3.0 Rumah Sakit dan Haidar.
Haidar sadar ia harus menghubungi kedua orang tua Farsha sebelum para petugas medis menyelesaikan tugasnya. Namun, keanehan muncul saat ia tak menemukan satu kontak pun di ponsel Farsha. Tak kehabisan akal, tangannya dengan cepat menggulir layar, mencari aplikasi berwarna hijau yang menjadi penghubung masyarakat Indonesia. Dalam hati ia berdoa semoga sikap kurang ajarnya akan diberi ampunan oleh Farsha dan Yang Maha Kuasa.
Bibirnya tanpa sadar mengucap syukur saat di kontak teratas terdapat pesan yang belum terbaca. Dilihat dari beranda, terdapat pesan singkat yang berisi 'Kamu di mana? Papa sudah di rumah ...'. Siapapun nomor tak bernama itu, Haidar menyakininya sebagai salah satu saudara Farsha.
"Farsha, gue izin buka pesannya, ya!"
"Iya, Dar. Buka aja!
"Oke, makasih, Acha!"
Haidar terkikik sendiri karena kekonyolan yang ia lakukan. Ia tambah terbahak saat membayangkan reaksi Farsha setelah mengetahui ponselnya telah ia jarah. Amarah perempuan itu tak menakutkan, malah terlihat lucu baginya.
"Semoga Farsha enggak kenapa-kenapa deh," doa Haidar.
Haidar lantas membuka pesan itu. Sebelumnya ia tak bermaksud membaca lima pesan yang dikirim, ia benar-benar ingin memberi kabar tanpa mau melanggar privasi Farsha lebih jauh. Namun, saat netranya tak sengaja menangkap tulisan kapital, mau tak mau ia membaca satu kalimat.
"Dasar anak kurang ajar?"
Haidar tak dapat menahan rasa penasaran dan akhirnya ia memilih kembali kurang ajar dengan membaca pesan yang lain. Meski hanya membaca, rasa sakit turut menghantui lelaki berusia 17 tahun itu. Ia memang tak mengenal Farsha, tetapi hatinya mengatakan kalau Farsha bukanlah gadis yang buruk. Ia hanya gadis kesepian yang tengah rapuh. Namun, mengapa kontak yang memanggil dirinya sebagai 'papa' malah mengatakan sebaliknya?
Belum sempat ia berpikir lebih dalam, seorang perawat perempuan menghampirinya. Memberi informasi bahwa penanganan Farsha sudah selesai dan perempuan itu tengah tertidur karena obaf bius.
"Sus, saya mau nanya. Apa lukanya parah? Tadi dia mengeluh sakit di kepala."
Lagi-lagi rasa syukur Haidar haturkan saat mendengar kabar kondisi Farsha yang terpantau baik meski masih harus menjalani beberapa pemeriksaan lagi. Setidaknya Haidar tidak perlu panik sendiri sekarang.
Haidar masih berada di pintu UGD saat suster tersebut kembali, tangganya masih memegang ponsel dengan layar menampilkan pesan WhatsApp. Informasi yang ia dapat, sosok yang dipanggil Farsha abang juga berada di rumah sakit ini karena demam tinggi. Berarti setidaknya ada salah seorang kerabat Farsha yang tengah berada di bilik rawat inap, tetapi rasa ragu menghampiri Haidar. Ia menyadari betapa beratnya kehidupan keluarga Farsha meski ia tak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat gadis itu.
Ia terdiam beberapa saat. Masih menimbang-nimbang apa jalan terbaik yang harus ia pilih. Di satu sisi ia butuh keluarga Farsha untuk mengurus administrasi, di sisi lain ia takut kalau kabar Farsha malah menyulut emosi keluarga Farsha yang tampaknya tak ramah.
Di tengah pergulatan pikiran, seseorang menepuk pundaknya. Ibu paruh baya yang matanya sembab dengan raut panik.
"Dek, saya mau nanya. Anak gadis korban kecelakaan tadi di bawah ke rumah sakit ini, ya?"
Tak langsung menjawab, Haidar malah balik bertanya demi kejelasan. "Kecelakaan di mana, ya, Bu?"
"Jalan Sudirman, Dek. Yang ditabrak anak saya."
"Ah, mobil berwarna hitam, ya, Bu? Benar, Bu."
"Kalau boleh tahu keluarganya di mana, ya, Dek? Saya mau ngejumpain buat minta maaf sama mau bayarin administrasinya."
Mata Haidar membola saat mendengar ucapan si ibu. Bak keruntuhan pohon uang, wajahnya menjadi sumringah dalam sekejap. Tanpa aba-aba tangan dan mulutnya langsung bekerja sama menciptakan sebuah jalan keluar terbaik.
"Ibu bisa ke administrasi aja dulu, ada di ujung lorong. Untuk pihak keluarga masih dihubungin. Atas nama Farsha, ya, Bu."
~Gambarasa~
Sudah pukul tiga pagi dan Haidar masih sulit tertidur. Bukan karena ruangan yang tidak nyaman, tapi ia tak dapat menahan kekhawatiran karena Farsha yang belum sadar padahal suster mengatakan obat biusnya tidak lagi bekerja sejak beberapa jam yang lalu.
Farsha Dwi Kanaya, akhirnya nama cantik itu ia ketahui meski dari KTP yang ia pegang saat membantu si ibu mengurus administrasi. Berbicara mengenai ibu paruh baya itu, beliau berulang kali memohon maaf kepada Haidar yang dikira sebagai adik Farsha. Wanita itu mengaku anaknya telah melakukan kesalahan fatal dan berjanji akan menjalani semua hukuman yang akan diberikan. Haidar sebagai pihak asing merasa tak enak dan mengatakan untuk kembali besok pagi saja.
Meski sempat beradu pendapat, akhirnya Haidar berhasil membuat perempuan yang ditafsir seusia dengan ibunya itu melupakan niatnya menginap. Saat mengetahui kedua orang tua Farsha tidak ada yang bisa dihubungin ibu itu memutuskan untuk menginap dengan dalih bisa saja Farsha membutuhkan bantuan perempuan. Haidar menerka perempuan itu amat menyayangi anaknya dan juga memiliki banyak teman karena kebaikan yang tanpa sadar ia berikan.
Diam-diam Haidar menatap wajah pucat Farsha, pikirannya melayang kembali pada pesan yang sengaja ia buka, tapi tanpa sengaja dibacanya. Perlahan ia juga mengingat bagaimana wajah murung Farsha saat ia pertama kali melihat di taman kota, serta cuitan yang isinya sungguh pilu. Abang dan Farsha berada di rumah sakit yang sama, mungkin saat ini mereka sama-sama terbaring dengan tangan yang diberi cairan infus. Kakak adik bernasib sama, Haidar cukup takjub untuk itu.
Namun, ia masih penasaran kejadian yang membuat Farsha berada di taman kota tanpa berpamitan dengan kedua orang tuanya. Ditambah pesan galak yang diterima padahal Farsha adalah anak perempuan yang tengah kalut.
Daripada pusing mending tanya Nare aja, diakan rajanya masalah, batin Haidar.
Tanpa lama tangannya membuka ponsel dan mencari kontak bernama 'Nare' lalu menekan ikon dial. Sobatnya satu itu memang memiliki kebiasaan baik, tak pernah lama dalam mengangkat teleponnya meski sekarang bukan waktu yang bagus untuk menelpon.
"Assalamualaikum, Sobat!"
"Wa'alaikumussalam Sobat Abu Jahal! Bisa lihat jam dulu sebelum nelpon tidak? Gur baru tidur udah lo telpon aja1"
"Penting ini, Na! Penting!" Haidar menekan kata penting agar Nare sedikit melunak dan membiarkan waktu tidurnya diganggu sebentar.
"Seberapa penting?"
"Sangat penting sampai gue pengen nikah sekarang juga."
"Ngucap sekarang lo, Haidar! Lo masih kelas dua SMA Ya Allah, belum cocok jadi bapak orang1 Siapa yang lo hamilin, Paijo?"
"Si Geri noh habis gue hamilin," sahut Haidar dengan nada kesal. "Gak usah bikin gue kesel bisa gak sih?"
"Ya lagian segala bawa-bawa nikah, kan pikiran gue jadi ke mana-mana."
"Gue tuh bingung, Na. Emang ada ya orang tua yang benci sama anaknya?"
Di ujung telepon, Narendra menjawab dengan cepat. "Ada."
"Serius?" sahut Haidar tak percaya. "Bukan di drama doang itu?"
"Kagak, Dar. Hal kaya gitu ada di dunia nyata. Istilahnya broken home tanpa perceraian."
"Na, gue ketemu sama cewek. Ntar gue ceritain jelasnya. Cuma ini kayanya dia ada masalah sama bokapnya, gue harus gimana?"
"Lo yakin baru kenal dia?"
"Iya."
"Kalau iya, hal yang harus lo lakuin adalah jangan ikut campur. Kesempurnaan keluarga lo yang bikin lo gak bisa bantu dia. Dan, sebagai orang asing lo harus tahu batasan, apalagi ketika dia enggak ngizinin lo buat tahu."
Bersambung ...
Hari ketiga - 6 April 2022
Jumlah kata : 1103 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro