Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 21: LIMA PANGERAN

Ini adalah part terpan~jaaang.

Selamat membaca!

by sirhayani

part of zhkansas

...

Riri tak bisa membaca pikiran orang lain. Dia juga tidak tahu apakah harus percaya pada perkataan Vernon atau tidak. Bahkan saat dia pulang dari sekolah dan kembali ke sekolah untuk berkumpul bersama anggota teater lain, dia masih mencari jawaban sendiri kenapa harus dia yang terlibat dalam urusan Vernon.

Ella, senior kelas XI yang merupakan ketua ekskul teater sudah bicara hampir setengah jam dan Riri ikut bosan mendengarnya bicara. Sejak tadi Ella sangat bangga karena banyaknya anggota yang mendaftar tahun ini. Sudah berulang kali dia mengatakan hal yang sama.

"Lama banget gila," gumam Aneta. Riri langsung mencubitnya hingga Aneta refleks menaikkan bahu. Aneta menatap Riri bingung. "Aw...?"

"Jadi!" Suara keras Ella membuat Riri terkejut dan segera memfokuskan perhatian. "Kalian udah tahu kan kita bakalan buat acara besar tahunan. Anak-anak seni bakalan kerja sama. Teater adalah penutupan. Jadi, jangan sampai kali ini bakalan ngantuk. Ada saran dari temen kita si Javas untuk ngadain kerjasama dengan anak-anak klub bela diri. Apa yang tempo hari kalian lihat di pamflet adalah saran brilian dari Javas." Ella menepuk-nepuk pundak Javas.

Javas melambai-lambai dan mengedipkan matanya kepada Riri.

Riri sangat terkejut.

"Dan dia juga udah ngasih saran cowok-cowok yang jago bela diri plus bisa akting untuk teater kita ini. Nah, masalahnya si anak kurang ajar ini nggak mau ngasih tahu dulu sebelum hari H. Tapi gue udah minta satu hal, temen-temen yang bakalan kerjasama dipublikasiin cuma buat anggota teater. Jadi, kalian semua terutama para cewek, jangan sampai nyebarin para pemainnya," kata Ella menjelaskan panjang lebar sambil sesekali berjalan mondar-mandir dengan pelan. "PAHAM?" teriaknya.

"PAHAM, KAK."

"Paham nggak?" tanya Javas dengan suara pelan.

"PAHAAAM," jawab para anggota teater yang 90% adalah perempuan.

"Tahu apa konsekuensi ngelanggar janji di aturan kami?" Pertanyaan Ella dibalas para anggota dengan gelengan. "Sempak kalian dikibarin di lapangan!"

Semua yang di ruangan itu tertawa.

"GUE SERIUS!" bentak cewek yang rambutnya dicepol asal-asalan itu. "Ini bukan hal yang harus dibalas dengan bercandaan. Gue udah ngobrol bareng Javas, wakil ketua ekskul teater sekaligus salah satu anggota klub bela diri, yah gue juga baru tahu sih klub itu ada, kalau cara ini bagus untuk ngundang banyak penonton ke acara kita. Tahun kemarin ngebosenin banget. Tahu nggak? Kursi-kursi penuh waktu penampilan Fiveone, pertunjukan solo piano, dan beberapa lagi. Sementara persembahan terakhir dari ekskul teater yang nonton cuma berapa biji. Jadi, gue harap kalian semua yang masuk ke ekskul ini bukan sekadar pengin jadi putri kerajaan."

Riri mendengar suara di sampingnya. "Kan tujuan masuk teater emang pengin ngincar posisi itu," kata seseorang.

"Ada pertanyaan?" Ella berhenti di tengah-tengah barisan.

"Kak!" Seorang cowok mengangkat tangannya dengan semangat. Ella mempersilakannya bicara lewat gerakan tangan. "Emang ada klub bela diri, ya? Mau masuk soalnya."

"Nggak tahu. Tanya noh si Javas." Ella menunjuk Javas dengan dagunya.

Javas yang beberapa saat lalu duduk segera berdiri menghampiri Ella. "Diadain aja."

"Ngomong yang serius." Ella menyikut perut Javas, membuat Javas menunduk dan mengaduh kesakitan.

Tak berapa lama dia langsung berdiri tegak dan memandang cowok yang bertanya tadi dengan muka galak. "Ada. Emang kenapa? Mau masuk? Udah gaada kuota. Sori, ye."

Sebagian siswi dari bagian selatan menjerit heboh. Ella berdecak dan memandang mereka heran. "Ini juga pada kenapa, hah?"

Riri meringis. Barusan Ella menatapnya. Padahal yang bicara dan membuat kehebohan bukan dirinya, tetapi beberapa orang di belakangnya.

"Dilihat-lihat Kak Javas ganteng banget ternyata," gumam seseorang. Riri meringis dan menunduk.

"Eh, gue masuk teater karena lihat dia lo. Cogan! Lumayan cuci mata," kata seorang siswi lagi.

"Beneran nggak tahan gue berdiri," gumam Riri. Dia menghela napas dan mencoba bertahan.

"Oke, bentar lagi gue mau umumin nama-nama pangeran, tapi awas ya. Ingat. Daleman kalian dikibarin. Gue kalau ngomong nggak main-main, loh," kata Ella, membuat Riri bergidik membayangkan keseriusannya.

"Kak? cowok-cowoknya siapa? Penasaran, nih?" tanya seorang cowok.

"Penasaran?" teriak Ella.

"IYA, KAKAK!"

Ella menghadap kepada para anggota ekskul. "Jadi, 5 cowok dari klub bela diri adalah nanti. Gue mau umumin nama cewek yang jadi putri dulu karena itu yang terpenting." Setelah sempat terdengar keluhan tak bersemangat, para siswi langsung kegirangan. "Karena kalian terlalu banyak, gue pilih dari yang berniat—"

"Saya, Kak!"

"Saya, Kak!"

"Gue aja, Kak! Please, please. Gue pernah jadi figuran di iklan waktu kecil!"

"Aku aja, Kak. Aku!"

Ella tampak pusing. Dia memegang pelipisnya dan menatap Javas. "Argh. Kalau gitu, acak. Kalian terlalu banyak dan belum tentu juga bisa teater. So. Bakalan ada beberapa kandidat lewat seleksi akting."

Riri terus memperhatikan dua orang di depannya agar tidak bosan. Ella menghampiri Javas saat Javas memanggilnya. Javas membisikkan sesuatu kepada Ella dengan cengiran lebar dan setelah itu Ella menyikut perut Javas hingga cowok itu mengaduh.

"Argh. Lo minta gue smackdown?" teriak Ella. "Apaan, sih, lo? Gue nggak setuju ah." Ella berjalan menjauh, tetapi kerah kemeja sekolahnya langsung ditarik oleh Javas.

"Eit, eit, eit. Nggak inget kontribusi gue di sini?" tanya Javas dengan muka iblisnya.

Dengan muka cemberut, marah, kesal, yang campur aduk, Ella kembali menghadap kepada para anggota. "Kesepakatan antara perwakilan teater dan klub bela diri. Gue bakalan milih satu. Javas juga bakalan milih satu di antara kalian."

"Dua-duanya bakalan diadu kepantasannya." Javas melanjutkan ucapan Ella.

"Dan gue milih lo!" Ella menunjuk seorang siswi cantik, tinggi seperti seorang permaisuri memakai gaun, dan rambut panjang yang terlihat gampang diatur dan dibuat berbagai bentuk.

Dalam sekejap cewek itu dan beberapa cewek di sekitarnya menjerit kesenangan. Mereka saling berpegangan tangan sambil melompat. Ella menyuruhnya langsung maju.

Giliran Javas yang memilih pilihannya. Cowok itu bersedekap. Matanya menyipit, terlihat mencari seseorang. Jaraknya berjalan di depan anggota yang berbaris paling depan terlalu dekat sampai anggotanya menahan napas.

"Sok cool banget lo!" teriak Ella kesal.

Javas menyengir dan berhenti tepat di depan Riri. "Gue milih lo. Hei, yang namanya Mega Elinel."

Dan semua mata tertuju kepada Riri.

***

Riri pucat pasi. Saat Javas menariknya ke hadapan Ella, dia tak bisa banyak melakukan apa-apa saking terkejutnya. Javas juga menariknya tanpa persetujuan.

Apa dia bisa langsung mundur saja? Itu hanya sekadar keinginan karena sedetik pun dia tidak melakukan usaha untuk mundur. Ella menyuruhnya naik ke panggung teater bersama cewek yang sudah dipilih Ella.

Ini bukan hal yang dia inginkan.

Ella menepuk tangannya dengan riang. "Yey, kita bakalan lihat akting kalian berdua. Yang terbaik fix bakalan jadi putri dari raja Javas." Ella menunjuk Javas. Semua langsung heboh membicarakan apa maksud dari perkataan Ella.

Apakah yang menjadi ayah putri kerajaan adalah Javas di teater itu?

Javas menunduk kepada Riri dan siswi di samping Riri. "Hai, calon-calon anakku. Waduh!" Javas terkejut karena Ella memukul punggungnya keras.

"Diem aja lo, pecicilan," omel Ella.

"Ya, maap. Gue terlalu seneng. Hehe." Javas langsung tenang dan senyumnya yang terkulum.

Ella mengarahkan Riri dan siswi pilihannya untuk adu akting saat itu juga. Riri sangat panik dan jantungnya berdegup kencang melihat mata para anggota ekskul lain memandangnya dengan sinis.

Riri melihat Javas yang seperti cacing kepanasan sambil cengar-cengir menatapnya.

"Kalem dikit bisa nggak, sih? Nggak malu sama kaum hawa?" teriak Ella.

"Kami sukanya yang gitu, kok, Kak!" sorak siswi-siswi lain.

Ella menepuk tangannya hingga bergema. "FOKUS. FOKUS!"

"TRALALA," sambung Javas. Javas terkekeh saat mendapatkan geraman kesal dari Ella.

Ella lalu menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Riri dan siswi itu. "Yang pertama akting, tentu dari pilihan gue. Gue yakin lo berbakat. Lo kan tadi yang teriak pernah jadi figuran iklan waktu kecil? Yah, walaupun itu udah lama banget. Jangan ngecewain gue. Oke? Nah, buktiin." Ella turun dari panggung.

Siswi itu, yang baru saja memperkenalkan diri dan bernama Jessie, mulai melakukan aksinya dan sepanjang siswi itu akting, Ella meringis bahkan menutup wajahnya karena malu dengan hasil yang dia inginkan.

Di teater itu, putri raja akan lebih banyak memainkan ekspresi dibanding bicara. Namun, tetap harus berwibawa. Sementara Jessi lebih terlihat seperti anak kecil yang cemberut karena permennya diambil.

"Aduh. Nggak kayak gitu. Yang alami. Salah satunya muka-muka kesel yang berusaha senyum! Seperti yang gue bilang tadi, lebih banyak memainkan ekspresi. Dan apa-apaan itu tadi?" Ella mengoceh sambil menggerak-gerakkan tangannya. Tangannya berakhir di kening. Dia menggeleng-geleng. "Coba lagi."

Jessie kembali melakukan kesalahan saat berakting terlalu berlebihan. Saat Ella menepuk jidat, Jessie panik.

"Aduduh. Nggak alami banget."

"Ya ampun, Kak! Ulang, please. Gue seneng banget soalnya!" teriak Jessie menggebu-gebu.

"Nanti. Turun dulu. Gue mau lihat yang satunya. Siapa nama lo?" tanya Ella kepadanya.

Riri maju ke tengah panggung dan Jessi yang melewatinya memberi tatapan sinis. "Riri...," balas Riri kaku.

"Lakuin. Seperti yang gue bilang tadi. Salah satu ekspresi. Lo bisa pilih yang mana," kata Ella.

Riri mati kutu. Semua orang memandangnya. Dia meneguk ludah. Sekarang dia terlihat lebih takut. Dia mencari cara agar tenang dan berpikir bagaimana cara agar Ella mencari kandidat baru daripada harus memilihnya dan menempatkannya pada peran yang sangat penting.

Akan tetapi, setelah dia memikirkan semuanya, bertingkah bodoh di hadapan banyak pasang mata yang memandangnya remeh adalah hal yang lebih memalukan dan tak ingin dia lakukan.

Riri tidak bisa akting. Maka yang dia lakukan adalah berjalan ke kursi yang telah disiapkan sembari meremas rok panjang—yang kebetulan dia pakai ke sekolah—untuk menghilangkan rasa gugipnya. Dia duduk di kursi dengan pelan sambil berusaha tersenyum memandang para anggota ekskul di bawah sana.

Ya ampun, kayak orang bego gue di sini. Muka mereka kenapa pada pengin makan orang gitu, sih. Riri membatin dan ekspresi antara takut dan terkejut.

"PERFEK!" teriak Javas dan Ella. Bahu Riri sampai naik saking terkejutnya mendengar suara jeritan tiba-tiba dari Ella. Ella bertepuk tangan bersama beberapa anggota ekskul lainnya.

Riri heran. Bagian mana yang perfek dari apa yang dia lakukan tadi? Itu adalah pujian terburuk yang pernah didengarnya.

Sementara Javas terus berjoget tak karuan. Dia besujud di lantai. "Setelah ini gue dapat mobil baru!"

"Lo kenapa sih daritadi kesurupan mulu kayak orang gila?" tanya Ella heran. "Jadi, siapa yang pilih Jessie?" tanya Ella kepada anggota lain.

Tak ada yang angkat tangan. Degupan jantung Riri semakin kencang.

"Berarti semuanya pada pilih Riri, ya?" Setelah yang terlihat rata-rata adalah gelengan, Ella semakin bingung. Meski Riri juga ikut bingung, tetapi dia merasa sedikit lega.

"Lah? Kok geleng-geleng gimana, sih? Oh pada nggak ikhlas bukan kalian ya yang kepilih?" Ella bersedekap. "Cih. Siapa yang pilih Riri?"

Hanya Aneta dan beberapa yang mengangkat tangan.

Javas berdiri di samping Ella dan ikut bersedekap. "Angkat tangan nggak! Yang angkat tangan bisa jadi cewek gue."

"KYAAA!"

Rata-rata siswi mengangkat tangannya. Bahkan ada satu cowok yang ikut-ikutan sambil menjerit.

"Dih, sok ganteng lo." Ella memutar bola mata. "Kalian pilih yang tulus, dong."

Mereka masih mengangkat tangan. Ella menghela napas. "Heran, deh. Tapi, ya gimana pun itu gue juga setuju sih Riri yang kepilih. Jadi, fix. Riri. Bakalan jadi putri tunggal Raja Javas, yah Javas nama sementara, di acara tahunan Tabula Rasa!"

Semua mulai bertepuk tangan dan Riri hampir pingsan di tempatnya berdiri. Dia berjalan kembali ke barisan depan dengan kaki lemas dan berhenti tepat di samping Aneta dan ikut duduk.

"Sekarang, pengumuman pemeran 5 pangeran. Ingat sempak, oke?" Di antara teriakan tak sabar, ada yang tertawa-tawa. Riri hanya mendengarkan tak minat.

"Mati gue," gumam Riri. Aneta menepuk-nepuk pundaknya memberi semangat.

"Pada penasaran?" teriak Ella.

"PENASARAAAN."

"Oke. Jangan pada teriak lebay, ya. Gue sumpel mulut kalian satu-satu," ancam Ella.

Riri menunduk dan rasanya ingin menangis saja. Mengambil peran asal-asalan saja terasa sangat menguras tenaga. Bagaimana saat harus fokus pada narasi dan jalan cerita teater?

"Sesuai urutan nama dari Javas. Waduh ini mah cowoknya keren-keren, hehe." Perkataan Ella membuat cewek-cewek menjerit kesenangan. Padahal Ella saja belum melihat nama-namanya. "Aduh, pada lebay, kan. Heran."

"SIAPA, SIH, KAK! LAMA BANGET SIH NGULUR-NGULUR WAKTU BANGET!"

Ella cekikikan. "Cowok pertama namanya waaah...! Orlando Putra Yadayana! Dari kelas XII IPS 1!"

"YA AMPUN KAKAK GANTENG YANG ATLET RENANG ITU, KAN? OMG."

Riri berpegangan kepada Aneta.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Aneta bingung. "Ri, lo pucat banget."

"Yap, betul sekali." Ella menutup mata dengan jari saat membuka kertas selanjutnya. Ella menatap Javas curiga. "Kok lo nggak bilang sih kalau cowok-cowok di klub lo seganteng ini?"

"Nanti lo kegenitan terus jingkrak-jingkrak, 'Javas sayang, kenalin gue ke temen cowok lo yang ganteng itu, dong' Aw! Ngapain sih lo mukul gue? Mau gue pukul balik?"

Riri memandang Javas dan Ella dengan lemas. Perutnya bergejolak. Dia ingin segera mengangkat tangan dan mundur saat ini juga.

"Cowok kedua adalah... Vernon Calisto! XI IPA 1. Anak paling pintar di angkatan gue. HUA!"

Siswi-siswi semakin bersorak heboh. Riri menyembunyikan wajahnya di lengan Aneta.

"COWOK KETIGA ADALAH ERFAN NARAYA DEWANTARA! XI IPS 4 YA AMPUN KOK LO NGGAK BILANG DARI AWAL, SIH!" teriak Ella kepada Javas. Ella girang, sekaligus penyesalan tampak di wajahnya. "KALAU TAHU GINI GUE YANG HARUS KEPILIH. ARGH."

Javas menyentil kening Ella. "Jangan genit lo buluk!"

"YA AMPUN KAK AYO DONG PEMILIHAN PUTRINYA BOLEH DIULANG NGGAK? TADI NGGAK FAIR BANGET!" teriak seorang siswi. Yang lain ikut berteriak mendukungnya.

"No, no, no, tidak bissa," kata Javas sambil mengoyangkan telunjuknya.

"Cowok keempat! Gafi Renaldy! HAH? GAFI RENALDY?!" Ella memelototi Javas. "GAFI RELANDY?"

Javas cengar-cengir. "Iya, si vokalis Fiveone, kan? Kan udah gue bilang gue nggak bakalan ngecewain lo."

"AAA!" teriak Ella bersama dengan anggota eksk ullain.

"Aduh. Capek gue teriak." Ella menyeka keringat dan pelan-pelan membaca sebuah nama di kertas terakhir.

Mata Riri berkaca-kaca saat memandang Aneta.

"Cowok terakhir...." Ella ingin menangis saat menatap Javas. Javas memalingkan wajah sambil bersenandung. "Lo kok jahat banget, sih? Dunia itu adil banget ya cowok-cowok ganteng harus berteman sama cowok jelek kayak lo?"

Javas melotot tak terima.

"KAK COWOK TERAKHIR, DONG!"

"INI SIH FAVORIT GUE BANGET!" teriak Ella sambil naik ke panggung. "MALVIN ADCENA! HUAAAA! UHHUK. UHHUK."

Javas terbahak-bahak. "Rasain lo batuk, kan! AHAHAHA."

Ruangan itu benar-benar berisik, tapi Riri seperti tak berada di ruangan yang sama dengan mereka.

Disaat gedung itu dipenuhi teriakan, Riri yang tadinya hanya lemas tak berdaya, kini merasa seperti mayat hidup.

Yang seharusnya telinganya sudah berdenging, kini tak terasa apa-apa. Kepalanya hanya dipenuhi ketakutan.

Orlando, Vernon, Erfan, Gafi, dan ... Malvin.

Apa ini masih wajar dia sebut sebagai kebetulan belaka?

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro