
31
Dan oh, iya, apa ada orang yang kamu ajak untuk baca Game Over?
___
GAME OVER - 31 [BERTEMU DENGAN TIGA PEMAIN]
by sirhayani
part of zhkansas
...
"Demi apa?!"
Aku memutar bola mata sembari mengetuk-ngetuk kepalaku di kaca jendela. "Nggak perlu teriak, bisa?"
"Ya ampun. Ya ampun. Ya ampun. Sumpah?"
Aku memutar tubuh. Kusandarkan punggungku ke dinding sembari memandangi wajah Ninik di layar ponselku. Ninik tak henti-hentinya heboh setelah aku menceritakan bagaimana pertemuanku dengan Kak Malvin di dekat pohon itu. Aku menceritakan semua yang terjadi. Tentang Kak Sean. Tentang dasi Kak Malvin yang sengaja cowok itu ikat di kepalaku. Juga tentang segala ucapan Kak Malvin yang masih teringat jelas di memoriku.
"Jadi, menurut lo? Maksud dari, 'itu berarti lo udah terikat di gue.' apa?" aku mengulang pertanyaanku. Ninik sedang berjalan mondar-mandir dengan kegirangan. "Eh, awas ya kalau lo sampai nyebarin tentang siapa pemain-pemain dan target Game Over. Lo, Widya, dan Sisca udah janji buat nggak nyebarin ini ke siapa pun."
"Iya, bentar. Bentar. Gue mau tenang dulu. Huft. Tarik napas. Buang." Ninik tertawa. "Iyaaa! Nggak bakalan gue ceritain ke siapa-siapa, deh. Hih. Padahal seru loh, bisa jadi berita heboh seantero STARA."
"Lo aja gih yang gantiin gue," balasku sengit. Ninik membalas ucapanku dengan tawa.
Aku cukup percaya untuk ukuran orang yang baru beberapa minggu ini aku kenal. Aku paling malas membocorkan sebuah rahasia ke orang yang tidak bisa memegang janjinya.
"Menurut gue, maksud dari Kak Malvin itu nggak mungkin tiba-tiba nganggap lo sebagai pacarnya—"
"Gue emang nggak kepikiran ke sana, sih," potongku cepat. Aku segera meralat karena aku tidak mau Ninik berpikir seperti itu. Aku hanya ingin memastikan apakah aku punya pikiran yang sama dengan orang lain mengenai makna Kak Malvin yang mengikat dasinya ke kepalaku sambil mengatakan kalimat seperti itu.
"Ya, sebagian orang mungkin berpikir ke sana. Tapi, coba deh lo inget. Dia sendiri kan yang bilang, cowok mana yang tiba-tiba ngajakin pacaran padahal baru sekali dua kali ketemu? Dan Kak Malvin bilang dia juga bisa ngebuat lo jatuh cinta, kan? Itu artinya, Kak Malvin punya prinsip nggak bakalan nembak cewek kalau cewek itu nggak jatuh cinta ke dia duluan."
"Terus, kata terikat di gue maksudnya itu sebagai tanda kalau mulai saat itu juga, dia bakalan...," aku memikirkan kalimatku, "bakalan ada nggak jauh dari gue gitu?"
"Yap, bisa jadi! Bisa jadi juga itu apa ya, semacam sambutan selamat datang di Game Over. Atau ... ah nggak tahu ah."
Aku meringis. Percakapan kami terus berlanjut. Tak lama kemudian aku memutuskan untuk menyudahi pembicaraan itu.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, lalu kuangkat sebuah dasi abu-abu dengan tanganku. Dasi milik Kak Malvin berakhir kubawa pulang. Aku juga tak berani mengembalikan dasinya dengan cara mencari Kak Malvin ke kelasnya. Apa kata orang-orang nanti jika aku mencari Kak Malvin? Saat istirahat kedua, aku kembali ke pohon itu dan tak ada Kak Malvin di sana.
Aku menghela napas berat dan menjatuhkan tanganku yang memegang dasi itu ke samping. Kutatap langit-langit kamar dan kembali menghela napas panjang sekali lagi. Sekarang semuanya sudah jelas.
Aku sudah tahu siapa cowok kelima itu dan benar. Memang Kak Sean. Lalu apa yang aku rasakan sekarang? Perasaan sedih mengingat perkataannya malam itu. Dia bilang jangan dekat-dekat dengan cowok yang belakangan ini tiba-tiba mendekatiku karena hanya dia yang boleh mendekatiku. Lantas apa tujuannya berkata seperti itu? Sudah pasti dia ingin menang, kan?
Seandainya permainan ini tidak ada, maka kata-kata Kak Sean malam itu pasti sudah membuatku sangat bahagia. Namun, aku sadar diri untuk tidak besar rasa dengan perkataannya.
Coba kuingat-ingat lagi. Dua tahun yang lalu aku pindah ke rumah ini. Dua tahun yang lalu juga aku melihat Kak Sean. Selama dua tahun itu, kami tak pernah saling bertegur sapa. Aku yang selalu melihat Kak Sean sementara Kak Sean? Dia tidak pernah tahu apa pun tentangku karena aku benar-benar asing baginya meskipun keluarga kami dekat. Aira dan Doni bahkan berteman. Mamaku dan mamanya akrab. Papaku dan papanya sudah pernah berbincang.
Aku dan Kak Sean? Hanya permainan itu yang membuatnya mendekatiku, kan?
Aku mengguling di atas kasur empuk dan memeluk guling dengan kegamangan.
Tapi jika aku berharap, Kak Sean punya rencana lain di balik permainan itu. Maksudku, bisa kah aku berharap kalau tujuan Kak Sean menggantikan cowok yang bernama Ozi itu adalah demi ... aku?
"HUAH! GEER BANGET DASAR!" Aku menutup wajahku. Segera kuenyahkan pikiran aneh itu yang membuatku hanya akan berharap lebih.
Setelah berusaha untuk tidak memikirkan Game Over dan sejenisnya, aku bangkit dari tempat tidur menuju meja belajar. Aku membuka laci dan mencari sesuatu yang bisa aku makan. Stok camilanku sudah habis. Permen hanya tersisa dua biji. Aku ingin ke minimarket depan kompleks karena tak tahan ingin mengunyah sesuatu.
Setelah mengambil sweter di gantungan, aku memakainya. Karena ristletingnya sudah rusak, maka kubiarkan gambar Hello Kitty pada bagian depan baju piyamaku terlihat.
Aku mengambil sisa uang minggu ini di tempat pensil yang aku jadikan sebagai tempat uangku, lalu keluar dari kamar dan pamit kepada Mama dan Papa untuk keluar sebentar.
Tiba di teras, aku lagi-lagi mendapati Aira dan Doni sedang berdua. Aku berkacak pinggang memandangi Aira yang kelihatan cuek dengan kehadiranku. Mereka berdua terlihat asyik dengan ponselnya.
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku pada Aira.
"Nggak lihat apa, Kak? Lagi main game bareng Doni," balas Aira datar.
"Sebenarnya aku nggak mau. Dipaksa tuh sama dia." Doni bicara dan hanya menggerakkan jemarinya di layar ponsel.
Aira mengangkat wajahnya dan memandangi Doni dengan heran. "Aku nggak maksa, ya. Kamu kan juga mau main game."
"Lo maksa gue," balas Doni tanpa menatap Aira sedikitpun.
Aku menaikkan alis, lalu menatap mereka bergantian. Apa judul drama yang sedang aku nonton sekarang?
Tiba-tiba, Aira berdiri dan menghentakkan kakinya ke lantai sebelum berlari pulang ke rumahnya.
"Dia ngambek, kan. Gara-gara Kakak, tuh."
"Lah, salah gue apa coba? Heran." Aku melihat Doni masuk ke dalam rumah. "Doni! Anterin Kakak ke minimarket depan, dong."
"Pergi sendiri sana!" teriaknya. "Naik sepeda!"
"Aku kan nggak bisa naik sepeda, gimana sih?"
"Ya udah jalan kaki!" teriak Doni sebelum suaranya tergantikan oleh suara pintu yang ditutup kencang.
Kenapa sih mereka? Cuma karena game mereka seperti ini? Gara-gara Aira yang tukang ngambek, aku tidak berhasil membujuk Doni untuk mengantarku ke minimarket depan. Alhasil, aku harus berjalan kaki. Tak apa. Sekaligus olahraga. Pulang nanti aku bisa jalan kaki sambil makan snack di jalan.
Tak terasa akhirnya aku tiba di parkiran minimarket yang terlihat hampir penuh oleh beberapa motor dan dua mobil. Beberapa orang terlihat duduk di kursi depan minimarket. Aku berjalan semakin mendekat ke arah toko kemudian terhenti saat mataku menangkap seseorang ... tidak. Bukan seseorang, tetapi tiga orang yang aku kenali melingkari meja yang sama.
Aku berbalik dengan tegang dan berjalan dengan cepat-cepat untuk menjauh dari sana, tetapi suara seseorang menghentikan langkahku dengan segera.
"VERA!"
Aku berhenti mendadak. Itu suara Kak Gama. Aku meneguk ludah susah payah saat berbalik. Bukan aku yang menghampiri mereka, tetapi mereka yang menghampiriku.
Kak Gama yang pertama kali berdiri dari kursi dan dengan wajah sinisnya berjalan mendekatiku.
Kak Erlang tersenyum memandangku ketika ikut berjalan di belakang Kak Gama.
Lalu, tatapanku berhenti pada Kak Sean yang menatapku tanpa ekspresi. Aku menunggunya berdiri, tetapi aku yang ternyata salah duga karena dia tetap duduk di kursinya. Jantungku berdegup semakin kencang menyadari Kak Sean sedikit pun tak berpaling dari mataku.
Aku dengan cepat mengalihkan pandangan kepada Kak Gama karena tak bisa memandang Kak Sean lama-lama. Aku tak tahu harus melakukan apa selain tersenyum kaku menyadari tiga cowok atau tepatnya, tiga pemain berkumpul di dekat sang target.
Aku pikir, aku tak punyacara untuk lari.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro