Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39

by sirhayani

part of zhkansas

...

Apakah itu pertanda?

Kalau Kak Sean juga menyukaiku?

Itu yang namanya kode keras, kan?

Aku menepuk-nepuk pipiku. "Nggak mau kegeeran. Nggak boleh kegeeran." Bibirku bergerak tanpa suara.

Aku masih tak bisa membayangkan bagaimana kira-kira ekspresiku setelah Kak Sean mengatakan kalimat itu. Kalimat yang mengundang Doni berdeham keras dan juga Aira yang tiba-tiba berteriak di dekat pagar rumahnya mengatakan, "Mama, Kak Sean mau nyium Kak Vera!"

Apa Aira tidak bisa berpikir positif? Jelas-jelas tadi malam Kak Sean hanya membisikkan sesuatu kepadaku. Tidak ada apa-apa setelah itu karena setelah berkata demikian, dia perlahan mundur dan wajahnya kembali ke mode asli.

Tatapan dinginnya selalu terlihat. Sudah menjadi ciri khas Kak Sean. Hanya satu kali dia memperlihatkan ekspresi yang tak biasa. Di toko buku itu. Aku pikir, seringai yang dia lemparkan padaku di malam pertama dia menawarkan diri untuk pulang dengannya hanya sebuah akting? Entahlah.

Atau, Kak Sean terlalu antusias dengan permainan itu?

Aku menggeleng-geleng.

"Oke. Jangan lupa tugas Matematika kumpul hari Senin pagi di meja saya," kata Bu Tresna, lalu keluar dari kelas. Aku langsung duduk terkulai lemas setelah semua menjawab aba-aba ketua kelas untuk mengucap terima kasih dan salam.

Aku memandang Ninik yang siap-siap menuju kantin. "Guys, gue belum cerita, ya? Kak Sean jadi tutor les private gue."

Seketika itu juga, dua orang yang paling antusias dengan kabar terbaru pemain-pemain Game Over segera mengerumuniku. Mereka sama-sama memasang senyum merekah penuh antusias.

"Gimana? Gimana? Jangan-jangan ada kejadian yang ngebuat lo dari pagi kadang cengengesan sendiri kadang tiba-tiba murung?" tanya Ninik.

"Ya gitu, deh," balasku pendek.

"Gimana ceritanya dia yang jadi tutor lo?" tanya Widya.

"Tanya nyokap gue, gih. Gue juga nggak mau! Kenapa? Nggak bisa fokus. Nggak sanggup gue." Aku memegang kepalaku sok terlihat menderita. "Semalam aja gue cuma banyak diem. Ditanya angguk-angguk, geleng-geleng, cengengesan kayak orang gila. Andaikan gue naroh CCTV, gue bisa nunjukin gimana muka gue sepanjang di depan dia."

Widya menjentikkan jarinya. "Ah, gue punya ide! Lo beneran nggak pinter bahasa Inggris, kan? Gimana kalau lo modusin Kak Sean dengan nanya, 'Kak, artinya I love you apa?'"

Aku memandangnya datar. "Wid, anak bayi juga tahu kali artinya I love you. Ngomong kayak gitu ke Kak Sean? Konyol banget. Nanti Kak Sean mikir, apa sih nih cewek satu. Nggak jelas."

Widya terbahak. "Lakuin aja! Lakuin! Pasti seru banget apa yang terjadi selanjutnya!"

"Nggak." Aku menatapnya bengis. Kami berempat segera keluar dari kelas.

Ninik mengangguk. "Widya bener, tuh. Kalau lo nggak mau didahuluin sama cewek lain, mending lo pepet cepat. Mumpung lo lagi beruntung-beruntungnya bisa deket sama Kak sean. Lo udah dikasih peluang besar! Giliran Kak Sean jauh ntar lo nyesel lagi. Pengin ngulang waktu dan blablabla penuh penyesalan."

Aku mengingat kembali ucapan Kak Sean semalam. Sebenarnya, kalimatnya itu tak bisa terlupakan. "Semalam, Kak Sean ngomong gini ke gue, 'Kayaknya, adik lo dan adik gue nggak bakalan setuju kalau suatu hari kita pacaran.' Ah, gue tiba-tiba kayak orang bego. Cengo aja. Coba bayangin ada di posisi gue, cowok yang udah dua tahun lalu mulai lo suka tiba-tiba bawa-bawa kata pacaran saat ngomong? Di depan lo? Ngebisikin lo di deket telinga? Sampai napasnya terasa banget? Aduh, jadi ngebayangin lagi kan."

"Serius Kak Sean ngomong gitu?" Ninik tiba-tiba heboh. "Itu udah jelas banget! Jelas banget! Gue yakin Kak Sean suka sama lo, Ver!"

"Astaga, lo ngomong kayak teriak-teriak. Berisik." Aku menempelkan telunjukku ke bibir. "Lo lupa? Kak Sean termasuk dalam pemain itu!"

"Iya, sih. Tapi, tapi, kan mana tahu kan kalau Kak Sean sebenarnya serius sama lo?"

"Serius gimana?" Aku berjalan lunglai. "Dua tahun gue kenal dia dan baru kali ini Kak Sean kayak gitu. Wajar nggak? Enggak, kan? Orang yang dulunya cuek bebek sama lo bahkan nggak pernah mandang lo tiba-tiba muncul di depan lo. Ngajakin pulang bareng. Ngomong jangan deket-deket sama cowok yang berusaha deketin gue. Terus, tiba-tiba ngomong soal pacaran. Gue sih nggak mau kegeeran takut sakit hati sebenarnya."

Widya bersuara. "Iya juga, sih."

"Anggap aja, gue fangirl. Suka, kagum, cinta, tapi sadar nggak bisa memiliki." Ekspresiku penuh derita. "Tapi, kalau gue diajak pacaran mau-mau aja, sih."

"Dasar bucin," komentar Sisca tiba-tiba.

"Ish. Dikit-dikit dikata bucin. Bosen gue dengernya selalu aja disangkutpautin sama kebucinan."

"Emang lo bucin, kan?"

Aku memandang kesal ke arah Sisca. "Bodo amat."

Ninik menyenggolku hingga hampir tertabrak orang lain yang juga sedang berjalan. Saat melihat siapa orang itu, aku langsung bungkam. Sementara tiga bocah yang tadi bersamaku sudah berlari menjauh, Sisca dan Ninik menyeret Widya menjauh dariku.

Mereka pergi karena ada Kak Airlangga yang sekarang berjalan di sampingku.

Aku mulai paham, mengapa dua orang itu menarik Widya. Selama ini Widya selalu diam setiap kali Ninik atau aku membahas Kak Erlang dan ketika ditanya apa hubungan mereka sebenarnya, Widya seolah tak menggubris. Membuatku, Ninik, bahkan Sisca yang sebenarnya masa bodo ikut sepakat bahwa Widya adalah mantannya Kak Erlang.

"Kayaknya ngobrolnya seru. Lagi cerita apaan?" tanyanya.

Aku menggeleng-geleng kaku. Karena berjalan sangat lambat saat mengobrol tadi, membuat kantin sekolah masih terasa masih sangat jauh.

"Kayaknya, lo udah tahu siapa lo." Kak Erlang tersenyum saat bicara, membuatku hanya bisa meneguk ludah getir. Apakah Kak Erlang sempat mendengarkan pembicaraan kami tadi? Aku bahkan menyebut kata pemain.

Seandainya Kak Erlang mendengarnya, kata-kata Kak Erlang barusan adalah tiket menuju sesuatu yang menantiku di masa mendatang.

"Kak Erlang ngomong apa, sih?" Aku pura-pura tak tahu apa-apa. Karena sejauh ini, hanya Elon dan Malvin yang tahu bahwa aku telah sadar sebagai target mereka.

Kecuali, jika Malvin dan Elon mengatakan kepada Geng Rahasia lain apa yang aku ketahui tentang permainan ini.

"Nggak perlu pura-pura nggak tahu."

Aku bungkam. Entah kenapa situasi ini membuatku semakin tak tahu harus mengatakan apa.

Aku bahkan sampai tak sadar ketika langkah kaki membawaku hampir tiba di kantin. Langkahku memelan ketika melihat Kak Sean yang berdiri di koridor kelas XII lantai 1. Letaknya memang tak jauh dari posisiku. Kak Sean tidak sendirian. Dia berdiri menyandarkan punggungnya di dinding. Kedua tangannya tenggelam di saku celana. Tatapannya dingin menghunus tepat ke arahku dan Kak Erlang. Di sampingnya ada Kak Gama yang bersandar sambil bersedekap dengan wajah pongah.

Kak Erlang menghentikan langkah dan menunduk untuk menatapku. "Kita lagi diperhatiin."

Aku langsung melihat Kak Sean dan Kak Gama karena memang aku sudah menyadari kehadiran mereka. Namun, tidak sampai di situ.

Pandanganku bertemu dengan Elon yang sedang berteduh di bawah pohon yang berada di tengah-tengah kolam. Dia berdiri di sana menatapku sambil tersenyum dan menaikkan alisnya. Sebuah apel merah dia lempar dan tangkap berulang kali.

Aku langsung teringat dengan Kak Malvin dan saat itu juga aku mencarinya. Dia ternyata berada di atas atap kantin, berjongkok dengan menumpu lengannya di lutut dan menatapku sambil menyeringai.

"Kalau lo sadar, bukan cuma mereka yang ngelihat ke arah sini," kata Kak Erlang, membuatku segera memandang sekelilingku.

Cowok-cowok yang tadinya kupikir hanya lalu lalang biasa, tiba-tiba terlihat seperti mata-mata. Mereka berdiri pada posisi masing-masing dan pada jarak masing-masing. Mereka berbaur dengan para siswi yang lalu lalang, tapi setelah mendengar perkataan Kak Erlang tadi membuatku baru sadar bahwa sejak tadi atau mungkin jauh-jauh hari aku selalu diperhatikan seperti ini. Aku hampir tak mengenal semuanya karena semuanya adalah senior kelas XII atau mungkin ada juga dari kelas XI. Yang aku tahu, beberapa dari mereka pernah menjadi panitia atau pembimbing saat Masa Pengenalan Sekolah. Selebihnya, hanya wajah-wajah asing yang belum kutemui sebelumnya di sekolah ini karena aku belum satu bulan menjadi siswi STARA.

Aku melihat Kak Sean yang sedang memainkan ponselnya. Aku mengambil ponselku yang bergetar dan melihat ada pesan masuk dari Kak Sean.

Habis lo makan langsung ke perpustakaan. Gue tunggu lima belas menit lagi.

"Oh, ya. Ada yang lebih gercep ya dari gue?" Kak Erlang mendekatiku dan menepuk-nepuk kepalaku. Aku hanya bisa mematung. "Gue punya saingan berat."

Maksud Kak Erlang apa? Apa ada kaitannya dengan pesan dari Kak Sean? Atau...???

Aku melirik Kak Sean yang masih menatapku dengan tatapan dinginnya.

"Nikmati aja permainan ini. Jangan anggap ancaman seperti target-target sebelumnya," kata Kak Erlang. "Gue rasa, permainan kali ini bukan lagi sekadar tantangan." Ucapan Kak Erlang menggantung. Aku melihat Kak Sean menjauh.

"Tapi, ... perjuangan," lanjut Kak Erlang, membuatku segera berpaling dari Kak Sean untuk menatapnya.

*


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro