Akhir Pengembaraan
Istanbul, Turki.
Bukan karena musim dingin akan tiba, tetapi projeknya telah usai. Sebenarnya ia ingin menghabiskan setidaknya satu musim lagi di negara ini. Mengamati pergerakan matahari yang hangat perlahan menjadi dingin, lalu menikmati indahnya pucuk bunga bermekaran di musim semi. Selat Bosphorus masih menjadi paling favorit setelah Hagia Sophia, menaiki kapal menyeberang ke perbatasan Benua Eropa dengan menikmati sejuknya angin laut Marmara dan indahnya sore yang menua.
Berbekal pulpen dan sebuah buku catatan kecil, ia menggambarkan keindahan itu dengan untaian kata. Dari udara yang menyapa kulit, aroma laut yang menelusup ke hidung, suara ujung kapal menabrak ombak dan suara pekikan burung yang terdengar telinganya. Lalu, warna-warna yang tertangkap retina kecokelatanya; warna langit, warna laut, warna kapal, serta warna baju orang-orang yang berada di sekitarnya. Pengamatan itu ditemani campuran rasa yogurt, tepung dan minyak zaitun dari roti gözleme yang terasa nikmat di lidahnya.
Semua ia rangkum dalam buku catatan yang berjudul Sang Pengembara.
“Kamu benar soal musim paling tepat untuk menikmati Selat Bosphorus, Kuzen,” katanya setelah kembali ke rumah milik keluarga bibinya di pertengahan Kota Istanbul.
“Tapi kamu juga gila ngga bawa jaket ke sana, Bhanu, meski suhu masih nggak terlalu dingin tapi anginnya kenceng banget. Kamu bisa masuk angin, tau.” Kuzen yang semula fokus di depan layar laptop itu menoleh ke arah datangnya pemuda paling amburadul yang pernah ia kenal, “Kamu udah makan? Teyzemu sudah memasak, dia mengomel karena kamu pergi sebelum makan.”
“Teyze masuk kamarku?” tanyanya was-was.
Kuzen menggeleng, “Kamu selamat berkat Baba. Traktirlah Baba sebelum berkemas.”
Bhanu mengangguk-angguk kecil sembari berjalan menuju bilik tidurnya yang selama tiga bulan ini ia tinggali di rumah keluarga bibinya. Kata ‘berkemas’ cukup mengusik hatinya. Kata itu seolah memiliki sisi ajaib yang mampu membuat suasana hatinya tidak keruan. Setelah nyaris satu tahun mengembara ke berbagai negara, berkemas adalah ritual paling sedih yang Bhanu benci.
Kini, Bhanu tahu hal itu tidak akan bisa mencegahnya kembali, tetapi ia sudah kehabisan alasan untuk tetap bertahan di Negeri orang. Bukan hanya ibu dan adik-adiknya saja yang menginginkan ia segera kembali, tetapi juga ribuan pencinta karyanya yang sudah menunggu peluncuran buku terbaru sejak setahun yang lalu ia berpamit untuk mengembara.
Bhanu mendaratkan bokongnya di kursi kayu dengan bantalan empuk, kursi itu yang sudah menemaninya menyelesaikan bagian-bagian terakhir dari naskahnya yang berjudul ‘Sang Pengembara’. Ia mengeluarkan buku catatan itu dari dalam tas kemudian menghidupkan layar laptop, siap menuliskan bagian paling sakral dalam membuat sebuah novel, yakni bagian ending.
Sebelum mengeksekusi, Bhanu selalu melakukan sebuah ritual terlebih dahulu. Ia harus membersihkan diri, wangi, lalu bermeditasi selama lebih kurang sepuluh menit, menyantap makanan dan menyiapkan segelas kopi susu. Setelah ia melakukan persiapan itu, ritual terakhir yang wajib ia lakukan adalah mengacak-acak kamarnya. Mengambil buku-buku di rak kemudian di letakkan di meja secara berantakan.
Mengeluarkan baju-bajunya di lemari lalu menggantungkannya di jendela kamar, menarik selimut dan seprai menjadi lebih berantakan. Terakhir, Bhanu menghamburkan kertas-kertas ke lantai, entah itu kertas kosong atau gumpalan kertas yang sudah dipakai. Setelah hatinya merasa pas dengan semua tata letak barang-barang di kamarnya yang lebih mirip dikatakan seperti bekas peperangan, barulah ia meletakkan jari jemarinya di atas papan tombol ketik.
Ditemani batang rokok yang setia membakar nikotin, Bhanu mulai mengurai rangkuman yang ia tulis di atas kapal tadi. Rangkuman itu menjadi ribuan kalimat yang membentuk sebuah alur cerita hingga kata ‘tamat’ tersematkan di akhir bagian. Perasaannya campur aduk, antara bangga karena sudah menyelesaikan satu karya lagi, tetapi juga sedih karena harus berpisah dengan para tokoh yang sudah menemaninya selama setahun terakhir ini. Meski dalam bentuk khalayan, para tokoh itu mampu menghangatkan sisi kesepiannya, menemaninya ke mana pun, bahkan dalam mimpi-mimpinya. Mereka bagaikan saudara sedarah yang melekat dalam diri penulis. Itulah kenapa bagian ending menjadi sakral, karena ada perpisahan dua sedarah yang mampu mengaduk-aduk perasaan.
Setidaknya cukur dulu rambutmu yang gondrong itu, aku tidak mau menyambutmu di Bandara dengan rupa gorilamu, Mas. Bhanu teringat adik perempuan tertuanya itu sudah mewanti-wanti agar dirinya memangkas pendek rambutnya yang panjang serta cambangnya yang rimbun. Ingatan itu terbesit begitu saja setelah berkutat dengan ending ceritanya, akhirnya tubuh Bhanu punya alasan untuk beranjak dari kursi dan keluar dari kamar, menuju bilik mandi.
Melihat rupa Bhanu seratus kali lebih baik dari sebelumnya membuat Teyze yang hendak mengomel masalah sarapan, akhirnya urung. Sekembalinya dari pasar, Teyze mengajak Bhanu untuk mengobrol di ruang tengah.
“Pasti Binna sudah mengomelimu masalah rambut yo, Nu?” Teyze memulai pembicaraan. Ditemani Boza minuman khas tradisional Turki untuk menghangatkan tubuh.
“Binna lebih tepat jadi anak Teyze daripada anak ibu, sama-sama cerewetnya.” Cibiran Bhanu itu berakhir mendapat lemparan kacang dari Teyze.
Dari sekian saudaranya, Teyze memang yang paling cerewet.
Keputusan Bhanu untuk mengembara dengan alasan riset untuk novel barunya membuat Teyze mencak-mencak tidak keruan, dibanding ibunya yang lebih santai mendengar keputusan sang putra pergi dari rumah untuk waktu yang lama. Sejak ayah Bhanu meninggal, Teyze-lah yang menjaga Bhanu dan adik-adiknya saat ibu Bhanu mencari nafkah. Karena itulah Teyze sangat menyayangi mereka. Teyze rela menunda pernikahannya demi menunggu Bhanu lulus sekolah dan bisa mencari uang sendiri. Bukan Bhanu dan adik-adiknya yang menangis meraung-raung tidak ingin pisah saat pernikahan Teyze dengan orang Turki, tapi Teyze-lah yang tujuh hari tujuh malam menangis karena meninggalkan mereka.
Mendengar Turki menjadi akhir perjalanan keponakannya itu, Teyze menyambutnya dengan gembira. Namun, saat tahu Bhanu menjadi pemuda yang amburadul; kamarnya selalu berantakan dan penampilannya yang serampangan, membuat Teyze setiap hari mengeluarkan bakat mengomelnya sambil memegang gang sapu, Bhanu menyebutnya Hulkwati.
Bhanu tahu Teyze mengomel dan cerewet itu pertanda bahwa Teyze sangat menyayanginya.
“Kapan balik ke Jawa?” pertanyaan itu serta merta keluar dari bibir bibinya tanpa basa-basi. “Udah nemu apa yang kamu cari setelah perjalanan dari negara ke negara?”
Bhanu tersenyum tipis, ia mengangkat cangkir kopinya terlebih dahulu kemudian menyeruputnya dengan nikmat tanpa terburu-buru untuk menjawab kalimat bibinya. Sementara Teyze menatap dengan serius, menandakan kalimatnya barusan bukan sekadar pertanyaan biasa.
“Sebenarnya apa yang kamu cari sih, Nu? Nggak mungkin cuma riset, kan?”
“Teyze tahu, kan, penulis inspirasi Bhanu itu Dee Lestari. Untuk membuat novel sekeren Aroma Karsa, Dee terjun langsung ke lokasi-lokasi di novelnya. Karena novel Bhanu berlatar luar negeri, ya Bhanu ingin melakukan hal yang sama kayak Dee Lestari biar hasilnya juga sekeren perjuangannya.”
“Zaman udah canggih kali, Nu. Lewat internet, kan, bisa. Nggak kasihan sama ibu dan adik-adikmu yang kamu tinggal sendirian itu? Hm?”
“Selancar di tempat sungguhan lebih memberi jiwa pada novel dibanding selancar di internet, Teyze. Ibu santai, kok, malah seneng Bhanu bisa keluar dari rumah biar cepet dapat jodoh katanya. Adik-adik malah yang paling antusias sama oleh-oleh yang Bhanu bawa.” Bhanu mencengir.
“Ya mudah-mudahan pulang dari mengembara, kamu nikah yo, Nu. Biar bisa rasain jadi suami orang, bukan suami buku doang.”
Bhanu terkekeh seraya menandaskan kopinya. Ada setumpuk rasa sayang yang tak mampu ia rangkai dalam benaknya untuk Teyze. Baginya, Teyze seperti malaikat tanpa sayap yang selalu menjaga Bhanu bahkan setelah Teyze diboyong suaminya ke Turki. Jarak tidak membuat hubungan keduanya merenggang, malah semakin erat. Bhanu lebih nyaman meluapkan curahan hati kepada Teyze daripada ke ibunya.
Seminggu setelah ayahnya meninggal, Bhanu hanya bisa diam tidak bisa merasakan apa pun, dekapan pelukan Teyze mampu melebur perasaan Bhanu yang tercekat di tenggorokan. Pemuda itu akhirnya bisa menangis mengekspresikan rasa dukanya kehilangan sang ayah.
“Yo wis, ayo tak bantu berkemas.” Teyze mengambil langkah lebih dulu untuk menuju kamar Bhanu.
Jika bukan Teyze yang mengenalkan dongeng-dongeng pada dirinya sebagai teman menjelang tidur, mungkin Bhanu tidak menjadi Bhanu si penulis. Teyze adalah salah satu orang yang berperan penting dalam karirnya sebagai peramu kalimat hingga bergelar Penulis Bestseller. Jika menangis bukan hal yang memalukan baginya, Bhanu ingin menangis jika menceritakan sosok bernama asli Widodari itu. Salah satu dari sekian nama yang selalu ia sebut di halaman depan novel-novelnya.
“Astagfirullahalazim, ini kamar apa kapal pecah, ya Allah, Bhanuuu!”
Teriakan itu menjadi pertanda Teyze telah berubah menjadi Hulkwati, Bhanu segera meloncat dari kursi, melesat ke dapur mencari wajan sebagai tameng sebelum datang serangan sapu dari bibinya.
***
Jakarta, Indonesia.
Jika ada yang namanya kehidupan yang sempurna, itu adalah kehidupan milik Khirani Gantari. Ayahnya pemilik percetakan besar di kota metropolitan, sedangkan ibunya adalah penyanyi lokal yang sering mengisi acara bisnis kelas naratama. Tinggal di perumahan mewah, menjadi siswa di sekolahan bergengsi dan memiliki lingkup pertemanan yang berkelas.
Selain dikelilingi oleh kemakmuran hidup, Khirani juga dianugerahi fisik yang nyaris sempurna. Meski berbadan mungil, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam legam lurus sepinggul, matanya bening seperti berlian yang cantik, hidungnya tak begitu mancung juga tak begitu pesek, serta bibirnya yang ranum merah jambu menjadi pelengkap ornamen kecantikan dipandang tak jemu.
Selain itu ia juga diberkahi dengan bakat bermusik dan juga menyanyi. Tak heran jika sejak kecil Khirani selalu membawa piala utama memenangkan kontes bermusik, terutama kontes violinis. Banyak penghargaan yang ia dapat sejak kecil. Ia menjadi bintang di sekolahnya, banyak yang menggadang-gadang bahwa ia akan menjadi musisi besar di masa depan.
Sesuai dengan arti namanya dalam bahasa Sansekerta yakni dikelilingi kebahagiaan dan kesenangan. Khirani menjadi idola banyak orang di usianya yang masih belia. Ia memiliki kehidupan yang nyaris begitu sempurna.
Pak! Tangan kasar pemuda 22 tahun itu melayang tepat di pipi kanan Khirani. Gadis itu terpelanting jatuh ke tanah dengan napas terengah-engah setelah mengerahkan segala usahanya untuk meloloskan diri, tetapi nasibnya sial hari ini. Ia tertangkap.
“Sekali lagi lo ngehindarin gue, gue nggak segan-segan bakal ngehancurin hidup lo lebih dari ini!” ujar pemuda itu.
Khirani bergeming dengan rasa panas serta nyeri yang menjalar di pipi kanannya dan ini bukan yang pertama kali. Meski terasa sakit, ia tidak akan menjatuhkan air mata lagi di depan pemuda keji itu. Ia hanya mengusap sebentar pipinya untuk meredakan rasa panas yang menjalar.
“Denger nggak lo, Berengsek?” Pemuda itu mengangkat kerah jaket Khirani, mendekatkan wajah gadis itu ke wajahnya. Mereka saling bertatapan dengan mata melebar. Pandangan mereka seperti saling menghunus, menantang dan sama-sama tak gentar.
“Seminggu lagi gue ke sini, siapkan lima juta! Gue nggak mau tahu lo dapat dari mana. Pokoknya gue harus dapet itu seminggu lagi, ngerti!”
Sudut bibir Khirani bergetar, perlahan membentuk senyuman yang tipis, ada bendungan air mata yang berusaha kuat ia tahan untuk tidak ambrol di depan pemuda itu, “Hm, temui aku seminggu lagi di pondok WTS.”
Rahang pemuda itu mengeras, urat-urat di sekitar pipinya tampak jelas, matanya kian melebar memerah serta cengkeraman tangan di kerah jaket Khirani semakin menguat. Pak! Satu tamparan kembali mendarat di pipi kanan Khirani. Tubuh gadis itu kembali tersungkur ke tanah. Tamparan kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya.
“Jangan harap utang lo lunas dengan ngejual diri, Bajingan! Gue nggak mau nerima duit haram lo!”
Di tengah rasa panas dan telinganya yang sakit, Khirani tersenyum tipis sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Ia sedang menertawakan renternir berengsek yang saat ini berdiri congkak di hadapannya itu. Pemuda itu melarangnya membayar utang dengan uang hasil menjual diri karena haram, tanpa bercermin dirinya juga menghasilkan uang haram dengan menyiksa orang-orang lemah yang terjebak dengan utang.
“Sampai gue ngeliat lo di depan pondok WTS, gue pastiin lo mati di sana!” pungkas pemuda itu sembari melayangkan satu dorongan kasar ke bahu mungil Khirani dengan kaki kirinya.
Sambil membakar ujung batang rokoknya, pemuda itu meninggalkan Khirani tanpa rasa bersalah. Setelah pemuda itu menjauh dan hilang di balik gang, Khirani bangkit sembari membersihkan jaket dan celana jins-nya dari kotoran tanah. Bendungan air matanya akhirnya jebol, Khirani menangis tanpa suara di tengah-tengah gang di bawah lampu jalan yang temaram.
Tiga tahun yang lalu hidup Khirani yang sempurna jungkir balik ketika ayahnya terlibat skandal suap dan pembunuhan berencana. Romi, ayahnya kini mendekam di penjara, bisnis percetakannya gulung tikar karena tidak berjalan dan kini terbengkalai. Sementara sang ibu pergi entah ke mana, penyanyi berparas ayu itu menghilang meninggalkan Khirani dan adiknya seorang diri.
Rumah di kawasan perumahan mewah milik keluarganya juga raib menjadi jaminan untuk melunasi utang Romi. Semua lenyap begitu saja. Harta, kendaraan, rumah dan fasilitas mewah semua tidak tersisa satu pun untuk Khirani dan adiknya.
Ia dan adiknya pernah menumpang di rumah salah satu pamannya. Namun, tidak bertahan lama karena setiap hari mendengar sindiran dari bibinya yang selalu menyinggung perbuatan sang ayah. Khirani dan adiknya memutuskan pergi dari rumah itu, lalu menyewa indekos kecil sempit dari uang celengan yang terselamatkan dari sitaan bank. Khirani juga hengkang dari sekolah musiknya, ia terpaksa mengubur dalam-dalam mimpi untuk menjadi violinis terkenal di masa depan.
Khirani terhantam badai kehidupan yang mengguncang jiwa dan fisiknya kala ia terjebak dalam jeratan rentenir kejam bernama Gaharu Svarga. Demi menyelamatkan sang adik, Khirani terpaksa berutang kepada keluarga rentenir yang terkenal sebagai lintah darat paling tak manusiawi itu.
Keluarga Garu membayari semua biaya perawatan adik Khirani yang koma di rumah sakit dari hari pertama dirawat hingga detik ini. Semua itu dihitung utang yang setiap bulannya terus bertambah. Tidak ada saudara yang mau membantu, Khirani terpaksa berurusan dengan keluarga lintah darat tersebut.
Hari ini Khirani bertemu dengan Garu setelah satu bulan menghindar, uang yang dimilikinya belum cukup untuk membayar makan, bulanan indekos dan utangnya sebab itu ia harus menghindari Garu sementara waktu. Ia masih berusaha dan tidak mungkin kabur karena hidup sang adik bergantung kepada keluarga Garu. Namun, hal itu ternyata memantik kemarahan Garu, padahal Khirani sudah pernah mengiriminya pesan.
Jangankan untuk menunggak, membayar dengan jumlah yang tidak sesuai saja Garu tak segan-segan untuk menindas dan menyiksa Khirani. Hidup Khirani seolah baju yang diperas habis oleh keluarga Garu, fisik dan batinnya penuh dengan luka lebam.
“Khira~ni....”
Khirani yang baru saja sampai di depan pintu indekosnya itu mendesah berat ketika melihat Bu Endang, pemilik kos berdiri dengan wajah tak enak. Ia sudah dua bulan tidak membayar uang sewa.
“Kapan mau membayar bulananmu? Udah nunggak dua bulan nih.”
Khirani mengeluarkan sesuatu dari balik kaosnya. Sebuah amplop putih yang lungset. “Satu bulan dulu, ya, Bu. Satu bulannya lagi bulan depan, double.” Khirani menyerahkan amplop itu kepada Bu Endang.
Wanita berbadan gemuk dengan roll rambut menggulung itu tersenyum, wajahnya yang tak enak tadi berangsur santai. Ia meraih amplop itu dari tangan Khirani, “Jangan telat-telat lagi! Inget bulan depan, double!”
“Iya, Bu,” jawab Khirani dengan suara berkumur.
“Kenapa lagi wajahmu itu?”
Khirani tidak menjawab, ia memilih memasukan ujung kunci ke pintu lalu membukanya tanpa menghiraukan Bu Endang. “Saya mau istirahat.”
Khirani menutup pintu.
“Hidupnya benar-benar hancur, benar-benar suram,” cibir Bu Endang yang terdengar oleh telinga Khirani. Namun, ia sudah tidak peduli lagi dengan cibiran orang lain tentangnya. Ia pernah mendengar cibiran lebih buruk dari itu. Telinga dan hatinya sudah kebal.
Setelah melepas jaket dan tasnya, Khirani duduk di kursi panjang. Mengeluarkan sebungkus nasi berlauk mi instan yang ia beli sepulang bekerja. Di temaram kegelapan lampu, Khirani menyantap makanan itu dengan menahan tangis.
Jatuhnya kejayaan keluarganya memang akhir dari pengembaraannya menjadi manusia dengan kehidupan yang sempurna. Namun, sebelum adiknya membuka mata dari koma, Khirani akan terus bertahan. Seberat apa pun hidupnya, ia ingin terus bertahan.
With Love, Diana Febi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro