PART 28: PERTEMUAN TAK TERDUGA
by sirhayani
part of zhkansas
...
"Mmm.... Oh." Erfan menaikkan alis. Dia membuang rokoknya ke tempat sampah setelah mematikannya. "Hai?" sapanya dengan suara pelan.
Dia tak menyangka bisa bertemu Riri di tempat ini. Sudah pasti ada yang dia jenguk. Keluarganya, mungkin? Atau pacarnya? Itu tidak mungkin mengingat dia dan pemain Game Over lain tahu status jomlo cewek itu.
Erfan mengernyit, lalu pandangannya mengarah ke sekeliling dan kembali berhenti di Riri. "Bau ... anyir nggak, sih?" gumamnya, menegur waswas.
Riri terlihat kaget. Dia melangkah mundur, lalu perlahan berbalik yang membuat Erfan kebingungan. Tatapan Erfan tak sengaja melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Apa tuh di celana lo?" tanya Erfan.
Riri berhenti mendadak, lalu berbalik sambil menangis menatap Erfan. "Nggak usah terang-terangan juga kali."
"Lah, napa lo nangis?"
Riri semakin terisak.
"Kalau lo nangis jangan di sini, dong." Erfan melihat sekelilingnya. "Entar gue dikira apa-apain lo."
"Argh. Makin gila gue." Erfan yang sudah pusing semakin dibuat pusing melihat cewek itu. Dia jadi lupa untuk bersikap baik demi mendapat perhatian Riri. Dia melangkah buru-buru mengejar Riri dan menarik bahunya. Saat Riri berhenti, Erfan melepas jaketnya dan mengikatnya ke perut Riri.
"Ini bukannya lagi sok romantis, tapi kalau situasi kayak gini juga emang caranya ternyata cuma ya emang gini yang kepikiran."
Riri memandang Erfan bingung. "Lo ... ngapain?"
"Kayaknya lo bocor." Erfan berdecak dan berjalan lebih dulu. "Emang lo mau keliling rumah sakit dengan kondisi kayak tadi? Lo mau ke toilet nggak? Gue temenin sampai luarnya aja," kata Erfan tanpa rem. "Atau mau beli roti dulu? Apa nggak usah? Lo bawa?"
"Roti?" Dan Riri masih diam di tempatnya. Bingung dengan cowok itu.
***
Hari ini dia terlalu cengeng bahkan menangis di depan Erfan saking malunya karena ditegur cowok itu. Pantas saja belakangan ini dia selalu ingin marah juga.
Tante Rista dan Shinta yang menjaga Om Ben. Arandra tetap keluar bersama Orlando, katanya jangan sampai tante Rista tahu soal kepergiannya. Sementara Riri memutuskan untuk izin pulang karena dia yakin Shinta tak ingin melihatnya di ruangan yang sama.
Selain karena ingin menghindari Shinta, Riri juga terpaksa harus memenuhi keinginan Erfan yang telah membantunya.
Erfan duduk dan sejak tadi Riri berusaha untuk tidak duduk. Jaket itu sejak tadi masih terikat di perutnya sampai semua bertanya siapa pemilik jaket itu dan hanya dia jawab milik teman yang tak sengaja bertemu di rumah sakit.
"Duduk aja," kata Erfan.
Riri berdiri kikuk. "Nanti makin kotor."
Erfan memandangnya dan mendengkus. "Jaketnya nggak perlu dibalikin. Udah. Duduk."
"Iya, kan. Lagian bekas gue mana mau lo pakai lagi."
Erfan memandang Riri selama beberapa detik. Yang dipandang langsung membuang muka. "Gue nggak maksud gitu," kata Erfan.
"Kalau gue cuci, terus balikin emang lo mau pakai lagi? Lagian ini pasti mahal banget."
"Itu juga pemberian dari orang yang nggak penting jadi gue kasih ke siapa aja bodo amat."
Riri menunduk gelisah. Dia sudah mengucap terima kasih, sudah menuruti keinginan cowok itu untuk menemaninya di sini, tetapi Erfan masih saja menahannya. Bagaimana pun Erfan menyuruhnya duduk dia tak akan duduk.
"Lo ngapain ke sini?" Akhirnya setelah sama-sama diam cukup lama, Riri kembali bersuara memancing cowok itu bicara.
"Ada urusan," kata Erfan singkat.
Riri memandang cowok itu dengan tatapan heran. Dia terkesan cuek. Sekali lagi, cowok itu punya sikap yang selalu berbeda. Kadang sok manis, kadang galak, kadang sengak, sekarang sok dingin.
"Hidup itu nyebelin, ya?"
Riri menoleh. Ditatapnya Erfan yang barusan bicara. Dia tak salah dengar. Memang Erfan yang barusan bicara.
"Hem?" gumam Riri sembari menatap Erfan. Erfan mendongak dan menaikkan alis. "Barusan ngomong apa?"
Erfan melirik Riri, lalu mendengkus. Ditariknya lengan Riri hingga cewek itu langsung terduduk di sampingnya. Riri terkejut dan melotot kepada cowok itu.
"Gue bilang duduk. Ya, duduk," kata Erfan dengan tatapan tajamnya. Riri menutup mulutnya yang hampir terbuka untuk protes.
Lagi-lagi mereka sama-sama diam. Cowok itu sepertinya hanya menyuruhnya untuk menjadi pajangan. Riri menghela napas dan menggeser tubuh, menjaga jarak dari cowok itu yang sedang memainkan ponsel.
"Lo mau pulang, ya?" tanya Erfan masih berkutat dengan ponselnya.
"I... ya...." Riri terbata saat melihat Erfan tiba-tiba berdiri dan berjalan lebih dulu.
"Gue anterin," kata Erfan, sedikit berteriak. "Cepetan sini."
Riri semakin yakin Erfan adalah seseorang yang paling tidak bisa ditebak.
Akhirnya, Riri mengekori cowok itu dan hanya diam sampai tiba di depan rumahnya selain mengucapkan terima kasih. Begitu pun dengan Erfan yang langsung pergi, katanya harus kembali ke rumah sakit sesegera mungkin.
***
Istirahat kedua, Riri menghabiskan waktunya di taman. Beruntung tempat itu sedang kosong. Buku diary beserta pulpen bertinta biru yang menemaninya di sana.
Dia menutup buku perlahan saat seseorang yang sangat tidak ingin dia temui muncul tak jauh darinya. Seseorang itu, Gafi, datang dengan senyum merekah. Langkahnya yang pasti membawanya berhenti tepat di hadapan Riri. Riri menunduk dan teringat dengan penyebab dia dan Shinta saling menjauh.
Gafi duduk tepat di sampingnya, menyimpan gitar di tepi bangku, lalu memandang Riri. "Ternyata lo beneran nggak muncul ya di taman kalau sore."
"Iya." Riri menunduk gelisah. "Kak...."
Gafi terdiam.
"Kita nggak perlu sengaja ketemu lagi, ya."
Gafi menaikkan alis. Bingung. Ditatapnya Riri yang masih menunduk memainkan jari jemarinya. "Kenapa gitu? Lo terganggu ya sama gue?"
"Sebenarnya...." Riri menatap Gafi dengan mata berkaca-kaca. "Maaf, Kak. Tapi, gue ngerasa lebih baik nggak usah ketemu. Ada yang marah."
"Emang siapa yang marah?"
"Banyak." Riri menunduk lagi. "Sepupu gue dan ribuan fans lo yang cewek."
"Tapi—"
"Please.... Kita masih bisa temenan, tapi nggak harus ketemu, kan? Gue masih bisa dengerin karya-karya lo juga. Gue bener-bener harus nggak ketemu sama lo karena sepupu gue marah banget sama gue dan kasihan Om gue yang kena. Sampai Om gue masuk rumah sakit...."
Gafi tertawa miris. Dia menatap langit, lalu memejamkan mata. "Padahal udah nyaman banget ketemu sama orang yang nyambung setelah sekian lama." Gafi menoleh. "Tapi gue nggak perlu langsung pergi juga, kan? Kan ini hari terakhir kita ketemu."
Riri menghela napas. Ini juga terasa berat. Dia juga merasa bahwa Gafi adalah seseorang yang membuatnya bisa sedikit lebih terbuka dengan dunia, yang membuatnya sadar untuk membuka mata lebar-lebar agar tidak hanyut dalam keterpurukan. Akan tetapi, dia tak bisa membiarkan hal itu jika ada hubungannya dengan keluarga satu-satunya saat ini.
"Iya." Riri berusaha tersenyum dan memandang Gafi. "Habis dari mana bawa gitar?"
"Ruang latihan." Gafi mengambil gitarnya. "Ini pertemuan terakhir kita, ya. Ah, sayang banget, tapi gue nggak bisa maksa juga, kan?"
Riri tersenyum masam.
"Mau dengerin lagu gue?"
"Mau nyanyi di sini?" tanya Riri, lalu Gafi mengangguk. "Pelan. Biar nggak terlalu nyuri perhatian."
"Nggak seru, dong?"
Riri tertawa. "Lagu apa?"
"Tentang seseorang yang bikin nyaman." Gafi memandang Riri dalam-dalam, tetapi Riri sibuk memandang tangan Gafi yang bersiap memetik gitarnya. "Tapi, karena suatu alasan mereka nggak bisa ketemu lagi."
Senyum Riri perlahan memudar. Tatapannya naik, memandang tepat ke mata Gafi.
Gafi menaikkan alisnya, sekali dan lama. "Lo pasti sadar maksud gue."
"Lagu baru?" tanya Riri ragu.
"Ya, baru tercipta." Gafi tersenyum sendiri dan melihat gitarnya. "When I see you...."
Riri mendengarkan dengan baik. Sesekali dia penasaran bagaimana tangan itu memetik gitar bersuara indah, sesekali dia menatap Gafi yang juga melihat hal yang sama, sesekali Riri menunduk dan tersenyum, dalam hati berharap andaikan pertemuan itu akan berlangsung lebih lama lagi pasti hari-harinya akan jauh lebih menyenangkan.
Lagi itu indah. Tercipta langsung di taman itu, di samping Riri, dan menjadi satu dari dua objek karya Gafi selama ini.
Riri sampai berpikir bahwa tak ada yang menginginkannya bahagia termasuk dirinya sendiri. Dia harus memutuskan pertemanan itu dan bersikap mereka tak saling kenal. Riri tak mau hal yang tak diinginkannya terjadi lagi.
Riri membiarkan Gafi pergi lebih dulu saat bel berbunyi. Mereka tak boleh terlihat bersama. Dia baru bangun setelah memastikan Gafi sudah tak terlihat.
Langkahnya berat. Beberapa hari ini banyak kejadian yang menguras tenaga.
"Romantis banget, ya."
Dan langkah Riri berhenti mendengar suara seseorang di belakangnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro