Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bubur Ayam

"Oke! Kita bekerja mulai sekarang!" kata Aminah memberi aba-aba untuk dimulainya serangkaian persiapan untuk pertunjukan yang diundur bulan depan.

Hari ke hari semua tampak sibuk, dari Aminah yang terus mengadakan meeting dengan para sponsor, Endro dan Bhanu berdiskusi mengenai diksi-diksi dari novel Gantari yang akan dipilih untuk pertunjukan, dan karyawan lain yang dibagi tim untuk jobdesk masing-masing seperti; persiapan printilan acara, merchandise, konsumsi sampai ke bagian set tata panggung. Semua bekerja sama secara optimal dengan atmosfer semangat yang menggelora.

Tim marketing juga disibukkan dengan promosi yang gencar. Dari artikel-artikel di portal daring sampai koran-koran sehingga euphoria menyambut pertunjukan mulai memanas di sosial media. Nama Bhanu Brajasena dan Gantari menjadi penulurusan paling dicari. Sosial media resmi Penerbit Cakrawala menjadi sasaran teror para penggemar Bhanu. 

Meski belum dipublikasikan secara resmi konsep pertunjukan yang akan diusung, para penggemar karya Bhanu ramai percaya bahwa peluncuran buku kali ini sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya. Mereka sangat tidak sabar untuk menanti. Bhanu adalah penulis yang berpengaruh di dunia literasi sampai penulis-penulis senior menyanggupi hadir di puluncuran bukunya, tanpa dibayar. Hal itu yang membuat antusias masyarakat semakin kencang di arus sosial media.

Meski bukan bagian dari tim inti pertunjukan, bagian gudang juga sama sibuknya. Selain memproses pesanan buku lain yang dipesan melalui marketplace resmi penerbit, tim gudang juga disibukkan distribusi novel Gantari ke toko buku seluruh Indonesia yang akan diedarkan resmi dua Minggu sebelum pertunjukan.

Sebagai khasnya Bhanu Brajasena selama bertahun-tahun menerbitkan buku, perilisan buku barunya harus di toko buku offline, ia tidak mau membuka pesanan melalui daring. Hal itu karena Bhanu ingin toko buku di negerinya ramai dikunjungi pencinta buku. Penerbit Cakrawala boleh mengorbitkan buku-bukunya melalui daring setelah enam bulan sejak perilisan pertama.

Di sela-sela sibuknya menghadiri wawancara di berbagai undangan sebagai bentuk promosi, Bhanu juga tidak berhenti di tempat untuk membujuk Khirani agar mau menjadi bagian dari pertunjukan.

"Resital, violin, panggung orkestra, penonton," kata Bhanu saat tak sengaja berpas-pasan dengan Khirani di tangga.

"Melodi, dress, spot lampu," kata Bhanu saat dirinya tak sengaja bertemu dengan Khirani di dapur kantor.

"Nanananana...nananana..." Bhanu memperaga seperti violinis, dengan biola  tak kasat mata saat berjalan di pintu gudang.

Hal itu terus ia lakukan setiap hari, ia tidak mau berhenti membujuk Khirani dengan cara apa pun. Meski sebenarnya Bhanu sudah didesak tim acara agar mau memberitahu siapa violinis yang akan tampil di pertunjukan. 

Daftar yang akan tampil sudah siap dan terdata dengan pasti, hanya bagian violinis yang masih kosong. Bhanu hanya bilang, violinis itu sudah ada dan meminta tim untuk mempercayakan hal itu kepadanya.

Sedangkan Khirani masih berdiri dengan keputusannya untuk menolak tawaran Bhanu. Sebagaimanapun pria itu membujuknya, mengiming-imingnya dengan apa pun, Khirani tetep keukeh menolak. Alasan di balik itu semua karena Khirani membenci semua hal tentang pertunjukan. 

Panggung, resital, sorot lampu, penonton. Memang benar ia masih menyukai biola, hanya saja ia sekarang benci segala hal yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian.

Khirani melepaskan diri dari gagalnya pertunjukan jika sampai hari H Bhanu masih membujuknya. Khirani merasa itu bukanlah tanggung jawabnya.

***

Siang itu kembali basah, tetapi kantor terlihat cerah karena baru saja tiba kotak makan siang dari ibu Bhanu sebagai bentuk dari dukungannya terhadap pertunjukan peluncuran buku baru putranya.

Menu makan siang kali ini masakan rumahan, semur ayam, tumis-tumisan, ayam balado, sambal petay, sayur krawu. Di lantai dua, di atas meja panjang yang biasa digunakan untuk rapat semua bersuka cita menyantapnya. Raut wajah Bhanu tidak bisa menyembunyikan rasa senang sampai akhirnya ia baru sadar, seseorang tidak ada di ruangan itu.

Bubur Ayam Mang Tampan di depan kantor menjadi pelarian Khirani, tenda biru dengan satu meja dan dua kursi plastik jauh lebih baik daripada duduk di belakang meja di ruang rapat dengan gegap gempita, riuh para karyawan menikmati masakan ibu Bhanu. Membayangkan duduk di sana saja membuat Khirani tidak nafsu makan.

Sambil menatap gerimis yang membasahi jalanan, pandangan Khirani menerawang. Tenggat waktunya membayar utang bulan ini adalah besok, sedang uangnya masih belum cukup. Ia berniat meminta gaji bulan ini cair lebih awal, tetapi ia terlalu malu dan merasa tak tahu diri karena Aminah sering memberinya kesempatan itu berulang kali. Ia tidak mau mencoreng nama baik Aminah sebagai direktur penerbitan dan membuat Aminah dianggap pilih kasih terhadap karyawannya.

Khirani menghela napas berat.

"Mang Tampan, buburnya satu, ya. Nasi buburnya dipisah, ayam dkk, di piring lain, kerupuk di piring lain." Suara itu terdengar bersamaan dengan seseorang duduk di samping Khirani.

Mengenali suara itu, Khirani enggan menoleh meski ia cukup terkejut dengan kehadiran Bhanu. Satu mangkuk bubur ayam dan satu gelas teh tawar mendarat di meja Khirani, ia bersikap biasa dan setenang mungkin meski jujur ia merasa tidak nyaman makan semeja dengan manusia yang paling ingin ia hindari saat ini. Seolah sia-sia saja kabur dari jamuan makan siang di kantor.

"Kasihan Bu Nawang, bangun pagi buta, masak makanan yang istimewa, tapi yang dimasakin malah milih bubur ayam. Ck, kasihan banget sih, Bu Nawang, udah janda, kesepian, ngurus empat anak lagi," celoteh Bhanu sarkas yang ditujukan untuk gadis di sampingnya.

Tak melihat, tak mendengar, tak perlu ditanggapi adalah jurus Khirani paling jitu untuk menghindari interaksi dengan orang lain. Khirani menganggap Bhanu hanyalah bisikan angin yang tak berwujud. Ia fokus menghabiskan bubur dan ingin segera pergi dari tempat itu secepatnya. Tak peduli dengan apa yang pemuda itu katakan.

Bubur pesanan Bhanu mendarat dengan tiga mangkuk yang berisi komponen bubur ayam. Ia menyantap nasi bubur terlebih dahulu, kemudian beralih ke mangkuk yang berisi ayam, kacang, irisan telur dan komponen bubur lainnya. Cara makan bubur ayam Bhanu yang aneh mampu mengusik perhatian Khirani, sepersekian detik bola mata gadis itu melirik ke arah pria itu. Aneh, batinnya.

Selain aneh, Bhanu juga memiliki keahlian menguras mangkuk bubur dengan cepat. Baru saja Khirani menghabiskan satu sendok sisa bubur di mangkuknya, Bhanu sudah beralih ke mangkuk terakhir, kerupuk.

"Saya pernah baca artikel di blog, kalau cara orang menyatap bubur ayam itu menggambarkan kepribadian seseorang," kata Bhanu disela-sela menikmati kerupuk, sedang Khirani tengah menyeruput teh hangatnya. "Orang yang memilih tim tidak diaduk memiliki kepribadian yang teratur, bijaksana, pemikir dan mudah stres. Sedangkan tim diaduk memiliki kepribadian jiwa petualang, humoris, dan impulsif."

Lalu, kalau kamu? Kalimat itu nyaris terlontar dari bibir Khirani jika ia tak segera menyadari bahwa Bhanu adalah manusia yang paling ia hindari saat ini.

"Kalau saya bukan tim dua-duanya. Saya tim bubur LDR." Tawanya dengan receh, "karena saya berjiwa petualang, tapi juga teratur. Saya pemikir, tapi juga humoris. Saya bijaksana dan tentu saja saya juga mudah stress." Bhanu menceritakan dirinya sendiri.

Hanya karena sayang teh hangatnya masih banyak, Khirani terpaksa mendengarkan celotehan pemuda aneh di sampingnya itu. Satu seruput demi satu seruput meski lidahnya cadas karena teh masih panas, Khirani terus mencoba menghabiskannya.

"Setelah pertunjukan, yuk, kita berpetualang! Asyik kayaknya, ya?" kalimat Bhanu itu berhasil menjadi alasan Khirani untuk menarik tubuhnya dari kursi dan berjalan mendekati penjual bubur meski tehnya masih tinggal setengah gelas. Khirani tidak mau orang lain menyimpulkan tentang dirinya dari cara ia menyatap bubur ayam, apalagi orang itu tidak ia kenal.

"Mang, mau bayar." Khirani membuka ranselnya untuk mengambil dompet.

"Traktir saya dong!" Tahu-tahu Bhanu sudah berdiri di sampingnya lagi. Saking terkejutnya, leher Khirani menoleh ke arah Bhanu yang saat itu melempar senyuman dengan raut wajah antusias.

Dulu saat masih menjadi primadona, para siswa cowok bergantian mentraktir dirinya di kantin sekolah. Meski Khirani menolak, mereka memaksa ingin membayari makanan yang Khirani pesan. Bahkan, saat dirinya jajan di luar, tak jarang ia mendapat diskon dan gratisan.

 Mendengar Bhanu yang notabene seorang cowok, meminta traktir dirinya adalah sebuah keanehan yang Khirani jumpai saat ini. Selain resek dan aneh, Bhanu adalah tipe cowok yang tak tahu malu, pikir gadis itu.

"Berapa, Mang?" Khirani membuka dompetnya yang berwarna cokelat vintage.

"Hassa! Lain kali saya yang traktir, ya." Bhanu sumringah.

"Semua tujuh belas ribu, Neng."

"Wuih, dompet Fossil!" pekik Bhanu dengan mata berbinar, "Adek saya yang pertama, pernah masuk rumah sakit gara-gara pengin dompet Fossil. Oh, jadi gitu, ya, bentuknya." Bhanu mengamati, mendekatkan wajahnya ke dompet Khirani.

Khirani dengan cepat mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu dan lekas memasukan dompet itu ke dalam tasnya kembali. Ia mengulurkan uang itu kepada penjual bubur, lalu bergegas meninggalkan tenda gerobak.

"Loh, Neng, uangnya kurang tujuh ribu!"

Di tengah guyuran gerimis, Khirani menoleh, "Harga buburnya naik?"

"Bubur Abang ini belum, Neng." Penjual itu menunjuk Bhanu yang memasang wajah seperti anak kecil yang mengharap dibelikan jajan.

Khirani menggeleng sambil berkata, "Nggak kenal."

Tangan kanan Bhanu melayang di udara ingin menggapai Khirani yang saat itu kembali menembus guyuran gerimis berjalan ke arah kantor. Air muka Bhanu berangsur menciut, kecewa. Ia menghela napas panjang sambil memandangi punggung Khirani yang kian menjauh.

"Semangat berjuang, Bang." Penjual itu mengulurkan telapak tangan kanannya.

Bhanu tertawa kecil sambil mengeluarkan dompet, "Doian, ya, Mang."

***

Terima kasih buat temen temen yang masih setia membaca cerita ini. Aku doain semoga hari hari kalian bahagia selalu. Aamiin.

Sampai jumpa hari senin, ya. 

Kira-kira Mas Nu berhasil nggak ya bujuk Khirani?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro