Australia dan Rasa Rindu
Sidney Conservatorium music adalah sekolah music yang terdaftar sebagai warisan budaya di Macquarie Street, Sydneym, New South Wales, Australia. Salah satu sekolah musik tertua dan paling bergengsi di Australia. Terletak bersebelahan dengan Royal Botanic Gardens di pinggiran timur distrik bisnis pusat Sydney.
Selain berfungsi untuk pengajaran dan pembelajaran pendidikan menengah, sarjana dan pasca sarjana dan masyarakat, konservatori melalukan penelitian di berbagai bidang musik. Salah satu alumni terkenal dari Indonesia adalah Indra Lesmana, satu almamater dengan Miss World Australia 2013, Erin Holland.
Khirani berdiri di gedung bertuliskan Sydney Conservatorium Music, matanya berkaca-kaca. Meskipun bukan tempat impian, tetapi tempat itu yang akan mewujudkan mimpi Khirani yang sempat tenggelam.
Untuk diri yang pernah di titik terendah, yang seolah mustahil untuk bangkit, yang seolah dunia telah berakhir, berbanggalah atas kemauan untuk kembali menghidupkan mimpi yang sempat mati cahayanya.
Dunia tak selamanya kejam, kita yang terlalu menutup mata pada cela-cela kebaikan dunia. Banyak kesempatan yang terlewat karena ketidakpercayaan diri atas kemampuan yang dimiliki.
Dalam bermain biola, ada di mana saat jeda dibutuhkan untuk mengatur ritme tetap pada notasi atau pada saat akan masuk pada nada tinggi. Mungkin tiga tahun ke belakang adalah waktu jeda bagi Khirani, menempatkan dirinya pada ritme yang sesuai dengan notasi atau masuk pada not yang lebih tinggi.
Setiap manusia, membutuh jeda untuk langkah yang lebih baik ke depannya. Jeda bukanlah sebuah dosa, tidak apa-apa dengan jeda asal tidak berhenti dan putar balik, menyerah.
Seperti halnya saat lari, untuk mencapai hasil lompatan yang lebih tinggi dibutuhkan dua-tiga langkah mundur. Bukan berarti mengalami kemunduran, tetapi untuk mempersiapkan langkah yang lebih baik dan hasil yang mendekati sempurna.
Tidak mengapa terasa tertinggal daripada yang lain, tidak mengapa merasa diri terjebak pada satu titik. Asal di benak masih menggantung mimpi, kita akan tumbuh baik dengan cara yang lain, yang mungkin lebih baik daripada yang lain.
"Udah sampai, Kak?"
"Iya, kakak lagi berdiri di depan gedungnya."
"Aaaa! Happy for you!" pekik Diandra melalui sambungan panggilan video.
"Khi, selalu hati-hati, ya, sama orang asing. Jangan lupa buat kasih kabar kalau ada apa-apa," sahut Bu Aminah bersebelahan dengan Diandra.
Khirani tersenyum lalu mengangguk, "Iya, Bu."
Sejak status Bu Aminah terungkap, memang ada tembok canggung yang membatasi mereka. Namun, Khirani sudah meyakini diri untuk menerima jalan yang sudah Tuhan berikan. Kehadiran Bu Aminah amat berarti baginya, khususnya detik ini ketika ia meninggalkan Diandra yang sedang menjalani terapi pemulihan.
"Kalau makan jangan sampai telat-telat, kalau capek banget beli aja makanannya, nggak usah masak."
Khirani mengangguk.
"Semoga lancar, ya, Khi. Ibu sama Diandra di sini selalu doain kamu di sana."
"Makasih, Bu," ucap Khirani berbarengan dengan notifikasi panggilan dari Binna, "Bu, ada telpon dari Bu Nawang, nanti aku telpon lagi, ya?"
Bu Aminah mengangguk, sebelum panggilan video itu putus dan berganti dengan panggilan video dari Binna. Terlihat rusuh Nana, Noni dan Binna bergantian ingin menampakkan diri di dalam panggilan video.
"Kak Khi, gimana hari pertama?" tanya Binna, yang kemudian didorong adiknya, Nana.
"Kak Khi, ketemu kangguru, nggak di sana?"
"Apaan, sih, pertanyaanmu. Kangguru mana ada di kota?" protes Noni, menjambak Nana untuk menyingkir dari depan ponsel, "Kak Khi, katanya di sana lagi mau winter, ya? Dingin, nggak?"
Terjadi keributan sampai Bu Nawang menjewer satu persatu anaknya, meminta mereka untuk memberi kesempatan untuknya mengobrol dengan Khirani. Sementara Khirani hanya tersenyum, baru saja mendarat di Australia, tetapi ia sudah merindukan mereka.
"Nduk, jangan lupa minum jahe anget, ya? Ibu udah siapin bubuk jahenya di koper makanan, diminum. Kalau keluar pakai jaket yang tebal, biar nggak masuk angin."
"Iya, Bu. Khirani pasti minum jahenya. Makasih, ya, Bu."
"Hati-hati ya, di sana. Kalau ngerasa kesulitan, nggak usah pikir panjang buat nelpon rumah. Aku ini ibumu, udah aku anggap anak sendiri, bukan anak menantu. Jaga kesehatan, ya?"
"Iya, Bu."
Tak lama mengobrol layaknya keluarga yang mencemaskan seorang anak yang baru saja tiba di perantauan. Khirani merasa amat beruntung memiliki mereka, perhatian dan kasih sayang mereka melebihi keluarganya sendiri. Sang ibu entah di mana sekarang.
Khirani menatap gedung sekolahnya dengan senyuman mengembang, mencoba mengobati perasaan sedihnya karena orang yang ditunggu-tunggu untuk menelpon tak kunjung menelpon bahkan sejak ia tiba di Australia dua hari yang lalu.
Perempuan itu mengembuskan napas panjang, kemudian mencetak senyuman yang lebar. Senyuman itu diarahkan ke kamera, mencetak swafoto dirinya yang terlihat bahagia berdiri di depan gedung sekolahnya yang baru.
Swafoto itu dikirim ke Bhanu, yang sampai detik ini masih centang satu.
"Misi berhasil, Mas. Istrimu sudah sampai di tangga pertama panggung impiannya." Begitu pesan yang tertulis pada swafoto yang ia kirim ke Bhanu.
***
Biaya hidup di Australia ternyata di luar prediksi Khirani. Ia tidak bisa mengandalkan dana beasiswa saja, karena menyewa tempat tinggal di sini sangat mahal. Ia terpaksa menggunakan uang Bhanu yang disiapkan untuknya.
Khirani menyewa sebuah rumah studio berjarak lima belas menit dari sekolah, rumah di lantai lima dengan dua kamar, ruang tamu, kamar mandi, dapur dan balkon yang menghadap ke gedung-gedung tinggi di Sydney.
Jakarta yang panas bertemu dengan awal musim dingin Australia membuat Khirani sedikit kesulitan untuk beradaptasi, beruntung bubuk jahe yang disiapkan Bu Nawang membantu menjaga staminanya.
Hari demi hari di jalani, setiap kesempatan Khirani membagi foto ke Bhanu yang belum aktif hingga dua Minggu kedatangan Khirani ke sini.
"Mas, aku punya temen baru. Namanya Priya dari India, dia pemain Cello. Kami tinggal di satu gedung. Dia baik banget sering mengajakku mengobrol."
"Mas, Profesor di kelasku mengajakku bergabung di klub orchestra! Seneng bangettt!"
"Mas, lihatlah buku-buku jariku, kapalan karena sering menggesek biola. Tapi, aku seneng, Mas. Seneng lihat jariku yang kapalan hahaha. Semakin tebal kapalanku, berarti semakin keras usahaku untuk jadi violinis hebat!"
"Mas, kangen banget...."
"Mas, ada mahasiswa dari Indonesia, dia penggemar buku-bukumu. Tapi, aku nggak bilang kalau aku istrimu. Dia sedih karena kamu balik ke militer. Hahaha... dia ketua penggemar fanbasemu, banyak pembaca yang menantikan buku barumu."
"Mas, dingin banget di sini... kamu di laut, ya?"
"Mas, kamu baik-baik aja, kan? Udah dua bulan kamu nggak ada kabar. Sekarang udah musim semi di sini, udaranya udah mulai hangat."
"Mas, aku beneran kangen banget sama kamu. Tolong, telepon aku langsung ya begitu kamu dapet sinyal."
Rentetan pesan itu tidak kunjung centang dua, tak ada balasan satu pun sejak Khirani menginjakkan kaki di Sydney. Khirani mengembuskan napas panjang sembari menatap matahari yang baru saja muncul ke permukaan, mulai menghangatkan dirinya yang berdiri sejak subuh tadi.
Menjalani hari-hari seperti biasa, membuat sarapan dan bersiap sambil menelpon Diandra.
"Kata dokter bulan depan udah masuk ke terapi jalan di luar ruangan. Bu Aminah daftarin aku renang, kata dokter juga renang termasuk terapi yang baik."
"Seneng dengernya, semoga cepet bisa jalan, ya, Di. Biar bisa nemenin kakak di sini," kata Khirani sambil mengaitkan tali sepatunya. "Kakak besok udah aktif ikut klub orchestra, ya meskipun nggak jadi main violin, tapi kakak seneng banget bisa tampil bulan depan."
"Jadi nggak sabar lihat kakak main biola di panggung orchestra! Pokoknya aku bakalan lebih giat lagi latihan biar bisa cepet nyusul kakak ke sana."
Khirani mengaitkan tali sepatu satunya, "Kakak udah nyiapin kamar, udah kudekor sesuai dengan kamu banget. Paus dan laut."
"Kakak ngecat sendiri?"
"Iya. Pakai stiker, hehe. Tapi, bagus, kok, jadi nggak sabar kamu tinggal di sini." Khirani berdiri dan meraih tas biolanya, kemudian menyilangkan tas itu di punggung, "Di, kakak berangkat dulu, ya?"
"Oke, Kak. Nanti kalau pulang telepon lagi, ya!"
"Hm. Kakak tutup dulu."
Usai memutus sambungan telepon, Khirani keluar dari rumahnya. Turun dari gedung, ia menaiki sepeda yang baru dibeli beberapa Minggu yang lalu. Menikmati suasana pagi dengan bersepeda tampak menggiurkan untuk dijalani setelah melihat Priya melakukannya lebih dulu.
"Khiran!"
"Hey, Priya, Kau bilang tidak ada kelas hari ini," ucapnya dalam bahasa inggris.
Priya gadis india yang memiliki rambut hitam legam itu menyusul sepeda Khirani, "Profesor Jeff mencari pemain Cello untuk orchestra bulan depan. Aku ingin mendaftarkan diri."
"Wah, keren! Aku harap kau lolos, biar kita bisa sepanggung bersama."
Mereka bersepeda bareng, menyusuri jalan menuju sekolah dengan banyak mengobrol. Kepribadian Priya yang terbuka dan ceria mampu membuka dinding Khirani yang terbangun karena traumanya bersahabat dengan teman sekolah.
Meski awalnya Priya sempat kesal karena Khirani sangat tertutup, berkat bubuk jahe Bu Nawang saat Priya terserang flu membuat hubungan mereka dekat.
Usai dua jam latihan di gedung orchestra, Khirani bersiap untuk pulang. Profesor meminta Khirani untuk mencoba menjadi main violin di latihan selanjutnya. Jujur, hal itu membuatnya takut, tetapi ia tak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengangguk sanggup, meski entah nanti ia sanggup berperang dengan traumanya atau tidak.
"Hei, Khirani, seseorang mencarimu." Salah satu temannya memberitahu Khirani begitu ia keluar dari gedung orchestra.
"Mencariku? Siapa?"
Temannya itu menunjuk ke arah belakang perempuan itu. Khirani menoleh dan mendapati seseorang berdiri di sana dengan senyuman. Seseorang yang sangat dirindukan.
"Mas Nu?"
Pria itu merenggangkan tangannya, ingin menyambut pelukan dari perempuannya. Masih dengan rasa tidak percaya, Khirani berlari ke arah Bhanu dan langsung mengambur, melingkarkan tangan dan kakinya di tubuh Bhanu.
"Aaaa! Kangeeen!"
"Aku juga." Bhanu mengeratkan pelukan.
"Kok di sini?" tanya Khirani setelah turun dari gendongan, matanya berkaca-kaca tak percaya melihat Bhanu pada detik ini. "kenapa nggak hubungin aku? Aku kangen banget, tahu."
"Maaf, ya?" Bhanu mengusap pipi Khirani, "Aku ikut patroli di perbatasan selama sebulan, terus ada tugas di perbatasan Indo-Aussie, kebetulan kapal kita sandar di Australia sebentar, kami diberi libur dua hari." Bhanu tersenyum, "Aku juga kangen sama kamu."
Khirani memeluk kembali, menangis bahagia karena akhirnya berjumpa setelah berbulan-bulan.
Rumah yang selama ini terasa sepi dan dingin, kini menghangat meski hanya untuk sementara waktu. Seolah tak ingin membuang waktu meski sedetik pun, mereka saling menuntaskan dahaga rindu yang amat kering.
Jika ada hari paling bahagia lainnya, mungkin hari ini adalah salah satunya. Menghabiskan waktu bersama dengan berbagi banyak cerita, mencetak memori untuk nanti kembali menjadi obat kala jarak dan waktu kembali memisahkan.
"Mas?"
"Hm," jawab Bhanu masih memejam di atas pembaringan sembari memeluk Khirani dari belakang.
"Aku boleh tahu nggak?"
"Tentang?"
"Misimu."
Meski hadirnya Bhanu di sini membuat Khirani amat bahagia, tetapi ada celah di mana Khirani menangkap ketidakbiasaan di raut Bhanu. Pria itu seolah menyimpan sesuatu darinya. Seperti bukan Bhanu yang ia kenal sebelumnya.
Lama tidak langsung Bhanu jawab. Kekhawatiran Khirani dibenarkan oleh hatinya. Perempuan itu membalikkan badan dan berbaring berhadapan dengan Bhanu. Pria itu membuka mata lalu tersenyum.
"Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"
Bhanu menggeleng, "Nggak ada."
"Kenapa aku merasa ada."
"Itu cuma perasaanmu." Bhanu mengecup kening Khirani, "Aku baik-baik aja. Misiku sudah mulai berjalan, aku minta doanya, ya?"
"Pasti."
Bhanumenarik Khirani dalam pelukan, dalam hatinya berujar berulang kali bahwa semuaakan baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan, semua akan baik-baiksaja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro