Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Gaharu Svarga

Khirani menatap dirinya melalui pantulan di cermin toilet. Ingatannya kembali pada beberapa waktu lalu saat di dalam bus, rasa canggung yang manis itu terasa menagihkan, terasa ingin kembali terjebak di sana bersama Bhanu.

Meski bayangan Diandra seolah mengingatkannya bahwa Khirani belum saatnya untuk menjalin hubungan, setidaknya Khirani sekarang merasa tidak sendirian. Ia sadar, tidak semua orang itu jahat. Tidak semua laki-laki itu seperti Gaharu Svarga.

Seperti ada yang kurang rapi di wajahnya, Khirani mengamati lamat-lamat mengoreksi. Ia menyalakan keran kemudian membasuh muka, setidaknya meski tidak bedakan, ia tidak terlihat pucat. 

Sebelum keluar dari toilet, ia juga merapikan poni dan rambutnya. Kini kuncirnya tidak asal-asalan, Khirani benar-benar memperhatikan helaian yang tidak rapi. Beberapa kali ia menata poninya, dari menutupi semua dahi sampai memiring kanan dan kiri. Rasanya selalu merasa tidak pas, Khirani sempat merasa frustasi. Akhirnya poni itu terbiarkan begitu saja seperti biasanya.

Sebelum benar-benar keluar dari toilet, Khirani kembali memastikan penampilannya rapi dan sedap dipandang. Begitu yakin, kakinya melangkah keluar toilet dan masuk kembali ke restauran menuju Bhanu yang mungkin sudah bersiap menyantap makan siang mereka.

Namun, langkah Khirani terhenti ketika melihat seseorang yang tengah bicara dengan Bhanu di meja mereka. Seseorang itu berjaket levis hitam, berdiri di depan Bhanu yang sedang duduk. Tak perlu ditebak lagi, dari postur tubuhnya dan juga anting yang dipakai orang itu, Khirani yakin bahwa ia adalah Garu.

Buru-buru Khirani melangkah cepat menuju Bhanu dengan rasa takut dan khawatir.

"Eh, itu dia," ujar Bhanu sembari berdiri.

Garu menoleh ke arah belakangnya, tampak Khirani melangkah besar menuju mereka dengan tatapan tidak suka. Garu menatapnya dengan tatapan yang sama, tetapi diimbuhi dengan senyuman miringnya.

"Aku mau makan bubur aja, yuk, pergi." Khirani langsung meraih tangan Bhanu untuk beranjak dari tempat.

"Loh, ini makanannya udah siap, tinggal makan."

"Lain kali aja, kita pergi yuk!" Khirani kembali menarik Bhanu, tetapi pemuda itu tidak juga beranjak karena masih kebingungan dengan sikap Khirani yang tiba-tiba.

"Ini ada temen kamu loh, Khi," ucap Bhanu dan langsung membuat Khirani berhenti menarik tangannya, gadis itu menatap ke arah Garu yang masih tersenyum miring.

"Lama nggak ketemu, Khi," sahut Garu.

Khirani menarik napas panjang kemudian mengembuskan kasar, "Apa maumu?"

Garu tersenyum lebar, "Nggak sengaja ketemu, gue udah dari tadi di pojok sana," kata Garu sambil menatap arah pojok restauran, tepatnya ke arah perempuan yang Khirani kenali sebagai owner Kedai Soonday sedang duduk melambai, menyapa Khirani.

"Dia cowok yang ketemu kita di gang kosanmu, nggak, sih, Khi?"

"Hm, betul," sahut Garu, "gue temen sekolah Khirani. Kita dulu sama-sama mengundurkan diri dari sekolah, ya, nggak, Khi?"

"Musica Art School?" tanya Bhanu, sedangkan Khirani hanya bergeming meredakan dadanya yang gemuruh karena menatap tingkah manusia biadab itu.

Garu mengangguk.

"Wah, teman sekelas? Kok bisa mengundurkan diri bareng?"

"Tanya aja Khirani, kita dulu temen apa, Khi? Kenapa lo sama gue bisa ngundurin diri bareng? Ah, nggak sih, gue duluan yang keluar, ya?"

Khirani rasanya tidak tahan dengan setiap kalimat pancingan yang dilontarkan Garu. Seolah-olah ingin mempermalukan dirinya di depan Bhanu. Khirani tidak mau Bhanu tahu tentang masa lalunya dari orang lain, apalagi dari Garu, pemuda yang dibenci oleh gadis itu.

"Mas Nu, kita keluar, ya. Maaf, lain kali saja ke sini," ucap Khirani sembari menautkan jemarinya di sela-sela jari Bhanu, menarik perlahan pemuda itu.

Arah mata Garu jatuh pada tautan jemari Khirani dan Bhanu, tatapannya menajam menguarkan aura tidak suka.

"Oke, kita duluan ya, Bro?" ucap Bhanu berpamitan pada Garu yang semakin jelas memperlihatkan rasa ketidaksukaannya.

Bhanu menatap genggaman Khirani dengan ulasan senyum, hubungan mereka berkembang pesat sejak kejadian terkunci di kantor. Bhanu semakin yakin, jika Khirani juga memiliki rasa yang sama. Segala pertanyaan tentang Garu, Bhanu simpan rapat-rapat, perasaannya membuncah dan terfokus pada genggaman tangan Khirani.

Di halte tak jauh dari kafe tersebut, Khirani melepas genggaman tangannya. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menetralkan amarah yang merambat dalam dada. Kemudian ia menatap Bhanu.

"Maaf..." ucapnya lirih sambil menundukan kepala.

"Nggak apa-apa," jawab Bhanu sejurus kemudian ia memanggil taksi, "Taksi!"

Benak Khirani meroda, memikirkan sebuah keputusan. Apakah ini waktunya untuk menceritakan segalanya pada Bhanu? Bagaimana jika pemuda itu tahu bahwa Khirani pernah menawarkan diri untuk ditiduri oleh Garu, bagaimana jika akhirnya Bhanu berubah dan menatap jijik padanya?

"Kita balik ke kantor aja, ya? Makan bubur depan kantor?"

"Mas Nu."

"Hm?"

Khirani mengangkat wajahnya menatap Bhanu, "Sebenarnya ... dia bukan temanku, tapi..."

"It's okay, nggak perlu cerita sekarang kalau kamu nggak siap. Aku mau nunggu, kok. Kita fokus aja dulu ke pertunjukan, ya? Kita nanti sore gladi resik, kan?"

Khirani bergeming, matanya tertuju pada senyuman Bhanu yang mengembang seolah memberinya pengertian agar tidak terburu-buru menceritakan segala hal tentangnya. Bhanu tidak mau Khirani merasa tidak nyaman setelah menceritakan itu, Bhanu ingin Khirani menyimpannya dulu sampai pertunjukan selesai. 

Entah nanti bagaimana hasilnya, dalam hati Bhanu sudah berikrar bahwa akan selalu menerima Khirani apa adanya, seburuk apa pun itu latar belakang Khirani.

***

"Daaah, Khi!" Reyko melambai dari dalam mobil Bhanu setelah mereka selesai mengadakan gladi resik di tempat pertunjukan. Tadi sore nyaris saja ketahuan orang kantor jika Reyko tidak memberi ide agar Khirani bermain di belakang panggung saja saat gladi resik berlangsung.

Khirani melambai tipis membalas lambaian Reyko.

"Kamu beneran nggak mau diantar sampai depan kos?" tanya Bhanu merasa khawatir.

Khirani menggeleng, "Nggak perlu. Makasih."

"Oke, aku nganter Reyko dulu, ya?" pamit Bhanu yang dibalas anggukan kepala oleh Khirani.

"Sampai jumpa besok, Khi! Lusa hari besar, yeay!" seru Reyko saat mobil Bhanu melaju pelan pergi dari depan gang kosan Khirani.

Khirani tertawa kecil, "Hati-hati."

Setelah mobil Bhanu benar-benar pergi dari gang, Khirani membalikkan badan, pulang. Namun, ia terhentak kaget saat tiba-tiba Garu sudah berdiri tepat di bawah lampu gang. Pemuda itu menyesap rokoknya, kepulang asap menggulung ke atas kepalanya. Sebelum mendekat, terlebih dulu Garu mengempaskan rokoknya ke tanah, menginjaknya sebentar kemudian berjalan mendekati Khirani yang menatap dengan mata membulat.

"Apa lagi maumu?"

"Gue denger lo bakal balik ke panggung lagi?"

Mata Khirani membulat penuh, darimana pemuda itu tahu?

"Nggak."

Garu tertawa, "Khirani, Khirani ... ck ck ck..." Garu bergeleng-geleng sambil berdecak, "lo pikir lo bisa balik ke panggung?"

"Apa maumu sebenarnya, Garu? Hah?"

"Mau gue..." Garu mencengkeram tengkuk Khirani, menarik wajah gadis itu untuk menatapnya lebih dekat, "lo nggak bahagia."

"Cukup, Ru, cukup. Apa selama ini nggak cukup kamu siksa aku? Hm?"

Garu mengempaskan tengkuk Khirani, "Setelah apa yang lo lakuin gue, itu nggak setimpal, Berengsek! Gara-gara lo gue nggak bisa pergi dari rumah! Gue nggak bisa bawa nyokap gue balik ke Korea!"

"Kamu yang memukulku dulu, kamu yang membullyku dulu, kamu yang buat aku pingsan dan gegar otak. Aku nggak pernah minta ke Ketua Yayasan buat ngeluarin kamu, aku nggak pernah bilang apa-apa. Itu semua keputusan Ketua Yayasan!"

Mata Garu mendelik menatap Khirani, bibirnya bergetar tidak terima dengan jawaban Khirani.

"Kamu cuma buat aku jadi kambing hitam atas kesalahanmu sendiri! Padahal selama itu aku diam, Ru. Aku nggak pernah bilang hal buruk tentangmu ke teman-teman. Aku menutup mata, menutup telinga ..." tersekat tangis Khirani sejenak, "aku milih nggak mau ikut campur urusan keluargamu, status ibumu."

"Jangan sebut nyokap gue, Berengsek!"

"Aku benar-benar nggak ngerti, kenapa kamu sebenci itu sama aku hanya karena aku nggak sengaja lihat ayahmu memukuli ibumu."

"Bajingan!" Garu bertindak, ia memang membenci orang lain menyinggung masalah keluarganya. Pemuda itu memaksa Khirani melepaskan tas biola.

"Kamu mau apa? Kamu mau apa?!"

Khirani berusaha keras untuk mempertahankan biolanya, tetapi kekuatan Garu lebih besar. Pemuda itu berhasil merebut tas Khirani dan mengeluarkan biolanya. Mendadak perasaan Khirani tidak enak.

"Kamu mau apa? Sini biolaku!" Khirani mencoba merebutnya kembali, tetapi Garu langsung mendorongnya keras hingga terjatuh.

Tak menyerah, Khirani segera bangkit dan mencoba kembali untuk merebut biolanya dari Garu sebelum pemuda itu bertindak yang tidak-tidak dengan biola itu.

"Garu, please! Cukup!"

Garu tertawa terbahak-bahak sambil memegang neck biola Khirani dengan satu tangan. Tanpa aba-aba, pemuda itu langsung membanting keras biola Khirani ke aspal, senarnya terputus dan biola itu langsung rusak parah.

Khirani bergeming tidak bergerak menatap biolanya hancur terbelah. Biola yang sudah bersamanya sejak kecil, biola yang menemani masa-masa emasnya sampai masa paling rendah dalam hidupnya. Satu-satunya penghibur hatinya selama ini.

"Biolaku..." lirihnya pedih.

Khirani langsung lemas, tubuhnya merosot ke aspal tepat di depan biolanya yang hancur terbelah. Ada jeritan tangisan yang mencoba keluar dari tenggorokan, tetapi tercekat tak bisa bersuara sedikit pun selain air matanya yang meluncur deras.

Tangan gadis itu mengepal, amarahnya kini benar-benar meledak. Sudah cukup selama ini ia bersabar menghadapi Garu, sudah cukup selama ini ia diam dan tak mau melawan. Perbuatan Garu sudah melewati batas kesabaran Khirani.

Gadis itu bangkit, menarik napas panjang kemudian mengembuskan pelan sembari berkata, "Saranghae..." dalam bahasa Korea berarti 'aku mencintaimu'.

Perlahan Khirani menatap mata Garu yang terkejut Khirani mengucap kata itu. Tawa Garu berangsur turun, hingga akhirnya benar-benar menghilang. Ingatannya ditarik kembali empat tahun silam di gerbang sekolah. Saat itu baru saja selesai malam inagurasi perayaan siswa baru.

"Kamu beneran dari Korea?" tanya Khirani saat itu.

Garu adalah siswa pindahan di kelas sepuluh, ia diterima di Musica Art School berkat kemampuan pianonya yang bagus dan berkat kemenangannya di kontes internasional. Karakter Garu yang cool serta wajahnya yang tampan menjadi perbincangan banyak siswa. Apalagi penampilan solonya di inagurasi benar-benar menarik perhatian dan banyak dieluhkan oleh gerombolan siswi-siswi.

"Hm."

"Aku Khirani Gantari, kelas sepuluh klasik dua," ucap Khirani sambil mengulurkan tangannya ke arah Garu yang berdiri sandar di gerbang sekolah.

"Kim Ga Ru," balas Garu, "Gaharu Svarga."

"Gaharu? Seperti nama pohon. Svarga, artinya surga, kan? Gaharu Svarga. Namamu bagus sekali. Svarga. Halo, Svarga?"

"Cih," decih Garu sambil menahan senyum. "Kamu memang seperti apa yang mereka bilang."

"Seperti yang mereka bilang? Apa?"

"Manis."

Khirani tertawa kecil, "Senang berkenalan sama kamu, Svarga." Dan Garu mengangguk.

Perkenalan itu berlanjut. Garu semakin terang-terangan memperlihatkan bahwa ia menyukai Khirani. Dari yang memesankan makanan di kantin, membelikan Khirani kado, menemani Khirani latihan biola sampai akhirnya mereka menjadi partner panggung di banyak acara sekolah.

"Ingat, namamu adalah Khirani Gantari, mentari yang selalu mengelilingi kebahagiaan. Jangan takut, kamu yang paling bersinar," ucap Garu selalu saat Khirani gugup setiap akan naik panggung.

Garu adalah cinta pertama Khirani. Di mata Khirani, Garu bukan sekadar partner panggung, tetapi bersamanya Khirani bisa menciptakan lagu-lagu di mana tak ada jeda untuk setiap notahnya. Ia menceritakan sosok Garu dalam alunan biolanya yang penuh cinta. Bahkan, Khirani menyebut Garu seperti dinamika cressendo, di mana saat bersama pemuda itu, ia semakin bahagia, kadar bahagianya terus mengencang seperti halnya laju dinamika cressendo.

"Setelah lulus dari sini kamu mau balik ke Korea?"

Garu mengangguk, "Kamu mau ke Vienna, kan?"

"Yaaah, kalau berhasil direkrut," ucap Khirani sambil mengedarkan pandangannya ke arah langit, banyak bintang di atas sana, langit malam tampak cerah. Garu dan Khirani baru saja pulang dari acara ulang tahun Greta dan memutuskan untuk berhenti di gerobak sate.

"Pastilah, kamu pasti direkrut. Kamu udah berjuang selama ini."

"Semua juga udah berjuang selama ini. Aku nggak apa-apa meski fotoku nggak dipajang di dinding penghargaan, aku cuma pengin kuliah di sana, lebih dekat dengan sejarah Paganini."

Garu melepaskan tawanya sebentar, "Segitu cintanya, ya, kamu sama Paganini?"

Khirani tersenyum sambil mengangguk, "Kalau kamu?"

"Kalau aku cintanya sama kamu."

Kontan Khirani langsung menegakkan tubuhnya, menarik pandangannya ke langit dan langsung menunduk, tersipu, "Kamu ngomong apa, sih?"

Garu tersenyum melumat bibirnya melihat Khirani salah tingkah. Pemuda itu bangkit membayar sate, kemudian mengulurkan tangannya untuk beranjak pergi. Mereka masuk ke dalam mobil, suasana masih mencekat Khirani, pengap oleh rasa canggung.

"Kenapa diem aja? Dari tadi aja kamu ngoceh terus," kata Garu sambil menghidupkan mobilnya.

"Nggak apa-apa."

"Sheep?"

"Berhenti panggil aku Sheep!" protes Khirani seraya melayangkan tasnya ke arah Garu. Hanya karena suka dengan boneka kartun kambing, Garu memanggil Khirani dengan itu.

Garu mencekal lengan Khirani.

"Aku beneran cinta sama kamu, Khirani," ucap Garu, jeda beberapa detik, "kalau aku sudah sukses di Korea, aku pasti nyusul kamu ke Vienna."

Khirani mengangguk, tersirat senyuman yang hangat di wajahnya. Sejak itu mereka semakin dekat, Khirani memang belum yakin dengan perasaan cintanya kepada Garu karena hal itu masih membingungkan, apalagi orang tuanya sangat menentang Khirani untuk berpacaran. Garu sempat bertemu dengan ayahnya, entah apa yang terjadi sejak pertemuan Garu dan ayahnya, hubungan mereka merenggang.

Sampai akhirnya malam itu, beberapa hari sebelum hari besar Khirani. Merasa fokusnya terpecah, Khirani memberanikan diri untuk datang ke rumah Garu untuk menemui pemuda itu. Ia akan bertekad mengatakan sesuatu.

Brak! Khirani dikejutkan dengan suara yang keras dari arah dalam rumah Garu, suaranya sangat gaduh seperti orang bertengkar hebat. Karena pintunya terbuka, Khirani memberanikan diri masuk. Matanya membulat saat melihat Garu terkapar di lantai.

"Svarga!" Khirani langsung menghampiri Garu. Gadis itu bergetar hebat saat melihat darah di wajah Garu.

"Khirani? Ngapain lo di sini? Cepat pergi!"

"Nggak, nggak mau, kamu... kamu..."

"PERGI GUE BILANG!" bentak Garu menggelegar.

Belum sempat Khirani menyerap apa yang terjadi, terdengar teriakan dari arah salah satu kamar.

"Eomma?" Buru-buru Garu bangkit dan berlari ke arah kamar ibunya.

"Dasar pelacur, Jalang!" suara ayah Garu mengejutkan Khirani. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa, seluruh tubuhnya kaku untuk beranjak atau bergerak sedikit pun. Seumur-umur, ia belum pernah menyaksikan kejadian seperti itu.

"S...s...svar... ga?" Khirani berdiri dengan gemetar.

Wajah Khirani semakin memucat, ketika iris mata ayah Garu mengarahnya. Pria setengah abad itu melepas kasar leher ibu Garu dan berjalan mendekati Khirani.

"Ayah! Jangan!" Garu bangkit dan bergelayut di kaki ayahnya. "Pergi, Khi!" bentaknya ke arah Khirani.

Ayah Garu menarik rambut Garu, kemudian ditampar keras pipi pemuda itu hingga ia terpelanting ke tembok. Tersingkir dari jalan ayah Garu untuk mendekati Khirani. Sedang, Khirani sudah membeku di tempat, ia tidak bisa menggerakan sistem tubuhnya karena terkejut dengan kejadian yang mengerikan di depannya saat itu.

"Kau temannya bajingan kecil ini?" tanya ayah Garu.

Khirani tak menjawab, gadis itu hanya terdiam dengan aliran air mata yang semakin deras, bibirnya bergetar ingin teriak, tetapi terasa keluh.

"Pacarnya?" tanya ayah Garu lagi.

"Yah, Garu mohon, jangan. Yah, maafin Garu, maafin ibu." Garu mencoba menahan ayahnya untuk mengatakan hal yang buruk kepada Khirani, pemuda itu bersujud-sujud, tidak peduli beberapa kali ayahnya menempak tubuhnya.

Ayah Garu berhasil mendekati Khirani, tangannya yang mulai mengkeriput itu membelai pipi Khirani sampai ke dagu. Getaran bibir Khirani semakin kencang, kakinya terasa lemas tapi sangat kaku untuk digerakkan.

"Kau tahu? Pacarmu adalah anak jalang. Aku memunggut ibunya di tempat pelacuran. Kau masih mau pacaran dengannya?"

"Yah!"

"Dia cuma anak sundal yang tidak pernah tahu kata terima kasih!"

Garu bangkit dari tempatnya, ia berlari ke arah Khirani dan menyeretnya keluar dari rumah Garu. Pemuda itu mendorong kasar Khirani ke teras rumah dan kembali menutup pintu tanpa sepatah kata pun.

Dalam hidup Khirani, ia sama sekali tidak pernah melihat kekerasan di depannya langsung. Bahkan, saking takutnya dengan kekerasan, Khirani tidak suka dengan film atau drama dengan genre aksi.

Beberapa detik lalu melihat langsung orang yang disukai dipukul dan ditampar oleh ayahnya sendiri membuat Khirani bergetar hebat hingga merinding.

"Svarga..."

Khirani mengurung diri di kamar setelah hari itu. Ia bahkan jatuh sakit berhari-hari dan sempat dilarikan ke rumah sakit karena maag akut. Perutnya terasa mual mengingat bagaimana Garu dan ibunya dianiaya. 

Hal yang selama tak pernah Khirani tahu, tentang kehidupan gelap orang yang dicintainya itu.

•••

But, i love you so, please let me go~

Tebakan kalian benar, mereka pernah saling mencintai hingga akhirnya saling menyakiti. Berat banget jadi Khirani, kan? Disiksa oleh orang yang dicintainya sendiri.

Sampai jumpa hari Jumat
Terima kasih sudah membaca cerita ini.

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro