sumber inspirasi, sampai akhirnya mataku menemukan seseorang yang duduk melamun sambil menatap sepatunya. Pandangannya kosong, seperti ada beban yang berat sedang dipikul. Tahu, nggak, dia siapa?"

"Siapa?"

"Itu kamu, Khi."

"Aku?"

Bhanu mengangguk, "Awalnya aku menganggap biasa saja, tapi hampir setiap hari aku ketemu sama kamu di kereta. Dengan pandangan yang sama. Kadang kamu ketiduran di kereta," terjeda kekehan Bhanu, "untung ada aku, coba kalau nggak ada aku, pasti kamu terjungkal."

"Maksudnya?"

"Kamu pernah nyender di bahuku dari stasiun Pasar Minggu sampai stasiun Kota."

"Masa sih? Bohong," ujar Khirani tidak percaya.

Bhanu kembali terkekeh, "Tapi inget, kan, pernah keblablasan nggak turun kereta?"

Khirani mencoba mengingat-ingat. Sorot matanya yang menerawang kembali jatuh ke arah sorot mata Bhanu menjadi isyarat bahwa ia mengingat kejadian itu.

"Sebenarnya aku tahu di mana stasiun biasamu berhenti. Tapi, aku nggak tega buat bangunin," ucap Bhanu sambil tersenyum menoleh ke arah Khirani. Gadis yang ditoleh itu balik menatapnya dengan mata sedikit melebar.

"Pulang dari luar negeri," kalimat Bhanu terjeda, ia tersenyum sebentar, "dari bandara, aku langsung naik kereta. Cuma pengin lihat kamu lagi, ternyata beneran ketemu." Bhanu mengangguk-angguk.

"Pas kejadian itu?"

"Iya."

"Itu sebabnya kamu tahu sama polisi yang menyamar?"

Bhanu mengangguk sambil tersenyum, "Aku pengamat yang baik."

Air muka Khirani jelas terlihat bahwa ia semua pertanyaannya kini tentang pertemuannya dengan Bhanu waktu itu mulai terjawab, "Lalu, alasanmu menolongku?"

Bhanu mengangkat bahu, "Aku tahu kamu bukan orang seperti itu. Aku juga pernah nggak sengaja lihat kamu kerja di salah satu rumah makan, pernah lihat kamu jadi sales hape, pernah lihat kamu jadi promotor yang ngasih selembaran di lampu merah, aku tahu kamu pekerja keras. Dan alasanmu waktu itu di kereta pasti karena hal yang mendesak."

Khirani tidak merespons. Namun, dalam mata Bhanu, pemuda itu melihat bahwa apa yang ia katakan benar. Khirani terhimpit keadaan hingga memberanikan diri mengambil langkah ekstrem seperti waktu itu. Bhanu merasa bangga karena mampu mencegahnya.

"By the way, aku sering lupa mau tanya ini. Gimana pendapatmu tentang novel Gantari?"

"By the way, kenapa kamu terus-terusan ngomong pakai aku-kamu?"

Bhanu menyengir, "Nggak boleh, ya?"

"Bagus."

"Bagus?" Bhanu sampai menegakkan pungungnya mendengar jawaban Khirani.

"Novel Gantari, maksudnya."

Bhanu memberingsut kecewa, ia pikir maksud Khirani mengenai panggilannya. Namun, pemuda itu tetap tersenyum, "Bagus kayak gimana?"

"Harus, ya, dijelasin?"

Bhanu mengangguk mantap, "Kritikan adalah sesuatu yang bagus untuk kemajuan tulisan."

"Lain kali, aku ngantuk." Khirani merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya. "Awas, ya, kalau ngapa-ngapain!" ancamnya.

Bhanu tersenyum, "Good night, Khi."

***

Sampai jumpa hari Senin :)

Selamat menyambut Ramadhan teman-teman muslimku 

Terima kasih sudah membaca cerita ini

With Love Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro