Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Crescendo

Hai, ketemu tiap hari kitaa 😎

Baca part ini jam berapa?

Siapin air putih, barangkali pas baca giginya kering karena nyengir mulu 🙏☺️

Jangan lupa vote dan komen, ya.
Vote dan komen salah satu bentuk apresiasi untuk penulis. It's mean a lot for me, really ☺️🥺

Oke, happy reading 💓🖤

***

Khirani sudah bangun beberapa menit yang lalu, sementara Bhanu masih terlelap. Dengkuran halus pria itu terdengar lucu, sesekali Khirani jail menutup hidung Bhanu dan membuat pria itu merengut terganggu, berakhir membelakangi Khirani.

Kini Khirani yang mengerutkan kening kaget melihat bekas kemerahan di leher dan punggung Bhanu. Jelas sekali kalau itu bekas cengkeram dan cakaran kukunya.

Pelan-pelan Khirani menyentuh bekas itu, tadi malam memang hal traumatis yang manis. Degub jantungnya pun masih tertinggal sesekali kala mengingatnya.

"Pasti sakit, ya?" lirih Khirani menyentuh bekas kukunya di tengkuk leher Bhanu.

"Nggak," jawab Bhanu dengan suara serak khas bangun tidur.

"Kamu udah bangun?"

Bhanu memutar posisinya kemudian membenamkan wajah di dada Khirani. Masih memejam, mencoba mencari kenyamanan di pelukan sang istri.

Khirani mengigit bibirnya, masih belum terbiasa dengan interaksi seintim ini meski mereka sudah melewati malam pertama. Degub jantung tadi malam kembali pulang.

"Gemes banget masih deg-degan," ujar Bhanu sambil tersenyum mendengar detak jantung Khirani yang jelas.

"Emangnya kamu nggak deg-degan?"

Bhanu mendongak, membuka satu matanya, "Mau denger?"

"Apa?"

"Jantungku."

Khirani tersenyum kecil, "Nggak. Udah, aku mau bangun." Khirani mendorong Bhanu untuk melepaskan pelukan.

Bhanu melirik jam di dinding, "Masih jam tujuh, Yang."

"Udah siang, tahu. Malu kalau Ibu sama adik-adikmu dateng kita masih di kamar."

Bhanu mengusap wajahnya, "Ya, emang kenapa? Wajarlah pengantin baru." Pria itu kembali merekatkan pelukan, "Ibu pulang nanti siang."

"Beneran?"

Bhanu menarik Khirani kini ke pelukannya, "Iyaaa... Ibu udah ngabarin, kok, kalau pulang nanti siang."

"Ya, tetep aja aku mau bangun. Mau buatin kamu sarapan."

"Nggak usah, Istriku. Ibu udah masak, tinggal ngangetin aja nanti. Emangnya kamu mau nyarap sekarang?"

"Nggak."

"Ya, udah, di sini ajaaa..." rengek Bhanu.

"Ya, udah, iya."

Khirani memberanikan diri untuk melingkarkan tangan di antara pinggang Bhanu. Napas pria itu mengenai keningnya, degub jantung yang sedari tadi tidak terdengar telinganya, tiba-tiba terdengar keras.

"Kamu deg-degan, Mas?"

"Hm," jawab pria itu dengan mata terpejam.

"Kenapa?"

"Menurutmu kenapa?" kata Bhanu dengan nada yang tersirat.

Khirani melumat bibirnya sebentar. Mendadak jantungnya turut deg-degan. Namun, satu rasa penasaran yang menggelitik mendorong Khirani untuk bertanya.

"Kamu belajar dari mana?"

Bhanu membuka mata, "Apanya?"

"Ya, itu... kamu kayak udah tahu banget sama alurnya."

Bhanu terkekeh, kemudian menarik dirinya untuk menatap Khirani.

"Aku penulis, Sayang."

"Risetnya di lapangan?"

"Gila kamu, ya?" sergah Bhanu setengah menahan tawa, "Demi Tuhan aku perjaka, Yang."

"Terus? Kok, bisa tahu banget?"

Bhanu melumat bibirnya sebentar menahan senyum. Pria itu tak lantas menjawab. Ia menggeliat sebentar lalu menoleh ke Khirani.

"Kamu lihat film porno, ya?" tebak Khirani dengan mata membulat tidak percaya.

Bhanu hanya tersenyum dan hal itu sukses membuatnya menerima pukulan dari tangan Khirani.

"Dih, emangnya kamu nggak pernah?"

"Ya, nggaklah! Jijik tahu, ih." Khirani kembali menabok bahu suaminya. Bergidik ilfeel.

"Riset, Yang, riset," alibi Bhanu.

Khirani bangkit dan turun dari ranjang. Ia tak mau mendengar hal-hal menggelikan lagi dari suaminya. Merusak momen saja.

Bhanu lompat dari ranjang, menahan Khirani keluar dari kamar.

"Mau ke mana, sih?"

"Nggak mau deket-deket kamu, mesum." Khirani mencoba melepas tangan Bhanu yang melingkar di perutnya.

Bhanu melepaskan tangan dan pelukannya. Saat Khirani membuka pintu, pria itu kembali menutupnya. Tubuh Khirani ditarik dan disudutkan ke pintu.

Tatapan Bhanu mengejar sorot Khirani yang tidak mau menatapnya.

"Lihat mataku," ujar Bhanu dengan nada rendah meminta.

Khirani membalas tatapan Bhanu, mengangkat dagunya mencoba membentengi diri agar tidak diperdaya lagi oleh pria itu. Ya, meski di dalam hatinya selalu mau.

"Memangnya tadi malem nggak bisa lihat?"

"Apa?"

"Beneran nggak bisa lihat?"

"Apa?"

"Mataku."

Khirani menahan senyum, "Apa, sih?"

Mungkin yang dimaksud Bhanu semalam sedetik pun sorot matanya tak pernah memancarkan hasrat egois untuk memiliki, tetapi hanya ada sorot cinta untuk memiliki Khirani. 

Khirani paham, hanya saja ia sudah mulai terbiasa suka untuk melihat Bhanu tergoda.

"Aku penasaran deh, Yang."

"Apa?"

"Apa yang kamu rasain?"

"Apanya?"

"Kamu loh apa-apa terus dari tadi, padahal udah tahu maksudku, kan?" protes Bhanu gemas.

"Maksudmu yang apa?" goda Khirani sambil menahan senyum.

"Ah, mbohlah." Bhanu kesal sendiri dan beranjak dari hadapan Khirani. Ia berjalan kembali ke ranjang.

"Seperti crescendo."

Bhanu menoleh.

Khirani berjalan mendekat ke Bhanu, "Apa yang aku rasakan seperti perubahan dinamika nada. Crescendo. Perubahan suara dari lembut ke kasar, dari kecil membesar, lalu semakin besar, dan semakin lantang."

"Aku nggak paham."

"Setiap sentuhan kecilmu mampu membuat sesuatu yang kecil membesar, membuat titik menjadi lingkaran, membuat apa yang aku pendam semakin meluap, membuat detak menjadi debar."

Bhanu tersenyum memahaminya. Pelan, ia mendekatkan bibirnya ke Khirani, "Mau ngerasain crescendo lagi?"

Mungkin bibir Khirani bungkam, tetapi mata dan gerakan kecil bibirnya menjawab pertanyaan Bhanu secara tidak langsung.

Dan singgahan bibir Bhanu di antara leher Khirani menjadi isyarat bahwa permainan crescendo itu dimulai kembali.

ㅁㅁㅁ

"Oke, Khirani. Fokus!"

Khirani mencoba memfokuskan dirinya duduk menunggu giliran untuk wawancara sebagai tahapan mendapatkan beasiswa sekolah musik di Sidney.

Bayangkan, kemarin baru saja menikah, tadi malam melewati malam pertama, dan sekarang harus menghadapi wawancara yang akan menentukan langkah mimpinya.

Jantung Khirani semakin sehat karena terus berdebar sejak tadi malam. Meski debar kali ini diselimuti rasa takut akan kegagalan.

Khirani melirik peserta lain, wajah-wajah mereka sama gugupnya dengan dirinya. Ada yang memejam merapal doa, ada pula yang gemetar gugup, tetapi juga ada yang hanya diam tanpa ekspresi apa pun.

Lorong panjang dan lapang di salah gedung yayasan pemberi beasiswa itu terembeti suasana tegang dan cemas.

Ada mimpi yang digantung pada masing-masing kepala, ada yang dipikul berat oleh para pundak, semua hadir di sini karena satu mimpi, satu tujuan.

Sudah lama sejak terakhir merasa debar cemas menanti hasil akhir, Khirani menarik bibirnya tersenyum. Seperti mimpi bisa ditahap ini. Puzzle bahagianya lengkap, benar-benar nyaris sempurna.

Di tengah kecemasannya menunggu giliran, seseorang menelpon. Siapa lagi jika bukan suaminya, menelpon untuk ke-10 kalinya setelah mereka berpisah dua jam yang lalu.

Khirani beranjak dari kursi tunggu, berjalan menjauh dari barisan peserta. Ia berdiri menghadap kaca besar yang menampakkan langit cerah.

"Mas, ada apa lagi, sih, nelpon terus?" protes Khirani.

"Kangen, Yang."

Khirani sudah mau mengeluarkan kalimat umpatan, tetapi urung mengingat Bhanu sudah menjadi suaminya. Perempuan itu hanya menghela napas panjang untuk meredam emosi.

Sepuluh kali menelpon dengan alasan yang sama, siapa yang tidak kesal?

"Iya, Mas, iya. Habis giliranku, aku langsung pulang, kok. Pengumumannya Senin depan."

"Hah? Senin depan? Kebetulan banget pas aku pergi, Yang."

Kata 'pergi' masih menjadi satu kata yang membuat Khirani jatuh dalam perasaan ketidakrelaan. Namun, ia harus bersikap dewasa. Lagipula, setelah pelatihan, Bhanu masih bisa pulang.

"Katanya kamu ke kantor penerbit? Telepon mulu, sih? Aku jadi nggak bisa fokus mau interview nih."

"Tujuan aku nelpon biar kamu nggak tegang. Kamu nggak usah khawatir, kalau nggak keterima, ya, udah aku bisa sekolahin kamu, kok. Duitku banyak, Yang."

"Hm, mulai..."

Soal mimpi, Khirani masih teguh dalam prinsipnya. Ia tidak mau merepotkan Bhanu meski sudah berstatus istri pria itu.

"Kira-kira selesai jam berapa? Aku jemput, ya?"

"Masih antri lima orang lagi. Mungkin selesai jam 3-an."

"Oke, aku ngebut nih biar bisa jemput kamu."

"Emang tanda tangan berapa buku?"

"Lima ribu."

"Dikit, ya?"

"Yang, lima ribu, bukan lima biji!"

Khirani tertawa kecil. Memang untuk standar Bhanu, lima ribu buku itu terbilang sedikit. Biasanya pria itu menandatangani lebih dari 15ribu buku dalam sekali masa pre-order. Karena waktunya mepet, penerbit memang membatasi hanya lima ribu buku meski pasar membludak karena ini buku terakhir sebelum Bhanu hiatus.

"Nanti jemput aku di halte seberang jalan aja, jangan jemput aku di depan gedung. Aku nggak mau keciduk dijemput penulis pemes."

"Dih. Penulis pemes itu suamimu, ya."

"Aku mau fokus interview, jangan nelepon aku lagi. Awas aja kalau nelpon lagi, aku blokir nomermu, Mas."

"Ya...aku datangi gedungmu."

"Ya... silakan tidur di luar nanti malem."

Bhanu terdengar tergelak, "Itu kamarku, ya."

"Ya, udah aku tidur sama Ibu."

Bhanu terdiam tidak ada suara, Khirani sampai mengerutkan kening dan memastikan telepon masih tersambung.

"Aku bakal culik kamu, mengajakmu berkelana sambil memainkan nada crescendo."

Blum! Seperti ada petasan yang meledak di dada Khirani. Perempuan itu menahan napas sesaat merasakan geliat kepak-kepak kupu berterbangan.

Semu merah muda semburat di wajah Khirani tepat panggilan suara itu berganti panggilan video. Setengah panik, Khirani mengusap panel menerima permintaan panggilan video dari Bhanu.

"Mas, ngapain sih vidcall? Aku mau masuk bentar lagi," protes Khirani sambil malu-malu memperlihatkan wajahnya.

Sementara Bhanu tersenyum, menatap air muka salah tingkah istrinya.

"Mau lihat istriku yang cantik. Cantik banget sih, Yang?"

"Mas, udah aku tutup. Aku mau fokus sama interviewku."

"Semoga lancar, ya. Kalau gugup inget aku aja."

"Inget kamu malah jadi berantakan fokusku."

Bhanu tersenyum lebar, "Good luck, Sayang. Muach, i love you!!!"

Khirani langsung menekan panel merah memutus panggilan video dengan Bhanu tanpa membalas kalimat cinta darinya. Khirani terburu malu karena suara terakhir Bhanu menarik perhatian beberapa orang yang lewat.

Khirani berjalan kembali ke kursi tunggu, tanpa sadar ia sudah bergeser lebih dekat dengan pintu. Itu artinya giliran Khirani akan segera datang.

Sambil duduk dan menyiapkan diri, perempuan itu tersenyum menyadari usaha Bhanu untuk membuatnya tidak gugup ternyata berhasil. Padahal beberapa waktu lalu setiap ada nama yang dipanggil untuk masuk membuat fokus Khirani buyar dan gugup.

Ajaib sekali, sekarang ia hanya menunggu namanya dipanggil dengan tenang.

"Dasar ..." gumam Khirani sambil tersenyum karena Bhanu berhasil membuatnya tidak gugup.

"Khirani Gantari!"

Tersentak kaget, Khirani spontan berdiri. Gilirannya ternyata datang lebih cepat.

"Silakan masuk."

Khirani mengangguk, ia menarik napas panjang lebih dulu kemudian mengembuskan pelan,  mencoba menumbuhkan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa prosesnya akan berjalan lancar.

Ia membuka pintu dengan rapalan doa, berusaha untuk tetap tenang agar tidak blank. Ia sudah pernah melewati proses ini, Khirani yakin ia pasti bisa.

Begitu duduk di kursi yang menghadap empat meja pewawancara, fokus Khirani langsung pecah melihat siapa di depannya kini.

Seseorang itu juga sama terkejutnya dengan Khirani. Mereka dipertemukan kembali setelah hampir empat tahun. Setelah berpisah dengan cara yang sakit, dengan rasa kecewa.

Sungguh, alur Tuhan tetap menghubungkan Khirani dengan orang-orang di masa lalu. Salah satunya kini dengan seseorang yang pernah menjadi sahabatnya, yang meninggalkan Khirani di masa-masa buruknya.

"Greta..."

***

Yang lupa sama Greta ada di bab Pasca Hari Besar. Sahabat Khirani yang sama-sama masuk Universitas Vienna dan ninggalin Khirani karena cancel culture.

See you next part!

Terima kasih buat temen-temen yang udah dukung Gantari di Karya Karsa 🥺🤍
Gimana perasaannya yang sudah ikut Mas Nu berkelana? 🥵😭

Jangan lupa follow IG penulis
dianafebi_

With Love, Diana Febi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro