Desir
Seminggu sebelum pertunjukan, suasana kantor benar-benar sibuk. Meski sudah dipersiapkan dari dua bulan yang lalu tidak membuat kantor bisa bersantai, justru mereka semakin berlembur-lembur. Tiket daring yang dijual sudah ludes terjual, menyisakan tiket on the spot saja.
Aminah dan Endro bolak-balik dari kantor ke gedung yang akan dipakai pertunjukan. Tim humas sibuk mengirim undangan resmi ke berbagai tokoh literasi dan penulis-penulis lainnya. Tim marketing semakin gencar menaikan gelombang menyambut pertunjukan, spoiler pertunjukan storytelling yang diiringi musikal mulai dibocorkan. Tim produksi sibuk menyiapkan kebutuhan buku dan cenderamata bagi peserta dan undangan. Yang tidak kalah sibuk, tim gudang yang restok permintaan novel Gantari dari toko-toko buku, disamping terus melayani pesanan novel-novel lain.
Semua pekerjaan Khirani molor, yang biasanya jam empat sore pulang, Khirani baru pulang jam tujuh malam di hari kerja. Waktu bimbingan les si kembar juga turut mundur, menjadi jam setengah delapan sampai jam sepuluh malam.
Nawang memahami kondisi Khirani yang tidak memungkinkan seminggu penuh akan seperti itu, jadi Nawang meminta Khirani mengambil libur sampai pertunjukan selesai. Kebetulan sekolah si kembar sedang santai karena menyambut diesnatalis di sekolahan mereka. Kerja di Soonday yang biasanya Sabtu dan Minggu, Khirani hanya mengambil hari Minggu saja, satu hari penuh dari pagi sampai menjelang tengah malam.
Hari Sabtu, ia habiskan untuk berlatih biola bersama Reyko dan Bhanu. Mereka sudah menemukan sepuluh piece yang akan ditampilkan di pertunjukan. Mereka juga beberapa kali gladi kotor, menyesuaikan rundown piece dan diksi yang dibacakan Bhanu. Meski berbeda jenis medium seni, mereka mampu menjalankan latihan dengan mudah. Tidak ada berdebatan mengenai nada atau semacamnya, terutama Reyko dan Khirani seperti memiliki frekuensi yang sama. Mereka berdua selalu cocok dengan ide kolaborasi mereka.
Bhanu melihat Khirani yang berbeda saat bersama biolanya. Gadis itu bisa menjadi tegas, tenang, ceria dan bahkan bisa tertawa lebar saat bercengkerama dengan nada-nadanya. Bhanu bisa melihat sosok Khirani yang asli, yang tidak ada mendung di wajahnya. Bhanu mengakui, ia senang dan juga berdebar saat melihat sosok Khirani yang sebenarnya.
"Gimana kalau kita kasih Fermata di bagian saat Ganta berpisah dan saat bertemu dengan Tari kembali, kita bikin jeda untuk membiarkan penonton meresapi perpisahan dan pertemuan kembali dua karakter utama ini, gimana?" usul Reyko, di sela-sela mereka makan siang.
Khirani terkekeh di tengah kunyahannya, "Aku juga kepikiran itu sih, jadi kita bisa masuk lagi saat..."
"Ganta manggil Tari!" sambung Reyko bersamaan dengan Khirani. Detik itu juga mereka menyemburkan tawa.
"Kita memang ditakdirkan collab, ya, Khi?"
Khirani hanya tersenyum. Mereka berdua seperti memiliki dunia yang berbeda dari Bhanu yang sedari tadi hanya menatap Khirani dan Reyko secara bergantian. Perasaan asing yang Bhanu rasakan tertahan oleh kesadaran batasnya, meski tidak begitu mengenali perasaan asing itu, yang jelas perasaan itu menariknya pada adegan Ganta dalam novelnya yang mengkhawatirkan Tari setelah tak ada kabar seharian. Perasaan asing itu mirip seperti ketidaksukaan yang ingin cepat diakhiri.
"Bisa cepet nggak makannya? Kita lanjut ke piece terakhir hari ini," sela Bhanu.
Reyko mengangguk, sedangkan Khirani hanya melirik pemuda itu mengunyah dengan cepat makanan di piring dengan tidak santai.
"Khi, habis ini kamu mau ke mana?" tanya Reyko.
"Mau ke Griya Biola."
"Ngapain?" tanya Reyko dan Bhanu hampir bersamaan.
"Ada keperluan."
"Aku antar, ya?" tawar Reyko tak berselang dari jawaban Khirani. Raut wajah Bhanu menegang mendengar Reyko yang menawarkan diri untuk mengantar Khirani, ia sampai berhenti mengunyah.
"Nggak usah, nggak perlu repot-repot."
Bhanu menahan senyum karena sudah menduga ucapan penolakan dari gadis itu, air mukanya berubah melega. Ia kembali melanjutkan kunyahan. Jangankan Reyko yang baru saja dikenal, Bhanu yang sudah dikenalnya lebih dari satu bulan saja susah sekali mendengar jawaban tanpa penolakan dari Khirani.
"Tapi boleh, nggak, nebeng ke stasiun baru?"
Nada kalimat malu-malu Khirani membuat Bhanu tersedak. Bhanu terpaksa menelan makanan yang baru saja dilahapnya itu dengan cepat, ia melebarkan mata karena tidak percaya Khirani meminta bantuan ke Reyko tanpa ragu.
Padahal selama ini Bhanu selalu menawarkan bantuan sekecil apa pun itu kepadanya tetapi selalu mendapat penolakan. Sedangkan, Reyko yang tidak ada dua minggu dikenal, malah Khirani sendiri yang meminta bantuan langsung.
"Boleh, dong, nggak sekalian aku antar ke Griya Biola?"
"Nggak mau ngerepotin."
"Ih, nggak ngerepotin, tahu, nggak apa-apa, Khirani. Aku malah seneng bisa menjalin kemistri sama kamu di luar latihan."
Khirani tersenyum sambil melirik Reyko malu-malu, sebuah pemandangan yang kian memperjelas sesuatu telah terjadi di hati Bhanu. Pemuda itu jelas sekali mengekspresikan rasa ketidaksukaannya terhadap hubungan Reyko dan Khirani yang semakin dekat, bahkan bisa tergolong pesat. Muncul rasa khawatir jika seandainya Khirani menaruh hati pada temannya itu, entah mengapa Bhanu merasa tidak rela.
"Nggak usah, Rey, biar aku aja yang antar. Khi. Cepet, habiskan makananmu, kita pergi setelah piece terakhir," ujar Bhanu dengan nada datar, ia kembali melahap makanan di piring sampai tak tersisa, lalu menata piring-piring lauk di atas nampan.
Melihat Bhanu bersih-bersih gazebo di tempat mereka makan sekarang, membuat Reyko kelabakan memakan sisa makanannya di piring, tidak sempat untuk memperjuangkan keinginannya untuk mengantar Khirani.
"Nu, belum selesai nih gue!"
"Kelamaan!"
Meski merasa bingung dengan perubahan sikap Bhanu, Khirani hanya bergeming sambil menghabiskan sisa makanannya yang memang sudah tinggal satu suap. Biasanya Bhanu akan menunggu Khirani menghabiskan makanannya, menjeda waktu beberapa menit untuk memulai latihan kembali. Namun, hari ini Bhanu aneh. Makanan belum dikunyah habis oleh Khirani, Bhanu sudah mengangkat nampan untuk diusung ke bawah.
Alhasil, Khirani mengejar langkah pemuda itu menuruni tangga sambil mengunyah makanannya. Meletakkan piring di kitchen sink setelah Bhanu. Tanpa titah, Khirani mengambil spon cuci piring, kemudian menghidupakan kran air. Nawang dan si kembar sedang keluar rumah, Khirani merasa tidak enak jika tidak membantu mencuci piring.
"Kamu ngapain?" tanya Bhanu.
Khirani tidak menjawab, ia rasa tidak perlu memberi jawaban jika jawabannya itu sudah terlihat jelas, mau cuci piring.
"Nggak usah, biarin aja," cegah Bhanu, spontan memegang tangan Khirani.
Desiran yang Khirani rasakan tempo hari saat Bhanu memeluknya, kini desiran itu kembali terasa. Desiran itu berpusat di pergelangan tangannya, tepat di kulit yang disentuh oleh jemari Bhanu, perlahan menjalar ke seluruh tubuh, mendegubkan jantung dan menghangatkan kedua pipinya.
Keduanya terjebak dalam suasana itu hampir satu menit. Khirani menatap pergelangan tangannya yang dipegang Bhanu, sedang Bhanu menatap sorot mata Khirani. Hingga akhirnya Bhanu menyadari itu, ia lantas melepas tangannya dari tangan Khirani.
"Maaf." Bhanu kembali merasa kembali melakukan kebodohan, ia melumat bibirnya sendiri gugup. "Nggak usah dicuci, Khi, biarin aja."
"Terus siapa yang mau cuci? Kamu?" Khirani menoleh menatap wajah Bhanu yang masih berselimut dengan rasa gugup.
Bhanu menelan ludahnya, tatapan Khirani seolah menusuk matanya. Bhanu semakin merutuki dirinya sendiri tidak bisa menahan untuk menjaga jarak dengan gadis itu. Sudah pasti Khirani sedang kesal dengannya, Bhanu benar-benar merasa sangat bodoh.
"Ck." Khirani berdecak kesal karena Bhanu tidak juga menjawabnya, gadis itu kembali berkutat dengan cucian piring.
"Kita cuci bareng, biar cepet." Tiba-tiba Bhanu menyisingkan lengan bajunya, membantu Khirani mencuci piring.
Khirani tidak sanggup lagi berdebat, dadanya sudah penuh dengan rasa gugup, rasa yang belum Khirani pahami mengapa rasa itu selalu hadir ketika ia berdekatan dengan pemuda di sampingnya itu. Desir-desir lembut yang perlahan membuatnya tidak nyaman tetapi cukup membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
***
Begitu Khirani keluar dari Griya Biola, matanya membulat ketika melihat Bhanu masih menunggunya di luar, bersandar di mobilnya sambil memainkan gawai. Dari sekian pertemuan dengan pemuda itu, ia tak sadar jika ia tersenyum sekarang meski tipis. Ia senang melihat Bhanu di sana. Senyuman itu langsung lenyap begitu Khirani menyadari. Ada apa denganku sih? Rutuknya kesal dalam hati.
Ia kembali melirik Bhanu yang saat itu melempar senyum ke arahnya. Perlahan Khirani berjalan mendekati dengan raut wajah datar.
"Ngapain masih di sini?"
"Nunggu kamu. Saya antar pulang, ya?"
"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri," tolaknya.
Bhanu tersenyum kecut, "Kenapa sih kamu selalu nolak saya?"
"Hm?" Khirani mengerutkan kening.
"Sedangkan Reyko baru kamu kenal belum satu bulan, kamu mengiyakan tawaran bantuannya. Kenapa sih, Khi, saya ditolak terus?"
Kerjapan mata Khirani memperlihatkan jelas kebingungan Khirani untuk menjawab. Mungkin memang benar karena ia tidak mau dekat-dekat dengan Bhanu untuk yang lalu-lalu, tetapi alasannya menolak hari ini karena hatinya sedang tak baik-baik saja, Khirani ingin memperistirahatkan hatinya untuk tidak berdebar di dekat Bhanu, ia tidak ingin membiarkan itu terus terjadi. Sungguh, Khirani tidak mau terlibat perasaan lebih di antara dirinya dengan Bhanu.
"Kamu masih membenci saya, ya?" tanya Bhanu semakin membuat Khirani terpojok. "Saya janji, kok, kalau pertunjukan selesai, saya bakalan menjaga jarak sama kamu."
"Eng—." Bukan itu maksud Khirani, tetapi ia kesulitan untuk menjelaskan.
"Tapi sebelum sampai pertunjukan. Please, biarin saya buat jaga kamu. Bukan cuma kamu sama Reyko yang harus membangun kemistri, kan? Kalau kamu sama Reyko saja mau, kenapa sama saya, tidak? Padahal saya juga bagian dari pertunjukan."
Khirani benar-benar kehilangan kosakata, bibirnya terkunci tak bisa berkata-kata.
Bhanu berjalan mendekati mobilnya, kemudian membukakan pintu, "Masuk, Khi."
Dari raut wajah Bhanu terlihat bahwa pemuda itu kesal kepadanya. Khirani juga merasa menjadi pribadi yang menyebalkan, padahal Bhanu sangat baik padanya. Hanya saja, untuk kali ini, menjadi menyebalkan bukan karena ia membenci Bhanu, ia hanya sedang menjaga sesuatu agar tidak terus berkembang. Namun, Bhanu malah salah paham dan sayangnya Khirani tak mampu untuk menjelaskan.
Khirani menatap Bhanu, pemuda itu mengisyaratkan agar Khirani segera masuk ke dalam mobilnya. Tak punya pilihan lain karena tidak mau membuat Bhanu kesal dan semakin salah paham, perlahan Khirani melangkah dan masuk ke dalam mobil Bhanu.
Sepanjang perjalanan, mereka saling bergeming. Khirani merasa bersalah kepada Bhanu, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Mata Khirani menatap ke arah luar kaca mobil, perasaanya semakin tidak keruan. Belum selesai dengan hatinya yang tak baik-baik saja karena desiran aneh itu, kini tertimpa dengan rasa bersalah yang tak mampu ia luruskan. Ia merasa menjadi seseorang yang tidak tahu kebaikan orang, merasa semakin tidak pantas berteman dengan Bhanu yang baik. Dengan siapa pun.
Bhanu menghentikan laju mobilnya begitu sampai di gang indekos Khirani.
"Makasih," ucap Khirani sambil membuka pintu mobil.
Bhanu ikut membuka pintu dan keluar dari mobil, "Saya antar sampai depan kosmu."
Khirani sudah mau membuka mulut untuk menolak, tetapi sorot mata Bhanu membuatnya urung membuka mulut. Ia menghela napas panjang, kemudian kembali melanjutkan langkahnya untuk pulang diikuti Bhanu di belakangnya. Mereka terjebak rasa canggung yang sama-sama membingungkan, sama-sama menyiksa keduanya.
Rasa canggung yang dirasakan Khirani berubah menjadi takut ketika melihat sepasang sorot mata serigala muncul di pinggir gang. Kontan ia menghentikan langkahnya. Jangan sampai pemilik sorot mata serigala itu bertemu dengan Bhanu dan melakukan sesuatu yang buruk pada Bhanu.
Khirani langsung membalikan badan, "Nggak usah diantar, sampai sini aja."
Kontan Bhanu mengerutkan keningnya, kini ia benar-benar kesal dengan sikap Khirani, "Khi?"
"Aku bilang sampai sini aja," ucap Khirani dengan nada bergetar.
Raut kesal Bhanu sekejap berubah khawatir ketika menyadari mimik wajah takut Khirani yang berusaha keras Khirani sembunyikan, serta nada suara gadis itu yang bergetar.
"Kenapa, Khi?"
Bhanu melihat jelas sorot mata Khirani yang terselimuti rasa takut, bibir gadis itu juga terlihat bergetar. Bhanu merasa sesuatu terjadi pada Khirani, lantas ia memegang kedua lengan Khirani dan menelisik ke dalam tatapan gadis itu. "Khi, ada apa?" tanya Bhanu dengan nada sehalus mungkin.
Khirani melirik kearah belakang, ia benar-benar merasa kebingungan. Ia tidak mau Bhanu terlibat masalah sedang acara besar sudah di depan mata. Bhanu turut mendongak ke arah belakang Khirani yang semakin membuat Khirani ketakutan, buru-buru Khirani mendorong tubuh Bhanu untuk melepas pegangan tangan di lengannya.
"Pergi aja, nggak apa-apa."
"Nggak, nggak, saya nggak mau pergi. Saya khawatir sama kamu, kamu kenapa?"
Belum sempat Khirani menjawab, suara langkah mendekat ke mereka. Khirani memejam sebentar, ia benar-benar tidak mau sesuatu terjadi. Garu tidak boleh bertemu dengan Bhanu, begitu pula Bhanu tidak boleh bertemu dengan Garu. Karena hal itu akan menyulitkannya di hari-hari depan.
"Pulang juga, Khi. Gue udah nunggu lo dari tadi." Terdengar suara berat Garu dari arah belakangnya.
Khirani mengembuskan napas panjang sebentar, kemudian menatap dalam mata Bhanu, "Aku ada urusan sama dia, Mas Nu pulang, ya?" ucap Khirani dengan kesungguhan hati, ia benar-benar tidak mau Bhanu terlibat dengan Garu. Khirani tidak mau menarik Bhanu ke dalam masalah hubungannya dengan Garu.
Mendengar nada lembut yang Khirani ucap, serta panggilan yang ia dengar, membuat Bhanu terkejut sekaligus merasa senang. Ia tidak bisa menahan Khirani lagi, sorot mata gadis itu benar-benar menginginkannya pergi dengan cara yang baik.
"Kirimi saya pesan kalau udah sampai, ya. Sampai jumpa besok di kantor," ucap Bhanu dan Khirani mengangguk.
Meski masih merasa khawatir meninggalkan Khirani di sana, Bhanu tidak bisa berbuat apa-apa jika gadis itu sudah memintanya pergi dengan baik-baik. Bhanu masuk ke mobilnya kemudian perlahan melaju meninggalkan gang. Dari arah spion, ia melihat Khirani masih menatapnya ke arahnya pergi.
Setelah memastikan Bhanu benar-benar pergi, Khirani membalikkan badan menghadap Garu. Gadis itu memasang wajah datar yang tersirat jelas ketidaksukaannya melihat Garu di hadapannya lagi.
"Ada apa lagi?"
"Dia siapa?"
"Aku tanya ada apa lagi?"
"Gue juga tanya dia siapa?"
"Bukan urusanmu," jawab Khirani sembari melangkahkan kaki melewati Garu.
"Heh!" Garu menarik pundak kiri Khirani, "jawab gue, siapa dia?!"
Rahang Khirani mengeras, menatap Garu dengan rasa benci yang tak bisa ditahan lagi. Seminggu yang lalu ia memohon belas kasihan pemuda itu, namun Garu enggan menolongnya. Bahkan Khirani diusir setelah menjatuhkan harga diri di depan pemuda itu hanya untuk meminta belas kasih. Sekarang tak ada angin, tak ada hujan, Garu mencampuri urusannya kembali padahal sudah tidak ada apa-apa lagi di antara mereka. Tidak ada hubungan diutang dan pehutang lagi. Khirani hanya punya urusan dengan Ayah Garu, tidak dengan pemuda itu lagi.
"Dia adalah orang yang membeli tubuhku untuk membayar biaya operasi Diandra."
Manik Garu membulat penuh, rahangnya mengeras, bibirnya menganga. Pemuda itu terkuasai rasa amarah yang tak bisa ditahan. Kalimat yang benar-benar Garu benci baru saja keluar dari bibir Khirani, kalimat yang paling anti Garu dengar, kalimat yang paling menjijikan.
Plak! Garu menampar Khirani dengan keras.
***
Cerita Gantari sudah 10k views lebih, sungguh aku berterima kasih karena ini juga berkat kalian yang menemaniku dari hari pertama update dan semoga terus sampai tamat, ya.
Saya mau bagi-bagi rejeki untuk dua orang pembaca setia Gantari.
TF Goopay masing-masing 25k.
Cukup dengan memberi testimoni dengan jujur di kolom komentar, pelajaran apa yang kalian dapat sepanjang 19 bab ini. Di sini ya, good luck.
Next update aku mau kasih kejutan lagi. Pantengin terus :)
With Love, Diana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro