Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Berlayar Hingga Akhir

"Kamu akan segera menyusulku, kan?"

Bhanu yang sudah rapi mengenakan seragam dinasnya itu mengangguk, "Mungkin dua atau tiga bulan lagi aku pasti nyusul kamu. Aku selesaikan dulu masalah di sini, ya. Proses pengunduran diri tentara juga nggak selesai dengan cepat, banyak prosesnya. Jadi, aku minta kamu bersabar, hm?"

Khirani mengangguk, "Kalau dua bulan lagi, pas winter. Jadi nggak sabar main sky sama kamu."

"Aku juga nggak sabar pengin balapan renang sama kamu, Mas," sahut Diandra yang berdiri di pintu. "Ibu udah selesai masak, disuruh ke meja makan kita sarapan bareng."

"Oke, Di. Bentar lagi kita ke sana, ya?"

Diandra mengacungkan jempolnya, kemudian berlalu dari pintu. Meninggalkan Khirani yang masih tidak mau untuk berpisah dengan suaminya. Koper sudah dikemas dari semalam, hari ini Khirani dan Diandra akan kembali ke Australia.

Raut wajahnya menggelayut rasa sedih yang menunjukkan ketidakmauannya untuk kembali ke Australia padahal baru seminggu bersama sang suami setelah setahun lebih berpisah.

"Pesawat kamu tiga jam lagi, kan?" Bhanu menarik koper Khirani untuk dibawanya ke ruang tamu, memudahkan istrinya nanti ketika berangkat.

"Mas..." Khirani memeluk Bhanu dari belakang, "Aku nggak mau pergi."

"Harus." Bhanu memutar tubuhnya, menatap sambil menyelipkan anak rambut Khirani dengan pelan. "Aku pengin kamu punya panggung sendiri, yang megah, yang penuh dengan penonton. Aku akan duduk di salah satu bangku sambil menatapmu bangga. Itu mimpiku. Jadi, kamu harus kembali ke Sidney untuk mewujudkan itu, kan?"

Khirani mencebikkan bibirnya, kemudian mengangguk.

"Ya, udah, ayo sarapan dulu. Kalau berangkat jangan buru-buru, lebih baik nyampe bandara satu jam sebelum keberangkatan. Aku nggak mau, ya, kamu lari-lari ngejar pesawat."

"Nggak apa-apa, biar ketinggalan sekian," cengir Khirani.

"Sssp!" terdengar isapan kecil dari bibir Bhanu sebagai tanda protes. "Jangan macam-macam."

Khirani terkekeh sambil mengecup bibir Bhanu, "Bercanda," katanya sembari kabur keluar dari kamar.

Usai menyarap, Khirani dan Diandra pamit untuk kembali ke Australia. Bersamaan dengan itu Bhanu dijemput sebuah mobil dinas kemiliteran.

"Maaf karena nggak bisa nganter kamu ke bandara. Nanti kalau sempat, setelah apel aku minta izin buat ke bandara."

Khirani menggeleng, "Nggak usah. Jauh, tahu. Nggak perlu. Nanti aku kabarin kalau udah masuk pesawat." Khirani meraih tangan kanan Bhanu dan mengecupnya. "Aku pamit, ya. Pokoknya harus nyusul ke sana. Sama ibu, sama Binna, Nana, Noni, semuanya."

Bhanu mengangguk-angguk. Pelan, ia mengecup kening Khirani sebelum akhirnya berangkat ke Kamp. Militer di pelabuhan. Selepas mobil Bhanu melaju, Khirani juga bersiap berangkat ke bandara diantar Binna.

Hari sangat panas, bandara yang riuh dengan ratusan penumpang. Khirani berjalan menuju gate-nya setelah berpisah dengan Binna di titik pengantaran. Penerbangan kurang satu jam lagi, Khirani dan Diandra duduk di kursi tunggu setelah pengecekan tiket dan paspor.

"Kakak beruntung banget sih, dapat suami kayak Mas Nu."

"Iya. Semoga nanti kamu juga bisa ketemu sama orang kayak Mas Nu."

"Aamiin." Diandra membuka rotinya, "Mau?"

Khirani menggeleng, matanya sibuk mengirim pesan untuk suaminya. Baru saja berpisah, tapi sudah merindu. Digantinya wallpaper lama dengan foto terbaru mereka di pantai kemarin.

"Kalau nanti kita punya anak nanti mirip siapa, ya?"

"Ngebet banget punya anak, sekolah aja belum lulus," cibir Diandra diakhiri tawa.

"Ish, kamu ini," protes Khirani. "Entar kalau Mas Nu nyusul ke Aussie, kamu nanti ngekos, ya? Jangan ganggu kita," ucapnya bercanda.

Diandra mengangguk setuju, "Aku mau minta kos di hotel bintang lima yang kalau mau sarapan dianterin ke kamar. Bwe!"

Khirani tertawa, "Itu mah bukan ngekos. Ngerampok."

Tiga puluh menit menuju pemberangkatan, petugas bandara mengumumkan penumpang menuju Sidney untuk segera bersiap masuk ke dalam pesawat. Khirani sempat mengirimi pesan untuk suaminya, sebelum beranjak dari ruang tunggu.

"Astagfirullah, innalillahi wa inna lillahi rajiun!" seru salah satu penumpang. Sejenak menyita perhatian beberapa penumpang yang turut melihat ke arah televisi bandara yang tergantung di sudut ruang tunggu.

Khirani dan Diandra turut menoleh, ada berita apa yang membuat penumpang itu berseru kalimat duka.

"Baru saja terjadi ledakan di pelabuhan markas TNI Angkatan Laut, ledakan muncul pertama kali di sebuah kapal patroli yang dikabarkan menjebak tiga anggota perwira. Ledakan kembali terdengar di ruang KSAL. Densus 88 sudah tiba di lokasi, untuk sementara diduga bom bunuh diri."

BRAK! Tas violin yang tergantung di bahu kanan Khirani terjatuh ke lantai. Tangannya gemetar tergesa-gesa membuka tas untuk mengambil ponsel. Pikirannya hanya tertuju pada Bhanu, ketakutan menindihnya pelan-pelan membuat oksigen seolah lenyap dari paru-paru.

Khirani menelpon nomer Bhanu, sebuah suara muncul. "Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkaun. Mohon—"

Khirani kembali mencoba menelponnya dan jawaban operator masih sama.

"Mas Nu! Kenapa nggak aktif, sih?!!" Kejer seluruh tubuhnya terasa gemetar. Khirani mencoba menelpon nomer suaminya dan tetap tidak aktif.

Diandra yang syok itu hanya terdiam di tempat menatap video amatir di televisi yang memperlihatkan sebuah kapal bersandar terbakar. Tangannya turut gemetar, ketakutan pula merasuk ke hatinya.

Ponsel Diandra tiba-tiba bergetar, sebuah panggilan masuk dari Binna. Ketakutannya semaki menyeruak, ia menyerahkan ponselnya itu ke kakaknya. "Kak?"

Melihat siapa yang menelpon, Khirani langsung menyambar ponsel Diandra. Mengusap panel hijau dan menerima telepon dari Binna.

"Halo, Bin?"

Belum sempat mendengar suara Binna, suara pecah tangis ibu sudah terdengar. Seketika membuat Khirani terjatuh lemas di lantai. Ia menggeleng-geleng tak mau menerima kabar buruk apa pun mengenai suaminya.

"Kak... Mas Nu..."

Teriak Khirani seraya menjatuhkan ponsel, "Nggak! Nggak mungkin!!!"

***

"Hasil identifikasi melalui tes DNA menyatakan bahwa serpihan tubuh terakhir yang ditemukan adalah benar milik Lettu Jisaka Bhanu Anumerta Raja atau dikenal sebagai Bhanu Brajasena, penulis buku dan juga perwira Angkatan laut yang seminggu lalu pulang dari tugas negara. Hari ini di rumah duka, peti diserahkan secara hormat ke keluarga. Mendiang Lettu Jisaka meninggalkan seorang istri, ibu dan tiga adik perempuan. Para penggemar bukunya terus berdatangan di luar rumah duka untuk menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya."

Di antara jerit tangis dan juga alunan surah yasin, Khirani menatap peti berselimut bendera merah putih itu dengan tatapan kosong. Seperti tak punya firasat apa pun, sang suami yang pagi dipeluknya hangat, kini pulang tak utuh di dalam peti mati yang dingin.

"Anakku! Kembalikan anakku!" teriak ibu yang telah pingsan beberapa kali karena tak sanggup menerima kenyataan sang putra gugur dalam tugasnya.

Si kembar saling menguatkan satu sama lain di samping peti, meratapi seorang kakak yang selama ini menjadi pengganti ayah mereka.

Sementara Binna, dengan mata sembab dipeluk Teyze yang baru saja tiba tadi pagi dari Turki.

Diandra memeluk kakaknya dengan isak tangis yang tersedu, teramat kasihan kepada kakaknya. Baru saja rasa bahagia dipeluk, kini kesedihan kembali menyapa dalam bentuk duka.

Media mengabarkan bahwa tragedi itu adalah aksi dari teroris sebagai bentuk ancaman kepada negara atas kerusuhan di perbatasan perairan Laut China yang menangkap beberapa WNI dan WNA dalam transaksi illegal narkoba dan human trafficking yang terjadi dua bulan lalu.

Bom diledakkan di kapal anggota TNI AL yang baru saja kembali dari patroli dan juga ledakan terjadi di ruang Kepala Staff Angkatan Laut yang menewaskan salah satu perwira muda yang berada di tempat. Total jumlah korban empat anggota TNI AL.

Media berkata demikian, tetapi tidak bagi keluarga Bhanu.

Khirani meyakini bahwa tragedi ini ada kaitannya dengan kasus yang ditangani Bhanu, ada kebenaran yang sedang berusaha ditutupi, ada komplotan yang mencoba menghilangkan kebenaran itu dengan kematian Bhanu.

Bahkan beberapa menit sebelum kabar itu, Bhanu sempat menelpon ibunya. Mengatakan bahwa ia telah menyesal menjalani misi. Apa yang selama ini diyakininya, ternyata salah.

Bu Nawang kembali terluka untuk kedua kalinya, suami dan putranya ditelan kejahatan petinggi yang mencoba menutupi kebenaran.

Pemakaman dilaksanakan secara militer, Kepala Staf Angkatan Laut Jenderal Mudipto memimpin upacara. Terlihat tak kuasa menahan air mata, jika bukan karena titahnya Bhanu tidak akan menyusul sang ayah. Dipeluk kematian untuk menutupi sebuah keberanan.

"Lapor, upacara pemakaman jenazah almarhum Lettu Jisaka Bhanu Anumerta Raja, siap dimulai!"

"Lanjutkan!" KSAL Mudipto bergetar nadanya memberi perintah.

Khirani menggigit bibir, tangannya memegang erat tangan Bu Nawang duduk di atas kursi meyaksikan upacara pemakaman. Setelah pembacaan tanda jasa dan pidato singkat dari KSAL Mudipto. Upacara penurunan jenazah dilaksanakan.

"Kepada, Arwah Letnan Satu Jisaka Bhanu Anumerta Raja, hormat senjata! Grak!"

Pistol diletuskan, iringan drum band bertalun memberi penghormatan terakhir bagi Lettu Jisaka. Di bawah bentangan bendera merah putih, peti jenazah diturunkan secara perlahan.

Dengan kaki tertatih dikuatkan oleh rangkulan sang adik, Khirani menabur bunga di atas peti sang kekasih. Berderu rasa sakit yang menyayat hati, tanpa ucapan perpisahan, tanpa ciuman dan pelukan sampai jumpa, mereka dipaksa terpisah karena maut.

"Jangan seperti Putih, ya, Mas? Dia meninggalkan Patah setelah Patah berjuang untuk kembali hidup. Atau seperti Tari yang pergi meninggalkan Ganta di detik pertemuan mereka kembali."

"Tidak akan. Aku akan menjadi Jisaka Bhanu, seorang prajurit yang tidak akan pernah ingkar janji pada jalasenastrinya."

Yang lebih sakit dari momen kehilangan adalah menjalani hari setelah kehilangan itu. Di mana yang terbiasa ada, menjadi hampa dan senyap. Yang biasa dinanti, kini tidak akan pernah kembali.

Khirani duduk di kamar yang masih meninggalkan bekas aroma sang suami, menatap kosong dengan air mata mengering, masih tergambar jelas bagaimana mereka saling mengucap janji untuk menua bersama. Namun, kematian lebih dulu memeluk sang kekasih.

"Mas Nu, aku boleh tahu, nggak, soal misimu? Aku berhak tahu, Mas. Karena aku istrimu," tanya Khirani malam sebelum datang kabar buruk itu.

Bhanu menatap langit-langit kamar, dipeluknya sang kekasih dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berada di bawah kepalanya. Ada napas berat yang diembuskan, Khirani mampu melihat dada sang suami yang telanjang itu mengembang penuh kemudian mengempis dengan perlahan.

Seolah mengeluarkan sesak yang menindih dadanya.

"Jangan pernah mencari tahu, jangan pernah kamu tahu sedikit pun."

"Kenapa begitu?"

"Aku nggak mau kamu terseret. Aku nggak mau keluargaku terseret kalau kebenaran ini terungkap. Biar aku hadapi sendiri. Bahaya, Khi."

Mendengar embusan berat napas suaminya malam itu, Khirani memahami bahwa masalah yang dihadapi bukan masalah biasa. Bisa jadi, mengancam nyawa. Namun, malam itu Khirani tak meminta Bhanu untuk berhenti, bibirnya bungkam hingga malam berakhir dan hari itu tiba.

Perempuan itu kini memukul-mukul bibirnya, menyalahkan diri mengapa ia tak bisa membujuk Bhanu untuk berhenti dari misi berbahaya itu. Tamparan tangan di bibirnya sendiri semakin lama semakin keras, sakit itu sungguh sama sekali tak sebanding dengan penyesalannya detik ini.

"Kak!" Diandra masuk ke dalam kamar, berlari ke kakaknya. "Kak, jangan! Kamu ngapain, sih? Udah, udah, berhenti!" Diandra mencoba menahan tangan Khirani untuk menampari bibirnya sendiri.

Diandra tak kuasa menahan tangis melihat kakaknya yang mencoba menyakiti diri sendiri, terhantam duka yang kini seolah kembali mengantarkan Khirani pada tembok dingin yang gelap.

Khirani kembali terperangkap pada konya hitam yang menutup semua jalan keluar, terjatuh pada sumur duka yang selamanya mungkin tak bisa keluar dari sana.

"Kak...." panggil Diandra, jeda isak tangis, "Kak, aku nggak minta Kakak buat ikhlas, karena aku tahu itu pasti berat, kan? Tapi... aku mohon, jangan pergi juga. Tolong tetap di sini. Kita hadapi bersama hari-hari setelah kehilangan, hm?"

Diandra menyelipkan anak rambut Khirani, "Inget cita-cita Mas Nu, dia pengin lihat kakak punya panggung sendiri, yang megah, yang penuh dengan penonton. Meski nanti Mas Nu nggak duduk di antara bangku penonton, aku yakin dia pasti bangga sama kamu di sana. Dia pasti melihatnya dari surga."

"Aku tahu ini akan sulit, tapi di sini ada aku yang akan selalu menemanimu, Kak."

"Ada aku juga," sahut Binna dari pintu, mata gadis itu juga sembab. Menjadi adik tertua, memaksa Binna untuk tetap tegar mengurus segala keperluan pemakaman. Ia dipaksa meneggakkan punggung untuk menjadi perwakilan keluarga.

Menyusul dua si kembar dari belakang, "Ada kita."

Khirani yang sedari tadi menatap kosong, perlahan menoleh ke pintu. Tiga adik iparnya berjalan masuk dan memeluk Khirani.

"Ada ibu juga." Bu Nawang di atas kursi roda yang didorong oleh Bu Aminah.

Tangis Khirani kembali pecah. Seolah tangan-tangan mereka menarik Khirani perlahan dari tembok dingin yang gelap. Tangan-tangan mereka saling berpegang erat untuk tetap mendekap Khirani agar tak lagi jatuh pada sumur duka.

Dalam pelukan tangis orang-orang yang mencintainya, Khirani merayakan rasa duka kehilangan belahan jiwanya.

"Selamat jalan, Prajuritku. Kamu sudah membersamaiku hingga menjadi debu, kini giliranku yang menunggu waktu untuk menjadi debu dan kita kembali bertemu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro