Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Canggung Manis

Khirani menatap meja kerja yang penuh dengan note berwarna biru itu dengan jantung berdegub lebih dari biasanya. Ingatannya berputar, pada beberapa jam yang lalu saat ia membuka mata dan melihat dada bidang seseorang dalam jarak yang dekat. Perlahan ia mendongak mencari pemilik dada bidang itu, Khirani baru mendapati diri bahwa ia tengah dalam pelukan seseorang.

Bhanu memejam dengan dengkuran halus. Mungkin hanya jarak sejengkal antara hidung Khirani dan hidung pemuda itu, hidung yang pernah bertabrak tak sengaja dua bulan yang lalu di kereta.

Melihat Bhanu sedekat ini, rasa di hati Khirani semakin jelas. Tentang keabu-abuan itu akhirnya berwarna jelas, merah muda merona. Firasat Khirani pertama kali bertemu dengan Bhanu benar, bahwa pemuda itu akan merecoki hidupnya, tak terkecuali hatinya.

Khirani menarik diri dari pelukan Bhanu, pelan-pelan mencoba untuk tidak membangunkan pemuda itu. Sebelum beranjak pergi, mata Khirani kembali jatuh pada wajah bayi yang tertidur pulas itu.

Pandangan Khirani akhirnya jatuh pada bibir Bhanu yang melekuk sempurna, warnanya jauh lebih merah muda dari terakhir Khirani lihat. Ada tahi lalat kecil di dagunya yang terbelah, Bhanu terlihat jauh berkali lipat lebih tampan di mata Khirani pada pagi itu.

Dorongan yang tak Khirani sadari, tangan kanan gadis itu mendekat ke arah bibir Bhanu. Perlahan demi perlahan mendekat, hingga akhirnya jemari lentik Khirani menyentuh permukaan bibir Bhanu.

Pemilik bibir tiba-tiba membuka mata tanpa aba-aba, Khirani tertangkap basah sedang menyentuh bibir Bhanu. Buru-buru Khirani menarik jarinya, tetapi pemuda itu mencegah jemari Khirani untuk berlalu.

Bhanu menatap Khirani dengan sorot sendu yang mendalam, sedang Khirani tidak bisa menyembunyikan air mukanya yang masih terkejut dan canggung. Mereka terlibat serobok mata selama beberapa detik, suasana seakan pengap oleh rasa yang membuat jantung berdebar.

Perlahan Bhanu menarik tangan Khirani ke belakangnya, membuat wajah gadis itu mendekat. Kontan Khirani membulat mata, menahan napas melihat mata Bhanu begitu dekat. Jantungnya seolah meledak, Khirani merasa tidak bisa menahannya, ia memejam dalam.

Napas Bhanu terasa berembus dekat di pipi Khirani yang terasa panas, gadis itu merasakan getaran yang tak terkendalikan dan membuat tubuhnya kaku menegang. Hingga akhirnya sentuhan dari Bhanu ia rasakan di pucuk keningnya, sentuhan seperti sentilan yang lembut.

"A!" pekik kecil Khirani sembari membuka mata. Ia menangkap Bhanu tersenyum lebar sambil mengusap pucuk kening Khirani yang barusan ia sentil.

Khirani menatap Bhanu bingung, sorot matanya terlihat butuh kejelasan. Namun, pemuda itu malah berdiri tanpa penjelasan apa-apa, hanya tersenyum lebar dengan sesekali melumat bibirnya sendiri.

Bhanu menangkap kebingungan Khirani, pemuda itu kini kembali menatap dengan sendu dan mendalam seolah tidak ada fokus lain selain hanya kepada apa yang ingin ia katakan sebentar lagi untuk Khirani.

"Tunggu kamu jadi milikku, ya?"

"Hah?" Kontan reaksi Khirani semakin bingung.

"Udah siang, sebentar lagi Mas Sugik dateng, kita tunggu di bawah aja," kata Bhanu tanpa menjelaskan lebih panjang apa maksud dari kalimatnya barusan, "Ayo!" ajaknya lembut sambil mengulurkan tangan.

Khirani masih terpaku di tempat menatap telapak tangan Bhanu yang mengulur ke arahnya. Pikiran Khirani tidak terfokus, hatinya diserang berbagai perasaan yang membingungkan, rasa canggung yang mengikat, serta salah tingkah yang menyergap.

Khirani mendongak dari telapak tangan Bhanu ke arah wajah pemuda itu. Bhanu memiringkan kepalanya mengisyaratkan ajakan untuk segera beranjak, dari bawah terdengar gembok pintu utama kantor sedang dibuka seseorang.

Mendengar itu, Khirani buru-buru berdiri tanpa menyambut uluran tangan Bhanu. Gadis itu masih bingung dan salah tingkah, pipinya mungkin sudah terlihat seperti kepiting rebus. Ia berjalan meninggalkan Bhanu.

Namun, tangan pemuda itu mencegahnya untuk beranjak meninggalkannya. Lengan Khirani digenggam oleh Bhanu.

Khirani menoleh, urung berjalan keluar dari ruang rapat.

Bhanu mendekat, pemuda itu mengenggam tangannya. Mata Khirani membulat terkejut, ada desiran kuat mengalir dalam dadanya turun ke perut, terasa geli tapi sukses membuat tubuhnya menegang.

"Kamu nggak sendiri lagi sekarang, Khi," ucap Bhanu, "ada aku."

Khirani kehilangan kalimatnya, semua tertelan masuk ke tenggorokan. Menyisakan deru napas yang berembus terbata-bata.

"Ayo," ucap Bhanu sambil menarik Khirani pelan keluar dari ruang rapat.

Untuk pertama kali dalam tiga tahun ini, di masa-masa beratnya ada seseorang mengenggam tangannya lembut, mengajaknya untuk berjalan bersama, menjaganya serta menerima Khirani apa adanya.

Bhanu berhasil merobohkan benteng tinggi yang diciptakan Khirani, pemuda itu berhasil menarik Khirani dari dunia yang abu-abu ke dunia yang lebih berwarna meski semua itu belum jelas arahnya. Namun, Bhanu mampu membuat hidup Khirani yang selama ini gelap, perlahan tergradasi warna lain.

Di sini sekarang Khirani menatap meja Bhanu yang penuh dengan note-note kecil catatan pekerjaannya menjelang pertunjukan dengan rasa canggung yang manis, mengingat kejadian semalam dan tadi pagi.

"Dek Bhanu pergi bentar, Khi, ada apa?" tanya Endro.

"Pergi?" Khirani menoleh ke arah belakangnya, ke Endro yang baru saja keluar dari pintu ruangan Aminah.

Endro mengangguk, "Bentar lagi juga dateng. Ke toko reparasi hape kayaknya, hapenya rusak."

"Oh..." Khirani mengangguk-angguk sambil menelan air ludah, ponsel Bhanu rusak gara-garanya. Khirani menghela napas berat, merasa bersalah.

"Oh, iya, gimana ceritanya sih, kalian bisa kekunci di kantor?" tanya Endro sambil setengah tertawa.

Cerita Bhanu dan Khirani terjebak di kantor semalaman langsung tersebar luas setelah Sugik menceritakan kejadian tadi saat membuka pintu. Begitu membuka pintu kantor, Mas Sugik langsung melihat Bhanu dan Khirani sambil bergandengan tangan turun dari lantai dua.

Khirani tidak menjawab, ia memilih melangkah menuju anak tangga.

"Pasti gelap banget tuh di sini, kan, tiap pulangan kerja pasti dimatiin lampunya," ujar Elsa.

Terdengar gelak tawa dari karyawan yang ada di ruangan itu. Khirani mencoba tidak peduli, rasanya ia membutuhkan Bhanu untuk menjelaskan kejadian tadi malam dan juga menjelaskan di antara mereka tidak terjadi apa-apa, kecuali tadi pagi.

Tiba-tiba langkahnya berhenti ketika melihat pemuda berhoodie abu baru saja tiba di anak tangga teratas, berjalan mendekat. Menyadari ada Khirani, pemuda itu langsung melempar senyum. Mendadak Khirani salah tingkah, pipinya kembali merona, desiran halus terasa di anatara perut dan diafragmanya.

"Nah, Dek Bhanu datang..." sahut Endro, "dicariin Khirani, tuh, Dek."

Khirani semakin salah tingkah. Ia bingung harus berbuat apa. Rasanya canggung dan malu bercampur baur menyergap dirinya.

"Nyariin aku kenapa, Khi?"

"Cieee, sekarang udah aku-kamuan..." ujar Elsa, diikuti nada ciee yang sama dari karyawan yang lainnya.

Khirani merasa tidak nyaman, air muka itu langsung ditangkap oleh Bhanu, "Kamu mau turun? Gih."

Tanpa aba-aba lagi, Khirani langsung melesat menuruni tangga. Terdengar Bhanu mencoba untuk meredam godaan karyawan lain, "Udah ya, udah, yuk kerja yuk, tiga hari lagi besar!"

***

Jam makan siang tiba, Khirani bangkit dari tempatnya mengemas pesanan buku lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Bersamaan dengan itu Bhanu muncul dari arah pintu gudang, tertangkap oleh mata Khirani melalui pantulan cermin di atas wastafel. Meski sudah melihatnya, Khirani tak buru-buru untuk menoleh.

Jika hari-hari lalu ketika melihat kehadiran Bhanu, gadis itu menghela napas muak, merasa tidak nyaman, bahkan suasana hatinya langsung berantakan. Kini, hatinya kembali berantakan, tetapi berbeda suasana. Jantungnya berdebar halus, seperti hormon endorphin dilepaskan begitu saja membentuk rasa bahagia yang terbungkus dalam rasa canggungnya.

"Mau makan siang, Mas Bhanu?" tanya Sugik yang masih menyelesaikan satu pesanan.

"Iya, nih, Mas Sugik. Njenengan nggak makan siang? Kok, masih bungkus-bungkus?" Bhanu masuk ke gudang sambil melirik Khirani yang masih berdiri di depan wastafel. Pandangan mereka bertemu melalui pantulan cermin, Khirani buru-buru menunduk, mengusap-usap tangannya yang sudah bersih.

"Bentar lagi, ini tinggal satu," jawab Sugik, "jemput Khirani, toh?"

"Iya, tadi dia nyari saya nih. Khi, kamu mau makan bubur nggak?"

Khirani tidak menggubris, ia terlalu malu karena takut digoda oleh karyawan lainnya seperti beberapa jam yang lalu di lantai atas.

"Nggak. Aku ada urusan," jawabnya dengan nada datar, ia berjalan menuju loker, membukanya dan mengeluarkan tasnya.

Bhanu mendekat, "Urusan? Urusan apa?"

Khirani tak langsung menjawab, ia menutup loker dulu kemudian menanggalkan tas di bahunya. Khirani berjalan melewati Bhanu, "Ada."

"Ikut dong!" Bhanu menyusul langkah Khirani.

Terdengar isapan udara melalui celah bibir Khirani sambil melirik tajam arah Bhanu, menandakan bahwa Bhanu tidak boleh untuk mencampuri urusannya kali ini. Otomatis Bhanu berhenti melangkah, wajahnya tampak kecewa melihat respons Khirani yang kembali dingin. Bhanu pikir Khirani sudah membuka benteng. Bhanu mengangguk kecil sambil mempersilakan Khirani untuk pergi.

Tiba-tiba ada rasa kesal saat melihat Bhanu menyerah begitu saja menghadapinya, biasanya pemuda itu pantang menyerah untuk mencampuri urusan Khirani. Maksud Khirani bukan itu, ia mau Bhanu mengikutinya, bukan malah menyuruh Khirani pergi. Masih dengan perasaan kesal karena Bhanu tidak peka, Khirani berjalan keluar gudang.

Uringan-uringan, Khirani melangkah besar keluar kantor. Berharap Bhanu akan mengikutinya, ternyata saat gadis itu menoleh, tidak ada yang mengikutinya. Malah terdengar gelak tawa Bhanu bersama Sugik.

"Iiih!" Khirani kesal sendiri, bergegas menuju jalan raya dan menyeberang.

Kebetulan bus langsung datang, tak banyak menunggu, Khirani langsung naik ke bus. Duduk di salah satu bangku tengah, masih dengan perasaan yang kesal dan kecewa. Padahal hari ini ada sesuatu yang ingin Khirani sampaikan ke pemuda itu, terutama tentang pertunjukan. Meski nanti Khirani menyamar, tetapi banyak kekhawatiran yang setiap malam membayanginya, Khirani merasa meragu untuk tampil padahal waktu sudah mepet.

Khirani pernah menyampaikan itu ke Reyko. Sebagai sesama yang paham musik dan pertunjukan, Reyko hanya memberi pengertian bahwa itu adalah masalah klasik seorang musisi yang naik panggung setelah sekian lama, hanya perasaan gugup.

Meskipun Reyko tidak pernah menginjakkan kaki di pertunjukan besar, tetapi Reyko paham bahwa itu masalah klasik yang hanya bisa dihadapi dengan meningkatkan rasa percaya diri dan selalu berpikir positif. Khirani sudah mencobanya, tetapi ia merasa putus asa.

Tadi malam waktu terjebak dengan Bhanu, Khirani ingin menyampaikan hal tersebut. Namun, ia malah tenggelam sendiri pada cerita Bhanu dan melupakan masalah itu. Entah mengapa, Khirani merasa nyaman berada di dekat pemuda itu. Hari ini, saat makan siang, rencananya Khirani mau memberitahu itu dan mungkin Bhanu punya solusinya. Ah, tidak, mungkin Khirani hanya mau mendengar saran dari pemuda itu.

Bus perlahan melaju, Khirani menatap ke arah kantor. Tidak ada pertanda Bhanu menyusulnya. Gadis itu akhirnya mengembuskan napas berat, kesal dengan dirinya sendiri, tidak to the point, terlalu gengsian, hingga akhirnya ia kehilangan kesempatan.

"Mau ke mana sih, Khi?" suara itu terdengar bersamaan dengan seseorang duduk di bangku seberang.

Khirani menoleh dan terkejut, ternyata Bhanu sudah ada di dalam bus. Kapan pemuda itu menyusulnya? Perasaan tadi tidak ada? Khirani disibukan dengan rasa keheranan itu.

Bhanu mengisyaratkan Khirani untuk geser ke bangku dekat jendela agar dirinya bisa duduk di bangku yang kini Khirani tempati. Masih dengan rasa terkejut dan jantung yang berdebar, perlahan Khirani bergeser. Kini, ia duduk di samping jendela, kemudian disusul Bhanu duduk di sampingnya.

Khirani memeluk tas sembari mengedarkan pandangan ke luar jendela. Sedangkan di sampingnya, Bhanu sedang menahan senyum sambil melirik gadis itu.

"Mau ke mana, sih, Khi? Aku udah tanya loh."

"Yang nyuruh tanya siapa?" ucap Khirani sewot setengah bergumam.

"Hatiku," jawab Bhanu serta merta yang langsung membuat Khirani menoleh dan disambut senyuman lebar dari pemuda itu. "Tadi ke lantai atas, nyariin aku? Ada apa?" Bhanu mengubah topik, tidak mau Khirani merasa tertekan, sesuai dengan tips yang Teyze bilang.

Khirani menimbang-nimbang apakah sekarang waktu yang tepat untuk menguatakan kegelisahannya mengenai pertunjukan. Hatinya udah terlanjur kesal pada pemuda itu, terasa tidak ada suasana yang baik dan tepat.

"Kita ke Soonday, yuk? Udah selesai renovasi belum, ya?"

Khirani menatap ke arah depan sambil berkata, "Belum."

"Yah, sayang banget, padahal Soonday itu salah satu kafe favoritku. Apalagi ada yang cantik di sana."

Mendengar itu Khirani langsung salah tingkah, ia menahan senyum sebisa mungkin untuk tidak terlihat oleh Bhanu, Khirani menoleh ke luar jendela untuk menyembunyikan pipinya yang mungkin sudah merona.

"Siapa sih, nama owner-nya? Cantik banget dia, keren, masih muda udah punya usaha kafe yang sukses," lanjut Bhanu yang langsung mendapat respons terkejut dari Khirani.

Bhanu tampak melumat bibir menahan senyum. Sedang, Khirani menarik napas panjang kemudian kembali menatap jalanan.

"Khi, kamu suka ngemil kecoa, nggak?"

Khirani menoleh ke Bhanu dengan tatapan keheranan, bisa-bisanya pemuda itu berceloteh acak yang absurd. Bhanu tertawa kecil, "Kalau aku sih nggak pernah ngemil kecoa, ngemil sabun pernah," katanya sambil lanjut tertawa di akhir kalimat.

Khirani semakin menatap dengan pandangan aneh ke Bhanu. "Nggak lucu."

"Aku emang nggak lagi ngelawak, kok, lagi mencintaimu aja."

Gadis itu membulat mata, terkejut. Bukan merasa tersipu, tetapi malah sebaliknya. Satu cubitan mendarat tepat di sisi perut kanan Bhanu membuat pemuda itu memekik kesakitan dan kegelian.

"A! Khi!"

"Sekali lagi ngomong gitu, aku nggak mau ikut pertunjukan!"

"Kalau ngancam nggak tanggung-tanggung, ya?"

"Biarin!"

"Emangnya nggak mau?"

"Mau apa?"

"Dicintai aku."

Aliran listrik dalam jantung Khirani menegang kuat, kalimat Bhanu barusan mampu mendentumkan dada kiri gadis itu. Khirani menatap mata Bhanu yang jelas ada ketulusan di sana.

Kini Bhanu benar-benar terangan menyatakan perasaan untuknya, Khirani disergap bingung dan rasa takut. Bukan karena traumanya, tetapi karena Khirani merasa belum saatnya untuk menjalin hubungan di atas penderitaan adiknya yang masih koma.

Khirani menggeleng, "Nggak, maaf, kamu bukan tipeku."

"Emang tipemu kayak gimana?"

Khirani pikir Bhanu akan meresponsnya dengan nada candaan, tetapi yang ia dengar malah berbeda. Bhanu menanyakan hal itu dengan nada yang serius, sorot matanya pun mendukung bahwa Bhanu sedang tidak bercanda.

"Bukan kayak kamu."

Bhanu tersenyum tipis, lalu mengangguk sambil mengalihkan pandangannya ke arah depan, "Oke."

Suasana mendadak berubah menjadi canggung yang tak mengenakan, Khirani tidak mengharapkan ini, tetapi kenapa berakhir seperti ini. Ia tidak serius mengatakan itu, tetapi Bhanu malah menganggapnya serius. Khirani kembali kesal dengan dirinya sendiri.

"Kalau mau jadi tipe kamu tuh bisa nggak sih?" tiba-tiba Bhanu melanjutkan kalimatnya sembari menoleh.

"Bisa!" kontan Khirani langsung menjawab, selepas itu ia langsung menginggit bibirnya karena malu.

Bhanu tertawa kecil, "Oke."

Khirani membuang muka ke arah jendela, ia memejam sebentar merutuki dirinya sendiri. Sedang Bhanu hanya melirik gadis itu dengan senyuman lebar.

•••

Cieee yang udah mulai jelas.

Terima kasih sudah membaca cerita ini
Sampai jumpa Hari Senin :)
Bhanu ketemu Garu 😬

Jangan lupa vote, komen, and share yaa...

With Love, Diana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro