Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 17: DIA DATANG


by sirhayani

part of zhkansas

...

Satu tahun yang lalu, kakak kandung Aneta yang satu tahun lebih tua darinya pernah berpacaran dengan Erfan. Kakaknya bodoh. Dia tahu dimanfaatkan dan tahu Erfan selingkuh, tetapi dia selalu memaafkan Erfan dan menganggap Erfan pasti tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Aneta tidak tahu apa yang ada di otak kakaknya itu. Apa pun yang Erfan minta pasti selalu dia berikan.

Kakaknya selalu meminta sejumlah uang kepada kedua orangtua mereka dan berbohong untuk membeli buku dan sejumlah peralatan sekolah. Uang itu tidak terhitung sedikit, tetapi apa pun yang menyangkut sekolah orangtua mereka pasti akan berikan. Kakaknya pernah marah kepadanya karena Aneta mengadu apa yang terjadi sebenarnya. Mereka bertengkar hebat. Rumah itu dipenuhi teriakan. Kakaknya ditampar berkali-kali oleh Papa dan jujur saat itu Aneta takut. Entah dia mengambil langkah yang tepat atau justru sebaliknya.

Sehari setelah pertengkaran, kakaknya kabur dari rumah. Selama berhari-hari dia tidak pulang dan sampai sekarang Aneta tidak tahu di mana dia menumpang saat itu. Papa berusaha keras membujuk kakak Aneta untuk kembali dari rumah dan papa meminta maaf, bukannya kakak Aneta yang mengucapkan kata maaf itu.

Aneta sangat marah kepada Erfan. Kakak Aneta tidak pernah memberontak sebelum mengenal Erfan.

Lalu, saat Erfan yang memutuskan kakak Aneta dan tidak ingin menemui kakak Aneta lagi, kakak Aneta frustrasi. Dia tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Yang dia lakukan hanya menangis di kamar, lalu drama berikutnya dia pindah dari STARA dengan alasan tidak ingin melihat Erfan yang bisa membangkitkan luka di hatinya.

Bodoh. Kakaknya benar-benar bodoh dan Aneta tidak mengerti apa yang Erfan lakukan hingga membuat kakaknya seperti itu.

Sementara cowok itu tanpa merasa bersalah kembali berpetualang dengan calon-calon mangsanya.

Aneta menghentikan langkah saat hampir menuruni tangga. Dia berbalik dan memaki dirinya dalam hati karena sadar telah meninggalkan Riri begitu saja. Tadi dia langsung pergi karena muak melihat Erfan secara langsung. Hanya melihat Erfan saja tangannya sangat gatal untuk melayangkan benda keras di wajah cowok itu.

Aneta berlari menuju kelasnya dan terkejut dengan banyaknya siswi yang berkumpul di koridor. Dua senior cowok berdiri di depan pintu kelas seperti penjaga. Dia berhenti di depan dua orang itu saat satu dari mereka merentangkan tangan.

"Nggak boleh masuk." Rana, cowok itu menatap Aneta sambil merentangkan tangan. Arvi di sampingnya mengangguk-angguk.

"Itu kelas gue." Aneta membelalak menyadari sesuatu. "Temen lo mana?"

"Siapa? Erfan? Oh, lagi mau ngapa-ngapain temen kelas lo, tuh," balas Rana sambil mendorong bahu Aneta yang hampir menerobos untuk membuka pintu.

"Kak, Kak! Emang Kak Erfan ada apa-apa, ya, sama Riri?" tanya salah satu siswi kelas X IPA 5.

"Enggak, kok. Enggak." Rana menendang kaki Arvi. "Ya nggak, Vi?"

Arvi mengangguk. "Jadi, tuh, jelasin, Ran."

"Pokoknya si Riri Riri itu ada masalah sama Erfan waktu itu. Jadi, Erfan cuma pengin buat perhitungan doang," balas Rana.

Siswi-siswi itu mulai mengatakan berbagai opini mereka. Aneta menatap mereka dengan dingin.

"Ya, kan. Nggak mungkin Riri yang target. Yang bener tuh di kelas X IPA 6."

"Ih, pasti Riri sengaja cari perhatian, tuh, sama Kak Erfan. Nggak banget, kan?"

"Waktu itu juga gue lihat Riri disamperin Kak Erfan waktu pulang sekolah. Terus dia kabur! Pasti dia kabur dari masalah. Nggak mungkin Kak Erfan tiba-tiba ngehalang gitu, kan? Masa Kak Erfan dicuekin. Mana habis itu ada kakak kelas yang samperin! Gue yakin itu cowok yang punya masalah juga sama dia!"

"Jangan-jangan Riri sengaja cari masalah sama cowok-cowok yang bahkan nggak dia kenal biar anak-anak pada curiga dia target!"

"Iya! Masuk akal!"

"Sok tahu banget sih kalian?" Aneta bersuara lantang. Beberapa siswi yang bergosip di dekat mereka langsung diam.

"Ya... ya—kita cuma beropini doang nggak salah, kan?" tanya salah satu dari mereka. Mereka menjauh dari Aneta.

Lalu siswi yang lain berbisik. "Dia itu kan yang kalau ngomong sama orang kayak sinis banget?"

"Iya, jangan pada deket-deket sama dia...."

Aneta melihat beberapa siswa yang nongkrong di koridor itu diusir oleh teman kelasnya yang bernama Elon. Elon bersama seseorang, yang Aneta yakin adalah senior.

"KORIDOR DIKOSONGIN! PERGI NGGAK KALIAN SEMUA?" teriak Javas sambil mengarahkan sapu kepada para junor yang keras kepala.

Elon menghampiri segerombolan siswi yang beberapa mengintip ke jendela. "Oi, kalian semua minggir. Koridor mau dikosongin. Erfan yang bilang. Nanti Erfan marah lo sama kalian. Kalian nggak mau dipukul sama cintanya, kan?"

"Apaan, sih, gaje!" teriak siswi di antara mereka, lalu mereka berbondong-bondong meninggalkan koridor.

Elon memandang Rana dan Arvi. "Lo berdua nggak mau pergi?"

"Wah, berani lo sama kakak kelas, ya?" tanya Rana sambil berkacak pinggang.

"Bodo amat. Ini perintah. Kalau nggak mau terima nasib aja, ya," kata Elon malas-malasan. Javas sudah pergi duluan, lalu tatapannya terhenti pada Aneta. "Pergi nggak lo?"

"Nggak." Aneta memalingkan wajah, menatap pintu yang masih tertutup rapat. "Temen gue di dalam."

"Ah, lama!"

Aneta terkejut saat ditarik oleh Elon. "Siapa yang ngizinin lo? Lepasin nggak?"

"Nggak mau." Elon berhenti, dia menatap Aneta sambil menghela napas. Aneta memeluk erat pilar di sampingnya. "Ayolah. Turutin aja bisa, kan, ya? Gue udah muak dengan semua ini. Ck. Padahal tadi asik-asiknya main. Ganggu aja."

"???"

"Kenapa lo berat banget padahal kecil." Elon menoleh kepadanya lagi. Padahal Elon sudah berusaha menariknya. "Argh. Jangan pegang tembok!"

***

"Maksud lo... apaan, sih?!" teriak Riri setelah berhasil menjauh dari Erfan. Dia menatap jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana padahal tadi beberapa siswi mengintip terang-terangan.

Riri berusaha mendorong pintu yang tidak dikunci. Ada yang menahannya dari luar sehingga pintu itu tak bisa terbuka.

Riri terkejut saat tangannya ditarik. Erfan membawanya ke kursi guru dan mendudukkannya di sana. Sementara Erfan berdiri melipat kedua tangannya di dada dan terus memandangi Riri sambil tersenyum.

"Lo gila, ya?" bisik Riri tertahan.

Erfan tertawa. Dia menunduk dan menepuk tangannya di puncak kepala Riri. "Jangan kasar-kasar, dong. Imutnya jadi hilang."

Riri memukul tangan Erfan yang seenaknya. Tangan Erfan langsung turun. Bukannya marah, cowok itu malah terseyum. Riri sama sekali tidak paham dengan apa maksud Erfan melakukan ini.

Sekarang Riri tak bisa melakukan apa pun selain menunggu bel berbunyi. Namun, dia harus menelan harapannya saat Erfan kembali menariknya untuk berdiri.

"Kantin, yuk."

Riri panik. Kantin adalah tempat pertama yang dia hindari, tetapi dia tidak bisa menghentikan langkah karena tenaga Erfan yang menariknya kuat. Bagaimana pun Riri berusaha menarik diri, dia tetap kalah dari Erfan.

BRAK

Keduanya menghentikan langkah saat pintu didobrak dari luar.

Siapa pun itu dia bodoh menurut Riri. Pintu itu harusnya ditarik. Bukan didorong.

Pintu terbuka. Riri hanya bisa termenung ketika si cowok pohon yang baru saja masuk langsung bertatapan dengannya.

Apa lagi ini?

Cowok itu menepuk-nepuk lengan atasnya. Tatapannya turun menatap tangan Riri yang sedang digenggam, lalu dia menatap Erfan. "Lepasin."

Erfan berdecak. Riri merasakan tangannya digenggam erat oleh Erfan.

"Ngapain lo di sini?" tanya Erfan marah.

Cowok itu mendekati Riri. Riri mengerjap ketika cowok itu melepaskan tangannya dari Erfan tanpa susah payah.

"Dia tuh nggak suka dipegang-pegang sembarangan kayak gini," kata cowok itu sambil menepuk-nepuk pundak Erfan. "Nanti jadi takut. Terus malah menjauh."

Melihat pintu terbuka lebar, insting Riri untuk kabur segera bangkit. Dia melihat cowok pohon dan Erfan saling bertatapan. Yang satu menatap tajam, satunya lagi menantang dengan seringaian.

Riri sempat bertatapan dengan cowok itu sebelum dia melangkah cepat dan menghampiri Aneta yang sedang panik di luar sana.

***

Erfan sangat benci diganggu.

Apalagi jika orang itu mengganggunya dalam melakukan aksi yang dia sukai; mengganggu Riri hingga membuat cewek itu ketakutan.

Dan yang paling dia benci adalah saat cowok aneh bernama Malvin yang merupakan teman sekelasnya lah yang mengganggu aksinya itu.

"Lo pemain Game Over juga, kan?" Erfan mendorong bahu Malvin keras. Malvin sempat mundur, tetapi langsung bertahan.

Malvin menyeringai. "Kan udah tahu dari lama. Nggak usah nanya lagi, kan?"

"Ngapain sih lo ganggu gue?"

"Ganggu pemain lain ngelakuin aksi nggak ada larangan dalam permainan, kan?" tanya Malvin dengan raut tatapan mengejek, membuat Erfan semakin emosi dan ingin menonjoknya.

Erfan menarik kaos Malvin dan bicara di depan wajahnya. "Kalau lo ganggu gue lagi, gue pastiin lo bakalan babak belur."

Malvin mendorong Erfan hingga cengkeramannya terlepas. "Dan kalau lo masih suka maksa-maksa Riri, gue pastiin kaki lo bakalan pincang." Malvin berbalik dan pergi dari kelas itu dengan santai.

Sementara Erfan menahan emosinya sejak tadi. Amarahnya semakin meluap ketika melihat Rana, salah satu temannya yang bertugas menjaga di luar tiba-tiba memunculkan kepala.

Erfan menghela napas panjang. Dia memejamkan mata, lalu memandang Rana yang berjalan pincang memasuki kelas itu. "Arvi mana?"

"Kabur!" teriak Rana, lalu dia meringis menahan luka di sudut bibirnya. "Gue nggak bisa nahan dia ah sialan."

"Kenapa kalian berdua malah ngebiarin dia masuk!"

"GUE DITONJOK DAN KAKI GUE DIPELINTIR! DIA MELOROTIN CELANA ARVI SAMPE DALEMANNYA DAN DILIHAT SAMA CEWEK GIMANA ARVI NGGAK TRAUMA? BNGST."

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro