Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Benteng

H-3 minggu menuju pertunjukan. 

Frekuensi Bhanu wira-wiri ke kantor semakin sering. Ia juga banyak menghabiskan waktunya di kantor, ikut memantau jalannya persiapan pertunjukan. Memilih merchandise sampai ke urusan tata letak panggung. Ia juga sibuk memilih foto dari tujuh negara sebagai latar pertunjukan, Bhanu ingin agar apa yang divisualisasikan menyatu dengan diksi-diksi yang ia pilih di dalam novel.

Meski Bhanu sibuk di lantai atas dan jarang berurusan dengan gudang, tak membuat Khirani akan terhindar dari pemuda itu. Mereka tidak sengaja bertemu di tangga, di dapur kantor, tempat ibadah, atau tak sengaja bertemu lagi di gerobak Bubur Ayam Mang Tampan.

Sempat terbesit tanya dalam hati Khirani mengapa Bhanu tampak menjauhinya, tetapi hal itu segera ditepis. Khirani memutuskan untuk tidak peduli, lagipula hal itu yang selama ini ia harapkan.

 Keduanya seperti dua insan yang tidak pernah saling mengenal. Bhanu masih menatapnya hangat, melempar senyum meski kentara sekali kecanggungannya, berbeda dengan Khirani semakin menganggap Bhanu tak kasat mata. Gadis itu lega, si resek itu mungkin sudah menyadari batasnya.

"Buku dataaaaang!" pekik Sugik dari pintu depan. Satu mobil box perlahan masuk ke halaman kantor. Tim gudang keluar bersiap memindah buku-buku di dalam mobil masuk ke dalam gudang dan ditata di sana.

"Ini yang buat pertunjukan nanti, ya?" tanya Aminah baru saja keluar dari pintu depan.

"Iya, Bu, totalnya ada 1000 ekslempar. Ini cetakan terbaru." Lapor petugas percetakan sambil menunjukan dokumen pengiriman buku, "silakan ditanda tangani, Bu." Ia menyerahkan dokumen itu kepada Aminah.

Aminah membumbuhi tanda tangan kemudian mengajak petugas itu masuk ke dalam kantor untuk mendiskusikan hal lain mengenai buku-buku yang cacat atau returan. "Khirani, habis bantu ini, tolong ke kantor saya, ya."

Khirani mengagguk. Tangan mungilnya berjibaku mengangkat satu persatu dus yang berisi novel-novel itu ke dalam gudang. Ia terlihat seperti keberatan dan hampir saja terjatuh di lobi kalau saja Bhanu tidak sigap menahan keseimbangan tubuh Khirani.

"Kamu nggak apa-apa?"

Khirani membenarkan posisi dus yang ia bawa, kemudian kembali berjalan menuju gudang tanpa mengindahkan perhatiaan tulus dari Bhanu.

"Biar saya saja yang bawa, ya?" Bhanu menyusul dan menawarkan bantuan.

"Kalau mau bantu di mobil masih banyak. Jangan ngerecokin kerjaan orang deh," tukas Khirani sekaligus menyindir pemuda itu terang-terangan karena kejadian minggu lalu.

Bhanu sempat terbengong, sebenarnya ia sudah menduga respons gadis itu, tapi masih nekat untuk menawarkan bantuan. Alhasil ia ditolak mentah-mentah. 

Alih-alih kesal, ia jadi punya alasan untuk berjibaku di lantai dasar, membantu distribusi buku ke gudang. Dengan semangat empat lima, Bhanu dengan gesit memindahkan dus-dus buku itu ke dalam gudang. Sugik baru meletakan satu dus, Bhanu sudah tiga dus. Sugik jadi terheran-heran meski sangat berterima kasih kerjaannya menjadi jauh lebih ringan.

"Makasih loh, Mas Bhanu. Udah dibantuin." Sugik menyengir, "ini minumannya," tawar Sugik sambil menyodorkan botol air kemasan.

Bhanu meraih botol itu dari tangan Sugik, ia memutar penutupnya kemudian menyodorkan botol itu kepada gadis yang sibuk menata tatanan dus tak jauh darinya, "Minum dulu, Khi."

"Cieeee... uhuy! Ada yang pedekate nih..." goda Sugik.

Khirani mendesah muak sambil bangkit setelah menata dus terakhir, ia berjalan menuju tasnya di dalam loker, mengeluarkan botol berisi air minum. Kemudian meminum air itu di depan Bhanu yang masih mengulurkan botol ke arahnya.

"Oh, bagus tuh minuman bawa sendiri. Lebih sehat, hemat lagi." Bhanu terkekeh, "Oih, Mas Sugik, makasih minumannya, ya?" Bhanu membuka minuman itu kemudian meneguknya sambil berjalan keluar gudang.

"Yo, Mas," jawab Sugik, kemudian menoleh ke arah Khirani yang tampak datar, seperti tak merasa bersalah sedikit pun sudah mengabaikan kebaikan orang lain kepadanya.

"Parah kamu, ya, setidaknya kalau nggak mau nerima itu bilang. Emangnya kamu anggap Mas Bhanu itu batu? Dia itu penulis andalan kita, penulis yang berjasa banget sama penerbit ini. Bisa nggak, sih, jangan terlalu ketus gitu?"

Khirani menutup lokernya, berlalu meninggalkan gudang tanpa membalas teguran dari Sugik.

"Woy, kurang ajar banget, orang tua ngomong nggak digubris!" Sugik merasa tersinggung. Sugik tak habis pikir bisa bekerja sama dengan manusia aneh seperti Khirani. Ia merasa benar-benar ketiban sial, emosi mulu setiap melihat kelakuan dingin gadis itu.

***

"Gimana perkembangan Diandra?"

Khirani bergeming tak lantas menjawab, ia tidak mau Aminah tahu kalau Garu sudah berhenti membayari perawatan adiknya. Khirani tidak mau Aminah bersikeras untuk membiayai perawatan Diandra seperti tahun lalu. Aminah sudah banyak membantu, Khirani tak mau merepotkan perempuan itu lagi. Lebih kasarnya, ia tak mau dikasihani siapa pun, termasuk Aminah yang selama ini sudah baik kepadanya.

"Baik."

Aminah menatap Khirani dengan sendu. Benteng tinggi yang diciptakan gadis itu masih berdiri kokoh, bahkan kepada Aminah yang sudah menganggap Khirani sebagai anaknya sendiri. Benteng itu menyekat dirinya dengan dunia luar, terkungkung gelap dan kesepian. Aminah sudah berkali-kali mencoba masuk ke dalam benteng tersebut. Nyatanya, itu bukanlah hal yang mudah.

"Keluarga Garu masih membiayai perawatan Diandra?" Aminah hanya sebatas tahu itu, tidak dengan penganiayan fisik yang dialami Khirani.

"Bu Aminah manggil saya ke sini ada apa? Mas Sugik udah mau nutup gudang." Khirani mengalihkan pembicaraan dan Aminah sadar akan hal itu.

Aminah mendesah sedikit kecewa karena usahanya kali ini untuk menerobos benteng Khirani kembali gagal. Namun, ia berusaha menarik senyum dan berpikir untuk mencobanya lagi lain kali, "Saya dengar kamu kerja paruh waktu di kedai?"

Khirani menduga Bhanu pasti yang bilang kepada Aminah. Namun, Khirani enggan mempermasalahkan. Ia hanya mengangguk.

"Udah lama? Setiap hari?"

"Baru, kerjanya cuma sabtu minggu."

"Ooh..." Aminah mengangguk-angguk kecil, "sebenarnya saya mau menawarimu jadi guru les biola anak teman saya. Dia masih kecil, sih, teknik dasar."

Sebuah tawaran yang jauh lebih baik dari pekerjaannya di kedai. Ia tidak perlu mengandalkan fisik terlalu berat, teknik dasar  sudah Khirani hapal di luar kepala. Itu sangat ringan.

"Kerjanya setiap hari sabtu dan setiap pertemuan mereka mau kasih 250 ribu perjam. Tergantung kalau si anaknya mau lebih dari satu jam, itu berarti dalam satu pertemuan bisa dapat 500 ribu atau lebih."

Khirani menelan ludah, tawaran itu sangat menggiurkan. Apalagi ia butuh banyak uang sekarang untuk makan, sewa indekos, biaya perawatan Diandra dan juga membayar utang ke Garu.

"Saya bilang kalau dulu kamu pernah sekolah di Musica Art, juga keterima di kampus musik Vienna. Mereka langsung setuju."

"Tapi saya nggak pernah lulus sekolah dan belum resmi diterima di Vienna."

"Saya juga bilang itu, kok, dan mereka nggak masalah. Itu sudah jadi bukti kamu punya ilmu biola yang bagus. Mereka hanya butuh ilmu bukan sertifikasimu. Mereka mau mempertimbangkan nanti setelah mendengar permainanmu dan saya yakin mereka langsung suka. Kamu punya bakat luar biasa."

Khirani bergeming sejenak, pikirannya meroda mempertimbangkan segala hal. Keterlibatan Aminah, menjadi guru les biola, tentang masa lalunya yang mungkin suatu hari akan dipermasalahkan. Ia tidak mau dipermalukan lagi atas kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat, seperti apa yang pernah ia terima tiga tahun lalu di sekolahnya.

"Saya pikirkan dulu."

Aminah mendesah, kecewa. "Oke, tidak apa-apa. Tolong cepet putuskan, ya. Mereka juga sedang mempertimbangkan guru-guru lain. Saya harap kamu mau menerima pekerjaan ini, jauh lebih ringan dari pekerjaanmu di kedai, kan?"

Khirani mengiyakan dalam hati, pikirannya masih menimbang-nimbang. Keputusannya untuk memikirkan kembali pekerjaan itu adalah hal yang tepat, ia harus mempertimbangkan dengan matang. Ia butuh waktu, apalagi harus masuk ke lingkungan kelas menengah atas.

Suara ketukan pintu terdengar.

"Masuk," seru Aminah.

"Bu, saya jadi ikut-," Bhanu muncul, ia melihat Khirani duduk di depan meja kerja Aminah. "Ops, saya tunggu-," kalimatnya kembali terpotong saat melihat Khirani beranjak dari tempatnya.

"Saya permisi dulu, Bu, akan saya pikirkan lagi."

"Oke, saya harap kamu memilih keputusan yang tepat. Saya tunggu, ya."

Khirani mengangguk kemudian membalikan badannya dan berjalan ke arah pintu. Bhanu membuka pintu lebih lebar, tentu saja dengan seulas senyuman. Namun, jangankan untuk membalas senyuman Bhanu, menatapnya saja tidak. Khirani berlalu di hadapan Bhanu tanpa respons apa-apa.

"Bentengnya kokoh banget, ya?" sahut Aminah setelah Khirani keluar dari ruangannya.

"Hm?" fokus Bhanu teralihkan, detik selanjutnya ia terkekeh saat paham maksud Aminah, "Dari beton premium kayaknya."

***

"Jadi ini masih salah ya, Ssaem?" tanya Noni sambil menunjukan lembar kerja soal matematikanya. Namun, Khirani tidak jua menanggapi. Guru lesnya itu sedang menatap keluar jendela yang saat itu sedang turun hujan.

"Seonsaeng-nim?" panggil Noni hati-hati sambil menyenggol saudari kembarnya dengan siku. Nana menoleh ke arahnya, mereka saling berpandang. Sejak awal pembelajaran hari ini, guru les mereka banyak melamun, terlihat seperti memikirkan sesuau.

"Kata orang, hujan itu terdiri dari 1% air, 99% nya kenangan," celetuk Nana.

Celetukan Nana akhirnya menyadarkan lamunan Khirani, perlahan fokusnya kembali. "Maaf, yang mana tadi, Non?"

"Lagi banyak pikiran ya, Ssaem?" tanya Noni.

Khirani membuka paket bukunya, "Tadi kamu yang salah yang mana? Aku jelasin lagi, ya." Ia mengalihkan pembicaraan.

"Yang salah itu, Seonsaeng-nim!" Noni menutup paket buku yang dibuka Khirani, "kita istirahat dulu, ya, bentar lagi waktunya makan malam. Kita lanjut habis makan malam. Gimana? Nana?"

"Kol!" sahut Nana setuju.

"Maaf, ya, lagi kepikiran sesuatu," kata Khirani merasa bersalah.

"Its okay, Ssaem. Kata Mas Nu, menjadi dewasa itu memang rumit, banyak yang harus dipikirin. Kita kaum remaja harus memahami," kata Noni dan Nana mengangguk setuju dengan pendapat kembarannya.

Khirani tersenyum tipis, mengingatkan dirinya di masa lalu saat masih remaja. Kehidupannya yang sempurna, masa-masa yang paling bersinar, masa-masa paling diberkahi banyak kebahagiaan. Ia tak pernah menyangka bahwa masa remajanya berakhir cepat dan menyambut masa dewasa dengan ketidaksiapan. Menjadi dewasa masih menjadi bagian terumit yang coba Khirani jalani saat ini.

"Ngomong-ngomong, sudah seminggu di sini saya nggak pernah ketemu sama kakak-kakak kalian, ya?"

Sambil mencomot pisang goreng buatan Nawang di meja, Nana menjawab, "Mas Nu lagi sibuk sama persiapan acara di kerjaannya, dia jarang di rumah, kalau pulang pasti malam. Rapat sana sani. Kalau Mbak Bin perginya pagi habis subuh, kuliahnya pagi terus beberapa hari ini. Pulangnya juga gitu, kadang barengan sama Mas Nu."

"Mmm..." Khirani mengangguk-angguk sambil memandangi foto yang berderet di meja, foto pemuda yang memakai kaca mata dengan poni hampir menutupi satu matanya itu terasa tak asing. Sudah satu minggu mengajar les di sini, hal itu yang terkadang mengganggunya.

"Mas Nu jelek banget ya?" tanya Nana yang menyadari Khirani memandangi foto kakaknya, "apalagi kalau udah kumat, dia kayak gorilla. Rambut sama jambangnya ngerimbun. Lo inget nggak, Non, waktu Mas Nu diusir satpam kompleks?" Nana menahan tawa.

Noni menyemburkan tawa, "Iya, hahaha. Dikira gelandangan. Hampir aja ditelponin Satpol PP mau dikirim ke dinas sosial." Si kembar tertawa terbahak-bahak.

Riuh tawa mereka menarik sudut bibir Khirani untuk tersenyum. Keluarga mereka terlihat asyik dan ramai. Khirani selalu merasakan atmosfer hangat setiap kali datang ke rumah ini. Ibu mereka yang bawel tetapi menyenangkan, si kembar yang ramai, kakak-kakak mereka yang dewasa tetap menyeimbangi pondasi keluarga. Meski kegemaran mereka berbeda, mereka tampak saling mendukung.

Si kembar pernah bercerita tentang mengapa ibu mereka yang notebene pencinta kebudayaan jawa membiarkan anak-anaknya menggemari kebudayaan luar. Seperti memperbolehkan si kembar berbicara bahasa asing atau mengoleksi perintilan grub band luar yang terkenal mahal. Bahkan kamar si kembar penuh dengan poster-poster empat perempuan cantik yang mereka sebut dengan Blackpink, nyaris tidak ada sesuatu barang yang berhubungan dengan kebudayaan jawa, selain ukiran-ukiran kayu di meja rias dan jendela mereka yang beraksen jawa.

Si kembar menjelaskan bahwa ibu mereka tidak serta merta memperbolehkan. Harus ada usaha yang mereka lakukan, seperti sebelum menguasai bahasa asing, mereka harus menguasai bahasa ibu yakni bahasa jawa. Sebelum mereka menggemari total kebudayaan luar, mereka harus memahami kebudayaan jawa terlebih dahulu seperti paham beberapa aspek kebudayaan jawa; kesenian, hikayat, tata karma dan prinsip perempuan jawa. 

Tidak sampai di situ, mereka juga harus membuat sebuah perjanjian untuk selalu menjunjung tinggi kebudayaan jawa di atas kebudayaan asing. Yang artinya, mereka tidak malu mengakui jawa sebagai budaya asli mereka.

Nawang juga mendukung seratus persen impian anak-anaknya asal impian mereka tidak mengubah prinsip dasar keturunan jawa yang di mana sangat menjunjung tata karma. Mereka boleh membagi fokus sekolah dengan impian, asal mereka bisa menyeimbangi keduanya.

Prinsip yang diajarkan Nawang seperti prinsip yang dipegang ayah Khirani. Khirani didukung penuh meraih mimpinya menjadi pemain biola terkenal, tetapi ia juga harus dituntut untuk tetap menyeimbangkan nilai akademik. Keputusannya menekuni biola sebagai passionnya penuh dengan risiko, sejak kecil ia selalu berusaha keras agar mampu meyakinkan ayahnya bahwa ia mampu untuk menyeimbangkan mimpi dan pendidikan. 

Namun, sayang sekali, segala usahanya sia-sia saat sang ayah sendiri melanggar prinsip paling dasar untuk menjadi manusia, yakni menghilangkan nyawa orang lain.

"Mas Nu kalian kerja kantoran?"

"Kadang jadi CEO, kadang jadi preman, kadang jadi dokter, kadang juga jadi pujangga," jawab Noni sambil menahan tawa.

"Kadang jadi Panglima Ndoro Kanjeng," imbuh Nana yang juga menahan tawa.

Khirani mengerutkan kening, bingung dengan jawaban si kembar, "Kok beda-beda gitu, emangnya kerja di mana?"

"PT. Menghayal," jawab si kembar sambil menyeburkan tawa yang meledak.

Khirani ikut tersenyum walau tipis, recahan si kembar cukup menghiburnya. Mendadak ia jadi teringat Diandra, gadis itu juga suka sekali mereceh dan lawakannya kadang sampai membuat Khirani tertawa terpingkal-pingkal. Sudah setahun lamanya Khirani tidak mendengar recehan sang adik. Ia begitu merindukan Diandra.

"Kalau Seonsaeng-nim punya saudara? Kakak?" tanya Nana.

Khirani tersenyum getir sambil mengangguk, "Adik. Perempuan."

"Siapa namanya, Ssaem? Seumuran sama kita?" tanya Noni antusias.

"NANA NONI! Bisa bantu Ibu nggak nyiapin makan malam?"

"Sendiko, Kanjeeeng!" jawab si kembar sembari bangkit, "bentar, ya, Ssaem. We will back soon!" Si kembar melesat dari ruang tengah ke dapur membantu ibu.

Khirani mengeluarkan ponsel dalam sakun, ia menatap layar ponselnya yang retak itu dengan bendungan air mata. Ada gambar dirinya dan sang adik memakai seragam SMA bercengkerama dalam satu frame, Diandra tertawa lebar dalam pelukan kakaknya yang memejamkan mata sambil tersenyum. Foto bersama terakhir sebelum hari besar itu datang.

Saat itu mereka pulang dari sekolah lalu melipir ke pantai, bermain air laut, kejar-kejaran dan menikmati senja sambil bercerita banyak hal. Tentang mimpi, tentang seseorang, tentang masa-masa yang akan datang. Mereka membuat janji, bahwa apa pun yang terjadi mereka akan selalu mendukung satu sama lain.

"Kalau nanti Kakak ngadain konser solo, aku harus duduk paling depan. Jangan lupa sebut namaku sebagai salah satu support sistem Kakak di sambutan nanti. Pokoknya, aku mau nanti pas konser solo Kakak mempersembahkan lagu My Heart Will Go On khusus buat aku."

Khirani terkekeh, "Oke. Siap."

"Janji?"

"Janji!"

"Yeaaay! Nanti kalau tour konser, pokoknya aku harus ikut!" Diandra berlarian di antara ombak, rambut panjangnya tergerai ke sana kemari tersibak angin, senyumnya yang lebar begitu tampak menghangatkan.

"Di ... bangun. Ayo kita wujudkan mimpi kita..." ucap lirih Khirani terdengar pilu, sambil mengusap foto Diandra di layar ponselnya.

*** 

Terima kasih sudah membaca cerita ini.

Insyaallah 10k view bakal ada giveaway transfer shopeepay.

Jadi, ajak yuk kenalan, pasangan, mantan, tetangga kalian buat baca cerita ini. Biar cepet 10k view mwehehehe...

Oh, ya, buat temen-temen yang punya aplikasi Fizzo, kunjungi nama pena BLUE LATTE ya, saya juga menulis di sana, update setiap hari dan tentu gratis tis tis...

Oke, sampai jumpa hari Sabtu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro