PART 25: KEMBALI BERCERITA
by sirhayani
part of zhkansas
...
Beberapa hari ini, Riri banyak menghabiskan waktu di taman. Dia tidak sendirian karena ada Gafi yang selalu menunggunya untuk latihan bersama. Tak ada yang tahu mengenai itu. Taman STARA dipenuhi pepohonan yang tertata rapi juga tumbuhan-tumbuhan yang tingginya lebih dari satu meter membentuk setiap kotak.
Tak ada tanda-tanda keberadaan Gafi setibanya Riri di taman. Biasanya Gafi akan menunggunya di bawah pohon seperti biasa bersama gitar putih miliknya. Riri duduk dan bersandar di pohon, seperti yang diakukannya beberapa hari ini. Sesekali membuka naskah drama yang akan dia perankan di waktu yang belum pasti kapan. Dia dan pemilik peran selain para pangeran berulang-ulang berlatih hal yang sama setiap hari sementara para peran-peran penting yang interaksinya lebih dari lima puluh persen tak pernah hadir dalam latihan itu.
Setiap hari yang Riri lihat adalah kerja keras para anggota dalam membuat perlengkapan panggung per adegannya. Acara itu akan berlangsung seperti apa?
Riri benar-benar putus aja. Baru membayangkannya saja perutnya sudah terasa diputar-putar.
Belakangan Riri tak pernah ke taman ini saat istirahat, terutama di tempat favoritnya karena beberapa kali Riri melihat sepasang cewek dan cowok sedang menempati bangku yang biasa Riri duduki.
Riri melirik pohon yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya saat ini.
Pohon itu tempat Malvin biasanya muncul. Sementara belakangan Malvin tak terlihat. Tak ada gosip apa pun mengenai dia yang berbuat ulah.
Apa mungkin dia tidak ke sekolah?
Riri memejamkan mata dan menggeleng-geleng kesal. Kenapa memikirkan cowok itu?
Pandangan Riri tertuju ke seseorang yang baru datang. Akhirnya Gafi muncul. Tak ada gitar kesayangannya yang biasa datang bersama. Cowok itu langsung duduk bersandar di pohon, tepat di samping Riri yang baru saja sedikit menjauh untuk memberikan Gafi tempat.
Gafi menekuk lututnya naik. Kedua lengannya bersandar di sana, lalu dia menoleh ke samping kiri. "Hai."
Riri mengayunkan kepalanya sambil menaikkan alis. "Hai."
Gafi mendengkus. "Gue ketahuan. Nggak boleh latihan lagi katanya."
"Nggak boleh latihan?" Riri benar-benar terkejut. "Untuk acara pentas yang kelihatannya dibuat seserius ini, dan lo ... nggak boleh latihan? Astaga." Riri menyugar rambutnya, lalu menenggelamkan wajahnya di atas lutut. "Kalau pada jago, kan, nggak masalah, tapi yang mampus juga kan gue."
Riri termangu ketika Gafi menepuk puncak kepalanya dua kali. Riri mempertahankan posisinya agar raut wajahnya tak terlihat.
Setelah beberapa saat, Riri kembali duduk tegak. Gafi sedang bertopang dagu sambil memandangnya. Riri segera menatap ke lain arah.
"Gimana kalau ngobrol-ngobrol aja?" tanya Gafi.
Riri langsung mengiakan itu. "Gimana rasanya jadi terkenal?"
"Beban," jawab Gafi langsung.
Riri tak menyangka jawaban itu yang keluar.
"Dikenal banyak orang. Introver. Kombinasi yang ngebuat gue merasa terbebani." Gafi mengangkat wajah.
"Gitu, ya." Riri mencari-cari pembahasan. Setelah menemukan apa yang tepat untuk dia ucapkan, dia baru menatap Gafi. "Orangtua lo pasti bangga banget. Di usia segini udah bisa ngehibur banyak orang, berprestasi."
"Orangtua mana dulu? Kalau orangtua kandung nggak ada."
Riri berhenti bergerak. Matanya berkaca-kaca. Dia menunduk pelan dan suara yang keluar terdengar bergetar. "Kok bisa?"
"Gue punya orangtua, kok. Orangtua angkat ngambil gue di panti asuhan saat umur gue 2 tahun. Katanya karena udah putus asa nggak diberi anak. Ternyata, gue umur 3 tahun mereka diberi rezeki. Gue punya adik cowok. Selama bertahun-tahun kemudian gue baru sadar gue diperlakukan seperti anak pungut." Gafi tertawa miris. "Emang anak pungut, kan."
Riri tersenyum. Pikirannya sedang kacau. Di dunia ini ada yang hidupnya jauh lebih tidak beruntung dari dirinya. "Boleh denger lebih nggak?"
"Lebih?" Gafi menatap Riri bingung. "Oh, mau gue cerita lagi?"
"Nggak apa-apa, kan?"
Gafi mendengkus dan tersenyum. "Ya, nggak apa-apa, lah. Gue bahkan butuh teman cerita. Selama ini yang nemenin cuma kesibukan gue doang." Gafi menoleh. "Jadi, gue harus mulai dari mana?"
Mata Riri berbinar. Dia antusias. "Semuanya?"
Gafi mengangguk-angguk. Dia menceritakan semua tentang dirinya.
Layaknya orangtua kebanyakan, orangtua angkat Gafi menginginkan Gafi berprestasi di bidang akademik dan sangat menentang Gafi yang ingin fokus bermusik. Namun, Gafi sangat tidak mengindahkan itu sampai satu perkataan dari papa angkatnya membuat Gafi sudah mati rasa untuk sekadar berbalas budi.
"Benar ya kata mama kamu waktu itu, lebih baik waktu itu kamu nggak usah kami ambil. Dasar anak pungut nggak tahu diri!"
Meski setelah itu mama angkatnya yang meminta maaf atas ucapan itu, tetapi Gafi merasa hatinya sudah tak mampu merasakan apa pun lagi yang berhubungan dengan mereka.
Gafi sudah tak peduli apa pun hingga akhirnya dia bertemu dengan senior yang merekrutnya ke dalam ekskul musik. Waktu itu dia masih kelas X dan dipercayakan menjadi vokalis di band itu menggantikan seorang vokalis yang sudah keluar.
"Saat papa tahu, ya dia marah dan teriak ngusir gue dari rumah sambil bilang gue anak pungut yang nggak berguna." Gafi menyelesaikan ceritanya dengan berat. Dia menatap Riri dan kaget melihat wajah Riri penuh air mata.
"Lanjut aja nggak apa-apa, kan?" Riri menggeleng-geleng kencang.
"Kenapa ... nangis?" tanya Gafi bingung.
"Pengin denger aja," balas Riri sambil menghapus air mata. "Hiks."
Gafi menyodorkan sapu tangan kepada Riri.
"Terus habis itu gimana?" tanya Riri. Sapu tangan itu hanya dia peluk tanpa dia gunakan sama sekali.
"Gue ketemu keluarga baru." Gafi tersenyum. "Walaupun keluarga yang sekarang itu nyebelin, tapi paling ngerti gue. Gue ngerasa dia terlalu banyak membantu gue. Gue nggak tahu harus ngapain lagi buat balas kebaikannya. Bahkan gue nggak bisa nolak kalau dia pengin gue ngelakuin sesuatu yang ngebuat orang lain celaka."
Riri menatap Gafi bingung. "Keluarga baru lo itu apa? Penjahat? Sampai ngebuat orang lain celaka?"
Gafi tertawa. Dia mengacak-acak rambut Riri. Riri melotot dan menjauh.
"Ah, bahkan gue nggak bisa jujur," gumam Gafi putus asa.
Riri menatap Gafi semakin bingung. Cowok di hadapannya itu menghela napas. Dia menyandarkan kepalanya di pohon.
"Iya, dia penjahat," kata Gafi dengan suara yang sangat pelan. Riri bahkan tak mendengarnya sama sekali karena sibuk menghapus air mata.
Suatu saat mungkin lo bakalan lebih nangis dan jauh lebih sakit hati dari ini. Gafi menatap Riri serba salah. Maaf. Tigris emang bajingan, tapi gue harus apa?
***
"Hoam." Shinta berguling-guling di kasur. Bangun tidur dia langsung mencari ponsel dan memainkannya, lalu membuka grup percakapan yang sejak tadi terus berisik karena notifikasi.
"Apa, sih. Heboh banget, ck." Shinta membuka ruang percakapan fans Fiveone di STARA. Awalnya Shinta sangat hati-hati menggulir layar ponselnya setelah membaca satu pesan yang mengatakan bahwa Gafi sepertinya mempunyai pacar baru. Setelah itu, dia terus menggulir layar secepat mungkin karena merasa sesak, marah, kecewa, dan juga ingin segera menutup ruang percakapan itu tetapi penasaran.
Kemudian beberapa foto yang diambil dari jauh membuat jantung Shinta hampir loncat.
Gafi sedang bersama dengan seorang cewek di taman. Baju, celana, model rambut itu sangat Shinta kenali.
Seseorang yang dipeluk oleh Gafi itu....
"Ri ... ri?" gumamnya tak percaya.
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro