Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8

Jangan biarkan sedih terlalu lama. Karena hati dan pikiran butuh bahagia.
Ananda Haikal Galuh.

. . .

Detik membawa kabut di mata Galuh mulai berjatuhan. Kemudian memberi ruang pada udara kalau dirinya memang ingin berdua bersama Ibnu. Beberapa kali Galuh bertanya pada Bunda, apakah dirinya benar-benar anak mereka? Atau hanya sebatas ilusi kalau sebenarnya Galuh hanya anak angkat.

Namun, semesta seperti berbicara pada takdir,  hadirnya adalah anugerah, hadirnya adalah bahagia,  bahkan sejak Ibnu memutuskan pulang lebih cepat. Ibnu tak henti mengusap air mata adiknya, meski dalam peluk  dengan posisi yang kurang menyenangkan.

Galuh, tetaplah anak  remaja yang masih butuh diperhatikan, butuh kasih sayang, dan butuh bersenang-bersenang dengan  teman sebayanya. Kini, harapan itu seperti dindinng tebal yang sulit diruntuhkan. 

"Gue selalu bilang, lo jelek kalau nangis. Tapi jujur, Luh. Sejak lo lahir ke permukaan, lo teman terbaik gue, walau nggak ada manis-manis lo sama Abang sendiri."

Ibnu itu pandai berceloteh, mengarang cerita, dan membuat mood buruk akan menjadi baik. Bahkan,  sejak bunda mereka pergi, Ibnu terus berada di sisi Galuh, sambil menunggu Fariz kembali.

"Berisik, Bang. Kayak toak masjid, pusing gue." gerutu Galuh. Anak itu tidak suka jika Ibnu banyak bicara, tapi dia selalu merindukan teori murahan kakaknya. Gengsi, begitu yang Ibnu katakan.  Padahal, sebenarnya Ibnu, Fariz dan Galuh adalah tipe manusia yang sama-sama sulit menuangkan rasa sayang di depan korbannya.

"Yaelah, berisik juga lo nempel mulu kayak cicak. Jujur sama gue, lo lagi mikirin apa, tadi?" tanya Ibnu. Galuh terdiam,  anak itu mengusap air matanya  sebelum ia melepas peluknya dari Ibnu.

"Jangan bilang Bunda, kalau kemarin gue pingsan di depan kelas, gue takut  Bunda sedih."

Ibnu tersenyum, lalu menangkup kedua pipi adiknya. Ibnu tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang Kakak. Apalagi harus menghadapi adik yang super istimewa seperti Galuh. Tidak pernah terpikir atau menyangka sebelumnya.

Dilihatnya mata bulat Galuh dengan lekat, mencoba mencari sesuatu yang dapat ia jadikan bahan pembicaraan. Ibnu memang bukan paranormal, tapi dia sedikit paham tentang adiknya jika dia berbohong, begitu juga Fariz. 

"Gue nggak akan bilang, sekarang lo bisa cerita ke gue, kemarin sebelum gue bawa lo ke ruang kesehatan,  lo ada di mana?"

Kali ini, Ibnu tidak lagi berbasa-basi. Ia langsung menanyakan hal yang membuatnya resah ketika  di sekolah kemarin.  Sejenak Galuh diam, anak itu mencoba mengingat kembali tentang hari kemarin. Ia mendongak, menemukan wajah Ibnu yang masih terlihat begitu santai, tak lama ia pun memalingkan wajahnya sebelum kembali bersuara.

"Gue ke toilet."

Ibnu terkekeh, lalu berdiri sambil bersedekap, dan tersenyum miring. Sesekali ia melihat Galuh yang belum mau menatapnya lagi. Ibnu sangat yakin kalau Galuh sedang berbohong.

"Lihat gue," katanya. Pelan memang, tapi Galuh tidak bisa berkata apa-apa. Galuh tidak suka dibentak, dia akan merasa sedih jika dimarahi.

"Sorry," ucap Ibnu pelan, lalu membuang napasnya kasar, kemudian mengusap wajahnya dan duduk di sebelah adiknya.  Sebelah tangannya terjulur, untuk memegang bahu Galuh dan sebelaynya lagi ia letakan di pipi sebelah kanan adiknya.

"Galuh, lihat Abang. Lo bisa nangis sepuas dan sekeras apapun yang lo mau. Di sini ada gue, Fariz, Papa, dan Bunda.  Lo punya temen baik kayak Irgi, apa yang lo pikirin dan gue nggak tahu, cerita sama gue," kata Ibnu.  Detik seperti membawa dunia Galuh berubah,  rasa sakitnya sudah tak terasa, namun hatinya terluka. Ia tidak ingat, kapan terakhir kali berbincang berdua bersama Ibnu seperti saat ini.  Ia tak ingat, kapan Ibnu bisa selembut sekarang. Yang dia ingat, Ibnu selalu ada untuknya, membantunya  dan membelanya meski caranya berbeda dengan Fariz.

"Caranya gue benci sama lo, gimana sih, Bang?"

"Heh! Astaga, ini ngelantur,nih pasti. Istirahat gih, gue temenin," sahut Ibnu cepat. Galuh menggeleng, lalu menatap Ibnu lekat. Mata keduanya beradu, saling berbicara  dalam pikirannya masing-masing.

"Galuh, denger, ya. Lo boleh benci gue sepuas lo, lo boleh nggak suka sama gue atau Fariz, tapi tolong. Jangan pikirin omongan orang yang nggak suka sama lo. Lo itu adik gue, anak Bunda sama Papa. Nangis aja, nggak apa-apa. Di sini nggak ada yang larang lo buat nuangin rasa sakit dalam hati, lo."

Ibnu benar, lalu untuk apa Galuh bersedih jika Ibnu saja percaya padanya untuk tidak memikirkan ucapan Miko yang kurang ajar itu?

"Ajarin gue buat lupain semuanya, lupain rasa sakit yang menyesakkan ini. Ajarin gue cara melepas senyum di atas langit senja."

Peluk erat yang membuat Ibnu tersentak membiarkan tangis senfu itu meraung di dekapnya. Galuh benar-benar menangis sejadinya  dengan suara serak, jika dia hanya ingin senjanya kembali.

"Bang, ajarin gue gimana caranya membenci dengan benar meski  kelak gue pergi dan nggak akan kembali." gumam Galuh. Sejenak Ibnu menguatkan peluknya sambil memejam. Kamar yang begitu sejuk berunah menjadi panas sampai membuat sesak.  Setetes air mata Ibnu mengalir menembus pelupuk mata.

"Gue nggak bisa Luh, gue nggak mau lo pergi. Biar senja yang pergi, lo jangan. Biar senja yang melupakan warnanya, lo tetap di sini. Lo nggak pernah bisa terganti.  Jangan ngelantur, please. Gue takut ."

Sesak di dada Ibnu tak lagi bisa terhitung. Dia benci Galuh yang berbicara sembarangan.  Dia tidak pernah bisa melihat Galuh sesedih saat ini. Tubuh anak itu masih bergetar,  suara isaknya membuat Ibnu benar-benar sakit.

Dan Ibnu tidak menyadari bagaimana semesta membawa lukanya kembali bersemayam dalam hati.  Bagaimana takdir mulai bekerja dan berbisik pada angin, kalau  waktunya akan usai  bersama senja yang menenggelamkan warnanya di langit gelap.

Dia tidak tahu kalau di sudut lain ada Fariz yang menyimak semua percakapannya.  Mendengar bagaimana Galuh berkata sambil terisak, bagaimana Ibnu mencoba menenangkannya. Dan bagaimana jika ucapan Galuh benar-benar terjadi.  Fariz menyimpan semuanya  dalam diam, Fariz mengetahui segalanya, tapi tak sanggup untuk menyampaikannya.

"Seandainya kalian bukan adik gue, mungkin sekarang gue memilih pergi melupakan siapa diri gue. Tapi takdir memilih kalian untuk hadir dalam kehidupan gue sebagai pelengkap, meski kalian tahu, gue nggak pernah suka diusik.  Jika gue boleh meminta,  biar gue yang pergi Luh, gue yang ngerasain rasa sakit itu.  Jangan lo, karena lo adalah rasa yang sulit dilupakan. Secintanya Ibnu ke gue, sesayangnya gue ke lo,  tetep aja. Kalian berdua adalah adik gue." gumam Fariz sebelum kaki membawanya melangkah mendekati kedua adiknya. 

Sekali lagi, Fariz bisa melihat betapa sayangnya Galuh pada Ibnu begitu juga pada dirinya.  Meski sering bertengkar, namun Fariz mengerti bagaimana Ibnu menuangkan rasa sayangnya pada Galuh.

"Udah makan?" tanyanya tiba-tiba, membuat Ibnu menoleh lebih dulu, baru setelahnya Galuh mengintip dari balik pelukan Ibnu. Mata sembabnya membuat Fariz sebal sendiri.

"Sebenernya laper, cuma udah kenyang." sahut Ibnu. Fariz diam, dia mengangkat sebelah alisnya bingung.

"Sorry, gue becanda.  Kita belum makan. Lo kemana aja, lama banget?"

"Bengkel."

"Mobil lo, rusak?"

Pertanyaan Ibnu tidak dihiraukannya, matanya beralih pada Galuh yang masih berusaha mrngusap air matanya pada seragam sekolah Ibnu. Kebiasaan yang benar-benar menyebalkan untuk Ibnu.

"Jorok!" gerutu Ibnu, Galuh menatapnya tak peduli, lalu segera membenarkan posisinya  agar Fariz dapat melihat wajahnya. "Lo yang ngajarin," sahutnya.

"Jangan lihat gue kayak gitu, gue nggak suka!" ucap Galuh. Ibnu dan Fariz hanya bisa mendengkus, mereka akan selalu salah jika adiknya mulai bersuara.

"Bang?" panggil Ibnu. Fariz melirik sebentar, lalu beralih pada Galuh yang menggenggam tangannya untuk berdiri meminta di gendong.

"Hm."

"Lo masih kesel sama gue?"

"Punya otak, 'kan? Pikir aja."

Panjang napas yang Ibnu tarik lalu ia embuskan perlahan, Ibnu lupa kalau Fariz adalah manusia paling menyebalkan dengan sikap dingin yany selalu ia dapatkan.

Matanya masih mengikuti langkah Fariz yang mulai melewati pintu kamar  dengan Galuh yang digendong di punggungnya. 

"Bang Ibnu! Buruan turun, makanan lo gue makan, nanti!"

"Jangan khawatir Nu,  Kak Fariz itu peduli sama lo. Sana buruan samperin mereka, gue di sini,  ada buat lo."

Senyum di wajah Ibnu membuat sosok itu ikut tersenyum lalu menepuk bahu Ibnu seolah ia pasti baik-baik saja.  "Bisa!"

Hari semakin sore, bahkan orang tua mereka belum kunjung pulang. Terutama Kamila. Wanita itu hanya berpesan untuk tetap di rumah bersama si bungsu, tapi sejak tadi Galuh terus-menerus bertanya pada Fariz dan Ibnu.

Galuh sudah bosan menonton televisi, bahkan dia juga sudah menghabiskan empat kotak susu cokelat yang sempat Fariz beli di mini market. Sementara Ibnu, cowok itu sudah tertidur pulas di atas karpet. Fariz hanya menggeleng ketika mereka bertengkar karena siaran televisi yang tidak sesuai dengan keduanya.

"Bang Fariz, telepon Bunda suruh pulang cepet. Lama banget, sih."

"Sabar."

"Nggak bisa sabar, Bunda sama Papa lama."

"Obat lo?" tanya Fariz tiba-tiba. Galuh menoleh, lalu terkekeh. Fariz bingung, bukan karena tatapan Galuh. "Lo lupa? Lo sendiri yang ngasih obat gue, pikun!"

Fariz tidak ingat, karena pikirannya tak ada di sana. Ada hal yang Fariz coba pendam untuk saat ini. Pertemuannya  dengan Kiel membuatnya terkejut. Setelah kejuaran beberapa bulan lalu, Kiel datang hanya untuk mengatakan hal yang paling bodoh seperti sampah.

"Gimana? Kaget? Gue kembali Nanta, buat lo. Sampai ketemu di pertandingan berikutnya, gue bakal pastiin kalau lo kalah."

Detik seolah berhenti begitu saja. Fariz masih diam dalam lamunannya, membiarkan pikirannya berkeliaran  ke mana-mana. Sampai suara Ibnu dan Galuh menjadi pengacau lamunannya. Fariz membelalak ketika dua adiknya berebut remot tv. Dia tidak sadar kapan Ibnu bangun, dan kapan dirinya mulai melamu, semuanya begitu membingungkan untuk sesaat.

"Berisik!"

"Diam! " Fariz tersentak ketika kedua adiknya justru memintanya untuk terdiam.  Fariz menyandarkan tubuhnya pada sofa, usai makan siang Ibnu sempat bertanya padanya tentant pertandingan beladiri yang diikutinya. Bahkan ketika cowok itu mencoba mendekat padanya, Fariz hanya diam, dia tidak ingin melibatkan Ibnu atau siapapun untuk urusannya.

Fariz hanya perlu waktu untuk menguak kebenaran atas kecelakaan yang Ibnu alami, bahkan sampai detik ini Fariz masih ragu untuk mengatakan  hasil yang di dapatnya dari Furqon minggu lalu.

"Gue bisa bantu, tapi lo harus pastiin gejala yang lebih spesifik ke gue, Riz. Ini penyakit langka."

Seperti guntur. Penjelasan yang begitu singkat saja, Fariz masih bisa menimpali kekesalannya pada Furqon.  Fariz tidak sangup untuk berjuang sendirian, jika pada akhirnya takdir juga yang akan membawa lukanya bertambah.

"Gue pasti bantuin lo Riz. Asal lo bersikap lebih tenang, jangan gegabah."

Fariz banya diam, dia tidak berniat untuk menjawab apapun. Kini, isi kepalanya hanya berisi tentang bagaimana dia bisa bertahan dengan semua pemikiran yang belum tahu harus dia apakan.  Walau Fariz mencoba untuk melupakannya sesaat, namun Fariz tidak bisa begitu saja dan bertindak seolah tidak terjadi apapun.

Fariz hanya perlu waktu saja, kan? Lalu mengapa rasanya begitu berat, bahkan hatinya mulai berkecamuk tak karuan saat ini. Apakah semuanya baik-baik saja?

Fariz hanya tahu, kalau suatu saat nanti semestalah  yang berbicara. Saat ini, mereka hanya harus mengikuti perjalanannya, bukan memikirkan hal yang kelak pasti akan tetap harus di hadapi.

G A L U H 2


Kalian tim siapa ? Fariz Galuh? Atau Galuh Ibnu? 

Hallo, kembali lagi 🤗 ada yang kangen?  Mana suaranya? 😁 okey, segini aja dulu ya, jangan lupa tinggalkan jejak 🤭

Note : Masih ingat bagian ini? Bagian di mana Galuh benar-benar down dan selalu mengucapkan kata-kata mutiaranya.  Masih ingat dialognya? Yup! Dialog yang siapapun akan gemes, kalau Galuh udah ngomong yang aneh-aneh.

Di chapter ini nggak banyak aku sampaikan, hanya mengulas sedikit, supaya ingat,  bagian-bagian sederhana tentang mereka 😁

Baiklah, buat kalian yang udah mampir ke sini, yuk coba di tengokin kisah mereka di lapak sebelumnya 😊

Udah dulu ah, terima kasih.
Salam sayang Mr. Choco 🍫🍫

Publish, 26 November  2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro